Selamat Datang di Blog Resmi **Majlisarrahman.blogspot.com ** Majelis Dzikir Ratibul Al-Habib Abdullah Bin Alwi Al-Haddad wa Maulidun Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam (Dzikrullah wa Dzikrurrosul SAW) Jakarta - Indonesia. Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Kami**

 photo oji_zpsb336d6d8.gif
Selamat Datang di Blog Resmi **Majlisarrahman.blogspot.com ** TUNJUKKAN KEPERDULIAN DAN BAKTI KITA PADA PEMBENAHAN ISLAM DENGAN TURUT MENYUMBANGKAN HARTA KITA SEBAGAI SAKSI, BANTUAN KITA ADALAH CERMIN KADAR IMAN KITA, RASULULLAH SAW BERSABDA : SETIAP HARI TURUN DUA MALAIKAT MULIA KE BUMI DAN BERDOA, WAHAI ALLAH BERI ORANG YANG BERINFAQ KESEJAHTERAAN, DAN BERI ORANG YANG KIKIR KEHANCURAN ( shahih Bukhari ). Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Kami**

Rabu, 10 April 2013

Syaikh Al-Albani Rahimahullah

 

Nama lengkapnya adalah Muhammad Nashiruddin bin Nuh bin Adam Najati. Nama julukannya adalah Al-Albani,disandarkan kepada negeri kelahirannya yaitu Albani. Beliau dipanggil dengan sebutan Abu ‘Abdirrahman. Beliau adalah seorang Imam Mujaddid, seorang ‘alim yang dapat dipercaya, peneliti yang cermat, ahli hadits dan fiqih di zaman ini, pembawa bendera Tauhid dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berjalan meniti jejak Salafush Shalih dalam aqidah, ibadah dan manhaj, pembela Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dari perubahan orang-orang yang melampaui batas atau orang-orang yang menganggap baik kebatilan mereka, atau dari penakwilan orang-orang yang jahil.
KELAHIRAN
Beliau rahimahullah dilahirkan pada tahun 1332 H/1914 M, di kota Shkodera (Ashqodar), ibukota lama Republik Albania. Beliau hidup di kota ini kurang lebih selama sembilan tahun.  Hidup dalam sebuah keluarga miskin yang jauh dari kekayaan. Keluarganya dikenal sebagai keluarga yang patuh pada agama dan berilmu. Ayah beliau adalah Al-Haj Nuh Najati rahimahullah, seorang alumnus beberapa pesantren dan sekolah tinggi Islam yang berada di Istambul, ibukota pemerintahan ‘Utsmaniyyah. Setelah menyelesaikan studinya, ia kembali ke Albania untuk berdedikasi kepada agama, mengajarkan ilmunya kepada umat sehingga menjadi salah satu referensi (tempat bertanya) kaum muslimin yang berdatangan untuk menimba ilmunya. Beliau adalah seorang ulama dan ahli fiqih madzhab Hanafi.
HIJRAH KE NEGERI SYAM
Ketika Ahmad Zogu (Raja Ahmad Zagho) berkuasa di Albania, ia merubah Albania menjadi sebuah negara sekuler yang berkiblat kepada Barat dalam segala aspek kehidupan, menyempitkan ruang gerak kaum muslimin dan menekan mereka dengan tekanan-tekanan yang menyulitkan.Mengamati kondisi yang semakin memburuk, al-Haj Nuh Najati rahimahullah sangat khawatir terhadap agama dan keturunannya. Ia putuskan untuk hijrah ke negeri Syam dan memilih kota Damaskus sebagai tempat domisilinya.
Banyak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan keutamaan negeri Syam, lagipula kota ini tidak asing baginya karena merupakan kota persinggahan dalam perjalanan haji. Syaikh Al-Albani rahimahullah menuturkan:
“Ketika Ahmad Zogu menguasai Albania dan memerintahnya, ia memaksa rakyat untuk melaksanakan perundang-undangan produk Barat, menekan kaum wanita untuk menanggalkan hijab mereka dan memaksa polisi serta tentara untuk memakai topi. Semua itu sebagai peringatan akan jeleknya pemerintahan tersebut menurut pandangan ayahku. Oleh sebab itu ia memutuskan untuk hijrah ke negeri Syam, khususnya ke kota Damaskus. Usiaku pada saat itu sembilan tahun. Aku tidak mengetahui bahasa Arab sedikit pun. Dengan demikian, tatkala pergi ke Damaskus kami tidak mengetahui membaca dan menulis Arab.” (Lihat Shafahat Baidha’, hal. 19-20)
MENUNTUT ILMU
Syaikh rahimahullah berkata menceritakan permulaan masa belajarnya:
“Kemudian aku masuk sebuah sekolah swasta yang bernama Jam’iyyatul Is’af al-Khairi (di Syria), di sanalah awal belajarku. Disebabkan usiaku yang cukup besar, maka aku lalui kelas satu dan dua ibtida’iyah hanya dalam waktu satu tahun. Oleh sebab itu aku berhasil mendapatkan ijazah ibtida’iyah dalam masa belajar empat tahun.”
Melihat jeleknya sekolah-sekolah umum/pemerintah dari segi pengajaran agama, ayahnya memutuskan untuk tidak memberi kesempatan kepada al-Albani untuk melanjutkan studinya. Beliau membuat program ilmiyah intensif bagi putranya. (Al-Qaryuti, hal. 2)
Kata Syaikh al-Albani rahimahullah:
“Setelah menamatkan Ibtida’iyah, ayahku menetapkan agar aku belajar kepada para ulama (syaikh), lalu aku pun belajar pada beliau fiqih madzhab Hanafi dan ilmu SHaraf. Pada Syaikh Sa’id al-Burhani aku belajar sebagian fiqih Hanafi dan secara terfokus aku membaca kitab “Maraqil Falah Syarh Nurul ‘Iddhah’, dan juga sebagian kitab Nahwu dan Balaghah modern. Aku telah menamatkan membaca al-Qur’anul Karim disertai tajwidnya bersama ayahku.
Pada waktu yang sama aku bekerja sebagai tukang kayu, mengikuti dua orang guruku, yang pertama adalah pamanku Ismail, aku mengikutinya selama dua tahun. Yang kedua adalah Abu Muhammad, seorang Syria, juga selama dua tahun. Biasanya pekerjaan kami merenovasi rumah-rumah lama yang telah hancur disebabkan hujan dan salju. Pada musim hujan kami tidak berbuat sesuatu. Pada suatu hari di musim hujan, aku mengunjungi ayahku, beliau bekerja sebagai tukang reparasi jam, ia menyapaku: ‘Apakah kamu tidak bekerja hari ini?’ Aku menjawab: ‘Ya.’ Beliau berkata: ‘Bagaimana pendapatmu jika bekerja padaku, karena aku melihat pekerjaanmu tidak sesuai bagimu.’ AKu menjawab: ‘Terserah ayah.’ Ia berkata: ‘Naiklah ke toko.’ Tokonya terletak di sebuah tempat yang ditinggikan dari tanah karena khawatir hujan dan salju.”
MENEKUNI ILMU HADITS
Al-Albani rahimahullah berkata:
“Bahwasanya nikmat Allah yang dianugerahkan kepadaku sangat banyak, aku tidak mampu menghitungnya. Di antara nikmat-nikmat itu ada dua hal yang sangat penting: Yang pertama hijrah ayahku ke negeri Syam dan yang kedua aku diajari sebuah profesi yang dimilikinya yaitu keterampilan mereparasi jam. Adapun yang pertama (hijrah ke negeri Syam), telah memudahkanku untuk belajar bahasa Arab, yang seandainya kami tetap di Albania, aku kira tidak akan mempelajarinya walaupun hanya satu huruf. Padahal tiada jalan menuju Kitabullah (al-Qur’an) dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dengan bahasa Arab.Sedang yang kedua (keahlian dalam mereparasi jam), telah memberi aku waktu senggang yang aku isi dengan menuntut ilmu, serta kesempatan beberapa jam setiap hari untuk mengunjungi perpustakaan “Zhahiriyyah”.
Seandainya aku terus menekuni upaya untuk menjadi seorang pandai kayu, tentunya akan menyita seluruh waktuku. Akibatnya tertutuplah jalan-jalan di hadapanku untuk menuntut ilmu, yang mana setiap penuntut ilmu harus menyiapkan banyak waktu. Karena memiliki banyak waktu luang, aku mohon izin kepada ayahku untuk menghadiri kajian-kajian di masjid Bani Umayyah.Suatu ketika di waktu senggang, Allah mentakdirkan bagiku bertemu dengan seseorang dari Mesir. Pekerjaannya membeli kitab-kitab lama, lalu dipajangnya pada sebuah toko kecil miliknya yang terletak di depan pintu barat masjid. Aku sering menghampiri buku-buku tersebut dan menemukan kisah-kisah yang kusukai, lalu kupinjam darinya dengan memberi upah dan setelah itu mengembalikannya.
Suatu hari aku jumpai beberapa edisi majalah Al-Manar di antara kitab-kitab pajangannya. Ketika kubaca, aku dapati sebuah tulisan Sayyid Rasyid Ridha. Ia membahas sisi positif kitab Ihya’ Ulumuddin karya al-Ghazali, dan mengkritiknya dari beberapa segi seperti masalah Tasawwuf dan hadits-hadits dha’if. Beliau juga menyebutkan bahwa Abu Fadhl Zainuddin al-Iraqi rahimahullah mempunyai sebuah kitab mengenai Ihya’ Ulumuddin, meneliti hadits-haditsnya serta memisahkan antara yang shahih dan yang dha’if. Nama kitabnya Al-Mughni ‘an Hamlil Asfar fil Asfar fi Takhrij ma fil Ihya’ minal Akhbar. (Lihat Shafahat Baidha’, hal. 24)
Aku sangat berminat memiliki buku ini, oleh sebab itu aku pergi ke pasar untuk mencarinya, ibarat seorang yang jatuh cinta dan bingung karena sedih. Aku menemukannya pada seorang penjual kitab, namun pada saat itu aku seorang yang faqir seperti ayahku, tidak mampu membelinya. Maka aku bersepakat dengan pemiliknya untuk menyewanya, kubawa buku itu dan seolah-olah aku ingin terbang karena sangat gembira. Kembalilah aku ke toko dan kumanfaatkan kesempatan untuk membacanya dengan konsentrasi di saat ayahku sedang pergi.Kemudian timbul keinginanku untuk menyalin isi buku tersebut, maka aku beli beberapa lembar kertas dan mulailah untuk menyalinnya. Terlintas di dalam benakku untuk memanfaatkan kitab-kitab ayahku sebagai referensi dalam memahami kata-kata yang asing bagiku, karena aku seorang ajam (bukan orang Arab) sehingga ada beberapa kata dalam hadits yang sulit dipahami. Aku mendapat banyak manfaat dari pekerjaan ini, sekarang salinan kitab itu masih tersimpan sebagai sebuah manuskrip.” (Ibid, hal. 25, dan majalah Al-Ashaalah XXIII, hal. 11, Muhadditsul ‘Ashri, hal. 13)
Syaikh Muhammad al-Majdzub berkata dalam kitabnya “Ulama wa Mufakkirun”:
“Beliau menunjukkan karya tersebut kepada saya, berjumlah empat juz dalam tiga jilid mencapai 2012 (dua ribu dua belas) halaman. Tulisannya terdiri dari dua macam, yang pertama tulisan biasa dan yang kedua tulisan yang sangat rapi dan teliti sebagai footnote, isinya berupa komentar, penafsiran makna hadits, atau melengkapi (sesuatu yang dianggap perlu dari tulisan al-Iraqi, pent).” (Lihat Hayat al-Albani, I/47)
Perhatian terhadap hadits Nabi telah menjadi pekerjaan yang sangat menyibukkannya. Sehingga beliau bekerja (mereparasi jam) hanya tiga jam sehari, selain hari Selasa dan Jum’at. Beliau berkata:
“Waktu tersebut cukup untuk memperoleh makanan pokok bagi keluarga dan anak-anakku, dan tentu hanya ala kadarnya saja. Sedang waktu-waktu selebihnya aku manfaatkan untuk menuntut ilmu, menulis dan mempelajari hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terutama manuskrip-manuskrip hadits yang berada di perpustakaan “Zhahiriyyah”. Aku menekuni di perpustakaan tersebut sebagaimana pegawainya antara enam sampai delapan jam setiap hari, hal mana tergantung pada ketentuan jam kerja yang telah ditetapkan pada musim panas dan dingin.” (Lihat Hayat al-Albani, I/48), Adz-Dzabbul Ahmad: 4)
Terkadang al-Albani rahimahullah duduk di perpustakaan selama dua belas jam untuk membaca, mengomentari sebuah tulisan dan mentahqiq (meneliti kitab-kitab) tanpa merasa jenuh. Beliau keluar hanya pada waktu-waktu shalat. Pada waktu makan, beliau hanya makan makanan yang sederhana di perpustakaan.
Jerih payah dan kesungguhan ini telah membuahkan hasil, di antaranya takhrij hadits-hadits tentang jual beli dalam ensiklopedi fiqih Islam dan karya-karya tulis lainnya. (Lihat Hayat al-Albani, I/52-53)
Syaikh Al-Albani rahimahullah, memanfaatkan waktunya 18 jam di perpustakaannya. Ketika masih di kota Damaskus, berada di perpustakaan Zhahiriyyah antara 6 – 8 jam sehari, tidak termasuk waktunya untuk bekerja, kajian dan ceramah-ceramah ilmiyah lainnya. Pernah mencari 1 lembar kertas yang hilang dari sebuah manuskrip, sampai memeriksa 10.000 manuskrip yang ada di perpustakaan.
Syaikh Al-Albani rahimahullah menceritakan:
“Telah kulalui hari-hari yang mana dengan terpaksa aku menyiapkan tangga untuk menaikinya agar terjangkau olehku kitab-kitab yang tertata rapi pada rak-rak yang tinggi. Aku berdiri di tangga selama berjam-jam sambil mempelajari kitab-kitab itu dengan cepat. Jika aku memilih sebuah manuskrip untuk dipelajari, diperiksa dan diteliti dengan cermat, aku mohon kepada salah seorang pegawai khusus untuk menurunkan dan meletakkannya di atas meja setelah aku serahkan padanya daftar dan nomor manuskrip serta tanda tangannya.”
MENENTANG BIDA’H DAN PERPISAHAN DENGAN SANG AYAH
Hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ditekuninya mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam mengarahkan Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam ilmu dan amal. Beliau menempuh manhaj yang benar, yaitu menimba ilmu dari Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menjadikan pemahaman para Imam Salaf sebagi batu loncatan tanpa adanya sikap fanatik atau antipati kepada salah seorang di antara mereka.
Yang dicarinya adalah al-Haq (kebenaran) di mana pun (ia) berada. Oleh sebab itu beliau awali dengan menyelisihi madzhabnya, yaitu madzhab Hanafi, tempat beliau tumbuh dan dibesarkan.
Ayahnya rahimahullah selalu menentangnya dalam banyak masalah yang berkaitan dengan masalah madzhab. Al-Albani pun menjelaskan kepada sang ayah, bahwasanya tidak diperbolehkan bagi seorang muslim meninggalkan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam manakala hadits itu shahih dan telah diamalkan oleh sebagian ulama, hanya karena perkataan manusia biasa siapa pun orangnya. Inilah jalan yang ditempuh oleh Abu Hanifah dan para Imam yang lainnya rahimahumullah.
Marilah kita ikuti Syaikh Al-Albani rahimahullah menuturkan kisahnya, beliau berkata:
“Setelah mempelajari ilmu hadits secara kontinyu, tampaklah padaku kesalahan-kesalahan yang menyebar pada saat itu. Karena mereka mengikuti sebagian bid’ah. Sebagai contoh, dalam kitab Hasyiah Ibnu ‘Abidin (sebuah kitab Madzhab Hanafi) pada bagian terakhir disebutkan: Dari Sufyan Ats-Tsauri:
“Shalat di masjid Bani Umayyah memperoleh ganjaran 70 ribu shalat.” (Dikeluarkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam Tarikhnya)
Aku temukan atsar ini, dan ternyata sanadnya gelap gulita, aku berkata: “Subhanallah!!”
Bagaimana mungkin para Fuqaha’ itu meriwayatkan atsar ini sedangkan sanadnya sedemikian rupa, ini adalah atsar yang mu’dhal (hadits yang pada sanadnya terhapus dua atau lebih dari perawinya) sebagaimana istilah ulama ahli hadits.
Demikian pula aku baca dalam “Tarikh Ibnu ‘Asakir” tentang kisah kuburan Nabi Yahya Alaihissalam yang terletak di masjid Bani Umayyah. Sehingga hasil pembahasan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa shalat di masjid tersebut tidak diperbolehkan.
Aku ingin paparkan pendapatku ini kepada sebagian Syaikh, seperti ayahku dan Syaikh al-Burhani. Pada suatu hari setelah shalat Dzuhur aku sampaikan secara rahasia kepada Syaikh al-Burhani bahwa “shalat di masjid Bani Umayyah” tidak sah. Beliau menyambutku dengan mengatakan: “Tulislah segala sesuatu yang telah engkau temukan dalam masalah ini.” Maka kutuliskan dalam tiga atau empat halaman lalu kuserahkan kepadanya. Beliau berkata: “Aku akan berikan jawaban padamu setelah Idul Fithri,” saat itu kami masih berada di bulan Ramadhan.
Ketika beliau kudatangi, ia berkata: “Semua tulisan yang engkau tulis ini tidak mempunyai dasar.” Aku katakan padanya dengan nada keheranan: “Mengapa demikian?” Beliau menjawab: “Karena semua kitab yang menjadi sumber nukilanmu, bukan merupakan sandaran bagi madzhab kami.”
Kata Syaikh Al-Albani rahimahullah:
“Aku tidak mengerti makna ucapannya ini karena aku menukilnya dari kitab-kitab madzhab Hanafi, seperti kitab ‘Mabariqul Azhar Syarh Masyariqil Anwar’, sebuah kitab madzhab Hanafi, demikian pula aku nukil dari kitab ‘Mirqatul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih’ karya Mulla Ali Qari’ -seorang yang bermadzhab Hanafi-, serta beberapa nash-nash lainnya. Namun semuanya tidak digubris, sama halnya dengan sikap ayahku.”
Selanjutnya Syaikh Al-Albani menuturkan:
“Setelah peristiwa itu aku menulis sebuah kitab “Tahdziirus Saajid Min Ittikhaadzil Qubuur Masaajid” (Peringatan Bagi Orang yang Shalat Agar Tidak Menjadikan Kuburan Sebagai Masjid, pent).
Sejak itu pula aku memutuskan untuk tidak melaksanakan shalat di masjid Bani Umayyah, agar perbuatanku tidak menyelisihi perkataanku. Ayahku mengetahui keputusanku namun ia menyembunyikan di dalam dirinya. Kemudian ada masalah lain yang juga menyelisihi mereka, yaitu shalat berjama’ah gelombang kedua di masjid Bani Umayyah. Karena di masjid tersebut terdapat dua kali shalat berjama’ah. Jama’ah yang pertama dipimpin oleh imam bermadzhab Hanafi, sedangkan jama’ah yang kedua dipimpin oleh imam bermadzhab Syafi’i.[23]
