Selamat Datang di Blog Resmi **Majlisarrahman.blogspot.com ** Majelis Dzikir Ratibul Al-Habib Abdullah Bin Alwi Al-Haddad wa Maulidun Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam (Dzikrullah wa Dzikrurrosul SAW) Jakarta - Indonesia. Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Kami**

 photo oji_zpsb336d6d8.gif
Selamat Datang di Blog Resmi **Majlisarrahman.blogspot.com ** TUNJUKKAN KEPERDULIAN DAN BAKTI KITA PADA PEMBENAHAN ISLAM DENGAN TURUT MENYUMBANGKAN HARTA KITA SEBAGAI SAKSI, BANTUAN KITA ADALAH CERMIN KADAR IMAN KITA, RASULULLAH SAW BERSABDA : SETIAP HARI TURUN DUA MALAIKAT MULIA KE BUMI DAN BERDOA, WAHAI ALLAH BERI ORANG YANG BERINFAQ KESEJAHTERAAN, DAN BERI ORANG YANG KIKIR KEHANCURAN ( shahih Bukhari ). Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Kami**

Selasa, 24 April 2012

Asal Usul Para Habaib di Nusantara

ulamahabaib

Menurut Muhammad bin Ahmad al-Syatri dalam kitabnya Adwar al-Tarikh al-Hadrami, bangsa Arab terbagi menjadi tiga golongan : al-Ba’idah yaitu bangsa Arab terdahulu dan kabar berita tentang mereka telah terputus karena sudah terlalu lama, al-’Aribah yaitu orang-orang Arab Yaman keturunan Qahthan, al-Musta’ribah yaitu keturunan Nabi Ismail as (Adnaniyah).[1] Karena golongan yang pertama sudah tidak ada lagi maka para ahli sejarah hanya mengkaji golongan yang kedua dan ketiga, yaitu bani Qahthan dan bani Ismail. Bani Ismail as adalah keturunan dari Nabi Ismail as anak Nabi Ibrahim as yang mula-mula berdiam di kota Ur yang merupakan kota di Babylonia. Nabi Ibrahim as meninggalkan kota Ur dan berpindah ke Palestina. Setelah Nabi Ibrahim as mempunyai anak dari Siti Hajar yang bernama Ismail as, mereka pindah ke Hijaz tepatnya di Wadi Mekkah.
Nabi Ismail as mempunyai putera sebanyak dua belas orang, masing-masing mempunyai keturunan. Tetapi kemudian keturunan mereka terputus, hanya keturunan Adnan-lah yang berkembang biak, sebab itu bani Ismail ini dinamai juga bani Adnan. Sedangkan Bani Qahthan menurunkan suku Tajib dan Sodaf. Bani Qahthan berasal dari Mesopotamia dan kemudian pindah ke negeri Yaman. Penduduk asli Yaman adalah kaum ‘Ad yang kepada mereka diutus Nabi Hud as. Mereka dibinasakan oleh Allah swt dengan menurunkan angin yang amat keras. Kaum ‘Ad yang dibinasakan ini disebut kaum ‘Ad pertama, sedangkan kaum ‘Ad yang masih mengikuti Nabi Hud as disebut kaum ‘Ad kedua.
Sesudah Nabi Ibrahim mendirikan Baitullah di Mekkah, jadilah kota Mekkah itu kota yang paling masyhur di tanah Hijaz, dan berdatanganlah orang dari segenap penjuru jazirah Arab ke Mekkah untuk naik haji dan ziarah ke Baitullah. Karena itu lama kelamaan kota Mekkah menjadi pusat perniagaan.
Pertama kali kota Mekkah dipegang oleh bani Adnan, karena itu bani Adnanlah yang memelihara dan menjaga Ka’bah. Sesudah runtuhnya kerajaan Sabaiah, maka berpindahlah satu suku yang bernama Khuza’ah dari Yaman ke Mekkah dan mereka merampas kota Mekkah dari tangan bani Adnan. Dengan demikian berpindahlah penjagaan Baitullah dari bani Adnan kepada bani Khuza’ah.
Di kemudian hari, dari suku Quraisy terdapat seorang pemimpin yang kuat dan cerdas, namanya Qushai. Qushai ini beruntung dapat merebut kunci Ka’bah dari bani Khuza’ah dan kemudian mengusir bani Khuza’ah itu dari Mekkah. Maka jatuhlah kembali kekuasaan di Mekkah ke tangan bani Adnan. Kemudian Qushai diangkat menjadi raja yang di tangannya terhimpun kekuasaan keagamaan dan keduniaan. Sesudah Qushai meninggal kekuasaan tersebut dipegang oleh keturunannya yang bernama Abdi Manaf.
Abdu Manaf mempunyai empat anak: Abdu Syams, Naufal, al-Muththalib dan Hasyim.[2] Hasyim adalah keluarga yang dipilih oleh Allah yang diantaranya muncul Muhammad bin Abdullah bin Abdul-Muththalib bin Hasyim. Rasulullah saw pernah bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah memilih Isma’il dari anak keturunan Ibrahim, memilih Kinanah dari anak keturunan Isma’il, memilih Quraisy dari anak keturunan Bani Kinanah, memilih Bani Hasyim dari keturunan Quraisy dan memilihku dari keturunan Bani Hasyim. “.(H.R. Muslim dan at-Turmudzy).
Dari al-’Abbas bin Abdul Muththalib, dia berkata, Rasulullah saw bersabda :
“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk, lalu Dia menjadikanku dan sebaik-baik golongan mereka dan sebaik-baik dua golongan, kemudian memilih beberapa kabilah, lalu menjadikanku diantara sebaik-baik kabilah, kemudian memilih beberapa keluarga Ialu menjadikanku diantara sebaik-baik keluarga mereka, maka aku adalah sebaik-baik jiwa diantara mereka dan sebaik-baik keluarga diantara mereka”. (Diriwayatkan oleh at-Turmudzy).
Dari keturunan inilah Allah swt telah menerbitkan cahaya cemerlang, menerangi semesta alam, dikarenakan agama Islam yang dibawa keturunan Adnan kepada masyarakat Hadramaut yang berasal dari keturunan Qahthan. Diantara keturunan Adnan yang berada di Hadramaut adalah kaum Alawiyin, sebelumnya mereka menetap di Basrah, Iraq.
Tokoh pertama golongan Alawi di Hadramaut adalah Ahmad bin Isa yang dijuluki al-Muhajir.[3] Kepindahannya ke Hadramaut disebabkan kekuasaan diktator kekhalifahan Bani Abbas yang secara turun menurun memimpin umat Islam, mengakibatkan rasa ketidakpuasan di kalangan rakyat. Rakyat mengharapkan salah satu keturunan Rasulullah dapat memimpin mereka. Akibat dari kepemimpinan yang diktator, banyak kaum muslim berhijrah, menjauhkan diri dari pusat pemerintahan di Bagdad dan menetap di Hadramaut. Imam Ahmad bin Isa keadaannya sama dengan para sesepuhnya. Beliau seorang ‘alim, ‘amil (mengamalkan ilmunya), hidup bersih dan wara’ (pantang bergelimang dalam soal keduniaan). Di Iraq beliau hidup terhormat dan disegani, mempunyai kedudukan terpandang dan mempunyai kekayaan cukup banyak. Mereka hijrah ke Hadramaut bukan karena dimusuhi atau dikejar-kejar tetapi mereka lebih mementingkan keselamatan aqidah keluarga dan pengikutnya. Mereka hijrah dari Basrah ke Hadramaut mengikuti kakeknya Rasulullah saw hijrah dari Makkah ke Madinah.
Mengenai hijrahnya Imam Ahmad Al-Muhajir ke Hadramaut, Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam bukunya Risalah al-Muawanah mengatakan : Al-Imam Muhajir Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin al-Imam Ja’far Shadiq, ketika menyaksikan munculnya bid’ah, pengobralan hawa nafsu dan perbedaan pendapat yang makin menghangat, maka beliau hijrah dari negaranya (Iraq) dari tempat yang satu ke tempat yang lain hingga sampai di Hadramaut, beliau bermukim di sana hingga wafat.
Ketika beliau berangkat hijrah dari Iraq ke Hijaz pada tahun 317 H beliau ditemani oleh istrinya, Syarifah Zainab binti Abdullah bin al-Hasan bin ‘Ali al-‘Uraidhy, bersama putera bungsunya bernama Abdullah, yang kemudian dikenal dengan nama Ubaidillah. Turut serta dalam hijrah itu cucu beliau yang bernama Ismail bin Abdullah yang dijuluki dengan Bashriy. Turut pula dua anak lelaki dari paman beliau dan orang-orang yang bukan dari kerabat dekatnya. Mereka merupakan rombongan yang terdiri dari 70 orang. Imam al-Muhajir membawa sebagian dari harta kekayaannya dan beberapa ekor unta ternaknya. Sedangkan putera-puteranya yang lain ditinggalkan menetap di Iraq.[4]
Tibalah Imam al-Muhajir di Madinah al-Munawwarah dan tinggal di sana selama satu tahun. Pada tahun itulah kaum Qaramithah memasuki kota Makkah dan menguasainya. Mereka meletakkan pedang di al-Hajij dan memindahkan Hajarul-Aswad dari tempatnya ke tempat lain yang dirahasiakan. Pada tahun berikutnya al-Muhajir berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Dari Makkah beliau menuju Asir lalu ke Yaman. Di Yaman beliau meninggalkan anak pamannya yang bernama Sayyid Muhammad bin Sulaiman, datuk kaum Sayyid al-Ahdal. Kemudian Imam al-Muhajir berangkat menuju Hadramaut dan menetap di Husaisah. Imam al-Muhajir menetap di Hadramaut atas dasar pengarahan dari Allah SWT, sebab kenyataan menunjukkan, setelah beliau hijrah ke negeri itu di sana memancar cahaya terang sesudah beberapa lama gelap gulita. Penduduk Yaman khususnya Hadramaut yang mengaku penduduk asli dari keturunan Qahthan, yang awalnya bodoh dan sesat berubah menjadi mengenal ilmu dan berjalan di atas syariat Islam yang sebenarnya. Imam al-Muhajir dan keturunannya berhasil menundukkan masyarakat Hadramaut yang mempunyai faham Khawarij dengan dalil dan argumentasi.
Maka masuklah Imam al-Muhajir ke Hadramaut. Ia bersikap lemah lembut dalam da’wahnya dan menempuh cara yang halus dan mengeluarkan hartanya. Maka banyak orang-orang Khawarij yang datang kepadanya dan taubat di tangannya setelah mereka berusaha menentang dan mencacinya. Ia juga menolong qabilah al-Masyaikh al-Afif. Dan bergabung juga dengannya qabilah Kindah dan Madij. Mereka meninggalkan madzhab Ibadhiy dan bercampur dengan orang-orang yang datang dari Iraq.[5]
Kaum Khawarij tidak mengakui atau mengingkari Imam al-Muhajir berasal dari keturunan Nabi Muhammad saw. Untuk memantapkan kepastian nasabnya sebagai keturunan Rasulullah saw, sayyid Ali bin Muhammad bin Alwi berangkat ke Iraq. Di sanalah ia beroleh kesaksian lebih dari seratus orang terpercaya dari mereka yang hendak berangkat menunaikan ibadah haji. Kesaksian mereka yang mantap ini lebih dimantapkan lagi di Makkah dan beroleh kesaksian dari rombongan haji Hadramaut sendiri. Dalam upacara kesaksian itu hadir beberapa orang kaum Khawarij, lalu mereka ini menyampaikan berita tentang kesaksian itu ke Hadramaut.
Dan diantara ulama ahli nasab dan sejarah yang telah memberikan perhatiannya terhadap kebenaran nasab keturunan al-Imam al-Muhajir dan silsilah mereka yang mulia, ialah : pertama, al-Allamah Abu Nash Sahal bin Abdullah al-Bukhori dalam kitabnya Sirru al-Silsilah al-Alawiyah tahun 341hijriyah. Kedua, al-Nasabah Abu Hasan Najmuddin Ali bin Abi al-Ghonaim Muhammad bin Ali al-Amiri al-Bashri, wafat tahun 443. Di antara kitabnya adalah al-Majdi wa al-Mabsuth wa al-Musajjar. Ketiga, al-Allamah Muhammad bin Ja’far al-Ubaidili dalam kitabnya Tahdzib al-Ansab, wafat tahun 435 hijriyah. Keempat, al-Allamah al-Yamani Abu al-Abbas al-Syarajji dalam kitabnya Thabaqat al-Khawash Ahl al-Shidqi wa al-Ikhlas. Di dalamnya disebutkan mengenai hijrahnya Saadah keluarga al-Ahdal dan Bani Qudaimi, disebutkan awal pertama mereka tinggal di daerah Wadi Saham, Wadi Surdud, dan Hadramaut.
Dan terdapat pula dari beberapa ulama nasab yang mempunyai catatan-catatan ringkas mengenai nasab keturunan Rasulullah yang mulia ialah al-Imam al-Nasabah al-Murtadho al-Zubaidi dan al-Nasabah Ibnu Anbah pengarang kitab Umdah al-Thalib. Selain mereka banyak pula yang mengadakan penelitian tentang nasab keturunan Rasulullah saw yang mulia, hasilnya mereka mendapatkan kebenaran yang tidak diragukan lagi, sebagaimana hukum syar’i yang telah menjelaskan masalah interaksi sosial dan keterangan-keterangan yang berkaitan dengan keberadaan mereka dalam bentuk dalil-dalil yang kuat yang menjelaskan kemuliaan nasab mereka, serta kepemimpinan mereka di wilayah Arab, Hindi, Turki, Afrika Timur, Asia, semuanya merupakan dalil yang kuat tentang keberadaan mereka.
Di antara peneliti tersebut ialah al-Khazraji, al-Yafi’, al-Awaji, Ibnu Abi al-Hub, al-Sakhowi, Abu Fadhol, Abu Ubbad, Ibnu Isa al-Tarimi, al-Junaid, Ibnu Abi al-Hissan, Ibnu Hajar al-Haitami, Ibnu Samuroh, Ibnu Kabban, Bamahramah, Ibnu Fahd, Ibnu Aqilah, al-Marwani al-Tarimi, dan lainnya sebagaimana dijelaskan oleh Sayid Dhiya’ Shahab dalam bukunya ‘al-Imam al-Muhajir’. Terakhir, nasab keturunan Rasulullah saw dibahas oleh Sayid Abdullah bin Hasan Bilfaqih dalam kitab Tafnid al-Maza’im, Sayid Alwi bin Thahir al-Haddad dalam kitab al-Qaul al-Fashlu dan al-Syamil fi Tarikh Hadramut, Sayid Abdurrahman bin Ubaidillah al-Saqqaf dalam kitab Badhoi’ al-Tabut.[6]
Dengan demikian mantaplah sudah pengakuan masyarakat luas mengenai keutamaan para kaum ahlul-bait sebagai keturunan Rasulullah saw melalui puteri beliau Siti Fatimah Az-Zahra dan Imam Ali bin Abi Thalib. Rasulullah saw bersabda :
‘Setiap putra ibu akan bergabung nasabnya kepada ashabahnya (pihak ayah), kecuali anak-anak Fathimah, Akulah wali mereka dan akulah ashabah mereka’.[7]
Al-allamah Yusuf bin Ismail al-Nabhany dalam bukunya Riyadhul Jannah mengatakan : ‘Kaum Sayyid Baalawi oleh umat Muhammad saw sepanjang zaman dan di semua negeri telah diakui bulat sebagai ahlul-bait nubuwah yang sah, baik ditilik dari sudut keturunan maupun kekerabatan, dan mereka itu adalah orang-orang yang paling tinggi ilmu pengetahuan agamanya, paling banyak keutamaannya dan paling tinggi budi pekertinya’.[8]
Ahmad bin Isa wafat di Husaisah pada tahun 345 Hijriah. Beliau mempunyai dua orang putera yaitu Ubaidillah dan Muhammad. Ubaidillah hijrah bersama ayahnya ke Hadramaut dan mendapat tiga orang putera yaitu Alwi, Jadid dan Ismail (Bashriy). Dalam tahun-tahun terakhir abad ke 6 H keturunan Ismail (salah satu keturunannya ialah Syekh Salim Bin Bashriy) dan Jadid (salah satu keturunannya ialah al-Imam Abi Jadid Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Jadid) punah dalam sejarah, sedangkan keturunan Alwi tetap lestari. Mereka menamakan diri dengan nama sesepuhnya Alwi, yang kemudian dikenal dengan kaum Sayyid Alawiyin.
Kita dapat menyaksikan bahwa sekarang anak cucu dan keturunan Imam Ahmad bin Isa menyebar di berbagai pelosok Hadramaut, dan di daerah pesisir lautan Hindia, seperti Asia Tenggara, India dan Afrika Timur. Para da’i dan ulama-ulama mereka mempunyai peranan yang besar di tanah air mereka yang baru. Karena itu para penguasa, sultan, dan penduduk-penduduknya memuliakan mereka karena karya mereka yang baik dan agung.
Para sayyid Alawiyin menyebarkan da’wah Islamiyah di Asia Tenggara melalui dua tahap, pertama hijrah ke India. Kemudian pada tahap kedua dari India ke Asia Tenggara, atau langsung dari Hadramaut ke Asia Tenggara melalui pesisir India. Di antara yang hijrah ke India adalah seorang alim syarif Abdullah bin Husein Bafaqih ke kota ‘Kanur’ dan menikahi anak menteri Abdul Wahab dan menjadi pembantunya sampai wafat. Lalu syarif Muhammad bin Abdullah Alaydrus yang terkenal di kota Ahmadabad dan Surat. Ia hijrah atas permintaan kakeknya syarif Syech bin Abdullah Alaydrus. Begitu pula keluarga Abdul Malik yang diberi gelar ‘Azhamat Khan’. Dari keluarga inilah asal keturunan penyebar Islam di Jawa yang disebut dengan Wali Songo[9]. Kemudian dari India, mereka melanjutkan perjalanannya ke Indonesia, yaitu daerah pesisir utara Sumatera yang sekarang dikenal dengan propinsi Aceh.
Menurut Prof. Dr. Hamka, sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan-keturunan Hasan dan Husain itu datang ke tanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, Kepulauan Indonesia dan Filipina. Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam di seluruh Nusantara ini. Penyebar Islam dan pembangun kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanau dan Sulu. Sesudah pupus keturunan laki-laki dari Iskandar Muda Mahkota Alam pernah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail jadi raja di Aceh. Negeri Pontianak pernah diperintah bangsa sayid al-Qadri. Siak oleh keluarga bangsa sayid Bin Syahab. Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa sayid Jamalullail. Yang Dipertuan Agung III Malaysia Sayid Putera adalah raja Perlis. Gubernur Serawak yang sekarang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang ialah dari keluarga Alaydrus. Kedudukan mereka di negeri ini yang turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri di mana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi ulama. Mereka datang dari Hadramaut dari keturunan Isa al-Muhajir dan al-Faqih al-Muqaddam. Mereka datang kemari dari berbagai keluarga. Yang kita banyak kenal ialah keluarga Alatas, Assaqaf, Alkaf, Bafaqih, Alaydrus, Bin Syekh Abubakar, Al-Habsyi, Al-Haddad, Bin Smith, Bin Syahab, Al-Qadri, Jamalullail, Assiry, Al-Aidid, Al-Jufri, Albar, Al-Mussawa, Gathmir, Bin Aqil, Al-Hadi, Basyaiban, Ba’abud, Al-Zahir, Bin Yahya dan lain-lain. Yang menurut keterangan almarhum sayid Muhammad bin Abdurrahman Bin Syahab[10] telah berkembang jadi 199 keluarga besar. Semuanya adalah dari Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir. Ahmad bin Isa al-Muhajir Illallah inilah yang berpindah dari Basrah ke Hadramaut. Lanjutan silsilahnya ialah Ahmad bin Isa al-Muhajir bin Muhammad al-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far al-Shaddiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain al-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib. As-Sibthi artinya cucu, karena Husain adalah anak dari Fathimah binti Rasulullah saw.
Orang-orang Arab Hadramaut mulai datang secara massal ke Nusantara pada tahun-tahun terakhir abad 18, sedangkan kedatangan mereka di pantai Malabar jauh lebih awal. Perhentian mereka yang pertama adalah Aceh. Dari sana mereka lebih memilih pergi ke Palembang dan Pontianak. Orang Arab mulai banyak menetap di Jawa setelah tahun 1820, dan koloni-koloni mereka baru tiba di bagian Timur Nusantara pada tahun 1870. Pendudukan Singapura oleh Inggris pada tahun 1819 dan kemajuan besar dalam bidang perdagangan membuat kota itu menggantikan kedudukan Aceh sebagai perhentian pertama dan titik pusat imigrasi bangsa Arab. Sejak pembangunan pelayaran dengan kapal uap di antara Singapura dan Arab, Aceh bahkan menjadi tidak penting sama sekali.
Di pulau Jawa terdapat enam koloni besar Arab, yaitu Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang dan Surabaya. Di Madura hanya ada satu yaitu di Sumenep.. Koloni Arab di Surabaya dianggap sebagai pusat koloni di pulau Jawa bagian Timur. Koloni Arab lain yang cukup besar berada di Pasuruan, Bangil, Probolinggo, Lumajang, Besuki dan Banyuwangi. Koloni Arab di Besuki mencakup pula orang Arab yang menetap di kota Panarukan dan Bondowoso.
Koloni-koloni Arab Hadramaut khususnya Alawiyin yang berada lokasi pesisir tetap menggunakan nama-nama famili mereka, sedangkan Alawiyin yang tidak dapat pindah ke pesisir karena berbagai sebab kemudian berganti nama dengan nama Jawa, mereka itu banyak yang berasal dari keluarga Bayaiban, Ba’bud, Bin Yahya dan lainnya.

