Selamat Datang di Blog Resmi **Majlisarrahman.blogspot.com ** Majelis Dzikir Ratibul Al-Habib Abdullah Bin Alwi Al-Haddad wa Maulidun Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam (Dzikrullah wa Dzikrurrosul SAW) Jakarta - Indonesia. Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Kami**

 photo oji_zpsb336d6d8.gif
Selamat Datang di Blog Resmi **Majlisarrahman.blogspot.com ** TUNJUKKAN KEPERDULIAN DAN BAKTI KITA PADA PEMBENAHAN ISLAM DENGAN TURUT MENYUMBANGKAN HARTA KITA SEBAGAI SAKSI, BANTUAN KITA ADALAH CERMIN KADAR IMAN KITA, RASULULLAH SAW BERSABDA : SETIAP HARI TURUN DUA MALAIKAT MULIA KE BUMI DAN BERDOA, WAHAI ALLAH BERI ORANG YANG BERINFAQ KESEJAHTERAAN, DAN BERI ORANG YANG KIKIR KEHANCURAN ( shahih Bukhari ). Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Kami**

Minggu, 23 September 2012

Shalawat Kamilah (Tafrijiyah, Qurthubiyah, Taziyah, Nariyah)

Shalawat Imam Ibrahim Ibn Muhammad al-Taziy

اَللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً . وَسَلِّمْ سَلاَمًا تآمًّا عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِالَّذِي تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ . وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ . وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ . وَ تُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ . وَحُسْنُ الْخَوَاتِيْمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ . وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ فِي كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ .

Artinya: “Ya Allah, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan kesejahteraan yang paripurna kepada junjunan kami, Nabi Muhammad, yang dengan perantaraan beliau itu terlepas semua ikatan, lenyap segala kesusahan, ditunaikan segenap kebutuhan, diperoleh segala keinginan, dicapai akhir yang baik, dan dimintakan untuk diberikan air dari awan berkat wajahnya yang mulia, juga kepada keluarga dan para sahabatnya, dalam setiap kejapan mata dan tarikan napas, sebanyak jumlah pengetahuan yang Engkau miliki.”

Shalawat ini lebih dikenal dengan sebutan “shalawat Tafrijiyah”, yang berarti melapangkan kesulitan. Sebagian ulama menamakannya dengan shalawat Taziyah lantaran dinisbahkan kepada penyusun shalawat tersebut, Syaikh Abu Ishaq Ibrahim al-Taziy. Sebagian lainnya menamakannya shalawat Kamilah, artinya yang sempurna, penamaan ini dikutip dari redaksi shalawat itu sendiri. Sebagian ulama juga menamakannya dengan sebutan shalawat al-Qurthubiyyah karena imam al-Qurthubiy merupakan salah satu ulama yang paling banyak meriwayatkan keistimewaan rahasia shalawat tersebut.

Shalawat Tafrijiyyah ini juga disebut shalawat Nariyah oleh penduduk Maghrib (Maroko) yang berarti api karena sifatnya yang mustajab. Lantaran apabila mereka ingin mendapatkan kesuksesan hajat dan terhindar dari bahaya, kemudian mereka berkumpul di satu majelis membaca shalawat tersebut bersama-sama sebanyak 4444 kali, maka mereka mendapatkan apa yang mereka niatkan, segala hajat akan terkabul dengan cepat seperti cepatnya kobaran api yang membakar jerami.[1]

Utamanya bilangan 4444 kali shalawat Tafrijiyyah dibaca oleh satu orang dalam satu waktu. Namun apabila terasa berat, jumlah 4444 kali itu bisa juga dibaca secara kolektif, misalnya oleh 40 orang, yang masing-masing membaca 111 kali dan sang pemandu menggenapi empat bilangan sisanya.

Tentang shalawat ini, Imam al-Qurthubiy menuturkan bahwa siapa saja yang membacanya secara rutin setiap hari sebanyak 41 kali atau 100 kali atau lebih, Allah akan melenyapkan kecemasan dan kesusahannya, menghilangkan kesulitan dan penyakitnya, memudahkan segala urusannya, menerangi hatinya, meninggikan kedudukannya, memperbaiki keadaannya, meluaskan rizkinya, membukakan baginya segala pintu kebaikan, dan lain-lain.[2]

Ahlul Asrar menamakan shalawat Tafrijiyyah dengan nama “ مفتاح الكنز المحيط لنيل مراد العبيد “ (kunci perbendaharaan samudra untuk menggapai tujuan hamba). Imam al-Sanusiy berkata: “Siapa saja yang melazimi membaca shalawat Tafrijiyyah setiap hari sebanyak 11 kali, maka seakan-akan rizki dari langit turun kepadanya dan rizki dari bumi tumbuh untuknya.”

Imam al-Dinawariy mengatakan: ”Siapa saja yang lazim membacanya 11 kali setiap selesai shalat dan ia menjadikan wiridannya, maka rizkinya tidak pernah putus. Siapa saja yang lazim membacanya setiap selesai shalat shubuh sebanyak 41 kali, maka segala hajatnya akan diijabah. Siapa saja yang lazim membacanya setiap hari 100 kali, maka akan mendapatkan keberhasilan dan kesuksesan segala hal melebihi apa yang ia sangka. Siapa saja yang lazim membacanya setiap hari sebanyak 313, maka Allah akan membukakan baginya tabir segala rahasia. Siapa saja yang lazim membacanya 1000 kali, maka Allah akan memberikan sesuatu yang tidak bisa disifati oleh manusia, mata manusia belum pernah melihatnya, telinga manusia belum pernah mendengarnya dan belum pernah terlintas dalam hati mereka.[3]

Dalam redaksi shalawat ini terdapat permohonan kepada Allah dengan bertawassul kepada Rasulullah sebanyak 8 kali. Satu kali dengan menyebut nama Rasulullah menggunakan isim zhahir, dan 7 kali dengan menggunakan isim Dhamir (kata ganti). Susunan seperti ini tidak ditemukan pada redaksi shalawat lainnya.
Pengarang kitab Sirrul Asrar mengatakan “Fadhilah shalawat Nariyah atau shalawat kamilah yang disebutkan di atas akan didapatkan dengan syarat mudawamah (konsisten) membacanya.”[4]

dikutip dari buku::::
فَاتِحُ اْلأَسْرَارِ وَمُفَرِّجُ الْهُمُوْمِ وَاْلأَغْيَار
فِي فَضَائِل ِاَحَدَ عَشَرَ صَلَوَاتٍ عَلَى النَّبِيّ الْمُخْتَار
Pembuka Segala Rahasia Penghempas Lara Dan kesulitan
Dalam Menguak Keutamaan 11 Shalawat Para Auliya
kepada Nabi Muhammad
Penyusun
H. Rizki Zulkarnain Asmat
Tata Letak
Muhammad Zabih Mawardi
Ahmad Nasyith Badruddin
Afif Hidayat
Desain cover
Suparman Ramli
تقبل الله منهم ويزيدهم من كل خيري الدنيا والأخرة
Diterbitkan:
Majelis al-Mua’fah
Jl. Tipar Cakung Rt.05/08 No:5
Kelurahan Cakung Barat Jakarta Timur
13910

[1] Syaikh Muhammad Haqqiy al-Naziliy, Khazinah al-Asrar Jaliyah al-Azkar h. 179.
[2] Syaikh Yusuf Ibn Ismail al-Nabhaniy, Afdhal al-Shalawat Ala Sayyid al-Sadat  h. 159.
[3] Syaikh Muhammad Haqqiy al-Naziliy, Khazinah al-Asrar Jaliyah al-Azkar h. 179; Syaikh Yusuf Ibn Ismail al-Nabhaniy, Afdhal al-Shalawat Ala Sayyid al-Sadat h. 160.
[4] Syaikh Muhammad Haqqiy al-Naziliy, Khazinah al-Asrar Jaliyah al-Azkar h. 182.

Shalawat al-Munjiyah (Syaikh al-Shalih Musa al-Dharir)

Shalawat al-Munjiyah

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ . صَلاَةً تُنْجِيْنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ اْلاَهْوَالِ وَاْلآفَاتِ . وَتَقْضِىْ لَنَا بِهَا جَمِيْعَ الْحَاجَاتِ . وَتُطَهِّرُنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ السَّيِّئَاتِ . وَتَرْفَعُنَا بِهَا عِنْدَكَ اَعْلَى الدَّرَجَاتِ . وَتُبَلِّغُنَا بِهَا اَقْصَى الْغَايَاتِ مِنْ جَمِيْعِ الْخَيْرَاتِ فِى الْحَيَاتِ وَبَعْدَ الْمَمَاتِ . وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا .

Artinya:“Ya Allah, limpahkanlah shalawat (rahmat) atas penghulu kami Nabi Muhammad, semoga dengan berkah shalawat itu Engkau lepaskan kami dari segala bencana dan musibah, Engkau tunaikan segala hajat kami, Engkau bersihkan kami dari segala kejahatan dan Engkau tingkatkan derajat kami di sisi Engkau, Engkau sampaikan tujuan maksimal kami dari semua kebaikan kehidupan kami baik di dunia maupun sesudah wafat. Dan limpahkanlah shalawat kepada keluarga dan para sahabat beliau. Dan limpahkan juga sebenar-benar salam kepada mereka.
Diantara shalawat yang mujarrab untuk mendatangkan manfaat dan menolak mushibah adalah shalawat al-Munjiyah. Shalawat ini dinisbahkan kepada seorang ulama besar yang bernama Syaikh al-Shalih Musa al-Dharir. Imam al-Samhudiy mengatakan dalam kitabnya Jawahir al-Iqdain Fi Fadhl al-Sarafain, “Siapa saja yang menginginkan selamat dari Thaun (wabah), maka hendaknya ia memperbanyak membaca shalawat al-Munjiyah.[1]
Syaikh Ahmad al-Shawiy al-Malikiy menamakan shalawat ini dengan nama shalawat al-Munajah (permohonan) dan shalawat Tafrij al-Kurub (menghempas kesulitan).
Keistimewaan dan keutamaan shalawat al-Munjiyah adalah:
1. Imam Dinawariy meriwayatkan; pada suatu ketika masyarakat muslim ditimpa kesusahan atau penyakit menular. Maka mereka kemudian membaca shalawat al-Munjiyah ini secara bersama-sama dan tidak berapa lama, masyarakat bebas dari penyakit. Shalawat ini diakui oleh banyak ulama, mendatangkan sangat banyak manfaat.
2. Syaikh Ali al-Buniy dan Imam al-Jazuliy mengatakan bahwa; “Siapa saja yang mempunyai hajat, baik hajat dunia, maupun hajat akhirat, bacalah shalawat ini sebanyak 1.000 kali, sebaiknya di waktu tengah malam, insya Allah akan dikabulkan hajatnya dengan segera. Shalawat al-Munjiyah lebih cepat dalam mendatangkan ijabah dari kilat yang menyambar, ia merupakan eklisir (bahan untuk mengubah logam murah menjadi emas) dan anti oksin yang mujarrab.”[1]
Imam Umar Ibn Ali al-Lakhamiy al-Fakihaniy al-Malikiy dalam kitabnya al-Fajrul Munir Fi Shalawat Ala al-Nabiy al-Basyir al-Nadzir meriwayatkan bahwa: Syaikh Musa al-Dharir, seorang yang shaleh suatu ketika bercerita: “Aku sedang belayar menggunakan sebuah perahu besar yang terbuat dari kayu namun tiba-tiba ada angin besar yang disebut angin al-Iqlabiyyah, jarang sekali orang bisa selamat dari angin tersebut, sehingga menyebabkan perahu yang aku tumpangi menabrak karang dan hendak karam. Pada saat itu entah kenapa saya tidak panik seperti kebanyakan penumpang kapal. Saya malah dikuasai rasa kantuk yang berat. Antara sadar dan tidak, Rasulullah datang mengajarkan aku shalawat al-Munjiyah dan beliau berkata: ”Hendaknya orang-orang yang ada di perahu ini membaca sebanyak 1000 kali. Saya pun terbangun dan membaca di dalam hati. Saat saya sudah membaca sebanyak 300 kali, maka perahu yang awalnya mulai oleng hampir tenggelam itu perlahan kembali tegak seperti biasa dan pelayaran dilanjutkan seperti tidak terjadi bencana apapun.[2]
Imam Muhammad Ibn Ya’qub Fairuz al-Abadiy mengatakan:” Telah mengabarkan kepadaku Syaikh Hasan Ibn Ali al-Aswaniy bahwa siapa saja yang membaca shalawat al-Munjiyah sebanyak 1000 kali, maka Allah akan mengabulkan segala hajatya dan Allah akan hilangkan kesusahan hidupnya.”[3]
Sebagian ulama menyatakan “siapa saja yang membaca shalawat al-Munjiyah ketika naik kapal laut, maka akan selamat dari bahaya tenggelam. Siapa saja yang membacanya saat terjadi thaun (wabah), maka ia akan diberikan perlindungan dan rasa aman. Siapa saja yang membaca sebanyak 500 kali, maka ia akan mendapat manfaat besar dan hidup dalam kecukupan.[4]
Habib Salim Ibn Hafizh Ibn Syaikh Abi Bakr Ibn Salim mengatakan: “Para ulama salaf telah mengamalkan amalan yang teruji coba khasiatnya sebagai mediasi menggapai cita-cita dan menolak segala mushibah diantaranya: membaca shalawat al-Munjiyah 1000 kali, melakukan ziarah Nabi Hud, membaca surat Yasin 40 kali, membaca kitab Shahih al-Bukhariy dan membaca 16.000 kali “Ya Lathif”.[5]
Sebagian orang membaca shalat al-Munjiyah menggunakan lafaz (صَلاَةً تُنَجِّيْنَا ), lafaz (تُنَجِّيْنَا) adalah bentuk fiil Mudhari’ dari kata dasar fiil Madhi Mudha’af ( نَجَّى ), sedangkan lafaz ( تُنْجِيْنَا ) fiil Mudhari’ bentukan kata dasar fiil Madhi ( أَنْجَى ) dengan tambahan Hamzah. Lafaz Tunajjina ataupun Tunjina keduanya merupakan bentuk fiil Mudhari’ dari fiil Madhi Mutaaddiy (butuh kepada objek) yang memiliki arti menyelamatkan. Jadi bacaan Tunajjina atau Tunjina jangan diributkan karena keduanya memiliki arti yang sama. Hanya saja dari berbagai Naskah kumpulan kitab-kitab shalawat yang penulis miliki, seluruh kitab-kitab tersebut menggunakan lafaz Tunjina. Imam Muhammad Mahdi al-Fasiy dalam kitab Syarh Dalail al-Khairat dan Sayyid Muhammad Ibn Alawiy al-Malikiy dalam kitab beliau Syawariq al-Anwar Min Ad’iyyah al-Sadah al-Akhyar pun mencatatkan shalawat al-Munjiyah dengan redaksi “Tunjiina”. Inilah yang menjadi alasan, kenapa penulis dalam buku ini memilih untuk menyebutkan redaksi (تُنْجِيْنَا) ketimbang redaksi (تُنَجِّيْنَا ).
dikutip dari buku::::
فَاتِحُ اْلأَسْرَارِ وَمُفَرِّجُ الْهُمُوْمِ وَاْلأَغْيَار
فِي فَضَائِل ِاَحَدَ عَشَرَ صَلَوَاتٍ عَلَى النَّبِيّ الْمُخْتَار
Pembuka Segala Rahasia Penghempas Lara Dan kesulitan
Dalam Menguak Keutamaan 11 Shalawat Para Auliya
kepada Nabi Muhammad
Penyusun
H. Rizki Zulkarnain Asmat
Tata Letak
Muhammad Zabih Mawardi
Ahmad Nasyith Badruddin
Afif Hidayat
Desain cover
Suparman Ramli
تقبل الله منهم ويزيدهم من كل خيري الدنيا والأخرة
Diterbitkan:
Majelis al-Mua’fah
Jl. Tipar Cakung Rt.05/08 No:5
Kelurahan Cakung Barat Jakarta Timur
13910