[23] Pada masa Khilafah ‘Utsmaniyyah orang yang menjadi imam shalat adalah madzhab Hanafi, baik di masjid Bani Umayyah ataupun di masjid At-Taubah. Ketika al-Husaini menjadi presiden, ia perintahkan jama’ah pertama dipimpin oleh madzhab Syafi’i dan jama’ah kedua diimami oleh madzhab Hanafi (Lihat Shafahat Baidha, hal. 29, footnote 2).
Biasanya jama’ah yang pertama diimami oleh Syaikh al-Burhani dan jika berhalangan digantikan ayahku[*]. Hal ini kulakukan karena aku berpendapat bahwa shalat berjama’ah yang kedua makruh hukumnya, jika dilakukan pada sebuah masjid yang sudah melaksanakan shalat jama’ah yang pertama.
[*] Ayah beliau -Al-Haj Nuh Najati rahimahullah- adalah seorang alumnus dari beberapa pesantren dan sekolah tinggi Islam yang ada di Istambul, ibukota pemerintahan ‘Utsmaniyyah. Setelah menyelesaikan studinya ia kembali ke Albania untuk berdedikasi kepada agama, mengajarkan ilmunya kepada umat sehingga menjadi salah satu referensi (tempat bertanya) kaum muslimin yang berdatangan untuk menimba ilmunya. Beliau adalah seorang ulama dan ahli fiqih dari madzhab Hanafi]
Dari sanalah para pendengki mulai menghasut ayahku tentang aku sehingga pada suatu hari ketika kami sedang makan malam, ayahku berkata kepadaku dengan menggunakan bahasa Arab yang sangat jelas:
“(Hanya dua pilihan bagimu) Mengikuti madzhabku atau berpisah meninggalkan kami.”
Maka aku mohon pada ayahku agar memberiku kesempatan untuk berpikir selama tiga hari. Lalu aku datangi beliau dengan membawa sebuah jawaban, kukatakan kepadanya:
“Aku memilih keluar dari rumah ini agar ayah tidak cemas dan gelisah disebabkan perbuatanku yang menyelisihi madzhab ayah.”
Lalu keluarlah aku, sedangkan (saat itu) aku tidak memiliki satu dinar atau satu dirham pun. Aku hanya diberi dua puluh lima lira Syiria. Maka pergilah aku ke salah seorang teman dan mengambil darinya dua ratus lira Syiria. Aku mengontrak sebuah toko dan bekerja dengan penuh kebebasan. Merupakan karunia Allah Azza wa Jalla atasku, di mana aku sangat teliti dan cermat dalam profesiku (reparasi jam).
Usiaku pada saat itu menginjak dua puluh dua tahun. Di tempat yang baru ini aku merasa bebas dalam bekerja dan berpikir. Kami mengadakan kajian-kajian di rumah beberapa teman. Setelah meluasnya ruang lingkup dakwah, kami adakan kajian-kajian dalam materi hadits yang disertai fiqihnya. Terkadang ayahku ikut hadir, ia mengajakku berbicara, demikian pula aku. Suatu ketika beliau datang dan berkata kepadaku:
“Aku tidak mengingkari bahwasanya telah banyak ilmu yang kudapati darimu.”
Rupanya kalimat tersebut sebagai kaffarah atas tindakannya padaku. (Lihat Shafahat Baidha’, hal. 26-29, adz-Dzabbul Ahmad, hal. 10-11, dinukil dari kitab “Al-Albani – al-Imam”, hal. 7)
BERDAKWAH DI JALAN ALLAH
Telah dijelaskan (dalam status sebelumnya) bahwa Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki andil besar dalam mengarahkan Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam ilmu dan amal. Beliau pun menempuh jalan yang benar, (dengan) mengikuti kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melenyapkan fanatisme madzhab atau golongan dan mengikuti kebenaran dimana pun (ia berada).
Bertolak dari sanalah Syaikh Al-Albani rahimahullah mengawali kesungguhannya dalam berdakwah kepada Allah Azza wa Jalla. Beliau menceritakan awal mulai perjalanan dakwahnya:
“Aku mulai menghubungi orang-orang yang aku kenal, sahabat-sahabatku serta teman-teman mereka. Aku jadikan tempat kerjaku sebagai wadah pertemuan kami, lalu pindah ke rumah salah seorang teman, dan pindah lagi yang pada akhirnya kami mengontrak sebuah flat (rumah susun).
Orang-orang yang menghadiri kajian semakin banyak, sehingga tempat pertemuan menjadi sempit. Aktifitas kami mencapai peningkatan yang pesat dalam membaca hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menerangkan sanad-sanadnya. Kegiatan ini terus berkelanjutan hingga upaya yang dilakukan oleh para penentang kami membuahkan hasil. Kami pun ditekan dan seluruh pertemuan dibatalkan serta dibubarkan.” [Lihat kitab Hayat al-Albani (I/54, adz-Dzabbaul Ahmad, hal. 11), dinukil dari kitab Ulama wa Mufakkirun Araftuhum, oleh al-Madzub, jilid I, hal. 289-290)]
Selain kegiatan di atas, beliau selalu mengadakan dialog dan diskusi dengan para ulama dan imam-imam masjid. Banyak tantangan berat yang dihadapinya dari para Syaikh yang fanatik madzhab, para Syaikh Sufi, khurafat dan ahlul bid’ah, terutama dari kaumnya sendiri. Mereka memprovokasi orang-orang awam agar menentangnya, menyebarluaskan fitnah bahwa beliau adalah seorang Wahabi yang sesat, serta mengingatkan mereka agar waspada terhadapnya.
Namun pada saat yang sama, dakwah beliau dihadiri ulama-ulama terpandang dan terkenal di kota Damaskus, seperti ‘Allamah Muhammad Bahjat al-Baithar, Syaikh ‘Abdul fatah al-Imam -Pimpinan Ikatan Pemuda Muslimin-, Syaikh Taufik al-Bazrah rahimahullah, dan tokoh-tokoh terkemuka lainnya. [Lihat Hayat al-Albani (I/54), tarjamah Muhadditsul 'Ashri al-Albani, hal. 4, Shafahat Baidha', hal. 37)]
Tantangan dan ucapan-ucapan manusia tidak digubrisnya. Semua itu justru menambah keteguhannya dalam berpegang teguh pada manhaj yang haq serta memutuskan untuk bersabar dan menanggung penderitaan. Semuanya itu dilakukannya sebagai bentuk pengamalan wasiat Luqman kepada anaknya sebagaimana yang dikisahkan Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
“… Hai anakku, janganlah engkau berbuat syirik kepada Allah. Sesungguhnya kesyirikan (adalah) sebuah kedhaliman yang amat besar.” (Luqman: 13)
Sampai pada firman-Nya:
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan perintahlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar serta bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Luqman: 17)
Al-Albani adalah seorang alim pembawa bendera Tauhid dan Sunnah. Banyak ulama Damaskus yang dikunjunginya dan berlangsung dialog seputar masalah tauhid, fanatisme madzhab, serta masalah-masalah bid’ah lainnya. Beliau didampingi oleh Syaikh Abdul Fatah al-Imam rahimahullah.
Para penghasud, orang-orang jahil, para intel, dan penentang manhajnya terus memberikan tekanan-tekanan kepada beliau, sebagaimana beliau kisahkan di bawah ini:
“Sambutan baik terhadap dakwah initelah mendorong kami menyusun program untuk mengunjungi beberapa wilayah di Syiria antara Halab dan Laziqiyyah, seperti kota Idlib, Silmiyah, Himish, Hammah dan Riqqah. Meskipun waktu-waktu yang ditetapkan untuk setiap kotaterbatas, namun demikian, perjalanan dakwah keliling ini telah membuahkan hasil yang nyata, merekrut sejumlah orang yang berminat dalam ilmu hadits pada seminar-seminar yang mirip dengan sebuah training. Di sana dibacakan kitab-kitab hadits, pertanyaan-pertanyaan bergulir dan membangkitkan dialog-dialog yang sangat bermanfaat.
Perjalanan ke kota Halab selain untuk tujuan dakwah dimanfaatkan pula oleh beliau untuk mengunjungi Perpustakaan Auqaf Islamiyah, satu-satunya perpustakaan di kota tersebut yang penuh dengan manuskrip. Di perpustakaan ini beliau selalu memanfaatkan waktu selama  berjam-jam untuk mempelajari manuskrip-manuskripnya dan menyalin yang dianggap penting untuk program ilmiyah beliau. Di antara manuskrip yang dinukilnya adalah kitab Az-Zawa’id karya al-Bushairi. Demikian pula al-Albani telah menulis  daftar manuskrip yang ada di perpustakaan ini, namun karya ini hilang ketika beliau hijrah dari Damaskus ke Yordania. (Lihat Hayat al-Albani, I/56)
Perjalanan dakwah ini telah melipat gandakan dan memperbesar dendam kesumat segolongan manusia, hingga mereka meningkatkan upaya-upaya menyampaikan (menghasut) kepada pihak yang berwenang sehingga kami pun menghadapi kesulitan yang berkepanjangan. (Lihat Shafahat Baidha’, hal. 38)
Rangkaian peristiwa dan kejadian yang dialami al-Albani sebagai konsekuensi dakwahnya kepada Tauhid dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya:
1. Setelah mengumpulkan tanda tangan masyarakat banyak, sekelompok syaikh/ulama di kotanya menyepakati sebuah dakwaan untuk menentangnya, lalu diajukan kepada Mufti Negeri Syam. Isi dakwaan itu bahwa beliau mengajak manusia kepada dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan mengganggu kaum muslimin. Oleh sang Mufti, tuduhan ini disampaikan kepada kepala kepolisian sehingga beliau pun dipanggil. Namun Allah Azza wa Jalla dengan kelembutan-Nya telah menganugerahkan karunia-Nya sehingga beliau selamat dari tipu daya mereka.
2. Dipanggil oleh Wakil Kementrian Dalam Negeri Urusan Keamanan untuk menyampaikan kepadanya permohonan Mufti kota Idlib agar beliau dicekal dan tidak masuk ke wilayah Idlib serta diasingkan ke kota al-Haskah.
3. Para syaikh tarikat sufi memfitnah dan berkata dusta tentang beliau serta berupaya memperingatkan umat agar waspada dan menjauhinya, yang berakhir dengan dimasukkannya al-Albani ke dalam penjara Qal’ah di Damaskus. Di penjara ini pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim rahimahumullah ditahan karena sebab yang sama, yaitu ulah para syaikh sesat dan menyimpang.
Di samping itu, mereka berupaya untuk mengingatkan para penuntut ilmu dan kaum awam agar tidak mendengar kajian Syaikh al-Albani, menghindar dari majelis ilmunya serta menghajr dan memutuskan hubungan dengannya. (Lihat kitab adz-Dzabul Ahmad, hal. 15, dinukil dari kitab al-Albani al-Imam, oleh ‘Abdul Qadir al-Junaid, hal. 13-14)
MENGAJAR DI UNIVERSITAS ISLAM MADINAH
Al-Ustadz ‘Id ‘Abbas dan ‘Ali Khasysyan dalam biografi al-Albani menuturkan:
Berkat kesungguhan yang berkesinambungan dan taufiq dari Allah Azza wa Jalla lahirlah karya-karya Syaikh yang sangat bermanfaat dalam bidang hadits, fiqih, aqidah dan yang lainnya.
Semua itu memberi isyarat kepada para ulama dan para tokoh, akan karunia Allah Azza wa Jalla yang dianugerahkan kepadanya berupa pemahaman yang benar dan ilmu yang banyak serta pengetahuan yang mendalam dalam hadits dan perawinya. Lebih dari itu beliau telah menempuh metode ilmiyah yang benar yaitu menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hakim dan neraca kebenaran dalam segala permasalahan. Menjadikan pemahaman Salafush Shalih sebagai pelita yang mengarahkan dan menerangi jalannya dalam memahami agama dan menggali hukum-hukumnya.
Metode inilah yang telah ditempuh para ulama peneliti seperti Syaikhul Islam Ahmad bin ‘Abdul Halim Ibnu Taimiyah rahimahullah, para muridnya serta ulama-ulama yang mengikuti jalan dan jejak mereka. Dari apa yang telah dicapainya, menjadikan beliau sebagai seorang tokoh terkemukadi mana popularitasnya menjulang tinggi dan sebagai referensi para ulama.
Derajat dan kemampuannya hanya diketahui oleh para petinggi yang mengawasi pusat-pusat kajian ilmiyah. Semua itu telah mendorong para pembimbing Universitas Islam Madinah -terutama Syaikh al-’Allamah Muhammad bin Ibrahim, Rektor Universitas dan Mufti Kerajaan Saudi Arabia pada saat itu- untuk menjatuhkan pilihannya kepada Syaikh al-Albani. Beliau dipercayakan memimpin pengajaran ilmu hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan fiqihnya di Universitas Madinah.
Al-Albani rahimahullah menetap di Madinah selama tiga tahun, bekerja sebagai dosen ilmu hadits. Selama mengajar, al-Albani rahimahullah telah menjadi teladan dalam kesungguhan dan keikhlasan. Pada waktu-waktu istirahat dan pergantian mata kuliah, beliau duduk bersama para mahasiswa di halaman perkuliahan. Sebagian dosen menuturkan:
“Inilah belajar yang hakiki, bukan yang kalian keluar darinya atau akan kembali padanya.” (Yang dimaksudkan adalah ruang perkuliahan).
Inilah pekerjaan Syaikh sebagai karunia Allah Azza wa Jalla yang dianugerahkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, sementara para dosen lain menuju ke ruang peristirahatan untuk mencicipi kurma segar, kopi dan teh.
Bisa jadi kesungguhan dan keikhlasan inilah yang telah menimbulkan kedengkian dan hasad pada sebagian orang atas beliau. Melihat ketergantungan dan kecintaan mahasiswa kepadanya, baik di dalam ataupun di luar kampus pada perjalanan rihlah yang diadakan oleh Universitas, maka para pendengki enggan kecuali beliau harus disingkirkan (dari universitas).
Hubungan Syaikh al-Albani rahimahullah dengan mahasiswa ibarat hubungan persahabatan seseorang dengan sahabatnya, bukan seperti hubungan antara seorang ustadz dengan muridnya. Beliau menyingkirkan beban mental yang membuat seorang murid merasa segan atau malu terhadap gurunya. Lalu digantinya dengan menanamkan perasaan ukhuwah/persaudaraan dan tsiqah (sikap percaya kepada seorang ustadz).
Beliau menuturkan:
“Aku membawa dengan mobilku siapa saja di antara mahasiswa yang kutemui baik ke kampus ataupun ke kota Madinah. Demikian kondisi mobilku setiap saat selalu penuh ketika pergi dan pulang.”
Karena hubungannya yang demikian erat dengan mahasiswa , hingga pada suatu hari ketika usai mengajar beliau menuju ke kantor administrasi universitas, di sana al-Albani rahimahullah bertemu dengan al-Ustadz Muhammad bin Abdul Wahhab al-Banna’, beliau ingin ke kota Madinah. Maka keluarlah Syaikh al-Albani bersama beliau ke mobilnya untuk mengantar Ustadz al-Banna’, ternyata beliau dapati mobilnya telah dipenuhi oleh mahasiswa. Setelah melihat Ustadz al-Banna’, maka salah seorang di antara mereka mengalah dan memberikan tempatnya kepada sang ustadz.
Jika datang ke kampus di pagi hari, mobilnya hampir tidak kelihatan karena dikelilingi oleh kerumunan mahasiswa yang datang menyalami, bertanya, dan menimba ilmu darinya rahimahullah. [Hayat al-Albani (I/58-60), Shafahat Baidha', hal. 40-41)]
Apa yang disebutkan di atas telah membangkitkan amarah para penghasut beliau. Mereka membuat makar, tipu daya, dan fitnahan kepada beliau, lalu disampaikan kepada para pejabat tinggi Universitas Islam Madinah. Sementara mereka lupa dan lalai bahwa mereka akan berdiri di hadapan Allah Azza wa Jalla pada suatu hari yang tiada sesuatu pun tersembunyi di hadapan-Nya. Pada akhirnya universitas memutuskan untuk mengakhiri masa baktinya. Al-Albani bersabar atas tuduhan dan fitnahan yang dialamatkan kepadanya dan mengucapkan:
“… Cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.” (Ali Imran: 173)
Allah-lah yang menghendaki dan Dia pula yang memilih, tiada seorang pun dapat menolak kehendak-Nya, Maha Suci Allah Azza wa Jalla.
Beliau ridha atas putusan Allah Azza wa Jalla dengan jiwa yang tenang dan jujur penuh keyakinan. Pada saat terjadinya peristiwa ini, Syaikh ‘Abdul Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz rahimahullah menghibur beliau seraya berkata:
“Di manapun berada, kamu dapat menjalankan kewajiban dakwahmu, tidak ada perbedaan bagimu.”
Syaikh bin Baaz mengucapkan kalimat ini karena beliau mengetahui kekuatan iman al-Albani kepada Allah Yang Maha Agun, keluasan ilmu serta kesabarannya dalam menghadapi cobaan. Kemungkinan besar, inilah penafsiran sikap beliau yang selalu mengulang-ulang ucapan:
“Segala puji hanya milik Allah pada setiap keadaan,’ tatakala ditimpa musibah.
Syaikh bin Baaz rahimahullah pernah berkata:
“Aku tidak mengetahui di abad ini seorang alim dalam ilmu hadits yang menyamai al-’Allamah Muhammad Nashiruddin al-Albani.”
Ketika ditanya siapakah Mujaddid abad ini?
Beliau menjawab:
“Menurutku, asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani adalah Mujaddid abad ini.” (Idem)
***
Semoga bermanfaat…
-Sahabatmu-
Abu Muhammad Herman
(Disalin dengan sedikit diringkas dan beberapa penyesuaian dari Biografi Syaikh Al-Albani, Mujaddid dan Ahli Hadits Abad Ini, karya Ustadz Mubarak bin Mahfudh Bamuallim, Lc, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta)