[1] Jilid 1, hal. 25
[2] Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm al-Andalusi. Jamharoh Ansab al-Arab, hal. 14.
[3] Para ahli sejarah sepakat memberi gelar al-Muhajir hanya kepada al-Imam Ahmad bin Isa sejak hijrahnya dari negeri Iraq ke daerah Hadramaut, hanya al-Imam al-Muhajir yang khusus menerima gelar tersebut meskipun banyak pula orang-orang dari kalangan ahlul bait dan dari keluarga pamannya yang berhijrah menjauhi berbagai macam fitnah dan berbagai macam gerakan yang timbul.
[4] Idrus Alwi Al-Masyhur, Menelusuri Silsilah Suci Bani Alawi, hal. 15.
[5] Muhammad Hasan Alaydrus, Penyebaran Islam di AsiaTenggara, hal 22.
[6] Abubakar Al-Adeni Bin Ali Al-Masyhur, Al-Abniyah al-Fikriyah, hal. 25.
[7] Jalaluddin Al-Suyuthi, Ihya al-Mait Fi Fadhail Ahlu al-Bait, hal. 42.
[8] Idrus Alwi Al-Masyhur, op cit, Hal. 15.
[9] Muhammad Hasan Alaydrus, op cit, hal. 35.
[10] Beliau adalah salah satu pendiri Rabithah Alawiyah dan menjadi ketua yang pertama.
Oleh: benmashoor

Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah Dan Salafiyyah

Kang As'ad
Disampaikan Dalam Kegiatan Ta’aruf Santri Baru Ma’had Aly al-Munawwir Krapyak Yogyakarta
 Oleh: As’ad Syamsul Arifin