[1] Syaikh Muhammad Haqqiy al-Naziliy, Khazinah al-Asrar Jaliyah al-Azkar h. 179; Syaikh Muhammad al-Mahdi Ibn Ahmad al-Fasiy, Mathali’ al-Masarrat Bi Jala Dalail al-Khairat h. 257.
[2] Syaikh Abdurrahman al-Shafuriy, Nuzhah al-Majalis Wa Muntakhab al-Nafais (Jakarta: Dinamika Berkah Utama 1990) h. 295; Syaikh Ahmad Ibn Muhammad al-Shawiy, al-Asrar al-Rabbaniyyah Wa al-Fuyudh al-Rahmaniyyah Ala Shalawat al-Dardiriyyah (Surabaya: Bungkul Indah) h. 39; Sayyid Muhammad al-Tijaniy, al-Fauz Wa al-Najah  h. 238.
[3] Imam Muhammad Ibn Ya’qub al-Fairuz al-Abadiy, al-Shilat Wa al-Bisyr Fi Shalat Ala Khair al-Basyr  h. 162.
[4] Syaikh Yusuf Ibn Ismail al-Nabhaniy, Afdhal al-Shalawat Ala Sayyid al-Sadat  h. 76.
[5] Habib Ali Ibn Hasan Baharun, Fawaid al-Mukhtarah Li Salik Thariq al-Akhirah  h. 221.

[1] Syaikh Ahmad Ibn Muhammad al-Shawiy, al-Asrar al-Rabbaniyyah Wa al-Fuyudh al-Rahmaniyyah Ala Shalawat al-Dardiriyyah (Surabaya: Bungkul Indah) h. 39.

Shalawat Jauharatul Kamal Fi Madh Khair al-Rijal


اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَيْنِ الرَّحْمَةِ الرَّبَّانِيَّةِ وَالْيَاقُوْتَةِ الْمُتَحَقِّقَةِ الْحَائِطَةِ بِمَرْكَزِ الْفُهُوْمِ وَالْمَعَانِيّ، وَنُوْرِ اْلأَكْوَانِ الْمُتَكَوِّنَةِ اْلأدَمِيِّ صَاحِبِ الْحَقِّ اْلرَّبَّانِيّ، اَلْبَرْقِ اْلأَسْطَعِ بِمُزُوْنِ اْلأَرْبَاحِ الْمَالِئَةِ لِكُلِّ مُتَعَرِّضٍ مِنَ اْلبُحُوْرِ وَاْلأَوَانِي، وَنُوْرِكَ اللاَّمِعِ الَّذِيْ مَلأْتَ بِهِ كَوْنَكَ الْحَائِطَ بِأَمْكِنَةِ الْمَكَانِي، اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى عَيْنِ الْحَقِّ الَّتِى تَتَجَلَّى مِنْهَا عُرُوْشُ الْحَقَائِقِ عَيْنِ الْمَعَارْفِ اْلأَقْـوَمِ صِرَاطِكَ التَّآمِّ اْلأَسْقَمِ، اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى طَلْعَةِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ اْلكَنْزِ اْلأَعْظَمِ إِفَاضَتِكَ مِنْكَ اِلَيْكَ إِحَاطَةِ النُّوْرِ الْمُطَلْسَمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ صَلاَةً تُعَرِّفُنَا بِهَا إِيَّاهُ  . 