Syaikh Mamduh Bin Farhan Al-Buhairi

Syaikh Mamduh Bin Farhan Al-Buhairi

Nama lengkap:
Abu Abdirrahman Mamduh ibn Muhammad ibn Ali Farhan al-Buhairi
Tempat tanggal lahir:
Makkah al-Mukarramah, 10/8/1387 H
Nasab:
Bersambung ke suku Khazraj al-Anshariyyah
Status:
Berkeluarga, baru dikarunia 4 anak (Maria, Rima, Abdurrahman, Lina)

Pendidikan formal:
Seluruh jenjang pendidikannya ditempuh di Makkah hingga tamat dari Ma’had al-Haram al-Makki as-Syarif
Pendidikan non formal:
  • Mulazamah pada Syaikh Ibn Bazz dan Syaikh Ibn Utsaimin saat beliau berdua berada di Makkah al-Mukarramah
  • Belajar pada para ulama di Masjidil Haram

Aktifitas:
  1. Direktur perhimpunan Muslim Muallaf dunia (selesai pengabdian tahun 2010)
  2. Anggota di banyak lembaga islam
  3. Bekerja di bidang dakwah di banyak Negara Islam
  4. Penulis kitab-kitab Islamiyyah terutama bidang dakwah
  5. Komisaris majalah Qiblati
  6. Konsultan dalam masalah keluarga di majalah Qiblati

Karya tulis dalam bentuk kitab:
  1. Asy-Syi’ah Minhum ’Alaihim (telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul GEN Syi’ah, Sejarah konspirasi Yahudi dan Penyimpangan Aqidah Syi’ah, Dar al-Falah, Jakarta, 2002)
  2. Imathathul-Litsam wa Kabhul-Awham (terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul Kuburan agung, Darul Haq, jakarta, 2005
  3. Khushumul Qur`an atau ar-Rass ala Syubuhatil Qur`an (telah diterjemahkan dan belum diterjemahkan. Beberapa bagiannya telah dimuat di rubrik Koreksi dalam majalah Qiblati)
  4. Al-Hadharah al-Islamiyyah
  5. Haqiqatul Kitab al-Muqaddas
  6. Koreksi Awal Waktu Subuh, bersama Ustadz Agus Hasan Bashori dan M. Syuaib al-Faiz, Lc., M.Si., Pustaka Qiblati, Malang, 2010.
  7. Kisah Para Muallaf yang Menakjubkan, Pustaka Qiblati, Malang, 2011.
  8. Obsesi Wanita Nasrani, Pustaka Qiblati, Malang, 2011.

Sayyid Idrus bin Salim Al - Jufry

Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufry dilahirkan pada hari senin 14 Sya'ban 1309 H / 15 Maret 1892 M di Tarim, sekitar 5 kilometer dari Seiwun, Hadramaut, Yaman. Ayahandanya adalah Habib salim bin Alwi bin Assegaf Al-Jufriy, seorang mufti di Hadramaut, sedang ibundanya, Syarifah Noer adalah putri Raja Wajo, Sulawesi Selatan, yang bergelar Arung Matoa Wajo.




Kala itu, Sayyid Idrus tengah berada di Tondano, sekitar 35 kilometer dari Manado, Sulawesi utara. Beliau kebetulan bersilaturrahmi dengan dua orang saudaranya yang telah lebih dahulu hijrah ke Indonesia, masing-masing Habib Syekh bin Salim Al-Jufry dan Habib Alwi bin Salim Al-Jufry. Kedatangannya di Palu hanyalah untuk transit menuju Wani, kecamatan Tawaeli, Donggala, untuk memenuhi undangan tiga sahabatnya : Sayyid Ibrahim bin Zain al-Mahdi, Sayyid Muhammad bin Muhsin ar-Rifai dan Sayyid Ahmad bin Ali Al-Muhdhar.


Setelah itu barulah ia menuju ke Palu. Kedatangannya ke Palu ternyata kemudian menjadi catatan sejarah dalam mengawali dakwah di Kawasan Timur Indonesia. Melihat kondisi masyarakat Palu kala itu yang sangat membutuhkan pendidikan agama, beliau pun segera memutuskan untuk menetap disana. Tak lama kemudian, tanggal 30 Juni 1930, beliau mendirikan madrasah bernama Al-Khairaat.

Dalam rentang waktu 365 hari, beliau berdakwah dan mengajar keliling, menyusuri berbagai pelosok desa, menyeberangi sungai, menembus hutan dan perbukitan, merambah hamper seluruh Sulawesi. Dan akhirnya, kini, Al-Khairat berkembang tidak hanya di Sulawesi tengah, tapi juga Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku, Kalimantan, hingga Irian Jaya. Para alumnus santrinya tersebar di seluruh Kawsan Timur Indonesia, sebagai pegawai negeri, guru, dosen, pengusaha, ulama, bahkan juga para pejabat di daerah-daerah dan pejabat tinggi.

Kepada mereka, Sayyid Idrus berpesan dalam salah satu syairnya :
Wahai abna'ul Khairat, bangkitlah!
Tunaikan kewajiban mengajar
Kelak kalian menjadi pelopor terdepan
Kalian telah memiliki panutan yang di contoh-
kan oleh orang-orang sebelum kamu
yaitu para guru yang telah membimbingmu
Sayyid Idrus, ulama besar dan pelopor dakwah di Kawasan Timur Indonesia, wafat pada hari senin 22 Desember 1969, bertepatan dengan 12 Syawal 1349 H. Sebelum wafat, beliau berpesan agar pada setiap 12 Syawal para alumnus Al-Khairat, yang disebut abna'ul Khairat dari segenap pelosok, menyelenggarakan silaturrahim. Dan ternyata 12 Syawal adalah hari wafatnya, yang juga hari haulnya untuk memperingati jasa dan kepeloporan ulama besar ini.s

Sayyid Muhammad bin Alwi Al - Maliky

Al-Habib As-Sayyid Muhammad bin Alwy bin Abbas Al-Maliky Al-Hasany lahir di Makkah pada tahun 1365 H / 1947 H. Nasab beliau masih terkait dengan Imam Hasan, salah seorang cucu Rasulullah saw.
Ayah beliau Sayyid Alwy dikenal sebagai ulama terkenal yang mengajar di Masjidil Haram. Lingkungan telah membuat beliau sejak kecil lekat dengan ajaran-ajaran agama. Ayahnya sendiri yang mendidik dan mengasah beliau hingga menjadi seorang yang cerdas dan piawai dalam masalah-masalah keagamaan.
Tentang ayahnya ini, salah seorang ulama kesohor Mesir Syekh Muhammad Al-Thayyib An-Najjar menulis, "Sayyid Alwy Al-Maliky adalah seorang ulama besar yang mulia yang biasa mendermakan hidup demi ilmu. Ia dengan penuh ketekunan membaca berbagai kitab dan menulis berbagai buku seraya mengamalkan ilmu yang dikuasainya. Rumahnya terletak dekat Ka'bah yang mulia disekitar Makkah Al-Mukaramah. Ia bagaikan lembah indah yang menghimpun para ulama, pilihan diantara ulama islam yang mendengarkan Al-Qur'an dan Sunah Nabi saw, seraya mengkajinya dengan mendalam dan membahasnya secara teliti. Kepada para santri sering didengarkan berbagai sanjungan terhadap Nabi Muhamad saw, berupa syair yang dibacakan oleh Syekh Alwy dengan bahasa arab yang bagus disertai hati yang tulus penuh ketakwaan dan dihiasi keimanan yang jernih."
Kecerdasan Sayyid Muhammad terlihat sejak kecil, Hafal Al-Qur'an pada usia 7 ( tujuh ) tahun, Hafal Al-Muwaththa' ( kitab Hadits karya Imam Maliki, kitab tertua, atau yang pertama diterbitkan di dunia islam pada abad ke 2 H / VII M ) pada usia 15 tahun. Dan pada usia 25 tahun, Sayyid Muhammad Al-Maliky meraih gelar doktor ilmu di Universitas Al-Azhar, Kairo, dengan predikat excellent, dibawah bimbingan ulama besar mesir Prof.Dr. Muhammad Abu Zahrah. Usia 26 tahun beliau dikukuhkan sebagai guru besar ilmu hadits pada Universitas Ummul Qura, Makkah, Arab Saudi.
Ini adalah sebuah prestasi luar biasa yang memang layak dicapai oleh seorang putra ulama besar dan termasyhur di Makkah dan Madinah. Sebagai ulama ahli tafsir dan hadits, beliau giat dalam kegiatan dakwah yang digelar Rabithah Alam Al-Islamy ( Liga Dunia Islam ) dan Mu'tamar Alam Islamy ( Organisasi Konferensi Islam ).
Pada tahun 1974, setahun setelah ayahnya wafat, Sayyid Muhammad Al-Maliky membuka pesantren yang di Utaibiyyah, Mekah. Uniknya, pesantren yang dibangun bersama Abbas, adik kandungnya itu, hanya menerima santri dari Indonesia. Belakangan pesantren itu pindah ke kawasan yang lebih luas tapi agak jauh dari Masjidil Haram. Di pinggiran selatan kota Makkah di daerah Rushayfah, yang kemudian diberi nama jalan Al-Maliky. Disana beliau banyak membina murid dari Indonesia. Sebagian dari ratusan alumnus yang pulang ke Indonesia, ada yang membuka pesantren dengan nama Al-Ma'had Al-Maliky ( Pesantren Al-Maliky ).
Dalam kehidupannya, Sayyid Muhammad Al-Maliky pernah mengalami berbagai cobaan hidup. Pada tahun 1980-an terjadi perselisihan besar antara beliau dan beberapa ulama wahabi yang didukung oleh Kerajaan Saudi. Sayyid Muhammad Al-Maliky dituduh menyebarkan bid'ah dan khurafat. Beliau kemudian dikucilkan, hingga pernah mengungsi ke Madinah selama bulan Ramadhan.
Persoalan itu kemudian meruncing, tetapi berhasil dicari jalan tengah dengan melakukan klarifikasi ( Dialog ). Waktu itu, Sayyid Muhammad Al-Maliky berargumen dengan kuat saat berhadapan dengan ulama yang juga mantan Hakim Agung Arab Saudi, Syekh Sulaiman Al-Mani'. Dialog itu direkomendasikan oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz, yang dikenal sebagai Mufti Kerajaan Arab Saudi waktu itu. Syekh Abdul Aziz bin Baz sangat berseberangan dengan Al-Maliky.
Dalam dialog / perdebatan Sayyid Muhammad Al-Maliky dengan Ulama ahabi yang ditayangkan TV setempat dimenangkan oleh Sayyid Muhammad Al-Maliky dan kian mendapat simpati. Konon diam-diam keluarga kerajaan Arab Saudi pun sebenarnya berpihak kepada Sayyid Muhammad Al-Maliky, namun takut diketahui mayoritas pemeluk Wahabi.
Syekh Sulaiman Al-Mani' kemudian menerbitkan dialognya itu dalam bentuk buku yang diberi judul Hiwar Ma'al Maliki Liraddi Munkaratihi wa Dhalalatih ( Dengan dengan Maliki untuk menolak kemunkaran dan kesesatannya ).
Syekh Shalih bin Abdul Aziz Al-Syaikh kemudian juga menerbitkan buku yang berjudul Hadzihi Mafahimuna ( Inilah Pemahaman kami ), yang menghantam pemikiran Sayyid Muhammad Al-Maliky.
Sayyid Muhammad al-Maliky tak tinggal diam. Beliau juga menerbitkan buku yang tak kalah hebat dan populernya, dengan judul Mafahim allati Yajibu an Tushahhah ( Paham-paham yang harus diluruskan ). Buku ini kemudian menjadi buku andalannya dalam mempertahankan Pluralitas aliran di Tanah suci Makkah. Sayyid Muhammad Al-Maliky didukung sejumlah Ulama non Wahabi yang mulai terpinggirkan.
Dalam berbagai dalih, Sayyid Muhammad Al-Maliky justru mengusung pemikiran asli Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri aliran Wahabi, yang ternyata banyak disalah artikan oleh ulama-ulama pengikutnya. "Banyak kebohongan yang ditebarkan atas nama saya." Tulis Abdul Wahab.
Sayyid Muhammad Al-Maliky juga seorang pakar yang banyak menyumbangkan karya-karya ilmiah dan aktif mengikuti pertemuan-pertemuan fiqih yang diadakan oleh Rabithah Alam Al- Islamy. Beliau tercatat pernah aktif di Kepanitiaan Musabaqah Tahfidz dan Tilawatil Qur'an di Makkah pada masa-masa awal. Beliau banyak memberikan ceramah, diskusi, seminar, terkait dengan ilmu-ilmu yang dikuasainya, terutama Fiqih dan Hadits. Pada tahun 2003, beliau menyampaikan makalah tentang negara islam di Malaysia yang mendapat liputan luas, karena pendapatnya yang sedikit kontroversial.

Pemikiran Sayyid Muhammad Al-Maliky.

Banyak orang menyebut Sayyid Muhammad Al-Maliky sebagai Al-'Allamah ( seseorang yang sangat mengetahui ilmu agama ) atau Ulama besar. Bahkan, Syekh Muhammad Sulaiman Faraj, seoang ulama Makkah, menyebutnya sebagai Al-'Arifbillah ( seseorang yang telah memiliki derajat tinggi di sisi Allah swt ) . Beliau dianggap sebagai pakar hadits yang disebut sebagai Al-Muwaththa' berjalan.
Sayyid Mhammad Al-Maliky juga dikenal sebagai penukis produktif. Tak kurang dari 37 kitab berbagai topik telah ditulisnya. Bahkan ada yang mengatakan, beliau telah menulis lebih dari 50 karya. Karya-karya itu diterbitkan sendiri, lalu dibagikan kepada para santri atau tamu-tamunya.
Beberapa karyanya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, antara lain bahasa Indonesia, Melayu ( Malaysia ), Inggris dan bahasa Swahili ( Nigeria ). Karyanya yang termasyhur, antara lain :
• Mafahim allati Yajibu an-Tushahhah ( Paham-paham yang wajib diluruskan )
• Al-Insan al-Kamil ( Manusia sempurna )
• Abwabul Faraj ( Pintu-pintu kebahagiaan )
• Syaraful Ummah Muhammadiyah ( Keutamaan umat Muhammad )
• fiRihabi Baitillah ( Dala dekapan rumah Allah swt )
• Zubdatul itqan fi Ulumil Qur'an ( Samudera ilmu-ilmu Al-Qur'an ) yang merupakan ringkasan Al-Itqan, karya Imam Suyuthi.
• Dll.