 A.    PENDAHULAN
 Hampir seluruh golongan yang ada dalam Islam, baik yang ada dan berkembang saat ini maupun yang dulu pernah ada dan saat ini perkembangannya sudah tidak begitu terlihat lagi, semuanya mengaku dan mengidentifikasi dirinya sebagai golongan seperti yang tersurat dalam salah satu riwayat yang bersumber dari nabi dan disebut sebagai “Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah” (selanjutnya akan disebut ASWAJA-red).
Tidak aneh apabila setiap golongan mengklaim diri sebagai ASWAJA. Hal ini disebabkan karena hanya ASWAJA-lah yang oleh Nabi shalallahu’alaihi wasallam diisyaratkan sebagai golongan yang selamat (Firqah an-Najiyyah) dan berdiri di atas kebenaran, setelah Islam yang masih menurut peringatan dari Nabi akan terpecah menjadi 73 golongan.
B.     PENJELASAN TETANG ASWAJA
Istilah ASWAJA, merupakan gabungan dari tiga kata, yakni Ahl, as-Sunnah, dan al-Jamā’ah. Secara etimologis, kata ahl (أهل) berarti golongan, kelompok atau komunitas. Etimologi kata as-Sunnah (السنّة) memiliki arti yang cukup variatif, yakni: wajah bagian atas, kening, karakter, hukum, perjalanan, jalan yang ditempuh, dan lain-lain. Sedangkan kata al-Jamā’ah (الجماعة) berarti perkumpulan sesuatu tiga ke atas.
As-Sunnah sendiri menurut istilah Ulama’ adalah ucapan, perbuatan, dan penetapan yang dilakukan oleh Nabi shalallahu’alaihi wasallam. Barang siapa yang mengamalkan dari tiga elemen yang bersumber dari Nabi tersebut walaupun sekali dalam umurnya, menurut Ulama’ sudah masuk dalam kategori ASWAJA. Maksud yang lebih jelas dari pernyataan ini adalah, barang siapa yang mengimani seluruh apa yang datang dari Nabi shalallahu’alaihi wasallam maka orang tersebut sudah masuk dalam kategori ASWAJA, meskipun dalam tataran pelaksanaan dan konsistensi atas apa yang bersumber dari Nabi tersebut antar orang per-orang berbeda satu dengan yang lainnya.
Adapun terminologi ASWAJA, bukan merujuk kepada pengertian bahasa (lughawi) ataupun agama (syar’i), melainkan merujuk pada pengertian yang berlaku dalam kelompok tertentu (urfi). Yaitu, ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah adalah kelompok yang konsisten menjalankan sunnah Nabi saw. dan menteladani para sahabat Nabi dalam akidah (tauhid), amaliah badāniyah (syariah) dan akhlaq qalbiyah (tasawuf). Terminologi istilah ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah ini didasarkan pada sebuah hadits yang menyatakan bahwa hanya kelompok inilah yang selamat dari 73 perpecahan kelompok umat Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam (1).
Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam mensifati ASWAJA sebagai golongan yang selamat karena mereka adalah golongan terbesar dari ummat ini. Sifat ini cocok dengan golongan Asya’irah, Maturidiyyah, dan Ashab al-Hadits yang mana mereka adalah golongan terbesar yang ada (2). Kenapa jumlah besar yang menjadi ukuran selamat dan tidak selamat?, hal ini tidak lain adalah dari hasil pemahaman yang bersumber dari hadits yang cukup terkenal, yaitu:
لاتجتمع أمتي على الضلالة (3)
Juga dalam satu riwayat lain yang isinya hampir sama, Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam memerintahkan pada umatnya untuk selalu mengikuti golongan terbesar (As-Sawad al-A’dzam), hadits tersebut yaitu:
قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم لا يجمع الله هذه الأمة على ضلالة أبدا, قال يد الله على الجماعة فاتبعوا سواد الأعظم فإنه من شذ شذ في النار (4)
Sulthan al-Ulama’ al-Imam Tajuddin As-Subki menyatakan suatu pernyataan yang termaktub dalam kitab Ittikhaf as-Sadah al-Muttaqin bahwa golongan yang termasuk dalam kategori ASWAJA adalah golongan yang menyepakati satu keyakinan yang sama, meski mereka berbeda dalam latar belakang, metode, dan sebab yang menyampaikan mereka pada satu keyakinan yang sama tersebut. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Imam as-Subki, golongan yang termasuk sebagai ASWAJA di antaranya adalah: (5)
1.      Ahl al-Hadits, yang menjadi dasar pijakan dari keyakinan mereka adalah al-Adillah as-Sam’iyyah, yaitu: al-Qur’an, as-Sunnah, dan al-Ijma’.
2.      Ahl al-Kalam atau ahl an-Nadzr yang mengintegarasikan intelegensi (ash-Shina’ah al-Fikriyyah). Mereka adalah Asya’irah yang dipimpin oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (Basrah 260-324 H) dan Maturidiyyah yang dipimpin oleh Imam Abu Manshur al-Maturidi (Uzbekistan 250-333 H).
3.      Ahl al-Wijdan wa al-Kasyf, mereka adalah ahl ash-Shufiyyah, dasar pijakan yang ditempuh oleh mereka adalah sama dengan yang ditempuh oleh ahl an-Nadzr dan ahl al-Hadits pada permulaannya sebagai penghantar yang kemudian dilanjutkan melalui kasyf dan ilham.
Dalam suatu hadits Nabi shalallahu’alaihi wasallam menjelaskan bahwa umat beliau akan bercerai-berai menjadi 73 golongan. Yang satu masuk surga dan yang 72 masuk neraka. Kemudian salah satu sahabat ada yang bertanya: “Siapakah mereka (golongan yang masuk surga) itu, wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Mereka adalah ahl as-Sunnah wal Jamā’ah”.
Kemudian dalam hadits tersebut, kata ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah juga sudah disebutkan oleh Rasulullah dan beliau juga menyebut golongan ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah tersebut dengan sebutanal-Firqah an-Najiah. Hadits tersebut adalah;
تفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة الناجية منها واحدة والباقون هلكى قالوا ومن الناجية؟ قال أهل السنة والجماعة قيل وما السنة والجماعة؟ قال ما أنا عليه اليوم وأصحابي  (6)
Para Ulama’ menjelaskan jika kata ASWAJA di mutlakkan maka yang dimaksud dari kata  tersebut adalah Asya’irah dan Maturidiyyah, hal ini disebabkan karena kedua golongan tersebutlah yang paling dominan di hampir seluruh dunia Islam. Syaikh Muhammad Murtadla az-Zabidi berkata dalam kitab Ittikhaf Sadah al-Muttaqin:
“Apabila disebut nama Ahl as-Sunnah secara umum, maka maksudnya adalah al-Asya’irah (para pengikut faham Abu al-Hasan al-Asy’ari) dan al-Maturidiyyah (para pengikut faham Abu Manshur al-Maturidi)”. (7)
Syaikh Ali ash-Sha’di dalam kitab  Hasyiah al-Adwi menjelaskan:
“Dan Ahl al-Haqq (orang-orang yang berjalan di atas kebenaran) adalah gambaran tentang Ahl as-Sunnah Asya’irah dan Maturidiyyah, atau maksudnya mereka adalah orang-orang yang berada di atas sunnah Rasulullah Shalallahu’alihi wasallam, maka mencakup orang-orang yang hidup sebelum munculnya dua orang syaikh tersebut, yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi”. (8)
C.     ASWAJA ADALAH ASYA’IRAH
Ajaran Imam Abu hasan Al-Asy’ary yang hari ini banyak diikuti dan dianut oleh sebagian besar masyarakat muslim Indonesia khususnya warga NU dan juga tersebar di hampir sebagian besar dunia Islam yang pengikutnya dikenal dengan sebutan Asya’irah merupakan salah satu golongan yang mengeklaim dirinya sebagai golongan yang seperti disampaikan oleh Nabi shalallahu’alaiwasallam yaitu ASWAJA.
Hal ini tentu bukan merupakan klaim kosong yang tanpa alasan. Salah satu alasan utama yang mendasari klaim tersebut adalah seperti apa yang telah disampaikan oleh Nabi bahwa golongan yang selamat adalah golongan umat Islam yang terbesar seperti yang telah disebutkan dalam keterangan di atas (as-Sawad al-A’dzam). Juga dengan alasan bahwa ajaran yang dibawa oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ary yang kemudian dikenal dengan Asy’ariyyah bukan merupakan ajaran yang benar-benar baru atau hasil kreativitas beliau sendiri, tetapi  beliau hanya sekedar merekonstruksi ajaran atau pemikiran aqaid yang dulu pada masa sebelum beliau sudah ada (As-Salaf ash-Shalih). (9)
Jika disederhanakan dari uraian di atas maka akan bisa dikerucutkan pada satu pemahaman bahwa ASWAJA adalah orang-orang yang mengikuti apa yang telah diajarkan serta dianut oleh para As-Salaf ash-Shalih yang mana mereka adalah orang-orang yang selalu berpegang teguh pada Al-Qur’an serta Atsar yang diriwayatkan dari Nabi shalallahu’alaihi wasallam juga sahabatnya radliayallahu’anhum (ما انا عليه اليوم و أصحابي). Dan jika uraian ini diringkas kembali, maka yang disebut dengan ASWAJA adalah Asya’irah (hampir semua pengikut Madzahib al-Arba’ah), Maturidiyyah (yang diikuti oleh sebagian dari Hanafiyyah), Ashab al-Hadist (yang diikuti oleh sebagian Hanabilah), serta Ahl al-Kasyf wa al-Wijdan (para shufi). (10)
Salah seoarang Ulama’ al-Azhar yang cukup terkenal yaitu Syaikh Dr. Yusuf Qardlawi ketika ditanya tentang aqidah yang dianut oleh Al-Azhar asy-Syarif beliau menjawab:
“Saya telah melihat bahwa orang yang mengatakan demikian adalah orang yang mengkritik tentang Asy’ariyah”, kemudian beliau berkata: “al-Azhar bukan satu-satunya yang berpaham Asy’ariyyah. Umat Islamiyah adalah Asy’ariyyah, al-Azhar adalah Asy’ariyyah, az-Zaituniyyah adalah Asy’ariyyah, ad-Deobandi (di India) adalah Asy’ariyyah, Nadwah al-‘Ulama adalah Asy’ariy, madrasah-madrasah di Pakistan adalah Asy’ariyyah, hingga seluruh dunia Islam (mayoritas) adalah Asy’ariyyah”.
Beliau juga mengisyaratkan bahwa Asy’ariyyah juga terdapat di negeri Saudi yang dianggap sebagai markas salafiyah al-Wahabiyah, beliau berkata: “Salafiyah (Wahabi) hanya segelitir saja (minoritas), hingga apabila kita katakan Saudi, maka bukan seluruh Saud adalah Salafy (Wahabi). Penduduk Hijaz (Asy’ariyyah) selain Najed, (penduduk Nejd) pun yang bukan bagian timur, (yang bagian timur) pun bukan seperti di wilayah Jizan, begitulah seterusnya”. (11)
D.    SALAFIYYAH
Kata Salafi adalah sebuah bentuk penisbatan kepada as-SalafKata as-Salaf sendiri secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita. Adapun makna as-Salafsecara terminologis yang dimaksud di sini adalah generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah saw dalam haditsnya:
خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم  (12)
Berdasarkan hadits ini, maka yang dimaksud dengan as-Salaf adalah para sahabat Nabi saw, kemudian tabi’in, lalu atba’ al-tabi’inKarena itu, ketiga kurun ini kemudian dikenal juga dengan sebutan al-Qurun al-Mufadhdhalah (kurun-kurun yang mendapatkan keutamaan).Sebagian ulama kemudian menambahkan label as-Shalih (menjadi as-Salaf ash-Shalih) untuk memberikan karakter pembeda dengan pendahulu kita yang lain.Sehingga seorang salafi berarti seorang yang mengaku mengikuti jalan para sahabat Nabi saw, tabi’in dan atba’ al-tabi’in dalam seluruh sisi ajaran dan pemahaman mereka.
Dikalangan para Ulama’ memang terjadi perbedaan pendapat tentang siapa sebenarnya yang dimaksud dengan as-Salaf ash-Shalih. Syaikh Ibrahim al-Baijury dalam kitab Jauharah at-Tauhid menyebutkan dua pendapat tentang yang dimaksud dengan as-Salaf, diantaranya adalah; mereka yang hidup pada sebelum 500 tahun hijriyyah  pendapat kedua menyatakan as-Salaf adalah orang-orang yang hidup pada tiga kurun, yaitu; Sahabat, Tabi’in, dan atba’ at-Tabi’iin. (13)
Dalam kitab Syarhnya terhadap kitab Shahih Muslim, Imam an-Nawawi juga menyebutkan macam-macam pendapat tetang siapa itu salaf, tetapi dari berbagai pendapat yang ada menurut beliau yang shahih adalah pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan as-Salaf adalah orang-orang yang hidup dimasa Nabi, kemudian Tabi’iin, lalu atba’ at-Tabi’in. (14)