Artinya:“Ya Allah, limpahkanlah rahmat dan keselamatan-Mu kepada Nabi Muhammad. Ia adalah haqiqat rahmat sifat-sifat Tuhan, ia bagaikan mutiara yang yang mengetahui semua nama-nama (asma) dan sifat-sifat Allah, ia yang menjadi pusat pengetahuan yang mencakup seluruh pengetahuan yang diberikan kepada makhluk, ia yang menjadi penerang (cahaya) segala sesuatu yang ada termasuk manusia, ia yang membawa (mempunyai) agama Allah, ia adalah al-Haqiqat al-Muhammadiyyah (Hakikat Muhammad) yang bagaikan kilat bahkan lebih dari kilat yang dibuktikan dengan mengalir dan berlimpah rahmat Tuhan kepada setiap orang  yang menghadap-Nya. seperti halnya para nabi dan para wali, ia yang menjadi cahaya Tuhan yang menerangi seluruh makhluk di setiap tempat. Ya Allah ! limpahkanlah rahmat dan keselamatan-Mu kepada Nabi Muhammad yang menjadi ‘ain al-Haqq (wujud keadilan, pemilik kebenaran)., telah tampak dari padanya seluruh Hakikat keadilan yang seperti ‘arsy sebagi sumber seluruh ilmu, yaitu ilmu Engkau yang terdahulu, jalan Engkau yang sempurna dan lurus. Ya Allah! limpahkanlah rahmat dan keselamtan-Mu kepada Nabi Muhammad yang merupakan mazhar (manifestasi) dan tajalli, ia yang menjadi gudang (tempat penyimpanan) ilmu dan rahmat-Mu Yang Maha Besar, ia tempat datangnya kasih-Mu, ia yang meliputi seluruh cahaya yang tersimpan. Semoga Allah memberikan rahmat kepadanya dan kepada keluarganya, yang dengan sebab rahmat tersebut kami bisa mengetahui haqiqat.”
Shalawat Jauharatul Kamal adalah salah satu shalawat yang menjadi Wazhifah (tugas rutin) dalam Thariqah Tijaniyyah selain shalawat al-Fatih yang dibaca secara berjamaah ataupun dalam keadaan sendiri. Redaksi shalawat Jauharatul Kamal diajarkan langsung oleh Sayyidul Wujud Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Sayyidi Syaikh al-Imam Ahmad Ibn Muhammad At-Tijany (1150-1230 H, 1737-1815 M) dalam keadaan sadar/jaga (bukan mimpi). Sebagaimana dijelaskan oleh Sayyidi Syaikh al-Imam Muhammad al-Arabiy al-Tijaniy:
جَوْهَرَةُ الْكَمَالِ مِنْ إِمْــلاَءِ
                            اِمَـامِ اْلاِرْسَـالِ وَاْلأَنْبِيَاءِ
عَلَى حَبِيْبِهِ الْوَلِـيِّ الْعَالِـمِ
                   قُطْبِ الْوَرَى أَحْمَـدَ نَجْلِ سَالِـمِ
Artinya:”Shalawat Jauharatul Kamal berasal dari ucapan Nabi Muhammad yang merupakan pemimpin para Rasul dan Nabi. Yang disampaikan kepada kekasihnya seorang wali yang A’lim, manusia terkemuka yaitu Syaikh al-Imam Ahmad al-Tijaniy merupakan keturunan syaikh Ibn Salim.”[1]
Syaikh Muhammad Fathan Ibn Abdul wahid al-Susiy al-Nazhifiy berkata:
وَمَنْ تَوَهَّمَ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنْقَطَـعُ جَمِيْعُ مَدَدِهِ عَلَى أُمَّتِهِ بِمَوْتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَسَائِرِ اْلأَمْوَاتِ ، فَقَدْ جَهِلَ رُتْبَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَسَاءَ اْلأَدَبَ مَعَهُ وَيُخْشَى عَلَيْهِ أَنْ يَمُوْتَ كَافِراً ، إِنْ لَمْ يَتُبْ مِنْ هَذَا اْلاِعْتِقَادِ .
Artinya:” Siapa saja yang meragukan Rasulullah dengan mengatakan bahwa bantuan Rasulullah telah terputus kepada ummatnya dengan sebab wafatnya beliau sama seperti halnya mayyit yang lain, maka sungguh ia tidak mengenal sama sekali akan kedudukan Rasulullah dan ia telah melakukan adab yang buruk kepada Rasulullah, dikhawatirkan ia mati dalam keadaan kafir jika ia tidak bertaubat dari keyakinan seperti itu.”[2]
Redaksi Shalawat Jauharatul Kamal, tampaknya lebih menjelaskan atau menafsirkan kalimat yang terdapat dalam shalawat al-Fatih yakni pada kalimat ( اَلْفَاتِحِ لِمَا اُغْلِقَ   )  Misalnya, shalawat tersebut mengungkapkan sifat-sifat Nabi Muhammad, sebagai Hakikat rahmat dari sifat-sifat Tuhan, yang merupakan pusat pengetahuan. Kemudian dikatakan bahwa Nabi Muhammad, sebagai al-Haqiqat al-Muhammadiyyah yang memiliki sifat yang dipuji, yang mengalir dan menyinari keseluruh alam. Selanjutnya dikatakan bahwa Nabi Muhammad, sebagai wujud yang paling sempurna.
Makna  al-Fatih li ma Ughliqa pada intinya adalah :
1)      Nabi Muhammad adalah sebagai pembuka belenggu ketertutupan segala yang maujud (ada) di alam.
2)      Nabi muhammad sebagai pembuka keterbelengguan al-Rahmah al-Ilahiyyah (kasih saying Tuhan) bagi para makhluk di alam.
3)      Hadirnya Nabi Muhammad menjadi pembuka hati yang terbelenggu oleh Syirik.
Sedangkan makna al-Khatimi li ma Sabaq pada intinya adalah :
1)      Nabi Muhammad sebagai penutup kenabian dan kerasulan.
2)      Nabi Muhammad menjadi kunci kenabian dan kerasulan.
3)      tidak ada harapan kenabian dan kerasulan lagi bagi yang lainnya.
Pemikiran-pemikiran (faham) tasawuf Syaikh Ahmad al-Tijani terkandung dalam penafsirannya tentang makna al-Fatih Lima Ughliq dan al-Khatim Lima Sabaq. Syaikh Ahmad al-Tijani mengatakan bahwa al-Fatih li ma Ughliq mempunyai makna bahwa Nabi Muhammad merupakan pembuka segala ketertutupan al-Maujud (yang ada di alam). Alam pada mulanya terkunci (mughallaq) oleh ketertutupan batin (hujubaniyat al-Buthun). Wujud Nabi Muhammad menjadi “sebab”  atas terbukanya seluruh belenggu ketertutupan alam dan menjadi “sebab” atas terwujudnya alam dari “tiada” menjadi “ada”. Karena wujud Nabi Muhammad alam keluar dari “tiada” menjadi “ada”, dari ketertutupan sifat-sifat batin menuju terbukanya eksistensi diri alam (nafs al-Akwan) di alam nyata (lahir). Jika tanpa wujud Nabi Muhammad, Allah tidak akan menciptakan segala sesuatu yang wujud, tidak mengeluarkan alam ini dari “tiada” menjadi “ada”. Imam Muhammad Ibn Said al-Bushiriy mengatakan dalam al-Burdah:
وَكَيْفَ تَدْعُوْ إِلَى الدُّنْيَا ضَرُوْرَةُ مَنْ
                     لَوْلاَهُ لَمْ تَخْرُجِ الدُّنْيَا مِنَ الْعَـدَمِ
Artinya:” Bagaimana mungkin kesusahan beliau dapat menyeru kepada dunia, padahal kalau bukan karena beliau dunia ini tidak tercipta.”
Ungkapan sifat-sifat Nabi Muhammad di atas, menunjukan bahwa Syaikh Ahmad al-Tijaniy merumuskan maqam Nabi Muhammad sebagaimana telah dikemukakan para sufi terdahulu, terutama dalam mensifati pemahaman mereka terhadap haqiqat (Hakikat) Nabi Muhammad, tidak dapat dibantah bahwa ia sependapat, bahkan ia menjelaskan konsep dasar tersebut.
Hal ini, menunjukan bahwa dari aspek pemikiran, Syaikh Ahmad al-Tijaniy menganut tasawuf falsafi sedangkan konsep-konsep dasar tasawufnya: Nur Muhammad, Ruh Muhammad, al-Haqiqat al-Muhammadiyyah. Dengan demikian, bahwa corak (paham) tasawuf yang digunakan oleh Syaikh Ahmad al-Tijaniy adalah corak (paham) tasawuf yang dikembangkan oleh Imam ‘Abdul Karim al-Jiliy dengan konsep dasar al-Insan al-Kamil, yang berasal dari Imam Ibn Arabiy dengan konsep Haqiqat al-Muhammadiyah. Terlepas apakah Syekh Ahmad al-Tijani terpengaruh oleh pemikiran filosofis Abd. Karim al-Jili  yang berasal dari Ibn. ‘Arabi atau tidak, corak pemikiran tasawuf demikian dikembangkan oleh dua sufi tersebut. Pemikiran Syaikh Ahmad al-Tijaniy “mengawinkan”, menyatukan kembali dua corak {faham} tasawuf  yakni tasawuf amali dan tasawuf falsafi yang telah “bercerai” sejak abad ketiga Hijriyah sehingga masing-masing mempunyai metodologi tersendiri.
Inilah yang dimaksud bahwa Thariqat Tijani merupakan thariqat yang terakhir dan seluruh thariqat akan masuk kedalam lingkup ajarannya, dalam arti seluruh amalan sufi {wali} dan seluruh corak pemikiran para sufi terakomodir dalan ajaran thariqat yang dikembangkannya, hal ini bisa dimengerti karena cahaya maqam wali khatm merupakan sumber seluruh cahaya kewalian. Sebagai perbandingan seluruh syari’at para nabi terakomodir kedalam syari’at Nabi Muhammad, karena syari’at para nabi bersumber dari cahaya Khatm an-Nabiyyin (penutup para nabi).
Keutamaan Shalawat Jauharatul Kamal
Diantara keutamaan membaca shalawat Jauharatul Kamal yang disebutkan langsung oleh Rasulullah kepada Imam Ahmad Ibn Muhammad al-Tijaniy sebagai berikut :
أَنَّ الْمَرَّةَ الْوَاحِدَةَ تَعْدِلُ تَسْبِيْحَ الْعَالَمِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
Artinya:” Membaca shalawat Jauharatul Kamal sekali, pahalanya menyamai tiga kali lipat tasbihnya alam.”
أَنَّ مَنْ قَرَأَهَا سَبْعَ مَرَّاتٍ فَأَكْثَرَ يَحْضُرَهُ رُوْحُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْخُلَفَاءِ اْلأَرْبَعَةِ مَا دَامَ يَذْكُرُهَا
Artinya:” Siapa yang membacanya 7 kali atau lebih, maka akan didatangi Ruh Nabi Muhammad dan 4 khulafaur Rasyidin selama ia dalam keadaan membaca shalawat itu.”
 أَنَّ مَنْ لاَزَمَهَا أَزْيَدَ مِنْ سَبْعِ مَرَّاتٍ يُحِبُّهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَحَبَّةً خَاصَّةً وَلاَ يَمُوْتُ حَتَّى يَكُوْنَ مِنَ اْلأَوْلِيَاءِ
Artinya:” Siapa saja yang melazimi membacanya lebih dari 7 kali, maka ia akan sangat dicintai oleh Rasulullah sebenar-benar cinta khusus dan ia tidak akan meninggal dunia sehingga menjadi salah satu dari para kekasih Allah.”[1]
Adapun keutamaan shalawat Jauharatul Kamal yang disebutkan oleh Imam Ahmad Ibn Muhammad al-Tijaniy adalah:
 مَنْ دَاوَمَ عَلَيْهَا سَبْعًا عِنْدَ النَّوْمِ عَلَى طَهَارَةٍ كَامِلَةٍ وَفِرَاشٍ طَاهِرٍ يَرَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya:” Siapa saja yang konsisten membacanya 7 kali menjelang tidurnya dalam keadaan bersuci yang sempurna dan di tempat tidur yang suci (tidak ada najis), maka ia akan melihat Nabi Muhammad.”[2]
قَالَ الشَّيْخُ أَحْمَدُ التِّجَانِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَعْطَانِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةً تُسَمَّى بِجَوْهَرَةِ الْكَمَالِ مَنْ ذَكَرَهَا اثْنَتَيْ عَشْرَةَ مَرَّةً وَقَالَ : هَذِهِ هَدِيَّةٌ مِنِّي اِلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ , فَكَأَنَّمَا زَارَهُ فِي رَوْضَتِهِ الشَّرِيْفَةِ, وَكَأَنَّمَا زَارَ أَوْلِيَاءَ اللهِ تَعَالَى وَالصَّالِحِيْنَ مِنْ أَوَّلِ الْوُجُوْدِ اِلَى وَقْتِهِ وَفِي رِوَايَةٍ اِلَى اْلأَبَـدِ
Artinya:” Syaikh Ahmad al-Tijaniy berkata: Rasulullah memberikan kepadaku redaksi shalawat yang dinamai Jauharatul kamal, siapa saja yang telah membacanya sebanyak 12 kali dan berkata: Shalawat ini aku hadiahkan kepada engkau Ya rasulullah. Maka seakan-akan ia menziarahi Rasulullah di Raudhahnya yang mulia dan seolah-olah ia telah menziarahi para wali Allah besera menziarahi orang-orang shalih dari sejak zaman Nabi Adam sampai waktu ia membacanya bahkan riwayat lain menyebutkan sampai dunia musnah.”
Syaikh Muhammad Fathan Ibn Abdul wahid al-Susiy al-Nazhifiy mengumpulkan keutamaan shalawat Jauharatul kamal dalam Nazham al-Durratul Kharidah:
بِسَابِعَةٍ مِنْهَا حُضُوْرُ نَبِيِّنَا
                  مَعَ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ وَقُدْوَتِي
Dengan membaca 7 kali Jauharatul kamal, akan hadir Nabi Muhammad beserta para Khulafaur Rasyidin dan Syekh Ahmad al-Tijaniy.
وَلَوْ دُمْتَ ذِكْرَهَا دُهُوْرًا طَوِيْلَةً
                  لَمَا فَارَقُوْكَ بِالذَّوَاتِ الْكَرِيْمَةِ
Seandainya engkau konsisten membacanya sampai masa yang lama, maka mereka semua tidak akan meninggalkan engkau dengan zat mereka yang mulia.
وَتَغْيِيْرُ جِلْسَةٍ بِهَا لِلتَّأَدُّبِ
                  جَرَى عَمَلٌ بِهِ لَدَا جُلِّ اِخْوَتِي
Mengubah posisi duduk kepada duduk yang lebih bagus lantaran menjalankan adab (atas kehadiran Nabi beserta para khalifah dan syaikh Ahmad al-Tijaniy). Adab seperti itu menjadi kebiasaan di sisi pembesar saudaraku (pengikut Tijaniyyah).
وَمَنْ دَامَ عِنْدَ النَّوْمِ سَبْعًا يَرَى النَّبِيّ
                 بِشَرْطِ الْوُضُوْءِ مَعْ طَهَارَةِ بُقْعَةِ
Siapa saja yang selalu membacanya ketika hendak tidur sebanyak 7 kali, maka ia akan melihat Nabi Muhammad, dengan syarat ia memiliki wudhu dan tempat tidurnya suci (tidak ada najis).
وَتَالٍ لَهَا اثْنَتَيْنِ مَعْ عَشْرَةٍ كَأَنَّ
                      مَا زَارَ أَحْمَدَ النَّبِيَّ بِرَوْضَةِ
Yang membacanya sebanyak 12 kali seakan-akan ia telah menziarahi Nabi Muhammad di Raudhah.
وَكُلِّ نَبِيٍّ مَعْ وَلِيٍّ مِنْ أَدَمَا
                 اِلَى وَقْتِ ذِكْرِهَا بِإِذْنِ الْوَسِيْلَةِ
Seolah-olah ia juga telah menziarahi seluruh Nabi dan para wali dari sejak zaman Nabi Adam sampai ketika ia membaca  shalawat tersebut dengan catatan bahwa ia telah mendapat izin dari Syaikh Ahmad al-Tijaniy dan pengikutnya.
وَبَعْدَ الْفَرَاغِ قُلْ بِقَلْبِ مَذَلَّةٍ
                   اِلَيْكَ رَسُوْلَ اللهِ هَذِى هَدِيَّتِي
Setelah selesai membaca jauharatul kamal maka katakanlah olehmu dengan hati yang penuh ketundukan dan khusyu’: “Aku hadiahkan shalawat ini kepada engkau Ya Rasulullah.
وَخَمْسًا وَسِتِّيْنَ اتْلُهَا عِنْدَ شِدَّةِ
                      وَلِلْخَيْرِ مَرَّةً بُعَيْدَ الْفَرِيْضَةِ
Bacalah jauharatul kamal sebanyak 65 kali ketika terjadi kesulitan dan kepelikan dan bacalah satu kali setiap selesai mengerjakan shalat fardhu untuk mendapatkan segala kebaikan.[3]
Dikutip dari risalah:
مَوْهَبَةُ ذِيْ الْجَــلاَل
لِمَنْ قَرَأَ جَوْهَـرَةَ الْكَمَال  
جمع وترتيب 
الحاج رزقي ذوالقرنين أصمت البتاوي
 الراجي الى رحمة ربه العزيز القوي
غفر الله له ولوالديه عن المساوي
                        آمين         

[1] Syaikh Ali Harazim al-Maghribiy, Jawahir al-Ma`ani Wa Bulugh al-Amaniy Fi Faidh Sayyidi Abi al_Abbas al-Tijaniy vol. 2  h. 260.
[2] Syaikh Ali Harazim al-Maghribiy, Jawahir al-Ma`ani Wa Bulugh al-Amaniy Fi Faidh Sayyidi Abi al_Abbas al-Tijaniy vol. 2  h. 260.
[3] Syaikh Muhammad Fathan Ibn Abdul wahid al-Susiy al-Nazhifiy, al-Durrah al-Kharidah Syarh al-Yaqutah al-Faridah vol. 4  h. 66-67.

[1] Syaikh Muhammad al-Arabiy Ibn al-Saih al-Tijaniy, Bughyah al-Mustafid Syarh Munyah al-Murid  h. 377.
[2] Syaikh Muhammad Fathan Ibn Abdul wahid al-Susiy al-Nazhifiy, al-Durrah al-Kharidah Syarh al-Yaqutah al-Faridah vol. 4  h. 203.

Doa Penutup Majelis (Doa Pusaka)


دعاء ختم المجلس

بسم الله الرحمن الرحيم
رَبَّـنَا انْفَعْنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا  *  رَبِّ عَلِّمْنَا الَّذِيْ يَنْفَعُنَا
رَبِّ فَقِّهْنَا وَفَقِّهْ أَهْلَنَا  *  وَقَرَابَاتٍ لَنَا فِي دِيْنِنَا
مَعَ أَهْلِ الْقُطْرِ اُنْثَى وَذَكَـرْ
رَبِّ وَفِّقْـنَا وَوَفِّقْهُمْ لِمَا  *  تَرْتَضِي قَوْلاً وَفِعْلاً كَرَمَا
وَارْزُقِ الْكُلَّ حَلاَلاً دَائِمًا  *  وَأَخِـلاَّ أَتْقِــيَاءَ عُلَمَا
نَحْظَ بِالْخَيْرِ وَنُكْفَ كُلَّ شَـرْ
رَبَّنَا أَصْلِحْ لَنَا كُلَّ الشُّؤُنْ * وَأَقِرَّ بِالرِّضَا مِنْكَ الْعُيُوْنْ
وَاقْضِ عَنَّا رَبَّنَا كُلَّ الدُّيُوْنْ * قَبْلَ أَنْ تَأْتِيَنَا رُسْلُ الْمَنُوْنْ
وَاغْفِرِاسْتُرْ أَنْتَ أَكْرَمْ مَنْ سَتَـرْ
رَبَّنَا يَاذَاالْجَــلاَلِ وَكَـفَى *  اُنْشُـرَنْ نُوْرَ مَجْلِسِ الْمُعَافَاةْ
وَاحْفَظَنْهَا دَائِمًا مِنَ الْجُــفَا * وَاهْـدِيَنْ رِجَالَهَا مَعْ حُنَـفَا
وَانْصُـرَنْهُمْ فِي الْعَشَايَا وَاْلبُكَـرْ
وَصَلاَةُ اللهِ تَغْشَى الْمُصْطَفَى   *   مَنْ اِلَى الْحَـقِّ دَعَانَا وَالْوَفَا
بِكِتَابٍ فِـيْهِ لِلنَّاسِ شِــفَا   *  وَعَلَى اْلأَلِ الْكِرَامِ الشُّـرَفَا
وَعَلَى الصَّحْبِ الْمَصَابِيْحِ الْغُـرَرْ 
وَعَلَى مَنْ لِهُدَاهُمُ اقْـتَفَى * سَلَكًا نَهْجَ الثِّقَاتِ الْحُنَفَا
وَعَلَى كُلِّ وَلِيٍّ وَكَـفَى * دَمْعُهُ وَهُـوَ يَهِيْمُ شَغَفَا
ذَاكِرًا مَوْلاَهُ تَالٍ لِلسُّوَرْ
أَمْرَرْتُ كَفًّا سَبَّحَتْ فِيْهاَ الْحَصَى *  وَأَرْوَتِ الْجَيْشَ بِمَاءٍ هَامِرٍ
عَلَى مَعَاشِـيْ وَمَعَادِيْ وَعَلَى   *   ذُرِّيَّـتِيْ وَبَاطِنِيْ وَظَاهِرِيْ
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِ الْفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ، نَاصِرِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ وَالْهَادِي إِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيْمِ، وَعَلىَ آلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ العَظِيْمِ .
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

By
H. Rizki Zulqornain Asmat Cakung
Khadimut Thalabah Ma’had al-Muafah

Doa Buat Shahibul Walimah (Tuan rumah)

Doa Buat Shahibul Walimah (Tuan Rumah)

Bagi para tamu undangan Walimah setelah mencicipi jamuan disunnahkan untuk mendoakan tuan rumah. dengan salah satu doa-doa sebagai berikut:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِي مَا رَزَقْتَهُمْ وَاغْفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ

Artinya:”Ya Allah, berikanlah mereka keberkahan atas apa yang telah Engkau berikan, dan ampunilah serta sayangilah mereka.”
أَكَلَ طَعَامَكُمْ الْأَبْرَارُ ، وَصَلَّتْ عَلَيْكُمْ الْمَلَائِكَةُ , وَأَفْطَرَ عِنْدَكُمْ الصَّائِمُونَ ، وَذَكَرَكُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ .

Artinya:”Jamuan kalian telah dimakan oleh orang-orang baik, para Malaikatpun membacakan shalawat atas kalian, orang yang berpuasa sunah telah berbuka ditempat kalian dan Allah akan menyebut-nyebut kalian di sisimakhluq yang Allah cintainya.”

اللَّهُمَّ هنَّ مَنْ أَكَلَهُ , وَاخْلُفْ عَلَى مَنْ بَذَلَهُ, وَهَيِّئْ لَنَا بَدَلَهُ بِالْعَجَلَةِ .

Artinya:”Ya Allah, berikanlah kesenangan kepada orang yang makan jamuan ini, berikanlah ganti dengan rizki yg banyak kepada orang yang mengeluarkan biayanya dan siapkanlah ganti biayanya dengan cepat.[1]

Seandainya dalam acara Walimah tersebut ada sesuatu yang kurang pantas dari tempat acara yang kurang nyaman, sambutan atau jamuan yang disediakan kurang berselera bagi para tamu seperti orang menyangka potongan ati sapi, ternyata terong dikecapin atau juga tamu menyangka kikil kulit sapi, ternyata pare diiris-iris dan sebagainya, maka kita dilarang untuk menyebarkan aib tuan rumah kepada orang lain, yang perlu kita ceritakan yang baik atau yang enak-enaknya saja. Lantaran yang namanya manusia adalah tempatnya salah dan lupa, kesempurnaan hanya milik Allah, boleh jadi produk-produk buatan manusia tidak sempurna. Sehingga ulama mengatakan:
خُذْ مَا صَفَا وَدَعْ مَا كَدَرَ

Artinya:Ambillah yang bagus, tinggalkan sesuatu yang tidak bagus.”
 
By
H. Rizki Zulqornain Asmat al-Batawiy
Khadimut Thalabah Ma’had al-Muafah

[1] Syaikh Ibrahim al-Baijuriy, Hasyiyah Ibn Qasim vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr 2005) h. 186.

Shalawat Wishal (Syaikh Ahmad Dardir)


Shalawat al-Wishal

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ صَلاَةً تَلِيْقُ بِجَمَالِهِ وَجَلاَلِهِ وَكَمَالِهِ وَصَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَذِقْنَا بِالصَّلاَةِ عَلَيْهِ لَذَّةَ وِصَالِهِ .

Artinya: “Ya Allah, berikan rahmat yang disertai Ta’zhim kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebenar-benar shalawat yang pantas dengan keagungan, kebesaran dan kesempurnaannya. Berikanlah pula shalawat dan salam kepada beliau dan keluarganya. Anugrahkanlah kami kelezatan bertemu dengan beliau dengan keberkahan bershalawat kepadanya.”

Dinamakan shalawat al-Wishal lantaran menurut keterangan para ulama, siapa saja yang lazim membacanya, akan Allah sampaikan dirinya bertemu dengan makhluk yang paling mulia yakni Nabi Muhammad.[1]
 
By
H. Rizki Zulqornain Asmat al-Batawiy
Khadimut Thalabah Ma’had al-Muafah

( AKHIRZAMAN ) KEBENARAN SABDA RASULULLAH SAW

( AKHIRZAMAN ) KEBENARAN SABDA RASULULLAH SAW - DARI Said bin Zubair, dari Ibnu Abbas; ia berkata, bersabdalah Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), “Tiada suatu kaum itu mengurangi takaran, mengelabui timbangan kecuali Allah akan mencegah hujan kepada mereka. Dan tiada nampak perzinaan pada suatu bangsa kecuali akan timbul maut atas mereka. Tidak lahir pada suatu kaum per...
buatan riba kecuali Allah akan mengangkat penguasa yang gila. Tiada muncul pembunuhan pada suatu bangsa kecuali Allah akan memberi kekuasaan kepada musuh-musuh mereka. Dan tiada timbul suatu perbuatan homoseksual kecuali akan timbul pada mereka kehinaan (kemusnahan). Dan tiada suatu bangsa meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar, kecuali amal-amal mereka tidak akan terangkat dan doa-doa mereka tidak didengarkan.” (HR.Tabrani).

Prediksi Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) ini sudah disampaikan 14 abad lamanya dan rupanya telah menjadi kenyataan hari ini. Kasus-kasus sosial dan moral; mengurangi takaran/ timbangan, legalnya perzinahan, riba, pembunuhan, perbuatan homoseksual, dan meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar bisa kita rasakan hari ini. Bahkan akhir-akhir ini kasus-kasus tersebut banyak sekali dilansir oleh media massa.

Fenomena ini disadari atau tidak, namun kenyataan membuktikan semakin hari problematika masyarakat makin tambah pelik akibat fitnah-fitnah tersebut.

Diceritakan oleh Urwah dari Aisyah ra dalam Musnad-nya, “Telah datang ke tempatku, Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), beliau tampak sedih. Saya mengetahui dari wajahnya, bahwa beliau sedang dirisaukan oleh sesuatu. Beliau tidak berbicara hingga berwudhu, lalu keluar. Saya tetap tinggal di kamar. Kemudian beliau naik ke mimbar, lalu membaca tahmid dan berkhutbah: “Wahai saudara-saudara, sesungguhnya Allah Subhanahu wa-ta’ala (سبحانه و تعالى) berfirman kepada kalian: “Serukanlah kebaikan dan cegahlah kemungkaran sebelum kalian berdoa kepada-Ku. Kalau tidak, Aku tidak akan menjawab kalian (tidak mengabulkan) ketika kalian memohon pertolongan kepada-Ku, Aku tidak akan menolongmu, kalau kalian minta, Aku tidak akan memberimu’.”

Hadits di atas menginformasikan kepada kita betapa dahsyat akibatnya, jika seorang mukmin ‘meninggalkan kewajiban beramar ma’ruf nahi munkar di tengah kehidupan masyarakatnya. Di mana Allah tidak akan mengabulkan doa-doanya. Disamping Allah juga tidak akan memberikan pertolongan-Nya di saat-saat dibutuhkan-Nya. Tentunya, untuk menyikapi kondisi sosial semacam ini kita harus melakukan muhasabah(instropeksi diri). Tidak perlu menuding sana menuding sini, dan siapa yang harus disalahkan. Akan tetapi secara jantan, kita harus berani mengakui kealfaan kita dan perbuatan dosa kita. Sikap ini harus dilakukan sebelum Allah benar-benar menghisab kita kelak di hari pembalasan yang amat berat itu.

Sudahkah kita melakukan amar ma’ruf nahi munkar? Sudahkah para pemimpin kita melakukan amar ma’ruf nahi mungkar? Sikap ini harus dimiliki semua orang. Dari tingkat presiden, menteri, pejabat eselon, anggota dewan, manager, pengelola TV/Koran, rektor, kepala sekolah, bupati, camat, lurah, ketua RT hinggap kepala rumah tangga.

Tidak pantas rasanya kita mencari kambing hitam untuk menyelesaikan persoalan ini. Marilah secara arif kita tumbuhkan rasa kasih sayang dan sampaikan amar ma’ruf di tempat kita dan di tempat kekuasaan kita, secepatnya melakukan taubatan nasuha, sebelum maut menjemput kita atau malapetaka lebih besar ditimpahkan kepada kita.

Imam Ahmad menyebutkan dari Umar bin Khaththab ra mengatakan, “Hampir negeri itu dihancurkan padahal ia makmur.”

Ditanya, “Mengapa akan dihancurkan sedangkan ia subur?”

Ia menjawab, “Karena orang-orang yang jahat di situ mengungguli orang-orang yang baik, dan orang-orang munafik telah memimpin suku bangsa di sana.”

Apa yang dikatakan Umar itu bukan telah menjadi kenyataan. Fenomena sekarang bisa dilihat. Suami istri berselinkuh, ayah menghamili anak, anak memperkosa ibunya, homoseksual dan lesbian merajalela. Bahkan diseminarkan, dikampanyekan terang-terangan dan film-nya dipamerkan dengan difasilitasi media massa.

Seks remaja bebas di jalanan tanpa rasa malu dan sedikit orang mengingatkan maksiat terang-terangan seperti ini. Masyarakat seolah menerima ketika waria, kaum homo/lesbi mendaftar menjadi wakil rakyat. Seolah menandakan perilaku mereka sudah benar menurut agama. Sementara di sisi lain, lembaga-lembaga amar ma’ruf nahi munkar dimusuhi (juga difasilitasi media massa). Jika mereka berani melakukan aksinya, pers, polisi, pemerintah dan LSM menyebutkan organisasi pelaku kekerasan.

Nabi sendiri jauh-jauh sudah memperingatkan, “Akan datang suatu masa, saat hati seorang mukmin bagaikan meleleh sebagaimana garam mencair dalam air.”

Melelehnya orang mukmin, dikarenakan ia melihat kemungkaran dan kedhaliman, tetapi ia membiarkannya begitu saja. Tanpa ada kemauan untuk merubahnya. Seolah sekarang ini ‘mafia’ kamaksiatan telah terorganisir dengan apik dan teratur secara sistemik. Sampai orang-orang mukmin, seolah ‘tak berdaya’ untuk melakukan tindakan pengembalian manusia tersesat dari jalan Allah (inabah).

Ketika para artis melawan –bahkan melecehkan fatwa ulama– ketika mereka diingatkan apa yang dilakukannya itu keliru. Dan lagi-lagi, fitnah zaman seperti ini justru difasilitasi media massa..

Puncak kondisi sosial semacam ini, maksudnya bila kaum mukmin sudah tidak lagi mampu melakukan amar makruf nahi mungkar, tunggu saatnya Allah akan menghacur-leburkan dan meluluh-lantakkan ummat manusia tersebut dengan meratanya siksaan (musibah). Sebagaimana dikatakan Nabi, “Tiada suatu kaum berbuat maksiat di tengah-tengah mereka (orang-orang mukmin), sedangkan mereka lebih kuat dan lebih banyak daripada yang berbuat itu, kecuali Allah akan meratakan pada mereka siksanya.”

Dalam banyak riwayat, Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) mengingatkan masalah wanita dan aurat. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) mengatakan, “Demi Allah yang diriku di tangan-Nya, tidaklah akan binasa ummat ini sehingga orang-orang lelaki menerkam wanita di tengah jalan (dan menyetubuhinya); dan di antara mereka yang terbaik pada waktu itu berkata, “Alangkah baiknya kalau saya sembunyikan wanita ini di balik dinding ini.”

Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la tersebut di atas akan menjadi kenyataan, manakala ummat manusia telah melegalkan dan menghalalkan perzinahan dan pakaian mewah. (Shahih Bukhari). Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) juga pernah mengatakan, tidak hanya perzinahan, akan tetapi ummat manusia telah melegalkan juga akan minuman yang memabukkan dengan segala rekayasanya. (Musnad Ahmad dan Sunan Abu Dawud, dishahihkan oleh al-Albani).

Pada zaman ini ummat manusia banyak yang mengindap penyakit bakhil. Mereka mau berkorban, bila ada maunya saja. Niat ikhlas karena Allah, mereka gantikan dengan kepentingan-kepentingan pribadinya. Ummat Islam lebih suka memperindah masjid-masjidnya. Bahkan karena masalah sepele, mereka dengan teganya memutuskan tali persaudaraan sesama muslim.

Selain itu adalah semakin banyaknya penyanyi-penyanyi wanita, yang semakin berani membuka auratnya (HR.Thabrani, dishahihkan oleh al-Albani).

Sekarang, semua sudah dinampakkan di depan mata kita. Ketika para artis melawan –bahkan melecehkan fatwa ulama– ketika mereka diingatkan apa yang dilakukannya itu keliru. Dan lagi-lagi, fitnah zaman seperti ini justru difasilitasi media massa.

Telah banyak tanda-tanda yang dikabarkan dalam hadits Nabi. Dan telah banyak pula di antara tanda-tanda itu diperlihatkan di sekitar kita. Sementara belum banyak yang kita lakukan untuk perbaikan zaman

Redaksi Shalawat al-Fatih (Sayyid al-Bakriy)

Redaksi Shalawat al-Fatih:

Shalawat al-Fatih adalah salah satu lafaz shalawat yang masyhur diamalkan dalam dunia Islam. Shalawat ini dinisbahkan kepada dua orang wali yang besar, pertamanya kepada Sulthan al- Awliya` ًWa Ghautsul al-Rabbaniy Syaikh Imam ‘Abdul Qadir al-Jilaniy dan yang kedua kepada Quthub al-Awliya Syaikh Imam Abul Hasan Muhammad al-Bakriy.

Sayyid Ahmad Zaini Dahlan al-Makkiy dan beberapa ulama lain seperti Syaikh ‘Ali Ibn Abdurrahman al-Kelantaniy menisbahkan shalawat ini kepada Syaikh al-Imam Abdul Qadir al-Jilaniy, sedangkan sebagian ulama lain seperti Syaikh Ahmad al-Shawiy al-Malikiy[1] dan Syaikh Muhammad Fathan Ibn Abdul wahid al-Susiy al-Nazhifiy[2] menisbahkannya kepada Syaikh Abul Hasan Muhammad al-Bakriy.

Syaikh Yusuf Ibn Ismail al-Nabhaniy dalam karyanya “Afdhalush Shalawat ‘Ala Sayyidis Sadat” menyatakan bahwa menurut Syaikh Ahmad Ibn Muhammad al-Shawiy al-Malikiy, Syaikh ‘Abdul Rahman al-Kuzbariy, ahli hadits kebanggaan negeri Syam, telah menisbahkan Shalawat al-Fatih ini kepada Syaikh Abul Hasan Muhammad al-Bakriy. Menurut beliau penisbahan inilah yang nampaknya yang lebih kuat.
Syaikh Yusuf Ibn Ismail al-Nabhaniy mengatakan”:

من واظب عليها كل يوم مائة مرة انكشف له كثير من الحجب وحصل له من الأنوار وقضاء الأوطار ما لا يعلم قدره إلا الله .