Kitabnya yang berjudul Mafahim allati Yajibu an-Tushahhah membuka wawasan baru tentang hal-hal yang Selama ini masih menjadi polemik di kalangan sebagian umat Islam. Perbedaan pemahaman masalah bid'ah, Syafaat, tasawuf dan tawasul, misalnya tidak jarang menimbulkan pertentangan, permusuhan, bahkan saling mengkafirkan. Buku ini juga menjelaskan pikiran Wahabi yang orisinil. Kitab ini mendapat sambutan 40 ulama besar dunia.
Banyak pujian muncul, perihal kitab ini. Salah satunya dari Syekh Hasanain Muhammad Makhluf, ulama besar Mesir. Ia mengatakan, setelah meneliti kitab tersebut dengan seksama, tampak sekali, pembahasan buku ini dapat dijadikan hujah ( alasan ) dan burhan ( bukti ) ajaran islam yang benar. Dalam buku ini, Sayyid Muhammad Al-Maliky juga telah meletakkan meletakkan berbagai permasalahan secara proporsional, menjauhi sikap berlebihan dan bersikap adil. "Ia juga telah mencoba memperbaikiberbagai pemahaman keliru sambil memberikan nasihat kepada saudara-saudarnya, kaum Muslimin."
Menurut Al-'Allamah Syekh Muhammad Khazraj, untuk mewujudkan itu semua, Sayyid Muhammad Al-Maliky menggunakan berbagai dalil yang qath'i ( pasti ) serta argumentasi yang benar dan rasional. Hal senada juga dikemukakan Syekh Muhammad Al-Thayyib Al-Najjar. Ia mengatakan, kitab Mafahim ini betul-betul merupakan yang cukup berarti mengenai berbagai faham yang diyakini sebagian orang yang menganggap bahwa mengingkarinya sebagai suatu kebatilan.
Dalam Zubdatul Itqan, Sayyid Muhammad Al-Maliky mencoba menyederhanakan tulisan Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Secara tematis kitab ini dibagi menjadi tujuh. Pertama, membahas ayat pertama dan terakhir diturunkan. Kedua, sebab-sebab turunnya ayat ( Asababun Nuzul ). Ketiga, penghafal Al-Qur'an, ragam Qiraat dan cara periwayatannya. Keempat, adab membaca Al-Qur'an dan kaidah-kaidah membaca Al-Qur'an. Kelima, kata serapan dalam Al-Qur'an dan seputar pengutipan ayat-ayat Al-Qur'an. Keenam, mengenai tata bahasa, sisi makna dan bandingan kata dalam Al-Qur'an. Ketujuh, tingkatan mufasir dan beberapa kaidah yang harus diketahui oleh mufasir.

Pendapat orang tentang Sayyid Muhammad Al-Maliky

• Syekh Hasanain Muhammad Makhluf mengatakan :
Sayyid Muhammad Al-Maliky sangat pantas untuk diakui sebagai pakar Islam, Ulama Al-Haramain asy-Syarifain, Ulama besar yang mendapatkan pancaran sinar Ilahi dan Percikan Sunah Nabi saw.
• Syekh Muhammad Khazraj ( Sejarawan dan Ahli Fiqih, mantan Menteri Keadilan, Kehakiman, agama dan Wakaf Uni Emirat Arab ) :
Sayyid Muhammad Al-Maliky adalah seorang Alim yang vtersinari pohon kenabian dan berkah keturunan Bani Hasyim.
• Syekh Muhammad Ath-Thayyib Najjar ( Mantan Rektor Al-Azhar, Kairo ) : Kehidupan Sayyid Muhammad Al-Maliky bagaikan kehidupan sebatang pohon yang rindang, yang tumbuh di Padang subur dan mengembang dalam lingkungan alam yang baik, serta senantiasa diurus dan dipelihara, sehingga tumbuh semakin rindang. Dedaunannya demikian subur dan buah-buahannya tampak ranum dan segar sehingga dapat dinikmati semua orang.
• Prof.Dr.Rauf Syalabi ( mantan wakil Syekh Al-Azhar ) :
Sayyid Muhammad Al-Maliky sebagai Ulama yang sangat berakhlaq. Saya telah mengenalnya sejak ia menjadi mahasiswa pascasarjana Universitas Al-Azhar. Sayyid Muhammad Al-Maliky adalah seorang Mahaguru yang agung dan kharismatik. Beliau termasuk ulama yang jumlahnya tidak banyak. Beliau termasuk ulama yang konsisten dalam memperjuangkan islam berdasarkan ilmu dan pemikiran seta mengikuti hidayah. Orang seperti beliau tidak membutuhkan al-ta'rif ( pengenalan ) atau semacam rekomendasi dan pengakuan resmi.
• Dr. Ahmad Umar Hasyim ( mewakili Ulama Universitas Al-Azhar ) :
Sayyid Muhammad Al-Maliky sebagai Ulama yang bisa dibanggakan Arab Saudi.
• Syekh Muhammad Al-Audh ( Mantan Mufti dan ketua Dewan Fatwa Syariat Islam Sudan ) :
Sayyid Muhammad Al-Maliky sebagai Pelayan ilmu Masjidil Haram.

Tradisi Sadah di Mekah.

Ayahanda Sayyid Muhammad , yaitu Sayyid Alawy bin Abbas Al-Maliky lahir di Mekah tahun 1328 H adalah ulama terkenal. Di samping aktif berdakwah di Masjidil Haram dan kota-kota lain yang berdekatan seperti Thaif, Jeddah dan sebagainya, Sayyid Alawy adalah Ulama pertama yang memberi ceramah di radio Saudi setelah Shalat Jum'at dengan judul Haditsul Jum'ah. Kakek Sayyid Muhammad, yaitu Sayyid Abbas adalah seorang Qadhi ( hakim ) yang selalu diundang masyarakat Mekah jika ada perayaan pernikahan.
Selama menjalankan tugas dakwah, Sayyid Alawy selalu membawa kedua putranya, Sayyid Muhammad dan Sayyid Abbas. Adapun yang meneruskanaktivitas dakwahnya kemudian adalah Sayyid Muhammad; sementara Sayyid Abbas selalu berurusan dengan kemaslahatan kehidupan ayahnya.
Sebagaimana adat Sadah ( jamak Sayyid, keturunan Rasulullah ) dan Asyraf ( jamak syarif, orang-orang keturunan orang mulia ahli Mekah, Sayyid Muhammad Al-Maliky selalu tampil beda dengan ulama Saudi lainnya. Beliau mengenakan jubah, serban ( Imamah ) dan burdah atau Rida ( selendang ) yang biasa dikenakan asyraf Mekah.
Sebagai penerus ayahnya, Sayyid Muhammad Al-Maliky mengajar di Masjidil Haram secara halakah dan beliau diangkat sebagai dosen di Universitas King Abdul Aziz, Jeddah dan Universitas Ummul Qura, Mekah, untuk ilmu Hadits dan Ushuluddin. Namun setelah cukup lama menjalan tugas sebagai dosen di dua Universitas tersebut, beliau mengundurkan diri dan memilih mengajar di Masjidil Haram sambil membuka majlis Taklim dan pondok di rumah beliau.pelajaran yang dberikan di Masjidil Haram atau rumah tidak terfokus pada ilmu tertentu seperti Universitas, melainkan juga semua pelajaran yang bisa diterima masyarakat, baik awam maupun terpelajar. Karena beliau punya keinginan untuk membuat rumah yang lebih besar dan bisa menampung lebih dari 500 murid. Dari rumah beliau telah lahir ulama-ulama yang tersebar di India, Pakistan, Afrika, Eropa, Amerika, apalagi Asia, yang merupakan orbit dakwahnya. Ribuan murid beliau tidak hanya menjadi Kyai dan Ulama, tetapi tidak sedikit juga yang masuk ke dalam birokrasi.
Disamping mengadakan pengajian dan taklim yang rutin setiap hari, beliaupun mendirikan pondok yang jumlah santrinya tidak sedikit. Mereka berdatangan dari seluruh penjuru dunia, belajar, makan dan minum tanpa dipungut biaya sepeserpun, bahkan beliau memberikan beasiswa kepada para santri sebagai uang saku. Setelah beberapa tahun belajar, para santri dipulangkan ke negara masing-masing untuk mensyiarkan agama.
Sayyid Muhammad Al-Maliky dikenal sebagai guru yang tidak beraliran keras. Beliau selalu menerima dialog dengan hikmah dan mauidzah hasanah ( petuah yang bagus ). Beliau ingin mengangkat derajat dan martabat kaum muslimin menjadi manusia yang berprilaku baik dalam muamalatnya kepada Allah swt dan kepada manusia, terhormat dalam perbuatan, tindakan, serta pikiran dan perasaan. Sayyid Muhammad Al-Maliky dikenal sebagai orang yang cerdas dan terpelajar, berani dan jujur, serta adil dan bercinta kasih terhadap sesama.
Beliau juga selalu menghargai pendapat orang lain dan menghormati orang yang tidak sealiran dengannya. Beliau selalu bersabar terhadap mereka. Semua yang berlawanan diterima dengan senyum. Sayyid Muhammad Al-Maliky berusaha menjawab dengan hikmah dan menyelesaikan masalah dengan kenyataan dan dalil-dalil yang jitu, bukan dengan emosi dan pertikaian yang tidak bermutu.
Beliau tahu persis, kelemahan islam terdapat pada pertikaian para ulamanya. Dan ini memang yang diinginkan musuh islam. Sampai-ampai Sayyid Muhammad Al-Maliky menerima dengan rela digeser dari kedudukannya di Masjidil Haram. Beliau selalu menghormati orang-orang yang berpandangan khilaf yang bersumber dari Al-Qur'an dan sunnah.
Ulama yang mendapat gembelengan dari Sayyid Muhammad Al-Maliky selalu menonjol. Disamping menguasai bahasa Arab, mereka menguasai ilmu agama yang cukup untuk dijadikan referensi di negara-negara mereka.
Ketika terjadi teror di Arab Saudi, Sayyid mUhammad Al-Maliky diminta berbicara pada Hiwar Fikri ( Dialog Pemikiran ) yang diselenggarakan Ketua Umum Kepengurusan Masjidil Haram, Syekh Shaleh bin Abdurrahman Al-Hashin pada 5-9 Zulkaidah 1424 H. Dengan topik diskusi tentang ekstremisme, beliau mengeluarkan pendapat tentang thatarruf ( Fundamentalis dan extremis ). Dan dari ana kemudian menulis buku yang angat populer di kalanan masyarakat Arab Saudi, berjudul Al-Ghuluw Dairah bin Irhab wa Ifsad Al-Mujtama ( Kesesatan dalam teror dan Penghancuran Pranata Sosial ). Sejak itu, pandangan da pemikiran Sayyid Muhammad Al-Maliky tentang dakwah selalu mendapat sambutan dan penghargaan masyarakat.
Selain sebagai Dai', pengajar, pembimbing, dosen, penceramah dan penggerak segala bentuk kegiatan bermanfaat bagi agama, Sayyid Muhammad Al-Maliky juga dikenal sebagai seorang pujangga besar dan penulis unggul. Tidak kurang dari 100 buku telah ditulis dan beredar ke seluruh dunia. Tak sedikit kitabnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Urdu, Indonesia dan sebagainya.

Wafatnya Sayyid Muhamad bin Alawy Al-Maliky

Kisah Habib Hamid bin Zaid bin Muhsin bin Salim Al-Aththas saat terakhir kali bersama Sayyid Muhammad Al-Maliky.