E.     MEREKA YANG MENGAKU-AKU SALAF
Aliran yang akhir-akhir ini banyak menjadi sorotan oleh masyarakat muslim baik di Indonesia atau bahkan seluruh masyarakat muslim di dunia adalah aliran yang disebut dengan Wahhābi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya tindakan-tindakan yang mereka lakukan dan dinilai sangat meresahkan oleh sebagian besar masyarakat muslim. Bahkan dalam suatu pertemuan ulama’-ulama’ besar dunia yang diadakan oleh Universitas  Islam yang cukup terkenal di dunia yaitu Universitas al-Azhar asy-Syārif, juga menghasilkan kesimpulan bahwa aliran Wahhābi sangat meresahkan masyarakat dunia Islam. (15)
Menurut satu riwayat, Muhammad ibnu Abdul Wahhāb ini dilahirkan di perkampungan `Uyainah dibagian selatan kota Nejed (Saudi Arabia) sekitar tahun 1115 H atau menurut Ensiklopedi Oxford menyebutkan hidupnya antara tahun 1703-1791 M. (16)
Pengikut akidah yang dianut Muhammad bin Abdul Wahhāb ini dikenal sekarang dengan nama golongan Wahhābi atau dikenal juga dengan Salafi. Nama Wahhābi atau al-Wahhābiyyah kelihatan dihubungkan kepada nama pendirinya yaitu Muhammad `Abd al-Wahhāb an-Najdi. Ia tidak dinamakan golongan atau madzhab al-Muhammadiyyah tidak lain bertujuan untuk membedakan di antara para pengikut Nabi Muhammad saw dengan pengikut madzhab mereka, dan juga bertujuan untuk menghalangi segala bentuk eksploitasi (istighlal). (17)
Penganut Wahhābi sendiri menolak untuk dijuluki sebagai penganut madzhab Wahhābi dan mereka menggelarkan diri mereka sebagai golongan al-Muwahhidun (unitarians) atau madzhab Salaf ash-Shāleh atau Salafi (pengikut kaum Salaf) karena mereka menurut pendapatnya  ingin mengembalikan ajaran-ajaran tauhid ke dalam Islam dan kehidupan murni menurut sunnah Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam. (18)
Golongan Wahhābi atau Salafi ini berpegang dengan akidah atau keyakinan Muhammad Ibnu Abdul Wahhāb sebagai penerus atau mendaur ulang keyakinan Ibnu Taimiyyah yang sebenarnya setelah sepeninggal Ibnu Taimiyyah (wafat tahun 728 H), sudah tidak popular lagi kemudian dihidupkan kembali oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahhāb. Golongan ini juga sering menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi saw secara tekstual (apa adanya kalimat) dan literal (makna yang sebenarnya) atau harfiah  dan meniadakan arti majazi atau kiasan. Oleh karenanya mereka sering menjasmanikan(tajsim) dan menyerupakan (tasybih) Allah SWT secara hakiki atau sesungguhnya kepada makhluk-Nya Na’udzubillah. (19)
Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi atau kiasan, yang mana kata-kata Allah SWT harus diartikan sesuai dengannya. Banyak ulama-ulama pakar yang mengeritik dan menolak akidah mengenai tajsim atau penjasmanian dan tasybih atau penyerupaan Allah SWT terhadap makhluk-Nya, dan hal ini sangat bertentangan dengan firman Allah SWT sebagai berikut;
ليس كمثله شيء وهو السميع البصير(20)
Juga ayat-ayat lain seperti surat al-An’am (6) : 103 “Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya”, dalam surat ash-Shaffat (37) : 159 “Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan”,  dan ayat yang lain.
Contoh tasybih dan tajsim yang dilakukan oleh golongan Wahhābi adalah:
1.      Mereka meyakini bahwa Allah Ta’ala bersemayam atau duduk di Arsy. (21)
2.      Meyakini Allah Ta’ala berjisim. (22)
3.      Bahwa Kalam Allah Ta’ala adalah dengan suara dan tulisan. (23)
4.      Allah Ta’ala bertempat dan memiliki arah. (24)
5.      Allah Ta’ala bergerak. (25)
Inilah contoh-contoh tajsim dan tasybih yang dilakukan oleh golongan yang mengaku Salafiyyah atau lebih dikenal oleh yang diluar mereka dengan Wahhabiyyah, keyakinan tersebut muncul disebabkan oleh pemberlakuan ayat-ayat dan hadits mutasyabihat sesuai dengan makna dzohirnya, dan meyakini itulah makna hakekatnya. Keyakinan mereka seperti ini sangat berbeda sekali dengan apa yang yakini oleh Ulama’ ASWAJA baik yang Salaf maupun Khalaf.
Dalam menyikapi ayat-ayat ataupun hadist yang secara dzohirnya mengarah kepada penjisiman dan tasybih, Ulama ASWAJA memilik dua metode dalam penyikapannya. Metode tersebut adalah Tafwidl dan Ta’wil.
Hal ini juga disebutkan oleh Syaikh Ibrahim al-Laqqani dalam Kitab Jauharah at-tauhid dalam nadzamnya:
وكل نص أوهم التشبيها**أوله أوفوض ورم تنزيها  (26)
Setiap nash yang menimbulkan persangkaan penyerupaan**Maka ta’wilkan atau tafwidlkan dan tinggalkanlah dengan cara mensucikan (tanzih).
Metode Tafwidl dalam menyikapi ayat-ayat dan hadits Mutasyabihat adalah  dengan menyerahkan maknanya pada Allah Ta’ala dan disertai dengan membersihkan keyakinan terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan ke-Agungan Allah Ta’ala. Metode Tafwidl ini adalah metode yang banyak ditempuh oleh Ulama’ salaf dalam   menyikapi ayat-ayat dan hadits Mutasyabihat. Sedangkan metode Ta’wil adalah  dengan membelokkan Nash yang dzohir maknanya mustahil bagi Allah Ta’ala ke makna yang sesuai dengan keagungan Allah Ta’ala dan ini adalah metode yang ditempuh oleh Ulama Khalaf. (27)
Imam As-Subki rahimahullah berkata dalam kitab Thobaqot Asy-Syafi’iyyah al-Kubra:
Pernyataan tentang pemberlakuan apa adanya disertai dengan I’tiqad Tanzih (penyucian dalam hati) itu adalah pernyataan yang dinisbahkan kepada Salaf, tetapi termasuk Musibah dan balak yang besar adalah memaknai (ayat mutasyabihat) dengan sesuai dzohirnya dan meyakini itulah pengertiannya (makna dari ayat mutasyabihat). Sungguh makna dzohir tersebut adalah mustahil atas Dzat Pencipta, pernyataan itu (sesuai dzohirnya) adalah pernyataan kaum Mujassimah penyembah berhala, yang dihatinya ada kecondongan pada kesesatan dengan mengikuti ayat mutasyabihat dan mengharapkan fitnah, semoga laknat Allah menimpa mereka satu demi satu. Apa yang mereka berlakukan adalah bersandar pada kebohongan dan sempitnya pemahaman atas hakekat.  (28)
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah dalam Fath al-Bary Syarh Shahih Bukhary menyatakan:
Barangsiapa yang memberlakukan ayat-ayat mutasyabihat sesuai dengan dzohirnya, maka akan mengarah pada penjisiman. Dan barangsiapa yang tidak mengerti terhadap ayat-ayat mutasyabihat dan mengetahui bahwasanya Allah Suci dari makna dzohirnya (ayat2 mutasyabihat), adakalanya orang tersebut tertipu dengan riwayat yang dia nukil dan adakalanya karena dia suka mentakwilnya (dengan tanpa ilmu). (29)
Imam asy-Syahrastani rahimahullah dalam kitab al-Milal wa an-Nihal menyatakan:
Kemudian golongan yang datang kemudian menambahi atas apa yang telah disampaikan oleh Ulama salaf (tetang tafwidl), mereka mengatakan: “ayat-ayat mutasyabihat harus diberlakukan atas makna dzohirnya”. Maka dengan sebab penambahan tersebut, mereka telah terperosok pada tasybih (penyerupaan), dan hal itulah yang telah menyelisihi pemahaman Ulama’ Salaf. (30)
F.      PENUTUP
Alhamdulillah tulisan singkat ini sudah selesai, semoga ada manfaat dan sedikit banyak bisa memberikan tambahan wacana bagi kita semua tentang apa yang seharusnya kita ketahui. Dan akhirnya kami secara pribadi mengajak, mari kita kuatkan keyakinan kita yang berdasarkan Aqidah Ahl As-Sunnah wa al-Jama’ah agar tidak mudah terombang-ambingkan faham-faham yang tidak benar.
Wallahu A’lam Bisshowab.
Yogyakarta, 18-Juni-2011.
DAFTAR PUSTAKA:
1.      As-Salafiyyah al-Mu’ashirah Ila al-Aina, hlm 33
2.      Ahl As-Sunnah al-Asya’irah Syahadah al-Ulama’ al-Ummah wa Adillatuhum, hlm 80-81
3.      Al-Imam al-Hafidz as-Sakhawi setelah menjelaskan tentang macam-macam jalur dan sanad dari hadits ini beliau berkata: “kesimpulannya adalah, hadits ini adalah hadits yang masyhur matannya, sanadnya banyak, dan memiliki syawahid yang bermacam-macam baik yang marfu’ maupun selainnya”. Al-Maqashid al-Hasanah nomor 1288.
4.      Imam al-Hakim, Mustadrak ‘ala Sahihain Li al-Hakim ma’a Ta’liqat az-Zahabi Fi at-Talkhis, (al-Maktabah asy-Syāmilah), I: 199 hadits nomor 391, “Kitab al-‘Ilm.” Hadits ini dari Abu al-Husain bin Muhammad bin Ahamad bin Tamim al-Asham dari Ja’far bin Muhammad bin Syakir dari Khalid bin Yazid al-Qarni dari al-Mu’tamar bin Sulaiman dari bapaknya dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar . Imam az-Zahabi menyatakan, “jika Khalid bin Yazid memang hafal dengan hadits ini, maka kami menghukumi hadits ini sebagai shahih.”
5.      Ahl As-Sunnah al-Asya’irah Syahadah al-Ulama’ al-Ummah wa Adillatuhum, hlm 81.
6.      Imam ath-Thabrani, Mu’jam ash-Shaghir at-Thabrani, (al-Maktabah asy-Syāmilah), II: 29, hadits nomor 724, “Man Ismuhu ‘Isa.” Hadits dari ‘Isa bin Muhammad as-Simsar al-Wasithi dari Wahhab bin Baqiyyah dari Sufyan al-Madani dari Sa’id al-Anshari dari Anas bin Malik.”
7.      Ittikhaf Sadah al-Muttaqin, Muhammad Murtadla Az-Zabidi, juz 2 hlm 6.
8.      Ali Ash-Sha’idi Al-’Adwi, Hasyiyah Al-’Adwi, juz-1 hal-105.
9.      Pengantar yang ditulis Dr. Hasan Hithu dalam kitab Ahl As-Sunnah Asya’irah Syahadatu Ulama’ al-Ummah  wa Adillatuhum karya Hammad Sinnan dan Fauzi al-Anjari.
10.  Lihat , Ahl As-Sunnah Asya’irah Syahadatu Ulama’ al-Ummah  wa Adillatuhum, hlm 80.
11.  http://www.qaradawi.net/site/topics/article.asp?cu_no=2&item_no=6914&version=1&template_id=116&parent_id=114
12.  Hadits riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahihnya nomor  2533.
13.  Jauharah at-Tauhid, Syaikh Ibrahim bin Muhammad al-Baijury, hlm 91.
14.  Syarh an-Nawawi ‘ala al-Muslim, asy-Syaikh Yahya bin Syaraf  Abu Zakariya an-Nawawi, dalam syarah beliau terhadap hadits nomor 2532.
15.  “Al-wahhābiyah Khatr ‘ala al-Islam wa al-‘Alam”, http://www.nokhbah.net/vb/showthread.php?t=5976, akses tanggal 13 Januari 2011.
16.  Jhon L. Espostio, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern II, (Bandung, Mizan, 2001), hlm 237.
17.  Siapa Golongan Salafy/Wahhābi dan Bagaimana Fahamnya?, http://salafytobat.wordpress.com/2008/11/02/bab-2-siapakah-golonan-salafiwahabi-dan-bagaimana-fahamnya/, akses tanggal 20 Januari 2011.
18.  Nur Khalik Ridwan, Doktrin Wahhābi Dan Benih-Benih Radikalisme Islam, (Yogyakarta, penerbit Tanah Air, 2009), hlm 3.
19.  Shihabudin, INILAH AHLI SUNNAH WAL JAMA’AH (Kumpulan Dialog Membela Faham Aswaja Dari Faham Wahhābi Salafy), (Yogyakarta, Assalafiyyah Press, 2010), hlm 16.
20.  Asy-Syuura (42) : 11.
21.  Fath al-Majid, Abd ar-Rahman bin Hasan bin Muhammad bin Abd al-Wahhab, cetakan Dar as-Salam Riyadl, hlm 356.
22.  Tanbihat ‘ala Man Taawwala ash-Shifat, Ibnu Baz, terbitan Riassah Ammah Lil Ifta’ Riyadl, hlm 19.
23.  Fatawa Aqidah karya Utsaimin hlm 72 dan Nazarat wa Ta’aqubat ‘ala fi Kitab as-Salafiyyah karya shalih Fauzan al-Fauzan hlm 23
24.  Pedoman Wanita Muslimah(terjemahan), karya Marfat binti Kamil bin Abdullah Usrah, hlm 7.
25.  Syarah at-Thahawi, Ibnu Abi al-Izz, hlm 286, cet th 1988.
26.  Jauharah at-Tauhid, hlm 91.
27.  Jauharah at-Tauhid, hlm 91.
28.  Imam Tajuddin as-Subki, Thobaqot Asy-Syafi’iyyah al-Kubra juz 5 hlm 191-192.
29.  Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari juz 13 hlm 432.
30.  Imam Asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal hlm 92.