Artinya:” Kebanyakan dari pada ariffin bahwasanya shalawat  ini membukakan rahasia dan yang ajaib yang terheran oleh akal. Siapa saja melazimi atasnya setiap hari 100 kali niscaya terbuka baginya daripada segala hijab dan hasil baginya dari pada anwar dan menunaikan segala hajat yang tiada mengetahui kadarnya melainkan Allah .[3]

Sayyid Ahmad Zainiy Dahlan mengatakan bahwa shalawat ini bermanfaat bagi semua peringkat. Karenanya layak dilazimi agar memperoleh keberkatannya.

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِ الْفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ . نَاصِرِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ . وَالْهَادِي إِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيْمِ .وَعَلىَ آلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ الْعَظِيْمِ .

Artinya: “Ya Allah berikanlah shalawat kepada penghulu kami Nabi Muhammad sebagai pembuka apa yang tertutup dan yang menjadi penutup apa yang terdahulu, penolong kebenaran dengan kebenaran yang memberi petunjuk ke arah jalan yang lurus. Dan kepada keluarganya, sebenar-benar pengagungan padanya dan kedudukan yang agung.”

Syaikh Ahmad al-Dardir al-Khalwatiy menyebutkan redaksi shalawat al-Fatih dengan ada sedikit tambahan sebagai berikut:

اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِ الْفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ . اَلنَّاصِرِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ وَالْهَادِي إِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيْمِ . صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وعَلىَ آلِهِ وَاَصْحَابِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ العَظِيْمِ .

Pada kalimat (اَلنَّاصِرِ الْحَقِّ) kata (الْحَقِّ) boleh dibaca dengan 2 bacaan, Majrur (dikasrahkan) dan Manshub (difathahkan). Dibaca Majrur lantaran kata (الْحَقِّ) menjadi Idhafah, adapun dibaca Manshub menjadi Maf’ul, sebab Idhafahnya disebut Idhafah Lafzhiyyah.[1]
Imam Ibn Malik berkata dalam alFiyyah:

وَوَصْلُ أَلْ بِذَا الْمُضَافِ مُغْتَفَرْ*  إِنْ وُصِلَتْ بِالثَّانِ كَالْجَعْدِ الشَّعَرْ

Artinya:” Menyambung al (alif lam) kepada Mudhaf Ghair Mahdhah diperbolehkan apabila alif lam tersebut disambungkan kepada Mudhaf ilaihnya seperti contoh: al-Ja’d al-Sya’ar (rambut yang keriting).”

أَوْ بِالَّذِى لَهُ أُضِيْفَ الثَّانِي*** كَزَيْدٌ الضَّارِبُ رَأْسِ الْجَانِي

Artinya:” Atau alif lam dimasukkan pada lafaz yang diIdhafahkan kepada lafaz yang kedua (Mudhaf Ilaih), seperti Zaidunid Dharibu Ra’sil Janiy. (Zaid yang memukul kepala penjahat itu.”
Menurut kaidah qiyas, alif lam tidak boleh memasuki Mudhaf yang Idhafahnya Mahdhah. Alif lam yang masuk pada Mudhaf Idhafah Mahdhah, merupakan hal yang menyalahi kaidah yang benar. Karenanya tidak boleh dikatakan:

هَذَا الْغُلاَمُ رَجُلٍ . هَذَا الضَّارِبُ زَيْدٍ . هَذَا الضَّارِبُ رَأْسِ جانٍ .

Akan tetapi jika Idhafahnya disebut Idhafah Ghair Mahdhah dimaksudkan infishal (memisahkan antara Mudhaf dan Mudhaf ilah), maka hal itu tidak dilarang. Hanya saja dengan syarat, yaitu hendaknya alif lam itu memasuki Mudhaf ilaih seperti contoh:

الْجَعْدُ الشَّعْرِ . الضَّارِبُ الرَّجُلِ . هَذَا الْغُلاَمُ الرَّجُلِ . هَذَا الضَّارِبُ الزَّيْدِ . هَذَا الضَّارِبُ رَأْسِ الْجَانِي
H. Rizki Zulqornain Asmat Cakung
Khodimut Thalabah Yayasan al-Muafah

[1] Syaikh Ahmad Ibn Muhammad al-Shawiy al-Malikiy al-Khalwatiy, al-Asrar al-Rabbaniyyah Wa al-Fuyudhat al-Rabbaniyyah Syarh al-Shalawat al-Dardiriyyah (Surabaya: Syirkat Bungkul Indah) h. 40.
[2] Muhammad Fathan Ibn Abdul wahid al-Susiy al-Nazhifiy, al-Durrah al-Kharidah Syarh al-Yaqutah al-Faridah vol. 4 (Beirut: Dar al-Fikr 1984) h. 220.
[3] Syaikh Yusuf Ibn Ismail al-Nabhaniy, Afdhal al-Shalawat Ala Sayyid al-Sadat (Beirut : Dar al-Fikr 2004) h. 140; Syaikh Ali Ibn Abdurrahman al-Kelantaniy, al-Jawharul al-Mawhub (Surabaya: Bungkul Indah) h. 29.

[1] Syaikh Ahmad Ibn Muhammad al-Shawiy, al-Asrar al-Rabbaniyyah Wa al-Fuyudh al-Rahmaniyyah Ala Shalawat al-Dardiriyyah (Surabaya: Bungkul Indah) h. 44.

Doa Pelunasan Hutang

Doa Pelunasan Hutang

Pada suatu hari Rasulullah memergoki Abu Umamah yang sedang mengalami kesulitan. Rasulullah bertanya kepadanya: Apakah yang terjadi denganmu? Abu Umamah menjawab, : Aku sedang menghadapi kesulitan hutang. Lalu Rasulullah bersabda: Maukah aku ajarkan kepadamu kata-kata yang bila kau ucapakan, niscaya Allah akan menghilangkan kesulitan dari dirimu dan melunasi hutangmu. Ucaplah di pagi dan sore hari :

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ

“Aku berlindung kepada-Mu dari kegelisahan dan kesedihan, aku berlindung kepada-Mu dari lemah dan malas, aku berlindung kepada-Mu dari sipat penakut dan kikir, dan aku berlindung kepada-Mu dari dominasi hutang dan paksaan orang.”


عَن عَلِيٍّ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيه وسَلم قَالَ : مَن قَالَ كُلّ يَومٍ مِائَة مَرَّةٍ : لاَ إِلَهَ إِلاّ اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ الْمُبِِيْنُ كَانَ لَهُ أَمانًا مِن الفَقْرِ وَأُنْسًا مِنْ وَحْشَةِ الْقَبْرِ وَاسْتَجْلَبَ بِهِ الْغِنَى .

Artinya:”Dari Sayyidina Ali meriwayatkan dari Nabi Muhammad, beliau bersabda: Siapa aja membaca

: لاَ إِلَهَ إِلاّ اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ الْمُبِِيْنُ  100 kali setiap hari, niscaya dirinya memiliki jaminan aman dari ancaman kefaqiran serta jaminan keramahan dari teror alam kubur dan mendapat kecukupan hidup.”

By
H. Rizki Zulqornain Asmat Cakung
Khodimut Thalabah Yayasan al-Muafah

Pengertian Janazah

Pengertian Janazah

Kata janazah adalah nama bagi mayyit yang ada di dalam keranda (tanduan atau kurung batang). Sebagian ulama mengatakan janazah adalah nama bagi keranda yang di dalamnya ada mayyit. Sedangkan al-Janaiz merupakan kata jamak bagi al-janazah. Imam Muhammad Ibn Ahmad al-Ramliy mengatakan:

الْجَنَائِزُ جَمْعُ جَنَازَةٍ بِالْفَتْحِ وَالْكَسْرِ اسْمٌ لِلْمَيِّتِ فِي النَّعْشِ وَقِيلَ بِالْفَتْحِ اسْمٌ لِذَلِكَ وَبِالْكَسْرِ اسْمٌ لِلنَّعْشِ وَهُوَ عَلَيْهِ الْمَيِّتُ وَقِيلَ عَكْسُهُ ، وَقِيلَ لُغَتَانِ فِيهِمَا ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ الْمَيِّتُ فَهُوَ سَرِيرٌ وَنَعْشٌ .

Artinya:”al-Janaiz jamak dari kata janazah dibaca dengan fathah dan kasrah, merupakan nama bagi mayyit yang berada di atas keranda. Pendapat lain mengatakan dibaca dengan janazah dengan fathah nama bagi mayyit, dibaca jinazah dengan kasrah nama keranda yang ada mayyit di dalamnya. Pendapat lain mengatakan sebaliknya. Pendapat lain mengatakan kata janazah dan jinazah digunakan buat arti keduanya. Apabila tidak ada mayyit di dalamnya maka disebut keranda atau kurung batang.”[1]

Imam Muhyiddin Nawawi al-Dimasyqiy menuqilkan pendapat pengarang kitab al-Mathali’ yang meriwayatkan dari Imam Ibn Faris dimana beliau mengatakan: kata al-Janaiz bentuk jamak dari masdar (invinitive) lafaz al-Janazah, terambil dari kata kerja Janaza, Yajnizu, Janzan dan Janazatan yang memiliki arti menutup.[2]

Syaikh Muhammad Ibn Ahmad Batthal al-Rakbiy mengatakan:

قَالَ الْجَوْهَرِيُّ : الْجَنَازَةُ وَاحِدَةُ الْجَنَائِزِ، وَالْعَامَّةُ تَقُوْلُ: الْجَنَازَةُ بِالْفَتْحِ، وَالْمَعْنَى: الْمَيِّتُ عَلَى السَّرِيْرِ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ مَيِّتٌ فَهُوَ سَرِيْرٌ وَنَعْشٌ. قَالَ اْلأَزْهَرِيُّ: يُقَالُ لِلسَّرِيْرِ إِذَا جُعِلَ فِيْهِ الْمَيِّتُ ، وَسُوِّيَ لِلدَّفْنِ جِنَازَةٌ بِكَسْرِ الْجِيْمِ. وَأَمَّا الْجَنَازَةُ بِفَتْحِ الْجِيْمِ، فَالْمَيِّتُ نَفْسُهُ.
Artinya:”al-Jauhari berkata: Janazah bentuk tunggal dari kata janaiz. Kebanyakan orang menyebutnya dengan fathah huruf jim artinya mayyit yang ada di dalam keranda. Jika mayyit tidak ada di dalamnya, maka disebut  keranda atau kurung batang. al-Azhariy berkata: disebut keranda apabila dijadikan buat mayyit dan disempurnakan untuk penguburannya disebut jinazah dengan kasrah jim. Adapun dibaca janazah dengan fathah jim adalah nama bagi mayyit itu sendiri.”[3]
Syaikh Muhammad Mahfuz Ibn Abdullah al-Termasiy mengatakan” al-Janaiz jamak dari kata al-Janazah yang dibaca dengan fathah maupun kata al-Jinazah yang dibaca dengan kasrah. Wazan (timbangannya) seperti lafaz Sahabah (awan) jamaknya adalah Sahaib dan Risalah (tulisan) jamaknya adalah Rasail. Imam Ibn Malik berkata dalam al-Fiyyah:

وَبِفَعَائِلَ اجْمَعْنَ فَعَالَهْ * وَشِبْهَهُ ذَا تَاءٍ أوْ مُزَالَهْ

Artinya:”Dengan Fa’ail jama’kanlah olehmu wazan kata Fa’alah dan yang serupa dengannya baik yang mempunyai Ta’ ataupun tidak.”
Sebagian ulama mengatakan:

وَهَذَا مَعْنَى قَوْلِهِمْ الْأَعْلَى لِلْأَعْلَى وَالْأَسْفَلُ لِلْأَسْفَلِ أَيْ الْجِنَازَةُ بِالْحَرَكَةِ الْعُلْيَا وَهِيَ الْفَتْحَةُ لِلْأَعْلَى وَهُوَ الْمَيِّتُ فِي النَّعْشِ وَالْجِنَازَةُ بِالْكَسْرَةِ السُّفْلَى لِلنَّعْشِ وَعَلَيْهِ الْمَيِّتُ وَهُوَ أَسْفَلُ .
Artinya:”Makna perkataan ulama menyebutkan atas untuk atas, bawah untuk bawah artinya dibaca dengan syakal di atas janazah memiliki arti mayyit yang ada di atas keranda dan dibaca dengan syakal di bawah memiliki arti keranda yang berada di bawah mayyit.”[4]
Disebutkan bahwa kurung batang itu setiap hari memanggil dengan lisan halnya dengan ucapan:

أُنْظُرْ إِلَيَّ بِعَقْلِكَ أَنَا الْمُهَيَّأُ لِنَقْلِلكَ
أَنَا سَرِيْرُ الْمَنَايَا * كَمْ سَارَ مِثْلِى بِِمِثْلِكَ

Artinya:”Renungkanlah aku dengan akalmu. Aku disediakan untuk memindahkanmu. Aku adalah ranjang kematian. Berapa banyak kurung batang seperti aku membawa orang seperti kamu.”[5]
Dikutip dari risalah:
الفَـوَائِدُ الْمُمْتَازَة
فِي بَيَانِ أَحْــكَامِ صَـلاَةِ الْجَنَازَة
جمع وترتيب
الحاج رزقي ذوالقرنين أصمت البتاوي
Jl. Tipar Cakung Rt.05/08 No:5
Kelurahan Cakung Barat Jakarta Timur


[1] Imam Muhammad al-Ramliy, Nihayah al-Muhtaj Syarh al-Minhaj vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr 2004) h. 432.
[2] Imam Nawawiy al-Dimasyqiy, Tahrir alFaz al-Tanbih (Dimasyq: Dar al-Qalam 1998) h. 94.
[3] Syaikh Muhammad Batthal, al-Nazhm al-Musta’dzab Fi Syarh Gharib al-Muhadzzab vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr) h. 125-126.
[4] Imam Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal Ala Fath al-Wahhab vol. 2 (beirut: Dar al-Fikr 1994) h. 132; Syaikh Muhammad Mahfuz al-Termasiy, Mauhabah Dzi al-Fadl Ala Syarh Ba Fadhl vol. 3 (Kairo: Mathbaah al-Amirah 1986) h. 377-378.
[5] Syaikh Abdullah al-Syarqawiy, Hasyiyah Ala Tuhfah al-Thullab Syarh Tahrir vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr 1994) 334.