Hamid Hamid pernah menempuh pendidikan di Pesantren Darul Mustafa dan telah menikah dengan adik perempuan istri Sayyid Muhammad Al-Maliky. Seminggu sebelum Ramadhan 1425 H, Habib Hamid menerima telepon dari Sayyid Muhammad Al-Maliky di Mekah dan memintanya untuk datang ke Mekah untuk umrah dan menemuinya.
Habib Hamid memenuhi undangan tersebut dan berama istrinya segera mempersiapkan segala keperluan untuk keberangkatannya. :Tiket dan visa sudah diurus oleh biro perjalanan yang ditunjuk Abuya ( panggilan hormat untuk Sayyid Muhammad Al-Maliky ). Aya hanya mengurus paspor. Seluruh biaya juga ditanggung Abuya." Kata Habib Hamid.
Hari kedua Ramadhan, ceritanya, Sayyid Muhamad Al-Maliky kembali meneleponnya. Beliau meminta Habib Hamid untuk segera terbang ke Mekah. "Kamu harus cepat menyelesaikan urusanmu, segeralah terbang ke Mekah." Kata Sayyid Muhammad Al-Maliky terkesan agak cemas. Hari keempat Ramadhan, kembali beliau menelepon untuk memastikan Habib Hamid dan istrinya jadi berangkat. " Ketika itu Abuya bilang agar saya langsung saja terbang ke Madinah untuk berziarah ke Makam Rasulullah saw dan shalat di Masjid Nabawi. Sekali lagi, saat itu, beliau meminta agar secepatnya sampai di Mekah."
Tepat pada 5 Ramadhan 1425 H, Habib Hamid dan istri terbang menuju Madinah. Di bandar udara, dijemput oleh salah seorang murid Sayyid Muhammad Al-Maliky dan membawanya ke hotel yang telah disediakan. Dua hari di Madinah, kemudian terbang ke Mekah. " Saya sampai di Mekah pada tanggal 8 Ramadhan dan langsung istirahat di hotel yang disediakan Abuya. Sorenya baru dijemput oleh Habib Isa bin Abdul Qadir, salah satu murid beliau. Untuk menemui orang yang paling saya kagumi, Sayyid Muhammad Al-Maliky Al-Hasany. Sungguh tegang dan jantung berdetak lebih keras dari biasanya."
Sore itu, seusai sholat Asar, Abuya menerima Habib Habib di ruang kerjanya. " Beliau memelukku, mengucap selamat datang dan bertanya kabar teman dan muridnya di Indonesia, seperti Habib Abdurrahman Assegaf ( Bukit Duri ), Habib Abdullah Al-Kaf, K.H Abdullah Faqih ( Langitan ) dan ulama lainnya. Saya jawab semua baik-baik saja. Setelah itu saya kembali ke hotel. Beliau pesan, agar nanti berbuka puasa bersama dengannya."
Ketika saat berbuka puasa hampir tiba, utusan Sayyid Muhammad Al-Maliky menjemput Habib Hamid. "Hamid, apa yang kau bawa dari Indonesia." Tanya Abuya tiba-tiba, saat Habib Hamid masuk ke ruang kerjanya.
"Saya membawa dodol durian kesukaan Abuya!" jawab Habib Hamid.
Wajah Sayyid Muhammad Al-Maliky tampak gembira sekali. Beliau langsung membagikan oleh-oleh itu kepada teman-teman dan muridnya yang ada disitu. Beliau juga langsung mencicipinya, kebetulan saat buka puasa tiba.
"Ada titipan lagi buat saya?" tanya Abuya lagi.
"Ya, saya membawa buah mangga dan kelengkeng"
Dahi Abuya berkerut. "Kelengkeng? Buah apa itu ?" tanya beliau.
Habib Hamid menjelaskan buah kelengkeng dan meminta beliau mencobanya. "Abuya tampak suka sekali buah itu, dan memakannya sampai menjelang shalat isya" tutur Habib Hamid.
Malam itu, tepat malam tanggal 9 Ramadhan 1425 H, Habib berkesempatan shalat isya dan tarawih berjamaah bersama Sayyid Muhammad Al-Maliky. Saat itu ikut berjamaah beberapa ulama dari Turki, Mesir dan beberapa negara lain. Tiba-tiba Sayyid Muhamad Al-Maliky memanggil Habib Hamid.
"Hamid bin Zaid, kamu jadi imam Tarawih!" kata Sayyid Muhammad Al-Maliky.
Habib Hamid tidak merasa namanya yang dipanggil, sebab ia merasa tidak mungkin ditunjuk menjadi imam. Sementara disitu banyak ulama besar yang pasti lebih layak menjadi imam shalat tarawih. Sekali lagi Sayyid Muhammad Al-Maliky memanggil Habib Hamid.
"Hamid bin Zaid, kamu yang akan menjadi imam."
"Sulit dipercaya, saya yang masih muda ini ditunjuk menjadi imam. Sementara di belakang saya ada Abuya dan ulama-ulama besar yang disegani. Sungguh, saya gemetar. Membaca surah Al-Fatihah yang biasanya lancar di luar kepala pun, menjadi terasa sanagt sulit. Alhamdulillah.....saya mampu melewati ujian berat itu dengan baik, meskipun harus gemetaran."
Selesai shalat tarawih, Sayyid Muhammad Al-Maliky membaca shalawat dan qasidah. "Menurut murid-muridnya, setiap Ramadhan, seusai shalat, beliau selalu membaca Qasidah Sayyidah Khadijah Al-Kubra. Beliau juga sering berziarah ke makam istri pertama Nabi saw bersama keluarganya. Sebelum meninggalkan masjid, beliau memanggil dan menyuruh saya umrah malam itu juga."
"Sebelum saya berangkat umrah, Abuya sempat menanyakan keadaan Indonesia. Beliau ingin berkunjung ke Indonesia, bertemu dengan para ulama dan murid-muridnya. Tapi wakyunya belum tepat, beliau bilang, kesibukan menulis buku dan pertemuan dengan para ulama Mekah, sangat menyita waktunya."
Pada 10 Ramadhan, kembali Abuya memanggil Habib Hamid untuk shalat tarawih bersama dan untuk kedua kalinya menyuruhnya umrah. "Ajaklah istrimu untuk umrah dan kembalilah untuk shalat shubuh berjamaah, pesan Abuya sebelum saya berangkat umrah. Saya pun berpamitan sambil meminta izin untuk pergi ke Jeddah, sekadar silaturrahmi ke saudara-saudara istri saya. Abuya hanya memberi izin dengan isyarat tangan dan wajah menunduk. Saya merasa, beliau tidak ingin mengizinkan saya pergi, tapi juga tidak ingin mencegah. Saya akhirnya memutuskan untuk tidak pergi ke Jeddah."
Pagi hari tanggal 11 Ramadhan, Habib Hamid shalat Subuh bersama bersama Sayyid Muhamad Al-Maliky. Beliau terkejut saat saya berada di sampingnya.
"Kamu tidak jadi pergi ke Jeddah?" tanyanya.
"Tidak Abuya" sahut Habib Hamid.
"Bagus!" jawab Abuya sambil memeluknya.
Malamnya, seperti hari sebelumnya, Habib Hamid berjamaah shalat tarawih yang diakhiri dengan membaca qasidah Sayyidah Khadijah Al-Kubra. Malam itu juga, Habib Hamid mendapat perintah Sayyid Muhammad Al-Maliky untuk umrah yang ketiga kalinya.
"Pada 12 Ramadhan, selesai shalat Isya, Abuya menyuruhku untuk umrah yang keempat kalinya. Katanya, itu adalah umrah terakhir atas perintahnya. Perasaan saya memang tak enak saat beliau mengatakan itu. Ah, mungkin beliau punya rencana lain untuk saya besok."
Rabu 13 Ramadhan, untuk kedua kalinya, Habib Hamid ditunjuk menjadi Imam Tarawih oleh Sayyid Muhammad Al-Maliky. Saat itu jemaanya sekitar 200 orang, sebagian besar adalah tamu-tamu Abuya. "Malam itu, beliau merasa letih dan kakinya kesemutan." Cerita Habib Hamid. Di luar kebiasaan pula, kali ini, Abuya tidak membaca sholawat dan qasidah. Beliau meminta murid-muridnya, Bilal, Burhan, Aqil Al-Aththas dan satu murid asal Kenya, membacakan secara bergantian.
Sayyid Muhammad Al-Maliky kelihatan sangat lelah. Maklum terkadang selama hampir 24 jam terjaga. Tamunya tak pernah berhenti mengalir, dan di sela waktu luangnya, masih tekun
Menulis dan membaca buku. Perpustakaan di rumah tinggalnya sampai membutuhkan tiga lantai. Kamarnya juga penuh dengan buku. Selain itu, beliau juga suka berkebun, tanahnya luas. "Abuya juga punya kebun buah yang cukup luas." Kata Habib Hamid.
Akhirnya, Abuya Sayyid Muhammad Al-Maliky masuk rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan. Menurut dokter, kondisinya cukup baik, hanya perlu istirahat di rumah sakit. Pada kamis 14 Ramadhan, istri dan keluarga beliau menjenguk.
" Apa kabar Hamid bin Zaid ? kamu betah disini ?" tanya Abuya ambil memandangku. Seperti biasanya, wajahnya kelihatan gembira, tidak seperti orang yang sedang sakit.
" Kami tidak lama di rumah sakit, karena istri dan anak-anak Abuya akan berziarah ke Ma'la, ke makam Syyidah Khodijah Al-Kubra. Ziarah kali aneh. Biasanya istri Abuya tidak pernah turun dari mobil. Beliau membaca sholawat dan qasidah dari dalam mobil. Eh, hari itu beliau dan semua anggota keluarga bersama-sama Al-Fatihah di makam istri pertama Rasulullah saw." Ungkap Habib Hamid.
Malamnya, murid dan kerabat beliau berkumpul di rumah akit. Wajah beliau tidak berubah, tetap gembira, seperti tidak sedang sakit. " Sekitar jam 20.00. dokter datang, dan mengatakan Abuya sudah sembuh. Kami semua memekik, Allahu Akbar!"
Sesaat kemudian, Sayyid Muhammad Al-Maliky meminta izin kepada dokter untuk menengok keluarga dan murid-muridnya. Tepat jam 00.00, beliau keluar dari rumah sakit. Sebelum masuk ke mobil, Abuya menghadap ke langit selama dua menit. Bilal, salah satu muridnya bertanya, " Ada apa, Abuya ?" Beliau menjawab, " tidak ada apa-apa" . saat itu, seharusnya bulan sedang purnama sangat indah, namun malam itu justru tertutup awan. " Sebelumnya dalam beberapa hari terakhir, beliau selalu memintaagar murid-muridnya melihat bulan, dan bertanya apakah bulan sudah kelihatan ?"
Dari rumah sakit, beliau tidak langsung ke rumah, tapi ke pondok pesantren, untuk menemui murid-murinya. Saat itu jam 03.00. " Saya sendiri yang membukakan pintu gerbang. Setelah itu, datang Sayyid Abbas, adiknya, bersama keluarga yang lain. Kami bersama-sama membaca qasidah, lalu terlibat dalam obrolan yang sesekali diselingi dengan tertawa lebar" cerita Habib Hamid sambil mengenang peristiwa penting itu.
Pertemuan malam itu, katanya, diakhiri dengan sahur bersama. Sebelumnya, Abuya sempat bertemu kakaknya dan bikin perjanjian untuk berbuka puasa hanya dengan tiga buah kurma dan air zamzam. " Pas jam 04.00, beliau meminta semuanya istirahat dan bersiap shalat shubuh. Beliau sendiri masuk ke kamar kerjanya."
Di kamar itu, beliau ditemani Bilal dan Burhan. Tapi Bilal diminta keluar kamar. Saat itulah, Sayyid Muhammad Al-Maliky tiba-tiba bertanya kepada Burhan. " Hai, Burhan. Aku sebaiknya istirahat di kursi atau di Bumi ( maksudnya karpet ) ?"
" Terserah Abuya." Sahut Burhan bingung. Karena tidak tahu harus menjawab Abuya. Bagaimana mungkin seorang murid memutuskan sesuatu untuk gurunya ?
" Saya akan istirahat di bumi saja." Kata Sayyid Muhammad Al-Maliky.
Beliau kemudian duduk menghadap kiblat dan bersandar. Sesaat, sempat mengambil buku dari tangan Burhan. Tapi kemudian, diletakkan di meja, lalu Beliau menengadah menyebut,
"Lailaaha illallah...Innalillahi wainna ilaihi raji'un..........."
hanya itu yang terucap dari mulut Burhan. Hari tepat tanggal 15 Ramadhan 1425 H atau 29 Oktober 2004, saat pagi mulai membuka kehidupan, Sayyid Muhammad bin Alawy bin Abbas Al-Maliky Al-Hasany wafat.
Jenazah almarhum langsung dibawa ke rumah sakit. Dokter menyuruh semua keluarga dan murid-murid beliau untuk pulang ke Pondok Pesantren. Tepat seusai shalat subuh, ambulan rumah sakit yang membawa jenazah Abuya, tiba di kediaman beliau. " saya pingsan. Ya, sepertinya, pertemuan saya dengan beliau hanya untuk mengantarkan jenazahnya ke Ma'la, tempat beliau di makamkan, dekat dengan makam Sayyidah Khadijah Al-Kubra, yang qasidahnya dibaca setiap kali selesai shalat tarawih."

Pemakaman Sayyid Muhammad Al-Maliky

Jum'at petang persis menjelang malam Nuzulul Qur'an, di Masjidil Haram, Mekah, jenazah Sayyid Muhammad Al-Maliky di sholatkan. Dengan iringan tahlil dan tasbih ( suatu amalan yang jarang dilakukan, karena dianggap bid'ah bagi kaum Wahabi ), sekitar 25 000 muslimin Mekah dan sekitarnya mengantarkan jenazah Ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama'ah ini ( menurut cerita, bagi orang-orang yang menggotong jenazah / berdekatan dengan jenazah, mereka mencium aroma harum yang wangi ). Sepanjang jalan yang dilewati konvoi dan iring-iringan, orang berjubel keluar rumah dan toko, memberikan penghormatan terakhir pada ulama yang pernah beberapa tahun mengisi pengajian di Masjidil Haram ini. Sebagian besar ada yang mematikan lampu, tanda memberi hormat. Ada seorang pria berkulit hitam berteriak histeris karena tekanan duka dan bela sungkawa itu.
Bahkan pangeran Sultan bin Abdul aziz, perdana menteri dua Kerajaan Arab Saudi yang juga merangkap menteri pertahanan dan penerbangan sipil, menyempatjan bertakziah, mewakili raja Fahd, pada hari ke empat di Rushayfah. Pangeran Sultan yang didampingi Gubernur Mekah, Pangeran Abdul Majid dan sejumlah pejabat tinggi negara.
" Alah swt telah memilihkan hari yang baik dan bulan yang baik buat Syekh Muhammad Al-Maliky. Sebab pada bulan ini, Allah swt memerintahkan hamba-Nya untuk melaksanakan ibadah sebanyak-banyaknya." Kata Pangeran Sultan seperti dikutip harian Al-Wathan.
Putra mahkota Pangeran Abdullah bin Abdul Aziz, Kamis 4 November 2004, berkenan menerima keluarga Sayyid Muhammad Al-Maliky di istana Ash-Shafa, Mekah. Pangeran Abdullah sempat mendoa'kan Sayyid Muhammad Al-Maliky dan menyebut beliau sebagai Ulama kebanggan Arab Saudi.

Sayyidina Syekh Abu Bakar bin Salim.

Nasab Sayyidina Syekh Abu Bakar bin Salim Ra

As-Syekh Al Kabir Al-Qutb As-Syahir Abu Bakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Sayyidina Syekh Al-Imam Al-Qutb Abdurrahman As-segaf bin Syekh Muhammad Maula Ad-Dawilayh bin Syekh Ali Shohibud Dark bin Sayyidina Al-Imam Alwi Al-Ghuyur bin Sayyidina Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam muhammad bin Sayyidina Ali bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam Alwi Shohib Saml bin Sayyidina Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- Imam Muhammad An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Sayyidina Al-Husein. Rodiyallahu ‘Anhum Ajma’in.

Syeikh Abu bakar bin Salim ra dilahirkan pada tanggal 13 Jumadil Akhir 919 H ( 1498 M ) di kota Tarim Al Ghanna, Yaman. Nama ibundanya adalah Syarifah Thalhah binti Aqil bin Ahmad bin Abu Bakar As-Sakron bin Abdurrahman Assegaf. Beliau tumbuh dewasa sebagai seorang tokoh sufi yang masyhur, sekaligus seorang yang ‘Alim dan mengamalkan ilmunya. Demi kepentingan pendidikan dan pengembangan dakwah, beliau hijrah ke kota ‘Inat yang letaknya tidak berjauhan dengan Tarim. Beliau mendirikan masjid dan membeli tanah yang luas untuk perkuburan. Beliau hidupkan kota ‘INAT dengan ilmu, yakni dengan mengajar, mendidik dan membimbing. Manusia datang dari berbagai pelosok daerah guna menuntut ilmu dari beliau, sehingga ‘Inat menjadi kota yang padat penduduknya. Murid-murid beliau datang dari berbagai kota di Yaman, dan juga dari mancanegara, misalnya :Syam, India dan berbagai Negara lainnya.
Beliau adalah seorang dermawan yang suka menjamu tamu. Beliau mengeluarkan sedekah sebagaimana orang tidak takut jatuh miskin. Jika tamu yang berkunjung banyak, beliau memotong satu atau dua ekor unta untuk jamuannya. Karena sambutan yang hangat ini, maka semakin banyak orang datang mengunjungi beliau. Dalam menjamu dan memenuhi kebutuhan tamunya, beliau tidak segan-segan untuk turun tangan sendiri. Setiap hari beliau membagikan seribu potong roti kepada fakir miskin. Beliau dikenal sebagai seorang yang sangat tawadhu, tidak ada seorangpun yang pernah melihat beliau duduk bersandar ataupun bersila. Syeikh Abdurrahman bin Ahmad Bawazir, seorang yang faqih, mengatakan :
“Sejak 15 tahun sebelum wafatnya, didalam berbagai majlisnya, baik bersama kaum khusus ataupun awam, Syeikh Abu bakar bin Salim tidak pernah terlihat duduk, kecuali dalam posisi duduknya orang yang sedang tasyahud akhir.”

Karena budi pekerti yang luhur ini, masyarakat sangat mencintai beliau. Nama beliau menjadi tersohor ke seluruh penjuru dunia. Selain para muridnya, banyak sekali orang-orang yang datang untuk menimba ilmu dari beliau. Mereka datang terhormat dan pulang pun dengan terhormat.
Sejak kecil beliau telah hafal qur’an. Beliau menuntut ilmu dari :

• Sayid ‘Umar Ba Syaiban
• Al faqih ‘Abdullah bin Muhammad Ba Makhramah
• Syeikh Ma’ruf bin Abdullah Ba Jamal As Syibami Ad Du’ani.

Beliau mempelajari Risalatul Qusyairiyah yang sangat terkenal dalam dunia tasawuf dibawah bimbingan Syeikh ‘Umar bin Abdullah Ba Makhramah. Beliau gemar menekuni ilmu pengetahuan, sampai-sampai beliau menghatamkan Ihya Ulumudinnya Hujjatul Islam Al Ghazali sebanyak 40 kali dan menghatamkan kitab Syafi’iyah, Al Minhaj karya Imam Nawawi sebanyak 3 kali. Diantara kebiasaan wejangan kepada masyarakat setelah shalat jum’at.
Beliau banyak melakukan ibadah dan riyadhah. Pernah selama waktu yang lama, beliau berpuasa dan hanya berbuka dengan kurma yang masih hijau. Selama 90 hari beliau berpuasa dan shalat malam di lembah Yabhur. Dan selama 40 tahun beliau shalat subuh di masjid Ba ‘Isa, di kota Lisk, dengan wudlu Isya. Setiap malam beliau berziarah ke tanah pekuburan Tarim dan berkeliling untuk melakukan shalat diberbagai mesjid di Tarim, dan beliau mengakhiri perjalanannya dengan shalat subuh berjamaah di masjid Ba ‘Isa. Sampai akhir hayatnya beliau tidak pernah meninggalkan shalat witir dan dhuha. Semasa hidupnya beliau berziarah ke makam nabiyullah Hud sebanyak 40 kali. Setiap malam, selama 40 tahun, beliau berjalan dari Lisk menuju Tarim, melakukan shalat pada setiap masjid di Tarim, mengusung air untuk mengisi tempat wudhu, tempat minum bagi para peziarah, dan kolam tempat minum hewan.

Pada malam minggu, 27 bulan Dzulhijah 992 H ( 1571 M ), beliau wafat di kota ‘Inat.

Putra Putri Syekh Abu Bakar bin Salim ra.

Anak-anak Syekh Abu Bakar bin Salim Ra berjumlah 17 orang; 4 perempuan dan 13 laki-laki. Sayyid Al-Imam Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Masyhur meriwayatkan perkataan dari Al-Imam Al-habib Idrus bin Umar Al-Habsy Ra:

“Sesungguhnya anak ( laki-laki ) Syekh Abu Bakar bin Salim Ra berjumlah 13 orang; yang semuanya adalah Wali Allah yang bermaqom Qutb”

Anak perempuan Syekh Abu Bakar bin Salim :

1. Syarifah Fatimah.
2. Syarifah Aisyah
3. Syarifah Ulwiyah
4. Syarifah Tolhah

Anak laki-laki Syekh Abu Bakar bin Salim Ra :

1. Sayyid Abdurrahman
2. Sayyid Ja’far
3. Sayyid Abdullah Al-Akbar
4. Sayyid Salim
5. Sayyid Al-Husein. ( Kholifah Ayahandanya )
6. Sayyid Al-Hamid
7. sayyid Umar Al-Mahdhor
8. Sayyid Hasan
9. Sayyid Ahmad
10. Sayyid Sholeh.
11. Sayyid Ali
12. Sayyid Syekhan.
13. Sayyid Abdukllah Al-Asghar.