Sejarah Para Pejuang Hadits Rasul SAW

ahli-hadits

Dalam kesempatan ini, kami akan kembali mengulas lagi sedikit tentang bagaimana sejarah pejuang para ahlul hadits yang meneruskan hadits – hadits Rasul Saw dari para ulama. Bahwa kita semua Ahlussunnah wal jamaah adalah mengambil dalam satu sanad walaupun dalam madzhab yang berbeda. Madzhabnya yang ada pada ahlussunnah wal jamaah yang masih ada hingga saat ini adalah 4 Madzhab besar, yaitu Madzhab Imam Malik, Madzhab Imam Hanafi, Madzhab Imam Syafi’i dan Madzhab Imam Hambali.
Dan keempatnya ini bukan terpecah – belah sanadnya tapi merupakan satu sanad. Sanad adalah mata rantai guru atau rantai periwayat. Al Imam Ahmad bin Hanbal adalah murid Imam Syafi’i dan Imam Syafi’i adalah murid Imam Malik dan Imam Malik hidup satu zaman dengan Imam Hanafi. Dan Imam Hanafi ini adalah tabi’in bersama Imam Malik yang berguru kepada para Sahabat Rasulullah Muhammad Saw. Jadi keempat Imam Madzhab ini adalah satu rumpun bukannya berpecah pecah dari sanad yang berbeda. Sama rumpunnya walaupun fatwa mereka berbeda.
Oleh sebab itu berbeda dengan mereka yang diluar ahlussunnah wal jamaah karena rumpunnya berbeda. Entah mengambil jalur guru dari mana, karena keempat madzhab ini berasal dari satu rumpun, karena mengambil dari satu rumpun dari tabi’in dari sahabat Rasul dari Rasulullah Muhammad Saw. Di dalam ilmu hadits kita mengenal derajat ahli hadits yang diantaranya di sebut Al Hafidh, Hujjatul Islam, Al Hakim. Dan kita perlu menjabarkan sebagaimana diperjelas oleh Al Imam Ibn Hajar Asqalani di dalam kitabnya Nukhfathul Fiikar bi Syarah Nukhfathul Fiikar beliau menjelaskan bahwa derajat para pakar hadits terendah adalah Al-Hafidh.
Al-Hafidh adalah orang yang telah menghafal 100.000 hadits beserta sanad dan hukum matannya. Mereka yang sudah hafal 100.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya maka mereka sudah mencapai gelar Al-Hafidh. Al-Hafidh di dalam ilmu hadits bukan seorang yang hafal alqur’an, kalau Al Hafidh di dalam ilmu hadits adalah yang hafal 100.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya. Padahal kalau haditnya panjangnya 1 baris, kalau disertakan dengan sanad dan hukum matannya bisa menjadi 2 halaman panjangnya. Mereka inilah orang – orang jenius yang dipilih oleh Allah Swt untuk menjaga syariatul muthaharoh (syariah yang suci) sebagaimana mereka – mereka itu tidak bisa percaya kalau ada jutaan hadits atau jutaan kalimat masuk ke dalam microchip yang kecil seperti ujung ibu jari maka di masa sekarang kita sulit percaya pada orang yang hafal 100.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya.
Akan tetapi Allah Swt menjaga syariah ini dengan keberadaan mereka dan jumlah mereka bukan hanya 1 atau 2 tapi ribuan para huffadh dimasa itu, masa kejayaan para tabi’in, para tabiut tabi’in dan orang sesudahnya. Kita mengenal 7 nama dari periwayat hadits terbesar, karena para muhaddits itu banyak orangnya, banyak ahli hadits yang mengumpulkan hadits dan mencatatnya tapi diantaranya terdapat 7 Imam Besar yang terkuat riwayatnya diantara lainnya, yaitu Al Imam Ahmad bin Hambal, Al Imam Nasa’i, Al Imam Tirmidzi, Al Imam Ibn Majah, Al Imam Abi Dawud, Al Imam Muslim dan Al Imam Bukhari. Ketujuh imam ini lebih kuat riwayatnya daripada yang lainnya. Yang lainnya masih banyak, ada Imam Daruquthni, Imam Hakim dan lainnya. Yang ketujuh ini diklasifikasikan lagi yaitu menjadi “Imam Kutubussithah” yaitu 6 Imam Besar yang tadi disebutkan terkecuali Imam Ahmad bin Hambal.
Imam Ahmad bin Hambal peringkat yang nomor 7 dan yang terakhir. Ia pun tidak termasuk dalam klasifikasi 6 imam besar. Yang terbawah Imam Ahmad bin Hambal dari 7 periwayat hadits terbesar, beliau ini hafal 1 juta hadits beserta sanad dan hukum matannya. Dan Imam Ahmad bin Hambal terkenal dengan gelar “Sayyidul Huffadh“, salah seorang dari yang paling banyak hafalan haditsnya. Ini derajat yang ketujuh, bagaimana dengan imam – imam besar yang diatas beliau?. Subhanallah.
Dan Imam Ahmad bin Hambal ini adalah murid Imam Syafi’I, Oleh sebab itu jika di masa sekarang muncul orang yang menghina, meremehkan fatwa Imam Syafi’i, semata karena ia tidak mengerti siapa Imam Syafi’i. imam Syafi’i mempunyai murid yang banyak diantaranya Imam Ahmad bin Hambal dan beliau hafal 1 juta hadits beserta sanad dan hukum matannya.
Ketika salah seorang datang kepada Imam Ahmad bin Hambal bahwa ia ingin menjadi muridnya, Imam Ahmad bin Hambal memberikan 1 tumpukan hadits seraya berkata “ini ada 10.000 hadits, kau hafalkan dulu kalau sudah hafal baru bisa jadi muridku“. Demikian syaratnya menjadi murid seorang imam besar, seorang muhaddits besar dan orang semacam Imam Ahmad bin Hambal tidak akan menerima seorang murid terkecuali ia telah menghafal lebih dari 10.00 hadits.maka orang tersebut menghafal hadits – hadits tersebut, ketika ia lulus dan mampu ia datang kepada Imam Ahmad bin Hambal seraya berkata “aku sudah hafal wahai imam, 10.000 hadits yang kau berikan“. Imam Ahmad bin Hambal berkata, “itu 10.000 hadits adalah hadits palsu, bukan hadits yang shahih, bukan pula hadits hasan bukan pula hadits dhaif derajatnya tapi terkecuali itu adalah hadits palsu“. Maka berkata muridnya “wahai imam, kau beri aku 10.000 hadits palsu?“, dan Imam Ahmad menjawab “itu untuk memperkuat hafalanmu“.
Demikianlah cara mereka menjaga ilmu hadits, kenapa? Jika kau menghafal hadits shahih dan salah, kau akan menipu umat hingga akhir zaman. Oleh sebab itu diberi hadits palsu, kalau salah tidak berdosa, tidak menipu umat. Jika kuat hafalannya baru diberikan hadits – hadits shahih dan dimasa itu hadits tidak ditulis tapi dihafal. Berbeda dengan masa sekarang, di masa itu sangat sedikit sekali hadits yang ditulis, semacam Imam Ahmad bin Hambal yang hafal 1 juta hadits beserta sanad dan hukum matannya dan beliau hanya sempat menuliskan 20.000 hadits saja di dalam Musnadnya. Dan 980.000 hadits itu sirna dengan wafatnya beliau dan wafatnya murid – muridnya. Ada yang terjaga pada murid – muridnya jika murid – muridnya tiada menulisnya maka akan sirna. 980.000 hadits dari sanubari Imam Ahmad bin Hambal (hanya 20.000 hadits yg tertulis).
Inilah derajat yang ketujuh, diatasnya ada lagi derajat klasifikasi 6 imam besar. Dari 6 Imam besar ini diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu “Shaikhain yakni Imam Bukhari dan Imam Muslim”. Dan sisanya yang 4 adalah imam lainnya yaitu Imam Nasa’i, Imam Tirmidzi, Imam Abi Dawud dan Imam Ibn Majah. 4 imam besar ini dikalahkan oleh mereka tertinggi yaitu Imam Muslim dan Imam Bukhari. Dan daripada yang tertinggi dari 7 periwayat hadits adalah Imam Bukhari dan kedua adalah Imam Muslim.
Oleh sebab itu Imam Bukhari paling dipegang riwayat haditsnya, kalau sudah diriwayatkan oleh Imam Bukhari tidak ada lagi ahli hadits yang mempermasalahkannya. Hadits riwayat Imam Muslim masih banyak dipermasalahkan kalau Imam Bukhari tidak ada lagi yang mempermasalahkannya. Beliau adalah seorang pemuda jenius, beliau itu bernama Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Bardizbah Al Bukhari, beliau adalah seorang yang sangat mencintai Sayyidina Muhammad Saw.
Imam Bukhari di dalam Tadzkhiratul Huffadh dan Siyar A’lamunnubala dijelaskan saat usianya 17 tahun beliau sudah hafal 200.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya. Di usia 17 tahun, seorang yang sangat jenius yaitu Imam Bukhari sehingga imam – imam lainnya di masa itu melihat bocah kecil ini sudah hafal puluhan ribu bahkan ratusan ribu hadits, mengungguli mereka, diantara yang mengaguminya adalah Imam Muhammad bin Salam, salah seorang senior ahli hadits di masa itu, ia berkata “aku kalau meriwayatkan hadits tidak pernah gemetar kecuali jika ada bocah ini yaitu Imam Bukhari, kalau ia ada disini aku gemetar karena ia lebih tinggi hafalannya dari aku”. Demikianlah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Bardizbah Al Bukhari.
Derajat yang kedua adalah Imam Muslim. Al-Imam Muslim suatu waktu mendapatkan permasalahan dalam hadits dan ia tidak mampu menjawabnya. Mencari jawaban tidak jumpa dan tidak ketemu akhirnya ia mendatangi Imam Bukhari dan ketika ia menyampaikan permasalah haditsnya maka Imam Bukhari menjawabnya seperti membaca surat al ikhlas, dengan gampangnya dan mudahnya Imam Bukahri menjawab, demikian diriwayatkan di dalam tadzkiratul huffadh. Maka berkata Imam Muslim “ijinkan aku mencium kedua kakimu wahai raja ahli hadits“.
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Bardizbah Al Bukhari. Beliau lahir tahun 194 H, jauh setelah lahirnya Imam Syafi’i, setelah Imam Syafi’i jadi Imam baru lahir Imam Bukhari. Oleh sebab itu bukan levelnya kalau Imam Bukhari dibandingkan dengan Imam Syafi’i, karena jauh sebelum Imam Bukhari, Imam Syafi’i sudah jadi imam besar dan Imam Bukhari baru lahir ke muka bumi. Akan tetapi Imam Bukhari adalah orang tertinggi yang diakui ilmunya di dalam hadits.
Imam Bukhari adalah orang yang sangat mencintai Rasul Saw seraya menulis Shahih Bukhari sebanyak kurang lebih 7000 hadits, yang beliau tulis diantara makamnya Rasulullah Saw dan mimbarnya Rasulullah Saw di Masjid Nabawiy. Beliau berwudhu lalu shalat sunnah 2 rakaat kemudian menulis 1 hadits, dan kembali berwudhu lalu shalat sunnah 2 rakaat dan kembali menulis hadits sampai mencapai lebih dari 7000 hadits yang sampai saat ini dikenal dengan “Shahih Bukhari“. Dan inilah Asshahhul Kitab, kitab yang paling shahih dari semua hadits – hadits yang shahih.
Dan hadirin – hadirat yang dimuliakan Allah, Ketika Imam Bukhari ditimpa banyak fitnah maka para murid – muridnya berkata, “wahai imam, kenapa tidak kau jawab dengan fatwa – fatwamu, mereka – mereka yang memfitnahmu?”. Imam Bukhari menjawab “aku teringat hadits Rasul Saw, akan kalian lihat hal – hal yang tidak kalian sukai daripada fitnah dan permasalahan kelak dan bersabarlah kalian sampai kalian berjumpa dengan aku di telaga haudku”.
Demikian Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Bardizbah Al Bukhari dan juga imam – imam besar lainnya, mereka para pecinta Rasulullah Saw dan sangat memuliakan Rasul Saw, sebagaimana Imam Ahmad bin Hambal diriwayatkan di dalam Tadzkiratul Huffadh dan Siyar A’lamunnubala, ketika Imam Ahmad bin Hambal ini wafat maka jenazahnya dishalatkan lebih dari 800.000 muslimin – muslimat dan ia pun berwasiat pada putranya, jika aku wafat aku menyimpan 3 helai rambutnya Rasulullah Saw, maka 1 helai rambut taruh dibibirku, yang 2 helai taruh di kedua mataku dan makamkan aku dengan itu. Demikian cintanya Imam Ahmad bin Hambal sehingga ia tidak ingin dikebumikan kecuali dengan terus mencium rambutnya Rasulullah Saw. Demikianlah Mahabbah, demikianlah cinta sang Imam kepada Nabi Muhammad Saw.
Demikian pula Imam Syafi’i, Imam Malik bin Anas bin Malik, seorang yang sangat mencintai Rasul Saw. Imam Malik ini kalau ditanya, maka ia berkata “Kau mau tanya soal hadits atau soal hukum. Kalau bicara hukum, aku jawab. Kalau Tanya soal hadits, tunggu dulu”. Jika orang bertanya hadits, beliau berwudhu, setelah berwudhu lalu memakai minyak wangi, memakai siwaknya, memakai sipat matanya lantas memakai jubahnya baru berkata “Qaala Rasulullah Saw“. Demikian Imam Malik bin Anas bin Malik Alaihi Rahmatullah, beliau adalah seorang Imam di Madinah Al Munawarrah dan menjadi pemimpin para ahli hadits di zamannya seraya menulis kitab hadits yang dinamakan : Almuwatta’, (yg menginjak). Kenapa kitab haditnya ini dinamakan kitab yang menginjak? Karena menundukkan seluruh kitab hadits di masanya, demikian Imam Malik bin Anas bin Malik.
Ketika generasi mereka semakin sirna, Al-Imam Ibn Hajar mengklasifikasikan bahwa derajat ahli hadits yang pertama Al-Hafidh yaitu yang hafal 100.000 hadits beserta sanad dan hukum matannya dan diatasnya terdapat lagi Hujjatul Islam yaitu yang hafal lebih dari 300.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya. Maka kita mengenal Hujjatul Islam Al-Imam Ghazali, beliau ini telah sampai derajat haditsnya melebihi 300.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya. Jika orang di masa sekarang meremehkan fatwa Imam Ghazali, hati – hati beliau itu hafal lebih dari 300.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya. Demikian juga Hujjatul Islam Al-Imam Nawawi dan masih banyak lagi para perawi hadits dan para muhadditsin dari masa ke masa. Tinggallah kita di masa kini yang mesti harus terus membangun generasi para ulama.
Allah Swt terus memuliakan umat ini dari zaman ke zaman, walaupun mereka sudah semakin hari semakin kekurangan ilmu tapi mereka masih mempunyai sanad, mereka masih mempunyai pertalian guru, mereka berguru pada gurunya, gurunya berguru pada gurunya sampai kepada ahli hadits sampai kepada Rasulullah Saw.
Hingga masa kini sangat berharga kita mencari guru yang mempunyai sanad, yang mempunyai hubungan pertalian dengan guru – guru para ahli hadits, para ahli alqur’an, para ahli fiqh dan para ahli syariatul muthaharoh sehingga ilmu kita jelas mengikuti guru yang mempunyai guru yang jelas sanadnya. Berbeda dengan orang yang sembarang mengambil guru, tidak mengetahui gurunya hanya mempunyai buku dan setelah itu fatwanya hanyalah terikat pada huruf – huruf di bukunya. Ketika dimintai pertanggungjawaban di yaumal qiyamah, ia tidak bisa membawa pertanggungjawabnnya karena sanadnya bersambung kepada hal yang terputus.
Oleh sebab itu mari kita benahi umat, kita benahi diri kita kalau seandainya kita sibuk dengan pekerjaan, niatkan keturunan kita kelak menjadi ulama, menjadi pewaris para Nabi, menjadi pejuang syariatul muthaharoh.
(Disadur dari isi ceramah al-Habib Munzir bin Fuad al-Musawa)

Habib Abdul Qadir Bilfaqih Malang

Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al Alawy, Tengah

Di Kota Bunga, Malang, Jawa Timur, ada seorang auliya’ yang terkenal karena ketinggian ilmunya. Ia juga hafal ribuan hadits bersama dengan sanad-sanadnya.
Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut, pada hari Selasa 15 Safar tahun 1316 H/1896 M. Saat bersamaan menjelang kelahirannya, salah seorang ulama besar, Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf, bermimpi bertemu Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir Jailani. Dalam mimpi itu Syekh Abdul Qadir Jailani menitipkan kitab suci Al-Quranul Karim kepada Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf agar diberikan kepada Habib Ahmad bin Muhammad Bilfagih.
Pagi harinya Habib Syaikhan menceritakan mimpinya kepada Habib Ahmad. Habib Ahmad mendengarkan cerita dari Habib Syaikhan, kemudian berkata, ”Alhamdulillah, tadi malam aku dianugerahi Allah SWT seorang putra. Dan itulah isyarat takwil mimpimu bertemu Syekh Abdul Qadir Jailani yang menitipkan Al-Quranul Karim agar disampaikan kepadaku. Oleh karena itu, putraku ini kuberi nama Abdul Qadir, dengan harapan, Allah SWT memberikan nama maqam dan kewalian-Nya sebagaimana Syekh Abdul Qadir Jailani.”
Demikianlah, kemudian Habib Ahmad memberi nama Abdul Qadir karena mengharap berkah (tafa’ul) agar ilmu dan maqam Abdul Qadir seperti Syekh Abdul Qadir Jaelani.
Sejak kecil, ia sangat rajin dan tekun dalam mencari ilmu. Sebagai murid, ia dikenal sangat cerdas dan tangkas dalam menerima pelajaran. Pada masa mudanya, ia dikenal sebagai orang yang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu dan menaruh penghormatan yang tinggi kepada guru-gurunya. Tidaklah dinamakan mengagungkan ilmu bila tidak memuliakan ahli ilmu, demikian filosofi yang terpatri dalam kalbu Habib Abdul Qadir.
Pernah suatu ketika di saat menuntut ilmu pada seorang mahaguru, ia ditegur dan diperingatkan, padahal Habib Abdul Qadir waktu itu pada pihak yang benar. Setelah memahami dan mengerti bahwa sang murid berada di pihak yang benar, sang guru minta maaf. Namun, Habib Abdul Qadir berkata, ”Meskipun saya benar, andaikan Paduka memukul muka hamba dengan tangan Paduka, tak ada rasa tidak menerima sedikit pun dalam diri hamba ini.” Itulah salah satu contoh keteladanan yang tinggi bagaimana seorang murid harus bersopan-santun pada gurunya.
Guru-guru Habib Abdul Qadir, antara lain, Habib Abdullah bin Umar Asy-Syatiry, Habib Alwy bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor, Syekh Segaf bin Hasan Alaydrus, Syekh Imam Muhammad bin Abdul Qadir Al-Kattany, Syekh Umar bin Harridan Al-Magroby, Habib Ali bin Zain Al-Hadi, Habib Ahmad bin Hasan Alatas, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsy, Syekh Abubakar bin Ahmad Al-Khatib, Syekh Abdurrahman Bahurmuz.
Dalam usia yang masih anak-anak, ia telah hafal Al-Quran. Tahun 1331 H/1912 M, ia telah mendapat ijazah dan berhak memberikan fatwa agama, antara lain di bidang hukum, dakwah, pendidikan, dan sosial. Ini merupakan anugerah Allah SWT yang telah diberikan kepada hamba pilihan-Nya.
Maka tidak berlebihan bila salah seorang gurunya, Habib Alwi bin Abdullah bin Syihab, menyatakan, ”Ilmu fiqih Marga Bilfagih setara dengan ilmu fiqih Imam Adzro’iy, sedangkan dalam bidang tasawuf serta kesusastraan bagai lautan tak bertepi.”
Sebelum meninggalkan kota Tarim untuk berdakwah, di tanah kelahirannya ia sempat mendirikan organisasi pendidikan sosial Jami’yyatul Ukhuwwah wal Mu’awanah dan Jami’yyah An-Nasr Wal Fudho’il tahun 1919 M.
Sebelum berhijrah ke Indonesia, Habib Abdul Qadir menyempatkan diri beribadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan dan singgah di beberapa kota dan negara, seperti Aden, Pakistan, India, Malaysia, dan Singapura. Di setiap kota yang disinggahi, ia selalu membina umat, baik secara umum maupun khusus, dalam lembaga pendidikan dan majelis taklim.
Tiba di Indonesia tepatnya di kota Surabaya tahun 1919 M/1338 H dan langsung diangkat sebagai direktur Madrasah Al-Khairiyah. Selanjutnya, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Madrasah Ar-Rabithah di kota Solo tahun 1351 H/1931 M.
Selepas bermukim dan menunaikan ibadah haji di Makkah, sekembalinya ke Indonesia tanggal 12 Februari 1945 ia mendirikan Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah dan Perguruan Islam Tinggi di kota Malang. Ia pernah diangkat sebagai dosen mata kuliah tafsir pada IAIN Malang pada 1330 H/1960 M.