Nama-nama Para Nabi Yang Dilahirkan Dalam keadaan Telah Dikhitan

Nama-nama Para Nabi Yang Dilahirkan Dalam keadaan Makhtun (Dikhitan)
Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitab al-Kanzul Madfun Wal Fulkul Masyhun menyebutkan ada empat belas Nabi yang dilahirkan dalam keadaan telah di khitan (sunat):

1. Nabi Adam
2. Nabi Syist
3. Nabi Nuh
4. Nabi Hud
5. Nabi Shalih
6. Nabi Luth
7. Nabi Syuaib
8. Nabi Yusuf
9. Nabi Musa
10. Nabi Sulaiman
11. Nabi Zakaria
12. Nabi Isa
13. Shafwan Bin Thalhah
14. Nabi Muhammad

By
H. Rizki Zulqornain Asmat
Khadimut Thalabah Ma’had al-Muafah

Perkara Yang Sedikit Dikategorikan Banyak

Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitab al-Kanzul Madfun Wal Fulkul Masyhun menyebutkan ada 4 perkara yang apabila kita miliki sedikit, hal itu dikatakan banyak. ke empat hal itu adalah:

1. Penyakit
sakit walaupun tergolong kategori penyakit nasional seperti flu, meriang, eneg puyeng dan lain sebagainya, kalau kurang-kurang ikhtiar dalam mengobatinya bisa menyebabkan banyak keluar duit ukuran 7 kontrakan kejual. (Naudzu Billah)

2. Hutang
Biasanya kalo ngutang dalam jumlah sedikit, bakal nyari tempat buat ngutang lainnya. Hutang walaupun sedikit kalau kita belom bayar, sunggal tempat kita diomongin orang, dibakal jadi tamstil si pulan kalo ngutang kaga mo bayar, saban kita ketemu orang yang kita utangin seoalah-olah muka kaya tayammum pake abu comberan, dunia sempit bangat ketemu dia terus. Kaga sembabad bangat padahal punya hutang sedikit tapi omongan yang kaga enaknya banyak bangat kaya punya hutang 2 miliar

3. Dosa
Dosa walaupun sedikit, katakan sekecil-kecilnya dosa itu rekenanya banyak, lantaran kita melakukan dosa kepada Allah Yang maha Besar.

4. Musuh
Punya musuh walaupun satu itu dikata banyak, apalagi musuh tersebut provokator kampung sekali teriak pake speker masjid sekampung bisa gedeg ama kita.

By
H. Rizki Zulqornain Cakung

APA SIH KYAI ITU ??

Julukan atau sebutan Kiyai atau Kiai atau Kiyahi ( كياهي)  ) sering menjadi pertanyaan orang. Apa sebenarnya makna Kiyai itu. Dari mana asal muasal nama Kiyai itu. Dan apa sebenarnya ciri-ciri serta hal-hal yang harus dilakukan oleh para Kiyai.   Pertanyaan itu lebih mencuat lagi ketika orang-orang yang disebut Kiyai atau para Kiyai ada yang dinilai berbuat yang di luar jalur kebiasaan, misalnya ada yang  patut diduga sebagai provokator, ada yang jadi pengipas-ngipas suasana dengan memanasi anak buah untuk melawan terhadap lawan-lawan politik, ada yang memanas-manasi untuk mendukung Presiden Gus Dur / Abdurrahman Wahid karena presidennya dari golongan sang Kiyai itu, yaitu Nahdlatul Ulama dengan partainya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Tidak jarang pula ada Kiyai yang suka kumpul-kumpul sesamanya, hingga disebut Kiyai khos (khusus) yang kaitannya erat dengan soal dukung mendukung terhadap kursi presiden yang sedang diduduki oleh golongannya.

    Tetapi di balik itu ada Kiyai dogdeng (kebal) yang suka sesumbar bahwa wadyabalanya rata-rata jadug (sakti, tidak mempan senjata tajam). Ada juga Kiyai yang dari zaman Orde Baru pimpinan Presiden Soehartosukanya mendekat-dekat dengan penguasa, bahkan pernah bersama-sama puluhan Kiyai dipimpin Nur Iskandar SQ menghadiahi emas beberapa kilogram kepada Presiden Soeharto dengan dalih untuk mengatasi krisis ekonomi/ moneter. Setelah para Kiyai itu sowan (hadir dengan penuh ketundukan) ke tempat Presiden Soeharto, justru tak lama kemudian sang Presiden dipaksa turun dengan didemonstrasi oleh puluhan ribu mahasiswa selama dua minggu, hingga ia menyatakan turun dari kursi kepresidenan 1998.
   Ada juga Kiyai yang mempelopori untuk disahkannya asas tunggal pancasila hingga kumpulan para Kiyai itu berbangga diri bahwa pihak mereka dengan Jam’iyah NU-nya adalah orang-orang yang nomor satu dalam hal menggulkan (mensukseskan untuk dipaksakannya) asas tunggal pancasila terhadap Ummat Islam. Padahal, Ummat Islam pada umumnya sangat kesulitan menghadapi tekanan Soeharto yang semakin terasa berpihak kepada palangis atau kaum Salib yang makin menjadi tirani minoritas dengan pengaruh Jendral Leonardo Benny Murdani saat itu dan menekan Islam selama hampir 30-an tahun. Sedang asas tunggal pancasila itu dinilai oleh kalangan Islam non NU dan Golkar sebagai salah satu jenis tekanan Soeharto terhadap Islam.  Kiyai-Kiyai NU yang menggulkan asas tunggal pancasila itu di antaranya dipimpin Kiyai Haji Ahmad Siddiq (mendiang yang dulunya suka musik rock barat, satu kebiasaan yang jauh dari adab orang alim Islam, yang kitab-kitabnya menyebut sankres alias musik itu haram). Kemudian “jasanya” itu dibawa mati. Dan mereka yang masih hidup, mereka tidak merasa malu apalagi minta maaf kepada umat ketika Umat Islam bersyukur dan  merasa lega saat asas tunggal pancasila itu ditendang oleh MPR dalam sidangnya 1998, setelah pemerintahan Soeharto jatuh, dan pemerintahan diserahkan kepada wakilnya, Prof Ir Baharuddin Jusuf Habibie. Sikap para Kiyai itu kalau diperbandingkan, masih agak mending Amien Rais (Ketua MPR) yang walaupun tanpa menyandang gelar Kiyai namun secara jantan dia meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas “ijtihad politiknya” (menurut istilah dia) yang salah ketika dulunya memprakarsai untuk memilih Gus Dur/ Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden yang ternyata setelah dijalani, kepemimpinan Gus Dur menurut Amien Rais menyebabkan Amien minta maaf kepada bangsa atas salah pilihnya itu. Hingga Amien Rais pun tampak bertanggung jawab terhadap bangsa Indonesia untuk berupaya bagaimana agar Gus Dur turun dari jabatan presiden. Sekalipun sikap Amien Rais itu jelas sikap politik, namun di situ tampak terus terang mengaku bahkan minta maaf atas kesalahannya, dan pula mau berusaha untuk menambal kesalahannya.
(Dalam hal ini para pembaca tidak usah buru-buru menyangka bahwa penulis pro Amien Rais, hingga membela-bela dia. Tidak. Karena, buku yang mengkritik Amien Rais berjudul Kekeliruan Logika Amien Rais pun telah penulis ujudkan dan cetak serta edarkan sebelum kami tulis buku Bahaya Pemikiran Gus Dur. Jadi tidak ada itu membela-bela Amien Rais segala.  Kepentingan menampilkan sikap Amien Rais itu hanya untuk perbandingan antara sikap para Kiyai NU pendukung asas tunggal pancasila yang sampai dikenal sebagai nomor wahid, yang kemudian tidak mau mengakui kesalahan apalagi minta maaf, dan sikap Amien Rais yang terang-terangan secara jantan mengakui kesalahan dan minta maaf  kepada bangsa Indonesia dalam kasus keterlanjurannya menjagokan Gus Dur sebagai presiden. Padahal resikonya jauh lebih berat bagi Amien Rais, sampai-sampai dihalalkan darahnya oleh Nur Iskandar SQ dan sering diboikot di Jawa Timur. Sementara itu, seandainya para Kiyai NU meminta maaf atas kengototannya menjadi pendukung pertama dipaksakannya asas tunggal pancasila, sebenarnya tidak ada resiko apa-apa, toh orang yang dijilati yaitu Presiden Soeharto sudah tidak berkuasa lagi. Itu saja persoalannya. Tapi Pak Amien Rais tidak usah bangga dengan perbandingan ini).


Pengertian Kiyai
    Dalam buku Kiai Penghulu Jawa, Peranannya di Masa Kolonial, Drs H Ibnu Qoyim Isma’il MS menjelaskan sebagai berikut:
   Di tengah perkembangan masyarakat Indonesia pada umumnya dijumpai beberapa gelar sebutan yang diperuntukkan bagi ulama. Misalnya, di daerah Jawa Barat (Sunda) orang menyebutnya Ajengan, di wilayah Sumatera Barat disebut Buya, di daerah Aceh dikenal dengan panggilan Teungku, di Sulawesi Selatan dipanggil dengan nama Tofanrita, di daerah Madura disebut dengan Nun atauBendara yang disingkat Ra, dan di Lombok atau seputar daerah wilayah Nusa Tenggara orang memanggilnya dengan Tuan Guru.  Khusus bagi masyarakat Jawa, gelar yang diperuntukkan bagi ulama anatara lain Wali. Gelar ini biasanya diberikan kepada  ulama yang sudah mencapai tingkat yang tinggi, memiliki kemampuan pribadi yang luar biasa.[1]   Sering pula para wali ini dipanggil denganSunan[2] (Susuhunan), seperti halnya para raja. Gelar lainnya ialah Panembahan, yang diberikan kepada ulama yang lebih ditekankan pada aspek spiritual, juga menyangkut segi kesenioran, baik usia maupun nasab (keturunan). Hal ini untuk menunjukkan bahwa sang ulama tersebut mempunyai kekuatan spiritual yang tinggi.[3]
   Selain itu, terdapat sebutan Kiai, yang merupakan gelar kehormatan bagi para ulama pada umumnya. Oleh karena itu, sering dijumpai di pedesaan Jawa panggilan Ki Ageng atau Ki Ageng/ Ki Gede, juga Kiai Haji.[4]
    Gelar Kiai sebenarnya cukup terhormat. Namun di zaman kini, di saat buku ini ditulis, Maret 2001M/ Dzulhijjah 1421H, banyak para Kiai yang terjun ke dunia politik praktis, serta tersebar di masyarakat berbagai ucapan bahkan lakon Kiyai yang sebenarnya kurang sesuai dengan gelar kehormatan itu. Maka akibatnya timbul pertanyaan, apa sebenarnya Kiyai itu, dan apa pula kriterianya.
    Untuk menjawab pertanyaan semacam itu, di samping sudah kita ketahui uraian di atas, perlu pula kita simak jawaban yang muncul dari kalangan ulama sendiri tentang julukan Kiai itu. Di antaranya apa yang dikemukakan oleh Prof Dr Hamka dalam menjawab pertanyaan orang tentang Kiyai Dukun. Di dalam hal ini Hamka menulis:
     “…kami menyerukan kepada penanya dan saudara-saudara yang berminat supaya dicarilah Kiyai-kiyai yang benar-benar mengerti soalnya (soal agama Islam dengan aneka rangkaian ajarannya, di antaranya tentang ayat-ayat yang boleh dijadikan do’a-doa untuk menolak penyakit, pen) lalu pelajari  sehingga bisa jadi tabib untuk diri sendiri. Karena kalimat Kiyai itu bukanlah artinya semata-mata untuk orang yang benar-benar telah mengerti Agama Islam dengan segala cabangnya.
   Ada Kiyai berarti Guru Agama Islam yang telah luas pandangannya.
   Ada Kiyai berarti pendidik, walaupun pendidik Nasional. (Kalau yang dimaksud Hamka itu misanya Hajar Dewantara, maka biasanya disebut Ki, bukan Kiyai; tetapi sebutan Ki itu kadang juga sama dengan Kiyai, seperti Ki Dalang itu sama dengan Kiyai Dalang, pen).
    Ada Kiyai berarti Pak Dukun.
    Di Kalimantan, Kiyai (sebelum perang) berarti District-hoofd (Wedana).
   Di Padang (sebelum perang), Kiyai artinya “Cino Tuo” (Orang Tionghoa yang telah berumur).
   Gamelan Sekaten di Yogya bernama Kiyai Sekati dan Nyi Sekati.
   Dalang  yang ahli disebut Ki Dalang, atau Kiyai Dalang.
   Bendera Keramat yang dikeluarkan setiap ada bala bencana mengancam dalam negeri Yogyakarta bernama Kiyai Tunggul Wulung.[5]
    Meskipun Hamka mampu menjelaskan kegunaan kata Kiyai seperti tersebut, namun dia terus terang mengungkapkan, “kami tidak tahu dari Bahasa apa asalnya kata Kiyai. Tetapi kami dapat memastikan bahwa kata itu menyatakan Hormat kepada seseorang. Cuma kepada siapa penghormatan Kiyai itu harus diberikan, itulah yang berbeda-beda menurut kebiasaan satu-satu negeri.
Di seluruh pulau Jawa yang terdiri dari tiga suku besar, yaitu Jawa, Sunda, dan Madura ditambah dengan Palembang, kata Kiyai digunakan untuk menghormati seseorang yang dianggap Alim, Ahli Agama dan disegani.
Di Kalimantan Selatan (Banjarmasin dan sekitarnya) sebelum perang, gelar Kiyai adalah pangkat yang tertinggi bagi Ambtenaar Bumiputera. Sama dengan pangkat Demang di Sumatera. Ada Kiyai kelas I, kelas II dan ada yang disebut Asisten Kiyai yang sama dengan Asisten Demang.
Bertahun-tahun lamanya Almarhum Bapak Kiyai Haji Hasan Corong jadi ketua Wilayah (Consul) Muhammadiyah daerah Kalimantan Selatan; umumnya orang di Jawa menyangka bahwa beliau adalah seorang Ulama besar, sebab di pangkal namanya ada titel “Kiyai”, padahal beliau adalah pensiunan Kiyai (District-hoofd), yaitu pangkat Bumiputera yang tertinggi di Kalimantan Selatan (Banjarmasin dan sekitarnya) pada masa sebelum perang.
Tetapi di Sumatera Barat, yaitu di kota-kota yang banyak didiami orang Cina (Padang, Pariaman, Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh) dan pesisir Selatan, gelar Kiyai diberikan kepada Cina yang telah tua dan dihormati. Biasanya janggut beliau dipanjangi. Di tahun 1916 kami masih mendapati seorang Cina tua di kampung Cina Padang Panjang disebut orang Kiyai Makh Thong.
Rupanya kata-kata ini terdapat juga di Thailand (Siam), Ulama yang besar-besar dihormati di sana dalam kalangan orang Islam dalam menyebutnya (Guru Kriyai).[6]
Setelah kita mengetahui penjelasan Hamka itu, perlu disebutkan pula di sini bahwa masih ada pula sebutan Kiyai untuk hal-hal lain, di antaranya adalah keris atau tombak di Kraton Solo, bahkan Kiyai itu untuk menjuluki kerbau. Di Kraton Solo Jawa Tengah ada kerbau yang disebut Kiyai Slamet, yaitu kerbau yang dianggap keramat oleh orang-orang (yang tentu saja batil menurut Islam). Kebo (kerbau) yang dijuluki Kiyai Slamet itu dilepaskan secara bebas ke mana-mana setiap malam 1 Muharram, yang disebut tanggal satu Syuro. (Bulan Muharram di Jawa disebut Syuro, mungkin karena di dalam bulan Muharram itu ada hari yang penting pada hari kesepuluh, namanya ‘Asyuro, hari kesepuluh Muharram, yang dalam Islam termasuk hari disunnahkannya puasa). Hingga kerbau yang dinamai Kiyai Slamet itu ke mana saja tidak diusik, bahkan sampai memakan dagangan sayuran dan sebagainya pun tidak diapa-apakan, karena menurut kepercayaan takhayul (yang menyimpang dari Islam), kerbau itu ketika makan dagangan tersebut dianggap justru akanngrejekeni (memberi rizki atau memberkahi). Jadi Kiyai yang berupa kerbau itu telah dianggap sebagai makhluk keramat, yang tentu saja hal itu merupakan satu jenis penyimpangan yang nyerempet-nyerempet kemusyrikan.
Sementara itu upacara di Solo pula pada malam satu Syuro itu adalah “thawaf” mengelilingi benteng Mangkunegaran,  Jalan raya melingkar di sekeliling benteng Mangkunegaran (kira-kira kelilingnya sepanjang 1,5 KM) itu berubah jadi tempat orang berjalan kaki mengitari benteng dengan mulut membisu. Jadi bagai thawaf di Ka’bah, tetapi membisu. Hanya saja kalau thawaf itu waktunya kapan saja, dan yang dikelilingi adalah Ka’bah Baitulllah di Makkah, 7 kali keliling, dalam keadaan suci dari hadats sebagaimana sucinya orang yang mau shalat. Sedang “thawaf” di Mangkunegaran ini mengelilingi benteng, dan bentengnya itu di sebelah kanan (kalau Thawaf, Ka’bahnya di sebelah kiri, berputarnya berlawanan dengan jarum jam) dan berputarnya searah dengan jarum jam, waktunya hanya malam satu Syuro., dan harus “puasa” bisu, tidak berkata-kata. Kesempatan berdesakan di tengah malam itu konon digunakan pula oleh muda-mudi untuk main senggol. Antara upacara mengelilingi benteng dan dilepasnya Kerbau Kiyai Slamet ini waktunya sama, yaitu malam satu Syuro.
   Jadi ada kerbau yang dikeramatkan dengan dijuluki Kiyai Slamet, dan ada acara bid’ah menthawafi  (mengelilingi) benteng dengan mulut membisu pada malam satu Syuro. Demikianlah menurut pengamatan penulis.