Murid-murid Utama Syekh Abu Bakar bin Salim Ra.

1. Sayyid Ahmad bin Muhammad Al-Habsy; Shohib Syi’ib Al-Husaisah.
2. Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Al-Jufri; Shohib Taris, wafat 1037 H.
3. Sayyid Muhammad bin Alwi; Shohib Al-Muqoy rowiyat.
4. Sayyid Abdurrahman bin Ahmad Al-Biyd, Shohib As-Syi’ir.
5. Sayyid Yusuf Al-Qodhiy bin Al-Hasany Al-Farisy; Shohib Maryamah; lahir di Maroko, di kota Al-Fasi tahun965 H, wafat di daerah Maryamah 1008 H.
6. Sayyid Al-Hasyb Umar bin ‘Isa Barakwah As-Samarqandy, Shohib Talqin, wafat di Ghurfah.
7. Syekh Hasan Basya’ib, Shohib Al-Wasitoh.
8. Syekh Ahmad bin Sahl, Shohib Hiytar.
9. Al-faqih Muhammad bin Abdurrahman bin Sirojuddin Jamal, Shohib Al-Ghurfah.

Karomah Syekh Abu Bakar bin Salim

1. Binatang ternak yang hilang

Seorang Lelaki Badui yang kehilangan binatang ternaknya dan ia telah mencari kesana kemari, namun tidak ia ketemukan juga. Kemudian ia teringat akan perkataan salah seorang pembantu dari Syekh Abu bakar bin Salim Ra, bahwa Syekh Abu Bakar bin Salim dapat mengetahui dimanakah binatang ternaknya, ia pun menemui syekh dan memberitahukan perkataan pembantu beliau itu sebagai alasan yang menyebabkan dirinya datang dan bertanya kepada Syekh Abu Bakar bin salim Ra. Lalu Syekh memanggil pembantunya dan beliau menanyakan apakah benar perkataan si Badui tadi dan apa sebabnya ?. pembantu beliau menjawab :
“Sesungguhnya aku pernah mendengar anda berkata bahwa dunia ini dalam pandangan mata anda bagaikan sebuah piring belaka.”
Syekh Abu Bakar bin Salim kemudian menegur pembantunya tersebut dan melarang jangan berbicara seperti itu lagi, karena beliau tidak ingin dianggap sombong. Namun beliau tetap menolong si Badui tersebut dengan memberitahukan dimana binatang ternaknya. Lalu si Badui tersebut pergi ke tempat yang ditunjuk oleh Syekh dan menemukan binatang tersebut persis seperti yang diberitahukan beliau.

2. Ramalan Syekh Abu Bakar bin Salim Ra.

Syekh Abu Bakar bin Salim pernah memberikan khabar kepada Umar bin Abdullah Ja’far Al-Katsiry, sewaktu Umar bin Abdullah berada di dalam penjara. Syekh Abu Bakar bin Salim Ra mengabarkan bahwa Umar bin Abdullah akan segera keluar dari penjara dan akan menjadi penguasa di Hadrhamaut. Tak lama kemudian Umar bin Abdullah keluar dari penjara dan menjadi penguasa Hadrhamaut.

3. Isyarat Syekh Abu Bakar bin Salim Ra.

Diriwayatkan dari Syekh Sholeh As-Salik Ahmad bin Ali Bajabir Rahimahullah, beliau berkata :
“ Tatkala sudah termasyhurnya Syekh Abu Bakar bin Salim Ra, aku merindukan untuk berziarah kepada beliau, dan aku menginginkan mendapatkan isyarah lebih dahulu sebelum aku berziarah. Dan dikala tengah malam tiba, ada cahaya yang memancar dari atas atap rumahku, lalu cahaya tersebut memenuhi seluruh rumahku, kemudian tiba-tiba hadirlah Syekh Abu Bakar bin salim Ra turun dan kemudian duduk disampingku, berbicara kepada diriku dan beliau memberikan isyarat kepadaku, maka setelah itu akupun berziarah kepada beliau.”

4. Kesembuhan dengan keberkahan Syekh Abu Bakar bin Salim Ra.

Ada seorang Sholihin yang bercerita : “ Sekali waktu aku sakit keras, dan pada saat menjelang malam aku merasakan kepayahan, lalu aku bertawassul kepada Syekh Abu Bakar bin Salim Ra. Tak lama kemudian aku tertidur dan bermimpi jumpa beliau, ku lihat diri beliau di atas kendaraan, kedua kakinya sampai tujuh lapis bumi dan kepalanya menembus sampai ke langit dan beliau mengucapkan dua bait syair

“Kaum yang sudah sampai di Hadhirah Tuhan mereka dan telah nyata
Bagi mereka keindahan akan hal tersebut dengan senyata-
nyatanya
“Dan tatkala mereka dipanggil olehnya kepada jalan kesuk-
sesan,
Mereka pun menyahuti dengan penuh keta’atan : “Kami me-
nyahuti
Panggilanmu wahai yang memanggil kami dengan segala
keindahan
( amal dan ganjaran )”

Di dalam mimpiku, beliau mengisyaratkan bahwa aku berhasil mendapatkan kesembuhan dan kesehatan dari sakitku, dan ketika aku bangun di pagi harinya, ternyata aku telah sehat dan penyakitku telah hilang dengan keberkahan Syekh Abu Bakar bin Salim.
Diriwayatkan dari Syekh Al Wali Abiyd bin Abdul Malik bin Nafi As- Syibamy:

“Sekali waktu aku ditimpa suatu penyakit sedangkan aku berada di negeriku, di Syibam, maka aku lalu bertawassul kepada Syekh Abu Bakar bin Salim Ra, lalu beliau tiba-tiba hadir dan masuk ke rumahku lalu memdo’akan diriku, kemudian aku pun sehat dengan keberkahan beliau.”

5. Mangkuk kopi yang dikirim Syekh Abu Bakar bin Salim Ra.

Diriwayatkan bahwa ada rombongan yang berziarah kepada beliau yang berasal dari Syam, dan salah satu dari mereka bercerita :
“Tatkala aku sedang duduk bersama Syekh Abu Bakar bin Salim Ra, terlintas dalam benakku, aku ingin minta do’a beliau, agar istriku yang berada di Syam tidak marah kepadaku dan ridho atas diriku, karena aku telah lama meninggalkan dirinya karena lamanya perjalananku.
maka tiba-tiba Syekh Abu Bakar bin Salim berbicara dan memberitahukan kepadaku, padahal aku belum sempat berkata sepatah katapun, beliau berkata ;
“keluargamu akan ridho atas dirimu ketika engkau pulang. Sekiranya aku mau, sungguh aku akan hadirkan keluargamu pada saat ini juga di majlis ini, tetapi cukup (sudah) kuberikan kopi didalam mangkuk ini kepada mereka.”
Pada saat itu ku lihat di tangan beliau ada mangkuk yang berisi kopi, kemudian ketika aku pulang ke negeriku dan bertemu keluargaku, akupun terheran-heran karena ternyata mereka semuanya merasa senang dengan kepulanganku dan mereka tidak marah sama sekali kepadaku; persis seperti yang dikatakan oleh Syech Abu Bakar bin Salim. Lalu karena penasaran dan masih merasa takjub, akupun bertanya kepada mereka adakah orang yang telah datang kepada mereka? Dengan memakai pakaian seperti yang dipakai Syekh Abu Bakar bin Salim Ra saat itu, serta berciri-ciri seperti beliau, juga dengan membawa mangkuk yang berisi kopi, pada hari yang dikatakan oleh Syekh Abu Bakar bin Salim Ra? Mereka pun berkata :
“Benar ada seorang Syekh yang telah datang kepada kami dengan membawa semangkuk kopi dan kamipun meminumnya”.

6. Kasyafnya Syekh Abu Bakar bin Salim Ra.

Diriwayatkan bahwa ada serombongan jama’ah yang datang kepada beliau untuk berrziarah kepada beliau. Tatkala ditengah jalan mereka berbincang satu sama lain :
“sungguh kita ingin mengetahui kasyafnya Syekh Abu Bakar bin Salim Ra, kita minta saja didalam hati masing-masing, sekarang, agar dijamu beliau dengan makanan laut dan kurma”
Padahal saat itu bukanlah musimnya, kemudian setelah melalui perjalanan panjang, merekapun bertemu dengan Syekh Abu Bakar bin Salim, dan dikala waktu sarapah tiba. Syekh Abu Bakar bin Salim berkata kepada pembantunya :
“pergilah engkau dengan rombongan ke rumah si Fulan, sesungguhnya di rumahnya ada makanan untuk sarapan mereka”
Kemudian si pembantu tersebut pergi mengantarkan rombongan tadi menuju kerumah yang dimaksud, setibanya mereka disana, kagetlah mereka karena semua
Makanan yang mereka minta dalam hati sewaktu dalam perjalanan tadi sudah terhidang lengkap. Setelah mereka selesai makan dan telah pulang, sang empunya rumah datang dan ia tidak mendapati apapun dirumahnya ataupun juga bekas makanan tersebut.

7. Penderita Lepra yang sembuh dengan keberkahan Syekh Abu Bakar bin Salim.

Diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki di Maroko yang ditimpa lepra disekujur tubuhnya, dan ia mempunyai saudara laki-laki yang sudah berikhtiar kesana-kemari, namun tiada hasil dan mereka berdua adalah orang-orang kaya. Saudaranya sudah memanggil seluruh tabib yang terkenal di masa itu dan sudah meminta do’a kepada para wali yang termasyhur di masa itu. Tetapi penyakit saudaranya tidak kunjung sembuh. Sampai akhirnya ada seorang ahli batin yang berkata kepada mereka :
“Cobalah kalian meminta keberkahan dari Syekh Abu Bakar bin Salim Ra di kota I’nat, Yaman agar saudaramu mendapat kesembuhan.”
Kemudian saudaranya ini bermusafir pada saat itu juga ke kota I’nat. ketika telah sampai, iapun berziarah dan berjumpa dengan Syekh Abu Bakar bin Salim Ra. Sebelum sempat ia berbicara; Syekh Abu Bakar bin Salim telah berkata lebih dulu, dengan jalan kasyaf, beliau berkata :
“Aku telah terima ziarahmu dan keinginan dirimu untuk menyembuhkan saudaramu yang sedang sakit di Maroko. Nanti pada waktu hari Jum’at, pada waktu khotib berdiri di mimbar, masuklah engkau ke masjid kami, lalu pergilah ke telaga yang ada di masjid kami, basahilah sekujur badanmu dengan air telaga tersebut, apabila tubuhmu telah kering dari air, ulangi lagi sebanyak 3x berturut – turut”.
Lelaki tersebut melakukan apa yang diperintahkan oleh Syekh Abu Bakar bin Salim Ra. Kemudian pada waktu yang telah ditentukan yaitu hari jum’at, iapun masuk ke telaga, lalu berendam kedalamnya berturut-turut selama 3x. kemudian setelah itu, ia sholat Jum’at, pada waktu ia menunaikan sholat Jum’at ada seorang laki-laki disebelahnya berkata kepada dirinya bahwa ibundanya pada saat itu telah wafat di Maroko. Setelah ia menunaikan ziarah dan telah selesai seluruh maksud tujuannya, ia kemudian pamit kepada Syekh Abu Bakar bin Salim Ra dan segera pulang ke negerinya, Maroko. Ketika telah sampai dirumahnya, ia menemui saudaranya yang sakit, ternyata saudaranya tersebut pada saat itu telah sembuh, dan badannya telah bersih dari penyakit kusta. Lalu ia pun bertanya kepada saudaranya, bagaimana sampai dirinya bisa sembuh, kemudian saudaranya bercerita :
“Pada hari jum’at ( pada saat bersamaan saudaranya bertemu dengan Syekh Abu Bakar bin Salim Ra di I’nat dan menunaikan perintah beliau ) datang kepadaku seorang lelaki ( yang sifatnya seperti Syekh Abu Bakar bin Salim Ra ) membasahi diriku, sampai 3x berturut-turut, setelah itu akupun langsung sembuh, dan laki-laki tersebut hilang dari hadapanku”.
Dan memang benar ibunda mereka telah wafat pada saat itu, tetapi ternyata dengan madad keberkahan Syekh Abu Bakar bin Salim Ra, saudaranya yang sakit lepra tersebut mendapatkan kesembuhan.

8. Jari tangan Syekh Abu Bakar bin Salim ra bersinar.

Diriwayatkan bahwasanya istri beliau pada suatu malam meminta lampu kepada beliau, maka beliau mengeluarkan jari-jari beliau dan pada saat itu jari-jar beliau bersinar seperti lampu.

9. Syekh Abu Bakar bin Salim Ra Wali Shohibul waqt.

Diriwayatkan dari sebagian kaum Sadah Ba’alawi, ia bercerita :
“Satu ketika aku bermimpi seolah-olah aku bermaksud pergi haji ke Makkah Musyarofah. Tatkala aku memasuki Masjidil Haram, aku tidak mendapati Baitullah sebagaimana mestinya berada di tempatnya. Akupun lalu merasa bingung. Pada saat itu aku melihat ada seorang laki-laki dari pada Bani Alawi, akupun lalu bertanya kepadanya :
“Dimanakah Ka’bah ?.
Ia menjawab :
”Jalanlah bersamaku, aku akan menunjukkan kepada engkau Ka’bah”.
Maka aku pun berjalan disisinya. Sampai akhirnya kami masuk ke kota ‘Inat. Di sana aku melihat satu kubah yang sangat besar di sisi rumah Syekh Abu Bakar bin Salim Ra, dan aku mendengar suara beliau didalamnya. Laki-laki tersebut berkata kepadaku : “Inilah rumah yang diagungkan”, dan kulihat Baitullah ada di sisi rumah Syekh Abu Bakar bin Salim Ra”.
Kemudian akupun bangun dari tidurku pada saat itu juga. Lalu setelah aku memikirkan mimpiku tersebut dan mengenai hal Syekh Abu Bakar bin Salim Ra yang ku lihat dalam mimpiku, maka tahulah aku bahwasanya Syekh Abu Bakar bin Salim Ra adalah Wali Shohibul waqt.”

10. Rombongan Musafir yang diselamatkan Allah swt dengan keberkahan Syekh Abu Bakar bin Salim Ra.

Diriwayatkan oleh Faqih Muhammad bin Sirojuddin Jamal Rohimahullah, beliau bercerita :
“Sesungguhnya aku bermusafir ke negeri India pada bulan Asyura tahun 973 H dengan naik kapal, sampai akhirnya pada satu tempat yang dikenal dengan nama Khuril Gari. Pada saat kapal kami mengalami kerusakan, keadaan saat itu sangatlah gelap dan hujan turun dengan lebatnya. Para penumpangnya merasa kebingungan dan ketakutan sehingga mereka menangisi keadaan mereka. Aku sendiri berdo’a kepada Allah swt dan bertawassul dengan para waliyullah, lalu aku beristighotsah dan hatiku bertawajuh kepada Syekh Abu Bakar bin Salim Ra. Setelah aku bertawasul kepada Syekh Abu Bakar bin Salim Ra, aku mendengar suara beliau seolah-olah dekat denganku. Kemudian aku bangun dan memberitahukan kepada para penumpang yang lain bahwasanya telah ada isyarah dan bisyarah dalam keadaan yang sangat sulit saat itu. Dan ternyata kamipun selamat oleh bantuan Allah swt dengan kemuliaan Syekh Abu Bakar bin Salim ra.

11. Panjang umur dengan keberkahan Syekh Abu Bakar bin Salim Ra.

Dari Faqih Muhammad juga diriwayatkan, beliau bercerita :
“Sekali waktu diriku mengalami sakit yang sangat parah. Hal ini terjadi pada bulan Ramadhan tahun 988 H, pada saat itu keadaanku sangat payah, sehingga tak ubahnya sedang mendekati ajal dan dalam keadaan sakratul maut. Pada saat itu seolah-olah hadir sosok ghaib yang bisa kudengar dan dapat kulihat, kemudian tiba-tiba aku mendapati surat dari Syekh Abu Bakar bin salim Ra. Pada surat tersebut, ketika kubaca tertulis sebagai berikut :
“Sesungguhnya kami mengetahui akan keadaanmu, engkau sedang sakit sedemikian rupa. Tidak usahlah engkau cemaskan penyakitmu, insya Allah engkau akan sehat dan terlepas dari pada maut dan kembali kepada kami. Karena kehidupannmu dibutuhkan untuk kemaslahatan zhohir maupun batin bagi kaum muslimin. Dan janganlah sekali-kali engkau merasa cemas didalam hatimu terhadap penyakitmu ini. Sesungguhnya aku telah memberikan syafa’at bagimu dengan keselamatan dan panjang umur.”
Maka tatkala aku telah selesai melihat surat yang sampai kepadaku secara ghaib dari Syekh Abu Bakar bin Salim Ra, tanpa diduga aku sembuh pada saat itu juga dengan izin Allah swt dengan keberkahan daripada Syekh Abu Bakar bin Salim Ra.