 
Habib Abdullah Bilfaqih, Anak

Keistimewaan Habib Abdul Qadir adalah, ia ahli ilmu alat, nahwu, sharaf, manthiq, ilmu kalam, serta ma’any, bayan, dan badi (tiga yang terakhir merupakan bagian ilmu sastra). Dalam bidang hadits, penguasaannya adalah bidang riwayat maupun dirayah, dan hafal ribuan hadits. Di samping itu, ia banyak mendapat hadits Al-Musalsal, yakni riwayat hadits yang tersambung langsung kepada Rasulullah SAW. Ini diperolehnya melalui saling tukar isnad (saling menukar periwayatan hadits) dengan Sayid Alwy bin Abas Al-Maliky saat berkunjung ke Makkah.
Sebagai seorang ulama yang menaruh perhatian besar dalam dunia pendidikan, ia juga giat mendirikan taklim di beberapa daerah, seperti Lembaga Pendidikan Guru Agama di Sawangan, Bogor, dan Madrasah Darussalam Tegal, Jawa Tengah.
Banyak santrinya yang di kemudian hari juga meneruskan jejaknya sebagai muballigh dan ulama, seperti Habib Ahmad Al-Habsy (Ponpes Ar-Riyadh Palembang), Habib Muhammad Ba’abud (Ponpes Darul Nasyi’in Malang), Habib Syekh bin Ali Al Jufri (Ponpes Al-Khairat Jakarta Timur), K.H. Alawy Muhammad (Ponpes At-Taroqy Sampang, Madura). Perlu disebutkan, Prof. Dr. Quraisy Shihab dan Prof. Dr. Alwi Shihab pun alumnus pesantren ini.
Habib Abdul Qadir wafat pada 21 Jumadil Akhir 1382 H/19 November 1962 dalam usia 62 tahun. Kala saat-saat terakhirnya, ia berkata kepada putra tunggalnya, Habib Abdullah, ”… Lihatlah, wahai anakku. Ini kakekmu, Muhammad SAW, datang. Dan ini ibumu, Sayyidatunal Fatimah, datang….” Ribuan umat berdatangan untuk meyampaikan penghormatan terakhir kepada sang permata ilmu yang mumpuni itu. Setelah disemayamkan di Masjid Jami’ Malang, ia dimakamkan di kompleks makam Kasin, Malang, Jawa Timur.
Wallahu a’lam.
(http://majlisdzikrullahpekojan.org)

KH. Ali Maksum Krapyak

kh ali maksum krapyak

Ali bin Maksum bin Ahmad dilahirkan di Lasem Rembang Jawa Tengah pada tanggal 2 Maret 1915. Ayahnya, Maksum adalah pendiri Pondok Pesantren Al-hidayah Lasem Rembang. Nama aslinya hanyalah Ali. Sedangkan Nama Ali Maksum adalah gabungan dari nama ayahnya.
Ali Maksum dikenal sebagai gurunya para intelektual Muslim. Di antara para intelektual Muslim yang pernah berguru kepadanya adalah, KH Abdurrahman Wahid, KH Chalil Bisri, KH Masdar Farid Mas’udi, KH Ahmad Musthofa Bisri, dan sebagainya.
Menurut Gus Mus, panggilan akrab KH Ahmad Musthofa Bisri, KH Ali Maksum dan ayahnya KH Bisri Mustofa adalah guru yang paling banyak mempengaruhi perjalanan hidupnya. Kedua kiai itu memberikan kebebasan kepada para santri untuk mengembangkan bakat seni.
Semasa kecil Ali Maksum dibimbing langsung oleh ayahnya. Sejak usia dini, ia sudah akrab dengan dunia pesantren dan kitab kuning. Pertama kali, Ali Maksum diajari mengaji Alquran oleh ayahnya. Setelah lancar, Ali Maksum dikirim ayahnya untuk belajar di Pondok Pesantren Termas Pacitan di bawah asuhan KH Dimyati. Sejak di Termas inilah, Ali Maksum terlihat menonjol dan akhirnya ikut membantu gurunya mengajar dan mengurus pesantren dan membuat karangan tulisan.
Ali Maksum dikenal cerdas dan tekun. Ia akhirnya ditunjuk menjadi kepala madrasah di Pondok Pesantren Termas Pacitan. Selama delapan tahun di Termas, Ali Maksum mempelajari dan menguasai berbagai cabang ilmu agama.
Setelah dewasa, Ali Maksum menikah dengan Hasyimah, putri KH M Munawwir al-Hafidh al-Muqri Krapyak Yogyakarta. Tidak lama setelah menikah, dengan dibantu oleh seorang saudagar Kauman Yogyakarta Ali Maksum berhaji ke Mekah. Kesempatan ini beliau gunakan pula untuk belajar ilmu agama kepada para ulama Mekah.
Di Mekah, Ali Maksum belajar agama kepada Sayyid Alwi al-Maliki al-Hasani, Syaikh Masyayikh Hamid Mannan, Syaikh Umar Hamdan, dan lain-lain. Ketekunan dan kecerdasannya, akhirnya mengantarkan dirinya menjadi ulama yang fasih berbahasa Arab.
Setelah dua tahun mengaji di Mekah, Ali Maksum kembali ke tanah Jawa pada masa pemerintahan Jepang tahun 1942. Ketika itu pesantren ayahnya di Lasem nyaris bubar. Sedianya beliau hendak tinggal di Lasem membantu ayahnya mengembangkan pesantren. Namun, sepeninggal KH Munawwir Krapyak, pondok Krapyak membutuhkan dirinya untuk melanjutkan perjuangan di bidang pendidikan. Bersama-sama dengan KH R Abdullah Affandi Munawwir dan KH R Abdul Qadir Munawwir, ia menghabiskan umur dan segenap daya upaya untuk merawat dan mengembangkan pondok Krapyak. Dari pondok Krapyak inilah cikal bakal pesantren Alquran di Indonesia.
Pesantren yang diasuhnya semakin mengalami perkembangan. Dalam bidang pendidikan pesantren, Ali Maksum merintis pola semi modern dengan sistem klasikal hingga berkembanglah madrasah-madrasah hingga saat ini. Dari kesabaran dalam berjuang pondok Krapyak yang diasuhnya telah berdiri dan berkembang Taman Kanak-Kanak, Madrasah Diniyyah, Madrasah Tsanawiyyah, Madrasah Aliyah, Madrasah Tahfidzil Quran dan Madrasah Takhassusiyah untuk para santri mahasiswa. Di samping itu kemajuan telah dicapainya dalam bentuk pembangunan sarana dan prasarana fisik.
Selain mengasuh pesantren, Ali Maksum juga diminta untuk menjadi dosen luar biasa pada Institut Agama Islam Negeri (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di bidang kemasyarakatan dan politik, Ali Maksum pernah menjadi anggota majlis Konstituante, sebuah lembaga pembuat Undang-Undang Dasar pada masa rezim Orde Lama.
Dalam organisasi Nahdlatul Ulama, Ali Maksum pernah memangku jabatan sebagai Rais ‘Am Syuriyyah yang mengantarkan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama keluar dari jalur politik pada masa rejim Orde Baru. Sejak tahun 1970, Ali Maksum telah memangku jabatan Rais Syuriah Pengurus wilayah NU Yogyakarta. Ia terpilih sebagai Rais ‘Am Syuriah Pengurus Pusat Nahdhatul ‘Ulama dalam musyawarah alim ulama NU di Kaliurang Yogyakarta pada tahun 1981.
Pada tahun 1984, pada muktamar ke-27 di Sitobondo, Ali Maksum terpilih sebagai penasihat dan muktasyar PBNU sampai wafatnya. Di sela-sela mengasuh ribuan santrinya, Ali Maksum masih saja menyempatkan diri untuk memberikan pengajian di masyarakat. Ali Maksum telah menulis beberapa kitab, di antaranya; Hujjah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Argumentasi Ahlussunnah wal jama’ah), Tasriful Kalimah fis Shorf (Tasrif Kalimah dalam Shorof), Mizan al-’Uqul fi ‘Ilmil Manthiqi (Morfologi Arab yang Jelas), Ilmu Mantiq dan beberapa kitab berbahasa Arab lainnya.
Dari Pondok Krapyak yang dipimpinnya itu telah dilahirkan ratusan kyai dari ribuan santri yang mengaji pada beliau pada kurun 1946 hingga 1989. Pondok Krapyak, beberapa hari sebelum dirinya meninggal, menjadi tempat penyelenggara Muktamar Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, pertemuan paling bergengsi organisasi para ulama Indonesia.
KH Ali Maksum wafat pada tangga 7 Desember 1989. Dimakamkan di Dongkelan Bantul Yogyakarta. Sekarang, pengelolaan Pondok Pesantren ditangani oleh lembaga berbadan hukum dengan nama Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta dipimpin oleh KH Attabik Ali, putra pertama dari KH Ali Maksum.

Sayyid Thohir Alauddin Al Jailani (Juru Kunci Makam Syaikh Abdul Qadir Jailani)

 
Al Allamah Arifbillah Assayyid Thohir Alauddin Al Jailani Al Hasani adalah seorang ulama Qadariyyah yang menjadi juru kunci makam datuknya, Sulthan Aulya Syaikh Abdul Qadir Al Jailani. Beliau lahir di Baghdad tanggal 18 Juni 1932 M. Beliau merupakan keturunan ke-17 dari Sulthan Aulya, dan keturunan ke-28 dari Rasulullah SAW. Ayahnya adalah juru kunci makam Sulthan Aulya sebelumnya. Begitu juga dengan kakeknya, semasa hidupnya beliau manjadi juru kunci makam, sekaligus menjadi Perdana Menteri Iraq selama dua tahun setelah kekuasaan Khalifah Utsmaniyyah berakhir.
Nasabnya beliau adalah, Sayyid Thohir Alauddin Al Jailani bin Mahmud Hisamuddin bin Abdurrahman bin Ali bin Musthafa bin Sulaiman bin Zainuddin bin Muhammad bin Hisamuddin bin Nuruddin bin Waliyuddin bin Zainuddin bin Syarafuddin bin Syamsuddin bin Muhammad Al Hattaki bin Abdul Aziz bin Sulthan Aulya Syaikh Abdul Qadir Al Jailani bin Abu Shalih Musa bin Janki Dausat bin Yahya Azzahid bin Muhammad bin Daud bin Musa Al Juni bin Abdullah Al Mahdi bin Hasan Al Mutsana bin Hasan bin Ali bin Abu Thalib yang menikah dengan Fathimah Azzahrah binti Rasulullah SAW.
Sayyid Thohir Alauddin mulai belajar ilmu agama kepada ayahnya, Sayyid Mahmud Hisamuddin Al Jailani, kemudian kepada seorang guru di Masjid Sultan Ali. Setelah itu melanjutkan ke Madrasah Darul Nizami dibawah bimbingan Syaikh Al Mullah Asad Affandi (Mufti wilayah Qasim, Iraq) dan Syaikh Kholil Al Baghdadi. Setelah lama belajar di Baghdad, pada tahun 1956 M, beliau hijrah menuju Pakistan dan menetap di Quetta hingga wafat. Kepindahan beliau dari Baghdad (Iraq) ke Pakistan bukan tanpa sebab, akan tetapi isyarah dari datuknya, Sulthan Aulya Syaikh Abdul Qadir Al Jailani yang menyiratkan akan terjadinya sesuatu di Baghdad, dan benar, pada masa akhir hayat beliau terjadi perang di Baghdad.
Akhlak dan kepribadian Sayyid Thohir Alauddin ini begitu memukau dan mulia, sehingga banyak diantara para penguasa negeri Islam kala itu meminta beliau untuk menjadi menantunya. Diantara semua permintaan itu, beliau memilih Putri Sardar Yaar Khan Ahmad dari wilayah Kalat sebagai istrinya. Dari pernikahannya itu, beliau dikaruniai enam anak, tiga laki-laki dan tiga perempuan. Diantara anak-anak laki-laki beliau adalah Sayyid Muhyiddin Mahmud (beliau mempunyai empat anak, Sayyid Thohir Hisamuddin, Sayyid Abdurrahman, Sayyid Saifuddin dan Sayyid Ahmad Nuruddin), Sayyid Jamaluddin Abdul Qadir (beliau mempunya satu anak, Sayyid Yahya Syamsuddin yang sempat menjadi Menteri Majelis Nasional Iraq) dan Sayyid Zainuddin Muhammad (beliau memiliki satu anak, Sayyid Thohir Alauddin)
Menjelang akhir hayatnya, Sayyid Thohir Alauddin menderita sakit parah hingga dirujuk ke Jerman oleh murid-muridnya. Beliau wafat disana pada hari Jum’at, tanggal 23 Dzulhijjah 1411 H (7 Juni 1991 M). Rencananya beliau akan dimakamkan di Baghdad, namun karena situasi di Baghdad dan Iraq umumnya sedang berlangsung peperangan, maka beliau dimakamkan di Lahore, Pakistan. Saking banyaknya pelayat yang datang, pemakaman selesai pukul 03.00 pagi.