   Lantas, siapa yang menjuluki Kiyai itu?
Hamka pun tidak menentukan, siapa yang berhak menjuluki Kiyai terhadap aneka macam tersebut di atas. Hamka menjawab pertanyaan orang yang ingin tahu, siapa yang berwenang menjuluki Kiyai,  sebagai berikut:
“Nampaknya tidak ada suatu ketentuan tentang siapa yang berwenang memberikan gelar Kiyai. Nampaknya apabila telah bisa disebut Kiyai, lekat sajalah gelar itu. Lantikannya yang tertentu tidak ada. Oleh sebab memberi gelar Kiyai itu tidak ada peraturannya yang tertentu dan hanya menurut kesukuan orang saja dan diterima masyarakat, maka dipanggil orang Kiyai juga menurut kebiasaan orang Jawa.”[7]
   Jawaban Hamka itu dikemukakan pada tahun 1963. Pada tahun-tahun itu dan sebelumnya, ulama Jakarta atau Betawi biasanya disebut dengan Guru, misalnya Guru Mughni di Kuningan Jakarta, Guru Marzuki di Jatinegara, Guru Udin (Zainuddin) di Kalibata Pulo, Guru Amin di Kalibata dan sebagainya. Baru belakangan terbiasa menyebut ulama dengan nama Kiyai yang kadang-kadang disingkat jadi Kaha (KH, Kiyai Haji) di antaranya Kiyai Abdullah Syafi’i, menurut orang kampung Bali (Matraman) sebutannya Kiyai Duloh., yang kemudian  terkenal lewat radionya-As-Syafi’iyah, demikian pula Kiyai Thahir Rahili dengan radionya At-Thahiriyah di Kampung Melayu, kedua-duanya memiliki pesantren dan perguruan Islam. Selanjutnya ulama Betawi juga disebut Kiyai, di antaranya Kiyai Syafi’i Hazami, yang memang ulama terkemuka di kalangan masyarakat Betawi. Hanya saja sebutan Kiyai belum tentu lekat pula pada ulama Betawi. Contohnya, seorang ulama alumni Timur Tengah, yang kitab-kitabnya di antaranya tentang Madzhab Imam Syafi’i menjadi rujukan di Universitas Al-Azhar Mesir,  yaitu Dr HA Nahrawi Abdus Salam (rumahnya dekat Masjid Al-Munawar Jl Raya Pasr Mingu Pancoran Jakarta Selatan) jarang disebut Kiyai. Bahkan lebih sering dipanggil Doktor saja. Sebagaimana penulis kawakan dan budayawan Betawi H Ridwan Saidi tidak mengembel-embeli titel Kiyai dalam mengisahkan DR HA Nahrawi Absus Salam pada buku Orang Betawi dan Modernisasi Jakarta, 1994. Justru gelar Syaikh lah yang dikenakan pada ulama Betawi, walaupun memang adanya di Makkah, sebagaimana dipaparkan oleh Ridwan Saidi:
   “Jika seluruh bangsa Indonesia yang tinggal merantau di Jakarta di zaman penjajahan itu berkejar mencari kemegahan di sisi bangsa Belanda yang menjajah, mengembara ke negari Belanda, namun si anak Betawi berduyun-duyun pergi ke Mekah. Bukan berduyun ke negeri  Belanda. Sampai di Mekah mereka bukan semata-mata jadi babu atau khadam  yang duduk di tingkat bawah, melainkan  –sekurang-kurangnya—menjadi orang menengah (middenstand) yang berpengaruh. Saya teringat ketika perjanjian penyerahan Raja Ali anak Raja Husin, raja negeri Mekah yang diserang oleh Raja Ibnu Saud tahun 1925, ketika kota Jeddah sudah dikepung lama sekali, akhirnya Raja Ali mengaku kalah dan diadakan delegasi pendamai kedua belah pihak. Setengah dari syarat-syarat yang dikemukakan oleh Raja Ali ialah supaya beberapa orang besar dan ternama yang jadi hidup bertalian erat dengan Baginda (Raja Ali, pen) dibebasakan. Di antaranya ialah beberapa nama yang di ujung nama itu disebut “:Betawi”: Syaikh Abdullah Betawi, Syaikh Ahmad Betawi, Syaikh Sa’id Betawi. Keturunan keluarga Betawi itu masih ada sampai sekarang (1994, pen)  dalam perlindungan Kerajaan Saudi Arabi, baik di Mekah maupun Jeddah.[8]    Dari sini bisa difahami bahwa sebutan Kiyai untuk ulama sebenarnya di kalangan kaum Betawi kurang membudaya. Hanya saja dalam perkembangannya sebutan Kiyai itu memasyarakat pula sejak pemerintahan Soeharto yang sejak awal tampak menonjolkan budaya Jawa terutama yang berbau Kejawen, hingga nama ruangan-ruangan di gedung DPR/MPR pun diganti dengan nama dari bahasa Jawa Kuno atau bahkan Sansekerta dari India atau Hindu. Misalnya ruang Wirashaba dan sebagainya yang sulit dimengerti oleh masyarakat. Maka istilah Kiyai  untuk sebutan ulama pun yang asalnya hanya dipakai di Jawa lalu dinasionalkan atau menjadi istilah nasional. Dan tampaknya budaya munduk-munduk (sangat hormat bahkan takut) terhadap Kiyai yang budaya itu merata di Jawa rupanya menular pula kepada masyarakat selain Jawa, termasuk Betawi, sehingga julukan Kiyai itu tidak ditolak oleh ulama yang dijulukinya.
    Setelah julukan Kiyai itu memasyarakat pula di masyarakat selain Jawa, termasuk pula Betawi, lalu tumbuh gejala, keturunan Kiyai yang kemudian mengimami masjid atau apalagi memimpin pesantren maka disebut Kiyai pula, walaupun ketika bapaknya dulu masih hidup, si anak Kiyai itu tidak pernah disebut Kiyai muda, tetapi begitu bapaknya wafat, maka dia langsung dipanggil atau suka dipanggil dengan sebutan Kiyai, walaupun dari segi keilmuan maupun kegiatannya berjama’ah ke masjid tidak sebanding dengan bapaknya.
   Adapun ulama ataupun da’i yang dari keturunan Arab dan menisbatkan diri sebagai keturunan Nabi saw maka mereka bukan disebut Kiyai, tetapi Habib yang sering dijamakkan (bentuk banyak, plural) menjadi habaib. Sehingga ada  istilah “ulama dan habaib”. Ulama dalam hal ini untuk para alim, guru agama yang ilmunya cukup tinggi (termasuk di dalamnya, Kiyai), namun bukan orang Arab “keturunan” Nabi saw. Sedang habib atau bentuk jamaknya (plural) Habaib adalah guru agama atau alim agama atau bahkan ulama dan “keturunan” Nabi saw. Hanya saja di kampung-kampung, asal dia bisa membaca sepotong do’a, maka sudah bisa disebut Kiyai atau kalau “keturunan” Nabi saw maka disebut Habib, dan kalau bersalaman dengan mereka maka masyarakat Betawi/ Jakarta pun menciumi tangannya.
    (Menurut Habib Abdurrahman Bukit Duri Manggarai Jakarta Selatan, untuk diciumi tangannya itu juga pakai modal, yaitu minyak wangi. Dan kadang rugi juga, kalau yang mencium tangannya itu kebetulan ingusan. Jadi sang Habi itu sudah mengeluarkan modal berupa minyak wangi, masih kena ingus pula, ucap Habib Abdurrahman Assegaf di depan para Ulama, Habaib, Kiyai, dan tokoh Islam. Ucapan itu dalam rangka marah terhadap pidato Pak Prof Dr HM Rasjidi (almarhum, wafat Januari 2001) yang menguraikan sesatnya Syi’ah, dalam pertemuan di Pesantren As-Syafi’iyah (belakangan disebut Pesantren Al-Qur’an Kiyai Haji Abdullah Syafi’i) di Pulo Air Sukabumi, Jawa Barat, 1989. Kemarahan Habib Abdurrahman itu mengagetkan para ulama yang hadir, karena tampaknya Sang Habib itu mengira bahwa Prof Rasjidi membidik para habaib dengan cara menghantam Syi’ah. Kesalah fahaman itu bermula dari pidato singkat Dr HA Nahrawi Abdus Salam yang mengira Prof Rasjidi menghantam Syi’ah itu untuk menyindir orang yang mengukuhi madzhab, dalam hal ini Syafi’iyah. Akibatnya pertemuan itu jadi kacau balau suasananya secara persaaan. Wajah-wajah para ulama itu tampak saling kikuk, dan sampai menjelang wafatnya pun Prof Rasjidi masih terkenang dan  mengaku kepada penulis bahwa dirinya diplengosi (dihadapi dengan berpaling) oleh tuan rumah saat itu, setelah adanya pidato-pidato yang salah faham itu).
   Tampaknya tradisi munduk-munduk (sangat hormat dan sangat patuh) terhadap Kiyai di Jawa tidak jauh berbeda dengan yang terjadi terhadap guru / ulama dan habib/ habaib di Betawi/ Jakarta. Maka orang Betawi yang tadinya tidak mengenal atau masyarakat kurang kenal dengan istilah Kiyai, kemudian sejak tahun 1970-an sebagian ulamanya tampaknya ridho’ untuk disebut Kiyai. Sementara itu untuk para habaib tetap bernama habib, sebagai pembeda antara yang “keturunan” Nabi saw dan yang ‘ajam (non Arab). Sedang tradisi cium tangan dan munduk-munduknya tetap “dikukuhkan”.
    Kini, setelah muncul Kiyai-kiyai yang dipandang oleh masyarakat sebagai provokator dan sebagainya, bahkan ada yang kena skandal, apakah julukan Kiyai yang tadinya tidak melekat di kalangan Ulama Betawi/ Jakarta itu harus mereka kembalikan ke asalnya yaitu Guru atau bahkan Ulama atau Alim saja? Istilah “Ulama Betawi” sebenarnya sudah melekat dalam bahasa masyarakat. Sedang istilah Kiyai sebenarnya selalu jadi tanda tanya. Karena, di samping munculnya itu dari Jawa (biasanya di Jakarta, yang disebut Jawa itu tidak termasuk Jakarta), juga istilah Kiyai itu mengandung aneka macam makna, dari kerbau yang dianggap keramat sampai bendera yang dikeramatkan, atau bahkan dukun santet ataupun tukang sihir. Walaupun memang masih diakui pula istilah Kiyai itu ada yang untuk ulama betulan.