12. Makanan yang dihabiskan pembantu Syekh abu Bakar bin Salim Ra.

Diriwayatkan, tatkala beliau hendak mengadakan perayaan dalam rangka khitan dari sebagian anak-anak beliau. Beliaupun mengadakan walimah yang besar dan mengundang penduduk Tarim dan sekitarnya. Pada perayaan tersebut, Syekh Abu Bakar bin Salim Ra mempersiapkan jamuan yang banyak bagi yang hadir, tetapi ternyata entah kenapa para undangan makan hidangan tersebut sedikit sekali. Hal ini menyinggung perasaan Syekh Abu Bakar bin Salim Ra, beliau lalu berkata kepada pembantunya, yaitu audh bin Syekh Ali Bamazru’ ( penduduk wasithoh ), beliau berkata :
“berdirilah engkau dan bersihkan hidangan ini, dan makan olehmu sendiri.”
Sedangkan jumlah hidangan pada waktu itu adalah sebanyak 60 hidangan. Pembantu beliau makan setiaphidangan tersebut satu persatu tanpa mendapatkan
Mudharat sedikitpun daripada tindakannya tersebut. Dan tatkala orang-orang yang telah diundang Syekh abu Bakar bin Salim Ra itu hendak pulang menuju Tarim, dipertengahan jalan mereka tiba-tiba ditimpa rasa lapar yang sangat luar biasa, sehingga merekapun mengutus sebagian dari pada mereka ke kota mishtoh untuk meminta kurma, tetapi mereka tidak mendapatkan kurma sedikitpun; setelah itu barulah mereka menyadari bahwa rasa lapar yang mereka derita, karena tidak menghabiskan jamuan Syekh Abu Bakar bin salim ra, atau dengan kata lain mereka tidak menghargai perjamuan yang telah dihidangkan Syekh Abu Bakar bin Salim Ra, maka mereka pun lalu meminta maaf kepada beliau.

13. Dinding Masjid yang berjalan dengan perintah Syekh Abu Bakar bin Salim Ra.

Diriwayatkan dari Al-Mualim Al-Fadhil Ahmad bin Abdurrahman Bawazir, ia berkata : Ada satu kisah yang diriwayatkan dari Ar-Rojul As-Sholeh Al-Mualim Al-Walid Abdurrahman binMuhammad bin Abdullah Bawazir yang ia terima riwayatnya dari beberapa orang Arifin, ia berkata :
“Sesungguhnya Syekh Abu Bakar bin Salim Ra, tatkala sedang membangun masjid beliau yang masyhur di kota ‘Inat, beliau berkata kepada seorang pekerja bangunannya yaitu ibnu Ali sambil menunjuk satu dinding yang baru didirikan, beliau berkata :
“Dinding yang didirikan ini tidak akan dimakmurkan oleh kaum muslimin, kami menginginkannya agar dibuat sedikit maju.”
Ibnu Ali menjawab :
“Ya Sayyidi yang anda inginkan adalah kemaslahatan, tetapi bagaimanakah kami akan merubahnya lagi, karena dinding ini sudah terlanjur didirikan di tempat ini.”
Pada saat itu Syekh abu Bakar bin Salim Ra memegang tongkat, beliau lalu memukul dinding tersebut dengan tongkat beliau, maka dengan seizin Allah swt dinding tersebut berpindah tempat dari tempatnya semula sampai kepada tempat yang diinginkan oleh Syekh Abu Bakar bin Salim Ra.

14. Darwisy yang mendapatkan futuh dengan barokah Syekh Abu Bakar bin Salim Ra.

Diriwayatkan dari Sayyidina Al-Imam Al-qutb Al-habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, bahwasanya beliau bercerita :
“Sesungguhnya ada seorang Darwisy yang telah datang kepada Sayyid As-Syekh Abdullah bin Syekh Al Aydrus dan berkhidmat kepada beliau sampai beberapa waktu.”
Pada suatu ketika, si Darwisy ini berkata kepada pembantu As-Syekh Abdullah bin Syekh Al-aydrus :
“Katakan kepada tuanmu, sesungguhnya aku menginginkan daripada As-syekh Abdullah sabun.”
Maka pembantu inipun menyampaikan pesan si Darwisy itu kepada beliau. Kemudian As-Syekh Abdullah Al-aydrus memberikan sabun untuk mencuci baju. Maka tatkala pembantu beliau memberikan sabun ini kepada Darwisy tersebut, ia terbelalak dan berkata :
“Sesungguhnya bukanlah sabun seperti ini yang aku inginkan, tetapi yang aku inginkan adalah sabun untuk hatiku”
Kemudian Syekh abdullahbun Syekh Al-aydrus berkata kepada Darwisy ini :
“kami tidak mempunyai sabun yang engkau inginkan, kalau sekiranya engkau menginginkan sabun untuk hatimu; pergilah engkau kepada Syekh Abu Bakar bin Salim Ra,.”
Kemudian keluarlah si Darwisy ini untuk pergi menemui Syekh Abu Bakar bin Salim Ra dan berkhidmat kepada beliau. Tak lama kemudian iapun mendapatkan keinginannya dan mendapatkan Futuh daripada Allah swt dengan barokah Syekh Abu Bakar bin Salim Ra.

15. Tanah Dhorikh ( Makam ) Syekh Abu Bakar bin Salim Ra mujarab unuk obat segala macam penyakit.

Di Turbah Syekh Abu Bakar bin Salim Ra terdapat pasir atau tanah (katsib) yang sangat termasyhur kemujarabannya bagi orang-orang yang menginginkan keberkahan. Salah satu yang termasyhur adalah bahwa tanah ini bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit, oleh karena jugalah Syekh Abu Bakar bin Salim Ra mendapatkan gelar “ Maula Katsib “.
Diceritakan oleh Sayyid Abdul qodir bin Abdullah bin Umar bin Syekh Abu Bakar bin Salim Ra, beliau berkata :
“Adalah aku berziarah kepada Syekh Abu Bakar bin Salim Ra satu ketika bersama guruku Guruku Sayyid Ahmad al-Junaidi banal-Imam Ahmad Al-Junaid. Kami berziarah ke ‘Inat dan berziarah kepada Syekh Abu Bakar bin Salim Ra. Sesudah berziarah, beliau menginginkan untuk mengambil pasir di makam tersebut untuk menyembuhkan luka yang diderita beliau di salah satu kaki beliau. Dan beliau meminta kepada salah seorang keturunan Syekh Abu Bakar bin Salim Ra agar meletakkan pasir tersebut atas luka beliau, dan luka tersebut sembuh dengan seizin Allah swt”.

Dan diceritakan juga dari Syekh Abdullah Qadri Basya’ib, ia bercerita :

“Sesungguhnya aku selalu membawa tanah dari makam Syekh Abu Bakar bin Salim Ra, tatkala aku bermusafir menuju ke Makkah, aku membawa tanah tersebut, dan selama perjalanan aku tidak mendapatkan musibah apapun juga. Tatkala kami telah sampai di Makkah, maka kami mencengar khabar bahwa kapal yang kami tumpangi tersebut pecah dan tenggelam. Akupun bersyukur kepada Allah swt. Tanah ini juga selalu aku jaga dan bawa kemanapun aku pergi; juga selama aku bermukim di Al-Haramain selam 9 tahun. Sampai akhirnya akupun keluar dari makkah. Dan selama itu, aku selalu membawa tanah tersebut dan tidak pernah sekalipun aku di timpa kesusahan.

16. Berpindahnya maqom kewilayahan Syekh Ma’ruf Ba jamal kepada Syekh Abu Bakar bin Salim Ra.

Diceritakan dalam kitab Insussalikin Ila Maqomatil Wasilin yang ditulis oleh Sayyid Abdullah bin Ahmad Baharun. Di dalam kitab tersebut diceritakan kisah dari Umar bin Ali Bamansur, ia bercerita :
“Telah memberi kabar kepada kami seorang daripada kaum Arifin,ia bercerita : tatkala wafat seorang wali besar yaitu Syekh Ma’ruf Ba Jamal di Budhoh salah satu daerah di Dau’an. Kaum sholihin melihat dengan ‘Ainul Bashiroh mereka, ada sungai yang mengalir dari Budhoh, sungai tersebut di penuhi cahaya yang cemerlang. Sungai itu mengalir sampai ke Syibam dan memenuhi kota Sybam dengan cahaya, sampai ke Ghurfah dan terus ke Tarim sampai akhirnya ke kota ‘Inat dan sungai tersebut berkumpul di hadirat Syekh Abu Bakar bin Salim Ra. Maka tahulah seluruh murid Al-Wali Syekh Ma,ruf Ba jamal bahwa maqom atau kewalian daripada Syekh Ma’ruf Ba Jamal telah berpindah dan diwarisi oleh Syekh Abu Bakar bin Salim Ra. Kemudian murid-murid Syekh Ma’ruf Ba jamal menemui beliau. Sebelum mereka ingin berkata-kata, semuanya di kasyaf oleh Syekh Abu Bakar bin Salim. Lalu Syekh Abu Bakar bin Salim Ra mengajari mereka dan memberitahukan kepada mereka mengenai beberapa hal ghaib. Kemudian merekapun pulang ke Tarim, termasuk di antara rombongan mereka yaitu Syekh umar Baraja As-Shonubari. Dan mereka berkumpul bersama Syekh Husain bin Faqih Abdullah Balhaj Bafadhol. Dan merekapun menceritakan daripada keagungan Syekh Abu Bakar bin salim Ra.”

17. Kekasyafan Syekh Abu Bakar bin Salim Ra dan Ziarah yang qobul.

Berkata Al-Faqih Muhammad bin Abdurrahman Sirojuddin Rohimahullah : Daripada sebagian kekeramatan Syekh Abu Bakar bin Salim Ra, sebagaimana yang telah dikabarkan kepadaku dari ayahandaku bahsanya ia bercerita :
“Sungguh telah terbayang atas kami banyak manusia yang berziarah kepada Nabi Hud as. Dan tatkala itu adalah permulaan atau bidayah akan zuhurnya Syekh Abu Bakar bin Salim Ra. Dan sesungguhnya aku sangat menginginkan berziarah bersama mereka didalam jama’ah mereka, rombongan yang agung, tetapi aku merasa segan dan terlintas dalam hatiku sekiranya aku menginginkan untuk menulis surat kepada Syekh Abu Bakar bin Salim Ra dan meminta kepada beliau mendo’akan kami agar mendapat fadhilah daripada ziarah tersebut. Tetapi akupun merasa sangat segan untuk menulis surat tersebut dan akupun tidak pernah memberitahu satu orangpun atas keinginanmu itu. Dan tatkala aku pulang setelah berziarah kepada Nabi Hud as, tiba-tiba aku aku mendapatkan surat dari Syekh Abu Bakar bin Salim Ra yang isinya adalah sebagai berikut :
“Sesungguhnya kami menghadirkan ruh kalian didalam acara ziarah kepada Nabi Allah Hud as, dan kami mendoa’kan kalian, dan kamipun mendoa’kan agar kalian sekeluarga mendapatkan fadhilah dan keutamaan pada ziarah tersebut.”
Setelah aku membaca surat dari pada Syekh Abu Bakar bin Salim tersebut, akupun mengucapkan puji dan syukur kepada Allah swt. Dan bertambah ta’zhimlah diriku kepada beliau.”

18. Syekh Abu Bakar bin Salim Ra dipilih oleh Syekh Faris Ba Qais.

Ketika Syekh Faris, seorang wali besar yang berkunjung ke Tarim dan hendak melanjutkan perjalanannya untuk berziarah ke makam Nabi Allah Hud as, beliau meminta seseorang untuk mengantar beliau beserta rombongan, lalu beliau memilih diantara penduduk Tarim yang pantas untuk mengantar beliau berziarah, tatkala Syekh Faris melihat Syekh Abu Bakar bin Salim Ra yang kala itu masih berusia 4 ( empat ) tahun; beliaupun menunjuk Syekh Abu Bakar bin Salim Ra untuk mengantar beliau, dan Syekh Faris tidak mau digantikan oleh orang lain; lalu pergilah Syekh Abu Bakar bin salim Ra bersama rombongan Syekh Faris dengan digendong pembantu beliau yang bernama Baqahawil.

19. Berubahnya warna rambut Syekh Abu Bakar bin Salim Ra.

Diriwayatkan oleh Syekh Abdullah bin Zen :
“Sekali waktu kami sedang berada di majlis Syekh Abu Bakar bin Salim Ra, lalu terlintaslah di dalam hatiku keraguan kepada beliau, tiba-tiba pada saat itu juga dalam Hal-nya warna ( kulit dan baju ) Syekh Abu Bakar bin Salim Ra berubah-rubah, dan rambut beliau juga sesaat berubah warna menjadi putih dan sekejap kemudian kembali berwarna hitam.”
Syekh Abdurrahman bin Zen berkisah :

“Sekali waktu aku berziarah kepada Syekh Abu Bakar bin Salim Ra, lalu kami melihat warna beliau berubah-rubah; seketika itu juga terkadang-kadang berwarna putih lalu berubah menjadi kuning, kemudian berubah lagi menjadi hitam manis, dan rambut beliaupun terkadang berubah warna menjadi putih kemudian kembali berwarna hitam”.

20. Perempuan yang bertemu Syekh Abu Bakar bin Salim Ra.

Syarif Umar bin Muhammad bin Ali bercerita bahwa ada seorang perempuan dari salah satu qabilah arab yang telah mendengar tentang kekeramatan beliau, dan ia berkata bahwa ia ingin bertemu dan berziarah kepada Syekh Abu Bakar bin Salim Ra; sebelum kalimatnya selesai ia ucapkan, tiba-tiba pada saat itu juga hadir seseorang didepannya yang tak ia kenal dan berkata kepadanya :
“Engkau ingin bertemu dengan Syekh Abu Bakar bin Salim ? Akulah Syekh Abu Bakar bin Salim ”
Dan kemudian langsung hilang pada saat itu juga, tak lama berselang, iapun berziarah kepada Syekh Abu Bakar bin Salim di ‘Inat, dan tatkala ia melihat syekh Abu baker bin salim Ra, iapun terkejut karena ternyata wajah beliau sama dengan seseorang yang mendatanginya secara ghaib di kala lalu itu, lalu syekh Abu Bakar bin Salim Ra berkata kepadanya :
“Yang mendatangimu tempo hari itu adalah aku “
Padahal jarak tempuh antara daerah tempat tinggal perempuan itu dan kota ‘Inat adalah satu bulan perjalanan.

21. Orang-orang yang bernazar bagi Syekh Abu Bakar bin Salim Ra.

Dikisahkan oleh Al-Imam Al-qutb Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-‘Athas, bahwa ada seorang perempuan yang bernazar ingin memberikan makanan kepada Syekh Abu Bakar bin Salim Ra, lalu ia pun membawa makanan ala kadar tersebut ke rumah Syekh Abu Bakar bin Salim Ra, ketika ia meminta kepada yang ada disana, pembantu tersebut merasa enggan untuk menyampaikan makanan yang ala kadarnya itu dan ia berkata kepada si perempuan tadi :
“Syekh Abu Bakar bin Salim Ra tidak berhajat kepada makananmu”
Sedihlah ia mendengar perkataan pembantu tadi, tapi tiba-tiba Syekh Abu Bakar bin Salim Ra keluar dari rumah beliau dan mendatangi si perempuan tadi dan menerima makanan tersebut, seraya mengucapkan terima kasih dan pembantu tadi ditegur beliau.
Dikisahkan bahwa ada seorang yang mempunyai kebun yang luas dan ia bernazar; seandainya tanamannya tidak dirusak oleh binatang, maka sepersepuluh dari hasil panennya akan diberikan kepada Syekh Abu Bakar bin Salim ra, tak lama kemudian ia melihat binatang yang biasanya merusak tanaman di kebunnya tidak bisa masuk kekebunnya tersebut dan hasil panennya sangat bagus semuanya dengan barokah dari Syekh Abu Bakar bin Salim Ra.