Biografi Kiai Shaleh Darat Semarang

KH. Sholeh Darat
 
Muhammad Shalih bin Umar (1820 M), yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai Shaleh Darat, adalah seorang ulama besar pada zamannya. Ketinggian ilmunya tidak hanya bisa dilihat dari karya-karya monumental dan keberhasilan murid-muridnya menjadi ulama-ulama besar di Jawa, tetapi juga bisa dilihat dari pengakuan penguasa Mekkah saat ia bermukim di sana. Ia dinobatkan menjadi salah seorang pengajar di Tanah Suci tersebut.
.
Selain itu, ia adalah seorang ulama yang sangat memperhatikan orang-orang Islam awam dalam bidang agama. Ia menulis ilmu fiqih, aqidah, tasawuf dan akhak dengan bahasa yang mudah dipahami orang awam, yakni dengan bahasa Jawa.
.
Kelahirannya
Nama lengkapnya Muhammad Shalih bin Umara al-Shamarani, atau lebih dikenal dengan sebutan Kiai Shalih Darat. Ayahnya Kiai Umar merupakan salah seorang pejuang dan orang kepercayaan Pangeran Diponegoro di Jawa Bagian Utara, Semarang, di samping Kiai Syada’ dan Kiai Mutadha Semarang. Kiai Shaih Darat dilahirkan di desa Kedung Cumpleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, sekitar 1820 M. Sedangkan informasi lainnya menyatakan bahwa, Kiai Shaih Darat dilahirkan di Bangsri, Jepara. Ia wafat di Semarang pada 28 Ramadhan 1321 H/18 Desember 1903 M.
.
Ia disebut Kiai Shaih Darat, karena ia tinggal di kawasan yang bernama Darat, yaitu suatu daerah di pantai utara Semarang, tempat mendarat orang-orang dari luar Jawa. Kini daerah Darat termasuk wilayah Semarang Barat. Adanya penambahan Darat sudah menjadi kebiasaan atau ciri dari oang-orang yang terkenal di masyarakat.
.
Kiai-Kiai Seperjuangan
Sebagai seorang putra Kiai yang dekat dengan Pangeran Diponegoro, Kiai Shalih Darat mendapat banyak kesempatan untuk berkenalan dengan teman-teman orang tuanya, yang juga merupakan kiai terpandang. Inilah kesempatan utama Kiai Shalih Darat di dalam membuat jaringan dengan ulama senior di masanya, sehingga ketokohannya diakui banyak orang. Di antara kiai senior yang memiliki hubungan dekat dengan Kiai Shalih Darat adalah:
.
Kiai Hasan Bashari ( putra Kyai Nur Iman Mlangi dari garwa Gegulu ;tambahan oleh ravie ananda ), ajudan Pangeran Diponegoro. Salah seorang cucunya ( nya yang dimaksud adalah Kiai Hasan Bashari) KH. M. Moenawir, pendiri pesanten Krapyak Yogyakarta, adalah salah seorang murid Kiai Shalih Darat.
  • Kiai Syada’ dan Kiai Darda’, dua orang prajurit Pangeran Diponegoro. Setelah Pangeran Diponegoro tertawan, Kiai Darda’ yang beasal dari Kudus, kemudian menetap di Mangkang Wetan, Semarang bagian barat, dan memnbuka pesantren di sana. Kepadanya, Kiai Shalih Darat pernah menuntut ilmu. Kiai Bulkin, putera Kiai Syada’, dikawinkan dengan Natijah, puteri Kiai Darda’, dan memperoleh anak yang bernama Kiai Tahir. Kyai Tahir ini, cucu kiai Darda’ adalah murid Kiai Shalih Darat setelah pulang dari Makkah.
  • Kiai Murtadha, teman seperjuangan Kiai Umar ketika melawan Belanda. Shafiyyah, puteri Kiai Muartadha, dijodohkan dengan Kiai Shalih Darat setelah pulang dari Makkah.
  • Kiai Jamasari, prajurit Pangeran Diponegoro di daerah Solo dan pendiri Pondok pesantren Jamsaren, Surakarta. Ketika kiai Jamsari ditangkap Belanda, pesantrennya tidak ada yang melanjutkan, lalu ditutup. Pesanten tersebut dihidupkan kembali oleh Kiai Idris, salah seorang santri senior Kiai Shalih Darat. Dialah yang menggantikan Kiai Shalih Darat selama ia sakit hingga wafatnya.
Menikah
Selama hayatnya, Kiai Shalih Darat pernah menikah tiga kali. Perkawinannya yang pertama adalah ketika ia masih berada di Makkah. Tidak jelas siapa nama istrinya. Dari perkawinanya pertama ini, ia dikarunia seorang anak yang diberi nama Ibrahim. Tatkala Kiai Shalih Darat pulang ke Jawa, istrinya telah meninggal dunia dan Ibrahim tidak ikut serta ke Jawa. Ibrahim ini tidak mempunyai keturunan. Untuk mengenang anaknya (Ibrahim) yang pertama ini, Kiai Shalih Darat menggunakan nama Abu Ibrahim dalam halaman sampul kitab tafsirnya, Faidh al-Rahman.
Perkawinannya yang kedua dengan Sofiyah, puteri Kiai Murtadha teman karib bapaknya, Kiai Umar, setelah ia kembali di Semarang. Dari pekawinan ini, mereka dikarunia dua orang putera, Yahya dan Khalil. Dari kedua putranya ini, telah melahirkan beberapa anak dan keturunan yang bisa dijumpai hingga kini. Sedangkan perkawinannya yang ketiga dengan Aminah, puteri Bupati Bulus, Purworejo, keturunan Arab. Dari perkawinannya ini, mereka dikaruniai anak. Salah satu keturunannya adalah Siti Zahrah. Siti Zahrah dijodohkan dengan Kiai Dahlan santri Kiai Shalih Darat dari Tremas, Pacitan. Dari perkawinan ini melahirkan dua orang anak, masing masing Rahmad dan Aisyah. Kiai Dahlan meninggal di Makkah, kemudian Siti Zahrah dijodohkan dengan Kiai Amir, juga santri sendiri asal Pekalongan. Perkawinan kedua Siti Zahrah tidak melahirkan keturunan.
.
Kiai-kiainya di Tanah Jawa
Sebagaimana anak seorang Kiai, masa kecil dan remaja Kiai Shalih Darat dilewatinya dengan belajar al-Qur’an dan ilmu agama. Sebelum meninggalkan tanah airnya, ada beberapa kiai yang dikunjunginya guna menimba ilmu agama. Mereka adalah :
1.      KH. M. Syahid.
Untuk pertama kalinya Kiai Shalih Darat menuntut ilmu dari Kiai M. Syahid, seorang ulama yang memiliki pesantren Waturoyo, Margoyoso Kajen, Pati. Pesantren tersebut hingga kini masih berdiri. Kiai M. Syahid adalah cucu Kiai Mutamakkin yang hidup semasa Paku Buwono II (1727-1749M). kepada Kiai M. Syahid ini, Kiai Shaleh Darat belajar beberapa kitab fiqih. Di antaranya adalah kiab Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Minhaj al-Qawwim, Syarh al-Khatib, Fath al-Wahab dan lain-lain.
2.      Kiai Raden Haji Muhammad Shaleh bin Asnawi, Kudus.
Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar Tafsir al-Jalalain karya Imam Suyuti.
3.      Kiai Ishak Damaran, Semarang.
Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar Nahwu dan Sharaf.
4.      Kiai Abu Abdillah Muhammad bin Hadi Buquni, seorang Mufti di Semarang.
Kepadanya Kiai Shaleh Darat ilmu falak.
5.      Kiai Ahmad Bafaqih Ba’alawi, Semarang.
Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar kitab Jauhar al-Tauhid karya Syekh Ibrahim al-Laqqani dan Minhaj al-Abidin karya imam Ghazali.
6.      Syekh Abdul Ghani Bima, Semarang.
Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar kitab Masail al-Sittin karya Abu Abbas Ahmad al-Mishri. Yaitu sebuah kiab yang beisi ajaran-ajaran dasar Islam yang sangat populer di Jawa pada abad ke-19 M.
7.      Mbah Ahmad ( Muhammad ) Alim Bulus Gebang Purworejo
Kepadanya Kiai Shaleh Darat mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tasawuf dan tafsir al-Qur’an. Oleh Mbah Ahmad ( Muhammad ) Alim ini, Kiai Shaleh Darat diperbantukan kepada Zain al-Alim ( putra Mbah Ahmad Alim ), untuk mengasuh sebuah pesantren di Dukuh Salatiyang, Desa Maron, Kecamatan Loano, Purworejo.
Melihat keragaman kitab-kitab yang diperoleh oleh Kiai Shaleh Darat dari beberapa gurunya, menunjukkan betapa kemampuan dan keahlian Kiai Shaleh Darat di bidang ilmu agama.
.
Pergi ke Makkah
Setelah belajar di beberapa daerah di Jawa, Kiai Shaleh Darat bersama ayahnya berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Ayahnya wafat di Makkah, kemudian Kiai Shaleh Darat menetap di Makkah beberapa tahun untuk memperdalam ilmu agama. Pada waktu itu, abad ke-19, banyak santri Indonesia yang berdatangan ke Makkah guna menuntut ilmu agama di sana. Termasuk Kiai Shaleh Darat. Ia pergi ke Makkah dan bermukim di sana guna menuntut ilmu agama dalam waktu yang cukup lama. Sayangnya, tidak diketahui secara pasti tahun berapa ia pergi ke Makkah dan kapan ia kembali ke tanah air.
.
Kiai-Kiainya di Makkah
Yang jelas, selama di Makkah, Kiai Shaleh Darat telah berguru kepada tidak kurang dari sembilan ulama setempat. Mereka adalah :
1.      Syekh Muhammad al-Maqri a-Mishri al-Makki.
Kepadanya ia belajar ilmu-ilmu aqidah, khusunya kitab Ummul Barahin karya Imam Sanusi (al-Sanusi).
2.      Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah.
Ia adalah pengajar di Masjid al-Haram dan al-Nabawi. Kepadanya, Kiai Shaleh Darat belajar fiqih dengan menggunakan kitab Fath al-Wahhab dan Syarh al-Khatib, serta Nahwu dengan menggunakan kitab Alfiyah Ibnu Malik.
Sebagaimana tradisi belajar tempo dulu, setelah menyelesaikan pelajaran-pelajaran tersebut, Kiai Shaleh Darat juga memperoleh “Ijazah”. Adanya istilah ijazah dikarenakan penerimaan ilmu tersebut memiliki sanad. Dalam hal ini, Kiai Shaleh Darat mendapatkan ilmu dari Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah yang memperoleh ilmu tersebut dari gurunya, Syekh Abdul Hamid a-Daghastani, dan al-Dagastani mendapatkan dari Ibrahim Bajuri yang mendapatkan ilmunya dari al-Syarqawi, pengarang kitab Syarh al-Hikam.
3.      Al-‘Allamah Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, mufti madzab Syafi’iyah di Makkah.
Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar Ihya’ Ulum al-Diin. Dari sini ia juga mendapatkan ijazah.
4.      Al-‘Allamah Ahmad An-Nahawi al-Mishri al-Makki.
Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar al-Hikam karya Ibnu Atha’illah.
5.      Sayyid Muhammad Shalih al-Zawawi al-Makki, salah seorang guru di Masjid Nabawi.
Darinya, Kiai Shaleh Darat belajar kitab Ihya’ Ulum al-Din juz 1 dan 2.
6.      Kiai Zahid.
Darinya Kiai Shaleh Darat juga belajar kitab Fath al-Wahhab.
7.      Syekh Umar a-Syami.
Darinya Kiai Shaleh Darat juga belajar kitab Fath al-Wahhab.
8.      Syekh Yusuf al-Sanbalawi al-Mishri.
Darinya Kiai Shaleh Darat belajar Syarh al-Tahrir karya Zakaria al-Anshari.
9.      Syekh Jamal, seoang Muftti Madzab Hanafiyyah di Makkah.
Darinya Kiai Shaleh Darat belajar Tafsir al-Qur’an.
Dari sinilah, Kiai Shaleh Darat mendapatkan ijazah ketika selesai mempelajari kitab-kitab tertentu, semisal Fath al-Wahhab, Syarh al-Khatib dan Ihya’ Ulum a-Din. Dari sini pulalah apa yang dipelajari Kiai Shaleh Darat dari kitab-kitab tersebut, berpengaruh besar terhadap isi kitab yang dikarangnya, yaitu Majmu’ al-Syariat al-Kafiyah li al-awwam.
.
Jaringan Keulamaan Kiai Shaleh Darat :
Semasa belajar di Makkah, Kiai Shaleh Darat banyak bersentuhan dengan ulama-ulama Indonesia yang belajar di sana. Di antara para ulama yang sezaman dengannya adalah:
1.      Kiai Nawawi Banten, disebut juga Syekh Nawawi al-Bantani.
2.      Syekh Ahmad Khatib.
Ia seorang ulama asal Minangkabau. Lahir pada 6 Dzulhijjah 1276 (26 Mei 1860 M) dan wafat di Makkah pada 9 Jumadil Awwal (1916 M). Dalam sejarahnya, dua tokoh pendiri NU dan Muhamadiyyah KH. Hasyim As’ari dan KH. Ahmad Dahlan pernah menjadi murid Ahmad Khatib. Tercatat ada sekitar 49 karya yang pernah ditulisnya. Di antaranya kiitab Al-Nafahat dan Al-Jawahir fi A’mal a-Jaibiyyat.
3.      Kiai Mahfuzh a-Tirmasi.
Ia adalah kakak dari Kiai Dimyati. Selama di Mekkah, ia juga berguru kepada Ahmad Zaini Dahlan. Ia wafat tahun 1338 H (1918 M).
4.      Kiai Khalil Bangkalan, Madura.
Ia adalah salah seorang teman dekat Kiai Shaleh Darat. Namanya cukup terkenal di kalangan para Kiai pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. ia belajar di Mekkah sekitar pada tahun 1860 dan wafat pada tahun 1923.
.
Diajak pulang oleh Kiai Hadi Girikusumo
Ketinggian ilmu Kiai Shaleh Darat tidak hanya bisa dilihat dari karya-karya monumental dan keberhasilan para santrinya menjadi para kiai besar tetapi juga bisa dilihat dari pengakuan penguasa Mekkah saat Kiai Shaleh Darat bermukim di Mekkah. Ia dipilih menjadi salah seorang pengajar di Mekkah. Di sinilah Kiai Shaleh Darat bertemu dengan Mbah Hadi Girikusumo pendiri pondok pesantren Ki Ageng Girikusumo, Mranggen, Demak, Jawa Tengah. Ia merupakan figur yang sangat berperan dalam menghadirkan Kiai Shaleh Darat ke bumi Semarang.Melihat kehebatan Kiai Shaleh Darat Mbah Hadi Girikusumo merasa terpanggil untuk mengajaknya pulang bersama-sama ke tanah air untuk mengembangkan islam dan mengajar umat islam di Jawa yang masih awam.