22. Orang-orang yang berziarah kepada Syekh Abu Bakar bin Salim Ra.

Diriwayatkan oleh Sayyid Ahmad bin Syekh Al-faqih Ali bin Sayyid Al-Faqih Syekh Al- Hasan Ra :
“Ada serombongan jama’ah yang ingin berziarah kepada Syekh Abu Bakar bin Salim ra, tatkala mereka telah sampai di Sewun mampirlah mereka ke Sulthan Al-Katsiriy, sebagian dari rombongan ada yang tinggal dan sebagian yang lain meneruskan perjalanan mereka untuk berziarah kepada Syekh Abu Bakar bin Salim Ra; tak lama kemudian rombongan yang tinggal tadi merasa menyesal dan mereka berniat ingin melanjutkan perjalanan untuk berziarah kembali, lalu mereka berpikir untuk menemui pembantu Syekh Abu Bakar bin Salim Ra yaitu yang bernama Baraja untuk bertabarruk, lalu mereka menemui pembantu beliau tersebut yang sedang berada di rumah beliau yang berada di Sewun; tanpa diduga pembantu beliau tersebut berkata kepada mereka :
“Kalian akan bertemu Syekh Abu Bakar bin Salim Ra di rumah ini, masuklah kalian, Bismillah”
Lalu merekapun masuk dan mereka bertemu dengan Syekh Abu Bakar bin Salim Ra di rumah tersebut ( yang berada di Seiwun ); kemudian mereka lama berbincang-bincang dengan beliau, dan beliau juga membaca fatehah untuk mereka, setelah itu mereka pulang, dan didalam perjalanan mereka bertemu dengan rombongan lainnya yang baru pulang dari ‘Inat dan berkata kepada mereka :
“Syekh Abu Bakar bin Salim mengirimkan salam buat kalian “
Mendengar hal ini merekapun merasa ta’jub karena merekapun baru saja berkumpul dengan Syekh Abu Bakar bin Salim Ra di waktu yang sama di Sewun.

23. Mendapatkan anak dengan barokah Syekh Abu Bakar bun Salim Ra.

Berkata Al-Mu’allim Ahmad bin Abdurrahman Bawazir :
Ketika Syekh Abu Bakar bin Salim sedang duduk di majlis beliau dan sedang menemui orang-orang yang berziarah kepada beliau, tiba-tiba ada seseorang yang berpenampilan seperti seorang Darwisy menghampiri beliau dan beliaupun berdiri menyambut orang tersebut seraya berkata :
“Engkau adalah Syekh Al-Bakri? Yang mengajar di Makkah?”
Orang tersebut menjawab :”benar”
Kemudian syekh Abu Bakar bin Salim Ra bertanya :
“Apakah engkau mempunyai anak?” Jawabnya : “tidak”
Kemudian Syekh Abu Bakar bin Salim Ra mengeluarkan mangkuk beliau yang berwarna merah, kemudian dipenuhi oleh beliau dengan kopi, kemudian diberikan
Kepada Syekh Al-Bakri, seraya berkata :
“Wahai Syekh Al-Bakri berikanlah kopi ini kepada istrimu, Insya Allah ia akan segera mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki yang akan menjadi seorang Ulama Makkah “
Tak lama kemudian Syekh Bakri mendapatkan anak laki-laki dan anak tersebut menjadi seorang Ulama Makkah, persis seperti yang dikatakan oleh Syekh Abu Bakar bin Salim Ra”
Diriwayatkan bahwa Al-Fadhil Al-Wali Al-Imam Abdurrahman Al-Biyd Al- Ba’alawi, salah seorang murid Syekh Abu Bakar bin Salim Ra, suatu hari hendak menemui beliau bersama seseorang bernama Utsman Khatib sambil membawa kopi, ketika mereka telah berjumpa dengan Syekh Abu Bakar bin Salim Ra, beliau lebih dulu berkata kepada mereka berdua :
“Wahai Sayyid Abdurrahman sesungguhnya engkau ingin mempunyai keinginan untuk mempunyai seorang anak laki-laki; karena engkau hanya mempunyai anak perempuan; sesungguhnya Allah swt berfirman : Yahabu liman yasinasan wa yahabu liman yasya az-zukur”
Sayyid Abdurrahman menjawab:
”Benar ya Sayyidi, selain ingin berjumpa dengan anda, itulah juga keinginanku”
Kemudian Syekh Abu Bakar bin Salim Ra berkata kepada Sayyid Abdurrahman :
“Sesungguhnya anak perempuan akan mendapatkan kelapangan dunia dan akherat, dan engkau akan mendapatkan anak laki-laki yang mengkhatamkan Al-qur’an, minumlah kopimu, sedangkan engkau ya Utsman keinginanmu adalah agar engkau mendapatkan kemuliaan, engkau akan mendapatkan kemaslahatan dari anak cucumu dan mereka akan diberikan Allah swt kelapangan dalam urusan duniawi mereka”
Kemudian sayyid Abdurrahman kembali meneruskan cerita beliau :
Demi Allah sungguh yang terjadi pada kami berdua persis seperti yang dikatakan Syekh Abu Bakar bin salim Ra’ nyaris tidak meleset barang satu huruf pun dari perkataan beliau.”

Karya-karyanya

1. Miftahus saraair wa kanjuz zakhooir
2. Mi’rajul Arwah Ilal Minhajul Widhoh
3. Fathul Babil Mawahib Wa Bughyah Mathlabul Tholib
4. Mi’rajut Tauhid.

Kata mutiara dan nasihatnya

• Barangsiapa diam, ia akan selamat dan barangsiapa berbicara ia akan menyesal.
• Orang yang bahagia adalah orang yang disenangkan oleh Allah tanpa alas an tertentu dan orang yang sengsara adalah orang yang disengsarakan Allah tanpa sebab tertentu. Demikianlah menurut ilmu hakikat. Sedangkan menurut ilmu syariat; orang yang bahagia adalah orang yang oleh Allah diberi kesenangan dengan melakukan berbagai amal saleh, dan orang yang disengsarakan oleh Allah dengan meninggalkan amal-amal saleh dan melanggar syariat agama.
• Orang yang sengsara adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya Barangsiapa mengenal dirinya, ia tidak akan melihat selain Allah swt. Barangsiapa tidak mengenal dirinya, ia tidak akan melihat Allah swt.
• Setiap wadah memercikan apa yang ditampungnya.
• Barangsiapa tidak bermujahadah pada masa bidayahnya, ia tidak akan mencapai puncak. Dan barangsiapa tidak bermujahadah, ia tidak akan bermusyahadah; {“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (bermujahadah) di jalan kami, niscaya akan kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan kami. : Al-Ankabut,29 : 69”}
• Barangsiapa tidak memelihara waktunya, ia tidak akan selamat dari bencana.
• Barangsiapa bergaul dengan orang baik, ia akan memperoleh berbagai pengetahuan dan asrar, dan barangsiapa bergaul dengan orang-orang jahat, ia akan memperoleh aib dan siksa neraka.
• Berbagai hakikat tidak akan diperoleh kecuali dengan meninggalkan berbagai penghalang.
• Dalam Qanaah terdapat ketenteraman dan keselamatan; dalam tamak terdapat kehinaan dan penyesalan.
• Orang yang arif melihat aib-aib dirinya; sedang orang yang lalai melihat aib-aib orang lain.
• Dan orangyang bahagia adalah orang yang melawan hawa nafsunya, berpaling dari alam untuk menghadap kepada penciptanya, dan melewatkan waktu pagi dan sore dengan meneladani sunah nabinya.
• Hendaklah kamu bertawadhu dan tidak menonjolkan diri. Jauhilah sikap takabur dan cinta kedudukan.
• Kesuksesanmu adalah ketika kamu membenci nafsumu dan kehancuranmu adalah saat kamu meridhainya. Karena itu, bencilah nafsumu dan jangan meridhainya, niscaya kamu akan berhasil meraih segala cita-citamu, Insya Allah.
• Orang yang arif adalah yang mengenal dirinya, sedangkan orang jahil adalah yang tidak mengenal dirinya.
• Alangkah mudah bagi seorang Arifbillah untuk membimbing orang jahil, kadangkala kebahagiaan abadi dapat diraih hanya lewat sekilas pandangannya.
• Ridhalah atas maqam apapun yang Allah berikan kepadamu. Seorang Sufi berkata, “selama lebih 40 tahun aku tidak pernah merasa benci pada maqam yang Allah berikan kepadaku.”
• Berprasangka baiklah kepada sesama hamba Allah, sebab buruk sangka timbul karena tiadanya taufiq. Ridhalah selalu pada qodho, bersikap sabarlah, walaupun musibah yang kamu alami teramat besar. Firman Allah : Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan dibalas dengan pahala tanpa batas. ( Az Zumar, 39 :10 )
• Dan tinggalkanlah hal-hal yang tidak ada manfaatnya bagimu, dan benahilah dirimu lebih dahulu.
• Dunia adalah anak perempuan Akhirat, barangsiapa telah menikahi seorang perempuan, haram memperistri ibunya.
• Berbagai hakikat terhijab dari hati, karena perhatian kepada selain Allah.
• Waktumu yang paling bermanfaat adalah disaat kamu fana’ dan waktumu yang paling sia-sia adalah disaat kamu menyadari dirimu.
• Ketahuilah oleh kalian sesungguhnya Allah swt bertajalli ( mengagungkan dirinya ) di hati para kekasihnya; para kaum Arifin, karena mereka menghapus selainnya di hati mereka dan mereka menghilangkan selain Allah swt dalam pandangan mereka terhadap semesta dan pada setiap kejadiannya bahwa semuanya adalah semata-mata ciptaan Allah swt, dan mereka melalui siang, pagi serta sore hari selalu dalam keadaan taat kepadanya; mereka selalu beribadat serta berharap dan takut kepadanya; serta selalu ruku’ dan bersujud kepadanya, mereka selalu dalam keadaan bahagia dan gembira serta ridho dengan segala ketentuan Qadha dan Qadar yang telah ditentukan Allah swt atas mereka; berkata Nabi Ayyub as :”Bila mana aku hendak memilih di antara dua perkara, maka aku akan memilih perkara yang ada Ridho Allah swt didalamnya karena hanya hal itulah yang mendatangkan kemaslahatan bagiku” Berkata kaum ‘Arifin : “Kalau sekiranya kedua mataku melihat selain Allah, maka akan ku butakan, kalau sekiranya ke dua telingaku mendengar selain Allah, maka akan ku tulikan, dan bilamana lidahku berkata yang tidak diperintahkan Allah, maka akan ku potong”
• Sedikit amal dari hati menyamai amal seluruh manusia dan jin.
• Sesungguhnya Bala’ yang menimpamu pada saat lupamu, bila engkau menyadarinya adalah merupakan jalanmu untuk kembali mengenal Allah swt dan kembali mendekatkan dirimu kepadanya pada saat engkau meminta bala tersebut dihilangkannya, dan bala’ sesungguhnya adalah bilamana engkau melupakan Allah swt dan engkau lupa bahwa dirimu selalu faqir kepadanya.
• Beristiqamahlah kalian dalam setiap amal, karena para Ahli kasyaf sekalipun semua bermohon kepada Allah swt agar mereka diberikan kekuatan dalam beristiqamah agar mereka tidak jatuh dalam keadaan terhijab darinya.
• Ketahuilah oleh kalian; Ma’rifat kepada Allah swt adalah dengan kejelasan dan bukan dengan tersamar, dan bilamana seorang hamba diberinya ma’rifat kepadanya, maka ia pasti akan melihat semua amal yang dicintai oleh Rasulullah saw.
• Sesungguhnya derajat yang tertinggi dalam maqom sabar adalah menahan diri dari pada mengadu kepada selain Allah swt.
• Derajat paling tinggi disisi para Auliya Allah swt yang utama, adalah Tawadhu dan Khumul ( menutupi keistimewaan diri ).

KELUARGA SYAIKH ABUBAKAR BIN SALIM BIN ABDULLAH BIN ABDURAHMAN BIN ABDULLAH BIN SYAIKH ABDURAHMAN AS-SAQQAF

Syaikh al-Fakhor Abu Bakar bin Salim (shohib Inat), wafat tahun 992 H, mempunyai
Empat orang anak perempuan yaitu: Fathimah, Aisyah, Alwiyah dan Talhah. Dan tiga belas orang anak laki, yaitu:
1. Abdurahman
2. Ja'far keturunannya terputus
3. Abdullah al-Akbar
4. Salim (keturunannya sedikit dan terputus)
5. Husin, wafat di Inat tahun 1044 H, mempunyai tujuh orang anak perempuan: Alwiyah, Talhah, Salma, Fathimah al-Kubra,Aisyah, Sekhah, Fathimah al-Sughro, Maryam, Ruqaiyah.

Anak laki-lakinya:
a. Salim
keturunannya terputus
b. Abdurahman
c. Abu Bakar
keturunannya sedikit dan terputus
d. Soleh
e. Ahmad, wafat tahun 1061 H, mempunyai sepuluh orang anak laki:
1) Aqil
keturunannya terputus
2) Usman
3) Abdullah keturunannya sedikit dan terputus
4) Abdurahman keturunannya di Syihir, Sawahil
5) Muhammad keturunannya di Inat, Jawa
6) Soleh keturunannya di Nazwan, Gazah, Yafi', India
7) Syech keturunannya di Yafi'
8) Abu Bakar keturunannya di Inat
9) Umar keturunannya di Inat, Jawa, India, Sawahil, Zhufar
10) Salim, wafat di Ghaizhoh tahun 1087 H, mempunyai empat orang anak laki:
a) Hasan keturunannya di Zhufar
b) Muhammad keturunannya Aal-Dzi'bu di Ghaizhoh, Sawahil, Inat
c) Muhsin keturunannya di Zhufar, Ghaizhoh, India
d) Ali keturunannya di Inat
f. Idrus, mempunyai tiga orang anak laki:
1. Zein
2. Ali (keturunannya di Syihir)
3. Abu Bakar (keturunannya di Misthoh)
g. Syechon, wafat tahun 1019 H, mempunyai tiga orang anak laki:
1. Mahdi
2. Abdullah (keturunannya di Sawahil, Zanjibar)
3. Salim (keturunannya di Inat, Baidho')
h. Hasan, mempunyai tiga orang anak laki:
1. Abdullah (keturunannya terputus di Inat)
2. Soleh (keturunannya keluarga al-Khamur di Khamur dan India)
3. Abu Bakar (keturunannya keluarga al-Khiyyid di India, Inat, Jawa, Hijaz)
i. Muhsin, mempunyai dua orang anak laki:
1. Muhammad
2. Ali, mempunyai dua orang anak laki:
a) Hadi (kakek Keluarga al-Hadi bin Salim di Khunaidaroh, Inat)
b) Abdullah (al-Haddar di Inat)
j. Umar, mempunyai lima orang anak laki:
1. Muhsin (keturunannya di Musyah, Jawa)
2. Ahmad (keturunannya di Mokalla, Ghorib, Sah)
3. Ali (keturunannya di Gail Sah, Sihir, Jawa)
4. Salim (keturunannya di Gail Sah)
5. Abdullah (keturunannya di Jawa, Inat)
k. Muhammad, mempunayi dua orang anak laki:
1. Umar
2. Ali (keturunannya keluarga Ahmad di Inat dan al-Bin Jindan di Inat dan India dan Jawa)
l. Syech (wafat tahun 1113 H, keturunannya di Inat, Du'an, Jubail)
m. Hamzah, wafat tahun 1106 H, mempunyai dua orang anak laki:
1. Idrus (wafat tahun 1037 H, keturunannya terputus)
2. Tholib (keturunannya di Inat, India, Jawa)
6. Hamid al-Hamid, wafat tahun 1030 H, mempunyai delapan orang anak laki:
a. Hafidz

b. Ali keturunannya terputus
c. Mahdi
d. Umar keturunannya di Silik
e. Abdullah keturunannya di Amud, Inat, Jawa
f. Mutohhar keturunannya al-Aqil Mutohar di Damun, Yaman, Jawa, Palembang, Singapura.
g. Abu Bakar keturunannya al-Abi Bakar bin Hamid di Qasam, Jurdan
h. Alwi keturunannya al-Alwi bin Hamid di Zhufar
7. Umar al-Muhdhar, wafat di Inat tahun 997 H, mempunyai tiga orang anak laki:
a. Muhammad, mempunyai dua orang anak dan keturunannya terputus.
b. Ali, keturunannya di Bihan, Raudhah Bani Israil.
c. Abu Bakar, keturunannya di Bihan, Khamur dekat Syibam, India, Du'an, Jawa.
8. Hasan, mempunyai seorang anak bernama: Ali, mempunyai dua orang anak:
a. Hasan, keturunannya di Inat dan Surabaya.
b. Ahmad, kakek keluarga Abu Futhaim bin Abi Bakar bin Ahmad bin Hasan, keturunannya di Jawa, India, Asia, Rahyah, Taribah.
9. Ahmad, mempunyai dua orang anak: Nasir dan Syech (keturunannya di Inat, Sihir)
10. Soleh, mempunyai seorang anak bernama: Umar, keturunannya di Baijan, Hajran, Dekat Qasam, Ghaizhoh, India, Jawa.
11. Ali, keturunannya di Sawahil, Saihut.
12. Syaichon, mempunyai dua orang anak, yaitu:
a. Abdullah, keturunannya di Rakhiyah, Wadi 'Ain, India dan Surabaya.
b. Muhammad, keturunannya di Jawa.
13. Abdullah al-Asghor, mempunyai tiga orang anak laki:
a. Hadi
keturunannya terputus.
b. Muhammad

c. Ali (keturunannya di Rahyah, Jurdan, Jawa)