.
Namun karena Kiai Shaleh Darat sudah diikat oleh penguasa Mekkah untuk menjadi pengajar di Mekkah, sehingga ajakan pulang itu ditolak. Namun Mbah Hadi nekat, Kiai Shaleh Darat diculik, di ajak pulang. Agar tidak ketahuaan, saat mau naik kapal untuk pulang ke! Jawa, Kiai Shaleh Darat dimasukkan ke dalam peti bersama barang bawaannya. Namun di tengah jalan ketahuan, jika Mbah Hadi menculik salah seorang ulama di Masjid Mekkah. Akhirnya pada saat kapal merapat di pelabuhan Singapura, Mbah Hadi ditangkap. Jika ingin bebas maka harus mengganti dengan sejumlah uang sebagai denda. Para murid Mbah Hadi yang berada di Singapura mengetahui bila gurunya sedang menghadapi masalah besar, akhirnya membantu menyelesaikan masalah tersebut dengan mengumpulkan dana iuran untuk menebus kesalahan mbah Hadi dan menebus uang ganti kepada penguasa Mekkah atas kepergian Kiai Shaleh Darat. Akhirnya, mbah Hadi dan Kiai Shaleh Darat berhasil melanjutkan perjalanan dan berhasil mendarat ke Jawa.
.
Mbah Hadi langsung kembali ke Girikusumo, sedangkan Kiai Shaleh Darat menetap di Semarang, mendirikan pesantren dan mencetak kader-kader pelanjut perjuangan Islam. Sayang sekali, sepeninggalan Kiai Shaleh Darat, pesantrennya tidak ada yang melanjutkan, kini di bekas pesantren yang dulu digunakan oleh Kiai Shaleh Darat untuk mengajar mengaji hanya berdiri sebuah masjid yang masih digunakan untuk menjalankan ibadah umat islam di kampung Darat Semarang.
.
Tentang Teori Kebebasan Manusia
Ia juga terkenal sebagai pemikir dalam bidang ilmu kalam. Menurut Nur Kholis Majid, seorang cendikiawan muslim Indonesia, Kiai Shaleh Darat sangat kuat mendukung paham teologi Asy’ariyyah dan Maturidiyah. Pembelaannya pada paham ini jelas kelihatan dalam bukunya Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘ala Jauhar al-Tauhid. Di sini ia mengemukakan penafsirannya tentang sabda Nabi SAW bahwa akan terjadi perpecahan umat Islam menjadi 73 golongan dan hanya satu golongan yang selamat, yaitu mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan Rasulullah Muhammad SAW, yakni melaksanakan akaid, pokok-pokok kepercayaan ahlus sunnah wajama’ah, Asy’aiyah dan Maturidiyah.
.
Selanjutnya dalam teori ilmu kalam yang berkaitan dengan perbuatan manusia, ia menjelaskan bahwa paham Jabariyah dan Qadariyah tentang perbuatan manusia adalah sesat. Yang benar adalah paham Ahlus Sunnah yang berada di tengah antara Jabariyah dan Qodariyah. Sebagai ulama yang berfikir maju, ia senantiasa menekankan perlunya ikhtiar dan kerja keras, setelah itu baru menyerahkan diri secara pasrah kepada Yang Maha Esa. Ia sangat mencela orang yang tidak mau bekerja keras karena memandang segala nasibnya telah ditaqdirkan Allah SWT. sebaliknya, ia juga tidak setuju dengan teori kebebasan manusia yang menempatkan manusia sebagai pencipta hakiki atas segala perbuatannya.
.
Sang Delegator Pesantren
Dalam sejarah pesantren, Kiai Shaleh Darat layak disebut sebagai “ elegator Pesantren”. Karena ia tidak pernah ikut membesarkan pesantren orang tuanya, sebagaimana mafhumnya anak-anak kiai. Ia justru lebih memilih membantu memajukan pesantren orang lain dan membuat pesantren sendiri, dengan tanpa maksud menobatkan dirinya sebagai pengasuh pesantren.
.
Karir kekiaian Kiai Shaleh Darat diawali sebagai guru yang diperbantukan di pesantren Salatiyang yang terletak di Desa Maron, Kecamatan Loano, Purworejo. Pesantren ini didirikan sekitar abad 18 oleh tiga orang sufi, masing-masing Kiai Ahmad ( Muhammad ) Alim, Kiai Muhammad Alim ( putra Mbah Kyai Ahmad Alim ), dan Kiai Zain al Alim ( Muhammad Zein, juga putra Mbah Kyai Ahmad Alim ). Dalam perkembangan selanjutnya pesanten ini dipercayakan kepada Kiai Zain al Alim. Sementara Mbah Kiai Ahmad ( Muhammad )Alim mengasuh sebuah pesantren, belakangan bernama al-Iman, di desa Bulus, Kecamatan Gebang. Adapun Kiai Muhamad Alim ( putra Mbah Kyai Ahmad Alim ) mengembangkan pesantrennya juga di Desa Maron, yang kini dikenal dengan pesantren al-Anwar. Jadi kedudukan Kiai Shaleh Darat adalah sebagai pengajar yang membantu Kiai Zain al Alim ( Muhammad Zein ).
.
Pesantren Salatiyang sendiri lebih menfokuskan pada bidang penghafalan al-Qur’an, di samping mengajar kitab kuning. Di sinilah besar kemungkinannya, Kiai Shaleh Darat diperbantukan untuk mengajar kitab kuning, seperti fiqh, tafsir dan nahwu Sharaf, kepada para santri yang sedang menghafal al-Qur’an.
Di antara santri jebolan Salatiyang adalah Kiai Baihaqi (Magelang). Kiai Ma’aif, Wonosobo, Kiai Muttaqin, Lampung Tengah, Kiai Hidayat (Ciamis) Kiai Haji Fathulah (Indramayu), dan lain sebagainya.
.
Tidak jelas, berapa lama Kiai Shaleh Darat mengajar di pesantren Salatiyang. Sejarah hanya mencatat, bahwa pada sekitar 1870-an Kiai Shaleh Darat mendirikan sebuah pesantren baru di Darat, Semarang. Hitungan angka ini didasarkan pada kitabnya , alHikam, Yang ditulis rampung dengan menggunakan Bahasa Arab Pegon pada tahun 1289 H/1871 M. pesantren Darat merupakan pesanten tertua kedua di Semarang setelah pesantren Dondong, Mangkang Wetan, Semarang yang didirikan oleh Kiai Syada’ dan Kiai Darda’, dua mantan prajurit Diponegoro. Di pesantren ini pula Kiai Shaleh Darat pernah menimba ilmu sebelum pergi ke Mekkah.
.
Selama mengasuh pesanten, Kiai Shaleh Darat dikenal kurang begitu memperhatikan kelembagaan pesantren. Karena factor inilah, pesantren Darat hilang tanpa bekas sepeninggalan Kiai Shaleh Darat, pada 1903 M. konon bersamaan meninggalnya Kiai Shaleh Darat, salah seorang santri seniornya, Kiai Idris dari Solo, telah memboyong sejumlah santri dari Pesantren Darat ini ke Solo. Kiai Idris inilah yang kemudian menghidupkan kembali pondok pesantren Jamsaren, yang pernah didirikan oleh Kiai Jamsari.
.
Ada versi lain yang menyebutkan bahwa pesantren yang didirikan oleh Kiai Shaleh Darat bukanlah pesantren dalam arti sebenarnya, di mana ada bangunan fisik yang mendukung. Pesantren Darat hanyalah majelis pengajian dengan kajian bermutu yang diikuti oleh parasantri kalong. Ini mungkin terjadi, mengingat kedekatan pesantren Darat dengan pesantren Mangkang, dimana Kiai Shaleh Darat pernah belajar di sana, bisa mempengaruhi tingkat ketawadlu’an kiai senior.
.
Santri-santrinya
Di antara tokoh yang pernah belajar kepada Kiai Shaleh Darat adalah: KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhamadiyah), Kiai R. Dahlan Tremas, seorang Ahli Falak (w. 1329 H), Kiai Amir Pekalongan (w. 1357 H) yang juga menantu Kiai Shaleh Darat, Kiai Idris (nama aslinya Slamet) Solo, Kiai Sya’ban bin Hasan Semarang, yang menulis artikel “Qabul al-‘Ataya ‘an Jawabi ma Shadara li Syaikh Abi Yahya, untuk mengoreksi salah satu dari salah satu bagian dari kitab Majmu’at al-Syari’ah karya Kiai Shaleh Darat; Kiai Abdul Hamid Kendal; Kiai tahir, penerus pondok pesantren Mangkang Wetan, Semarang; Kiai Sahli kauman Semarang; Kiai Dimyati Tremas; Kiai Khalil Rembang; Kiai Munawir Krapyak Yogyakarta; KH. Dahlan Watucongol Muntilan Magelang, Kiai Yasin Rembang; Kiai Ridwan Ibnu Mujahid Semarang; Kiai Abdus Shamad Surakarta; Kiai Yasir Areng Rembang, serta RA Kartini Jepara.
.
Persinggungannya dengan A Kartini
Adalah sosok yang tidak terikat dengan alian-aliran dalam Islam. Ia justru sangat menghargai aliran yang berkembang saat itu. Ia lebih menekankan pada nilai-nilai pokok (dasar) Islam, dan bukan furu’iyyah (cabang). Lebih dari itu, Kiai Shaleh Darat dikenal sebagai sosok penulis tafsir al-Quran dengan menggunakan bahasa Jawa. Ia sering memberikan pengajian, khusunya tafsir al-Quran di beberapa pendopo Kabupaten di sepanjang pesisir Jawa.
.
Sampai suatu ketika RA Kartini berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak. Saat itu sedang berlangsung pengajian bulanan, khususnya untuk anggota keluarga. RA Kartini ikut mendengarkan pengajian bersama para Raden Ayu yang lain di balik hijab (tabir/tirai). RA Kartini merasa tertarik tentang materi yang disampaikan pada saat itu, tafsir al-Fatihah, oleh Kiai Shaleh Darat. Setelah selesai pengajian, RA. Kartini mendesak pamannya agar bersedia menemaninya untuk menemui Kiai Shaleh Darat. Ia mengemukakan: “saya merasa perlu menyampai! kan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada rormo kiai dan rasa syukur yang sebesar-besarnya kepada Allah SWT atas keberanian romo kiai menerjemahkan surah al-Fatihah ke dalam bahasa Jawa sehingga mudah difahami dan dihayati oleh masyarakat awam, seperti saya. Kiai lain tidak berani berbuat seperti itu, sebab kata mereka al-Quran tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa lain.” Lebih lanjut Kartini menjelaskan: “Selama ini al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tidak mengerti sedikit pun akan maknanya, tetapi sejak hari ini menjadi terang benderang sampai kepada makna yang tersirat sekalipun, karena romo kiai menjelaskannya dalam bahasa Jawa yang saya fahami.”
.
Kiai Shaleh Darat selalu menekankan kepada muridnya agar giat menimba ilmu. Karena intisari ajaran al-Quran, menurutnya,, adalah dorongan kepada umat manusia agar mempergunakan akalnya untuk memenuhi tuntutan hidupnya di dunia dan di akhirat nanti.
.
Karya Tulisnya
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, banyak ulama Indonesia yang menghasilkan karya tulis besar. Tidak sedikt dari karya-karya mereka yang ditulis dengan bahasa Arab. Setelah Kiai Ahmad Rifa’I dari Kalisalak (1786-1875 M) yang banyak menulis kitab yang berbahasa Jawa, tampaknya Kiai Shaleh Darat adalah satu-satunya kiai akhir abad ke-19 yang karya tulis keagamaanya berbahasa Jawa.
.
Adapun karya-karya Kiai Shaleh Darat yang sebagiannya merupakan terjemahan, berjumlah tidak kuang dari 12 buah, yaitu:
1.      Majmu’at Syari’at al-Kafiyat li al-Awam.
Kitab ini khusus membahas persoalan fiqih yang ditulis dengan bahasa Jawa dengan huruf Arab Pegon.
2.      Munjiyat Metik Sangking Ihya’ Ulum al-Din al-Ghazali.
Sebuah kitab yang merupakan petikan dari kitab Ihya’ Ulum al-Din juz 3 dan 4.
3.      Al-Hikam karya Ahmad bin Athailah.
Merupakan terjemahan dalam bahasa Jawa.
4.      Lathaif al-Thaharah.
Berisi tentang hakikat dan rahasia shalat, puasa dan keutamaan bulan muharram, Rajab dan Sya’ban. Kitab ini ditulis dengan bahasa Jawa.
5.      Manasik al-Haj.
Berisi tuntunan atau tatacara ibadah haji.
6.      Pasolatan.
Berisi hal-hal yang berhubungan dengan shalat (tuntunan shalat) ima waktu, kitab ini ditulis dengan bahasa Jawa dengan Huruf Arab pegon.
7.      Sabillu ‘Abid terjemahan Jauhar al-Tauhid, karya Ibrahim Laqqani.
Merupakan terjemahan berbahasa Jawa.
8.      Minhaj al-Atkiya’.
Berisi tuntunan bagi orang orang yang bertaqwa atau cara-cara mendekatkan diri kepada Allah SWT.
9.      Al-Mursyid al-Wajiz.
Berisi tentang ilmu-ilmu al-Quran dan ilmu Tajwid.
10.  Hadits al-Mi’raj
11.  Syarh Maulid al-Burdah
12.  Faidh al-Rahman.
Ditulis pada 5 Rajab 1309 H/1891M. kitab ini diterbitkan di Singapura.
13.  Asnar al-Shalah
.
Kini, Kiai Shaleh Darat memiliki sekitar 70 trah (keturunan) yang tersebar di berbagai daerah. Biasanya, dalam waktu-waktu tertentu mereka berkumpul dan bersilaturahmi di Masjid Kiai Shaleh Darat di Jln. Kakap/Darat Tirto, Kelurahan Dadapsari yang terletak di Semarang Utara.
.
Dari pertemuan silaturahmi ini, telah 13 kitab karya Kiai Shaleh Darat berhasil dikumpulkan. Sebagian kitab tersebut dicetak di Bombay (India) dan Singapura. Hingga kini, keturunan Kiai Shaleh Darat terus melakukan pencarian dan penelusuran kitab-kitab tersebut ke masing-masing keluarga keturunan Kiai Shaleh Darat di Jepara, Kendal, bahkan sampai ke negara-negara Timur Tengah.