    Sebutan Kiyai mungkin lebih diminati dan ni’mati
    Kalau ditilik dari segi praktis dan pragmatisnya, bahwa Kiyai itu yang di-munduk-munduki atau sangat dihormati dan ditaati serta ditakuti, maka tampaknya justru sebutan Kiyai itulah yang  lebih mereka minati. Di samping masyarakat sudah bisa diharapkan akan tunduk lagi hormat kepada Sang Kiyai, toh pada masa akhir-akhir ini sosok-sosok Kiyai itu seolah telah bebas berbuat, termasuk dalam berbuat cabul  dan berbohong sana sini atau berakhlaq tidak nggenah. (Kadang keburukan-keburukannya itu bahkan ada pihak-pihak yang membelanya dengan dalih maqomnya/ tingkatnya sudah mencapai derajat wali, yang menurut faham sesat mereka adalah terbebas dari segala hukum dan hukuman). Sehingga Kiyai model itu walaupun sudah sedemikian buruknya menurut agama, namun penghormatan tetap didapat, sedang penjagaan diri sebagai orang yang wara’ (sangat hati-hati terhadap yang makruh, apalagi yang haram) sudah tercabut dari “keharusan”. Kan malah lebih gampang. Kenapa repot-repot harus mengembalikan Istilah Kiyai kepada istilah yang berat-berat yaitu “Guru” apalagi Ulama/ Alim ataupun Syaikh. Kan itu bikin capek (payah) saja.
    Begitulah kira-kira, kalau kita mau ber-suud dhon (buruk sangka) kepada merekaWalaupun tentu saja hal itu hanya berlaku bagi Kiyai-kiyai gadungan, yang istilah terkenalnya dalam terminologi Islam adalah ulama suu’ (yaitu ulama yang jahat), yang banyak dikecam oleh ulama salaf (terdahulu). Ulama Suu’ itu di antaranya adalah ulama-ulama yang suka masuk keluar ke istana atau pintu penguasa, bahkan ulama seperti itu mereka sebut sebagai maling (lisshun – لص ). Tetapi rupanya kini jumlahnya makin banyak, padahal kitab-kitab yang mengecam tingkah polah itu masih berada pada tangan-tangan mereka pula, sekalipun tidak lagi diajarkan kepada para santrinya, karena ulama tersebut cukup mengajari berdemo bersama antek-antek komunis untuk merusak dan menghancurkan  masjid, madrasah, panti asuhan milik Muslimin yang dulunya ketika memberantas Bid’ah, Khurofat, dan syirik yang jadi “kareman” (kegemaran) si perusak ini, dulu  tidak punya alasan  untuk menolak pemberantasan bid’ah itu dengan cara menghancurkan masjid-masjid pemberantas bid’ah. Nah sekarang mumpung kelompok perusak ini sedang ada setitik alasan yang dibuat-buat, yakni membela Kiyainya yang jadi presiden namun ingin didongkel oleh orang-orang yang di antaranya adalah kelompok anti Bid’ah, maka masjid ataupun sarana da’wah Islam yang dimiliki kelompok anti Bid’ah pun kesempatan untuk dihancurkan oleh mereka yang “karem” (gemar) bid’ah itu bersama kelompok anti Islam bahkan anti Tuhan. Lalu mereka ramai-ramai cuci tangan dengan ucapan-ucapan yang mereka bikin-bikin. Padahal sebelumnya, santer terdengar, kalau Gus Dur diturunkan dari jabatan Presiden maka mereka mau mengerahkan massa. Namun setelah Gus Dur benar-benar digoyang oleh DPR, lalu massa benar-benar terkerahkan dan sampai mengadakan perusakan di mana-mana, lalu secepatnya mereka cuci tangan dengan ucapan. Misalnya ucapan, Kami bersedia membantu satu miliar Rupiah kepada gedung-gedung atau sarana milik Muhammadiyah apabila benar-benar terbukti bahwa yang merusaknya itu dari kalangan NU kami. Keruan saja pihak Muhammadiyah menolak sumbangan yang bersyarat itu. Karena, menurut Muhammadiyah, kalau memang mau menyumbang ya tidak usah bersyarat seperti itu. Karena yang namanya pembuktian itu harus lewat pengadilan.
    Tidak puas hanya merusak masjid dan sebagainya, mereka juga beramai-ramai menebangi ratusan pohon pinggir jalan untuk ditaruh di jalan-jalan guna menghalangi orang lewat, agar para santri-santri dan masyarakat yang dikerahkan untuk menghalangi jalan itu imannya habis punah, Tidak cukup hanya dicekoki bid’ah, khurofat, dan takhayul, tapi imannya perlu dikikis benar-benar. Soalnya dalam Islam, justru bagian dari iman itu di antaranya adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, namun kini di antara ulama suu’ atau orang-orang yang belajarnya kepada ulama suu’, mereka ramai-ramai menebangi ratusan pohon di Jawa Timur untuk ditlalangkan guna menghalangi jalan-jalan raya. Peristiwa yang merusak dan merugikan bagi umum itu terjadi di Jawa Timur dalam rangka ‘ashobiyah(fanatik buta), yaitu membela Presiden Gus Dur, agar tidak diturunkan dari jabatannya, Februari 2001M. Dalam Islam, membuang gangguan yang ada di jalan adalah termasuk bagian dari iman. Lantas perlu ditanyakan kepada para Kiyai pendukung Gus Dur terutama di Jawa Timur, bukankah membuat halangan besar-besaran di jalan raya serta merusak pohon dengan menebanginya; itu berarti membuang iman? Bukankah demikian?
       Antara ajaran Islam dan kepentingan orang-orang yang mengerti Islam yaitu ulama atau Kiyai yang berkendaraan hawa nafsu, memang kadang ada jaraknya yang sangat jauh, bahkan kadang sangat berbalikan. Selama kepentingan-kepentingan nafsu bahkanashobiyah/ fanatik golongan itu masih lebih diunggulkan dibanding ajaran Islam itu sendiri, maka apa saja bisa dikorbankan demi kepentingan, demi golongan, demi perintah syetan, bukan demi Islam. Termasuk di dalamnya, kalau hanya masalah nama, yaitu ulama atau guru agama atau da’i, yang ketiga-tiganya tidak mendatangkan “manfaat” dari segi kepentingan untuk “dimunduk-munduki“, maka tentu saja mereka lebih pilih julukan Kiyai, yang walaupun sebutan itu juga dipakai untuk kerbau namun mengandung unsur adanya “kebiasaan munduk-munduk” dari santri dan masyarakat terhadap Kiyai. Maka bisa diperkirakan, mereka tidak rela apabila julukan Kiyai itu diganti dengan Guru atau bahkan Ulama atau Syaikh sekalipun. Walaupun mereka sering menonjol-nonjolkan Hadits Al-‘Ulamaau warotsatul Anbiyaa’. Ulama itu pewaris para Nabi.
   Kenapa lebih pilih julukan Kiyai?
   Karena, di samping hal tersebut di atas yaitu dimunduk-munduki (sangat dihormati dan ditaati serta ditakuti), masih ada alasan lain pula. Dalam kitab-kitab cukup banyak kecaman terhadap ulama’ suu’ (ulama jahat). Namun tidak tercantum dalam kitab-kitab adanya keterangan mengenai kecaman terhadap Kiyai suu’ (jahat). Bahkan kerbau yang dijuluki Kiyai Slamet dipersilakan secara bebas dan merdeka untuk berkeliaran ke mana saja dan makan apa saja serta menginjak-injak apa saja boleh, dan tidak dijuluki Kiyai suu’ (jahat). Malahan yang diinjak-injak ataupun hartanya dimakan itu justru senang, karena mereka percaya (dalam kondisi kepercayaan batil) akan mendapatkan berkah dan rejeki. Itulah kurang lebihnya.

   Julukan Kiyai untuk ulama perlu dihapus
   Kalau hal ini dibiarkan, maka kondisi semakin runyam. Maka perlu diadakan gerakan total untuk mendudukkan masalah pada proporsinya. Istilah-istilah yang tidak jelas, seperti halnya Kiyai, perlu dibersihkan, dan kalau perlu dienyahkan dari terminologi Islam, supaya Islam tidak dikotori dengan pemahaman-pemahaman yang tidak jelas. Tetapi, maukah mereka? Dan maukah masyarakatnya? Justru hal-hal yang tidak jelas itulah yang mereka cari, kadang-kadang. Itulah persoalannya pula.
    Dari kenyataan itu, maka sangat baguslah orang-orang yang konsisten, dan tidak mau disebut atau menyebut dirinya Kiyai. Sebagaimana Hamka, Ptof Dr H Mahmud Yunus dan lain-lain, mereka adalah ulama terkemuka dan menulis tafsir serta kitab-kitab Islam namun tidak disebut Kiyai, serta tidak menyebut dirinya Kiyai. Walaupun secara keilmuan maupun akhlaqnya, mereka adalah ulama, alim agama.
    Seandainya para ulama yang kini digelari Kiyai itu ikhlas mencopot gelar Kiyainya dan tak mau lagi disebut Kiyai, maka biar sekalian ketahuan bahwa Kiyai yang masih rela disebut Kiyai adalah Kiyai Dukun saja. Itu mungkin lebih baik, karena memang di dalam Islam tidak ada istilah  Kiyai itu, demikian pula adat-adat yang lekat dengan kekiyaian kalau dicocokkan dengan Islam tampaknya memang sering berjauhan. Contoh paling kecil saja, setiap kongres para Kiyai NU, (namanya bukan kongres Kiyai, tapi biasanya kongres Ulama), hampir bisa dipastikan mesti dikintil (disertai) oleh sponsor dari pabrik rokok. Asbak tempat puntung rokok lengkap dengan cap pabrik rokok mesti berjajar berderet-deret di hadapan para Kiyai. Apakah merokok itu menjadi salah satu perbuatan yang diafdholkan (diutamakan) dalam Islam? Paling kurang, mesti hukumnya makruh, perlu ditinggalkan. Tetapi kenapa justru para Kiyai menjadi contoh buruk dalam masalah ini? Sehingga kalau orang yang suka bercanda akan bisa bilang, yang terpilih dalam jam’iyah itu tentunya yang paling jago dalam merokok. Lho kenapa? Karena setiap kongres apalagi muktamar, mesti dikintil / diikuti oleh  sponsor yaitu pabrik rokok.
   Antara “harus” membuang julukan Kiyai dengan memperbaiki mental dan polah tingkah Kiyai, semuanya adalah hal yang rumit. Sebenarnya pada mulanya hanya ada pertanyaan-pertanyaan seperti yang diajukan kepada Hamka tentang makna Kiyai itu sendiri. Namun setelah para Kiyai terjun ke politik bahkan ucapan-ucapannya ada yang kurang pas, baik secara politik itu sendiri maupun bahkan secara Islam, maka pertanyaan itu  muncul lagi serta lebih sarat makna, dalam arti Kiyai menjadi sosok yang tidak jelas lagi di mata masyarakat. Dan dikhawatirkan, sebutan Kiyai justru jadi tempat perlindungan bagi orang-orang yang sebenarnya hanya mementingkan kepentingan diri mereka, keluarga mereka, dan golongan mereka. Yang hal itu tidak mudah digugat, karena belum ada kitab rujukan yang baku (istilah NU-nya mu’tabaroh) yang mengecam busuknya tingkah Kiyai. Sementara itu kalau sebutan ulama maka sudah banyak kitab baku yang bisa dijadikan panduan untuk mengecam tingkah buruk ulama suu’.
    Dikhawatirkan akan muncul pandangan: “Saya kan hanya Kiyai, bukan ulama. Yang tergolong ada yang suu’ (jahat) itu kan ulama. Jangan disamakan dong, Kiyai dengan ulama. Kalau ulama sih, tak boleh berbuat begini dan begitu. Kalau Kiyai, boleh-boleh saja…”
    Sekali pintu kejahatan itu terbuka, maka akan terbuka pula kejahatan-kejahatan lain yang bervariasi dan bisa lebih besar lagi. Sebutan Kiyai di sini sudah ada gejala terbukanya kejahatan-kejahatan, baik tersamar maupun bisa terasakan secara umum. Oleh karena itu, perlu ditutup pintu kejahatan itu. Di antara jalan yang praktis adalah membuang sebutan Kiyai itu sendiri, dari khazanah istilah Islam, kemudian dikembalikan kepada istilah Islam, yaitu ulama atau alim atau ‘allamah, atau syaikh seperti yang berlaku di dunia Islam. Hingga ulama yang benar bisa ditiru atau diteladani, sedang yang jahat atau suu’ bisa disingkiri, karena kriterianya sudah jelas.
   Adapun sebutan Kiyai yang bisa disejajarkan dengan doktor oleh Departemen Agama sehingga bisa menduduki jabatan rektor suatu perguruan tinggi, contohnya KH Abdul Qadir Jaelani yang memimpin perguruan tinggi di Tanjung Priok Jakarta, hendaknya diganti dengan istilah yang pas pula, misalnya syaikh atau alim, atau ‘allamah. Dan tentunya perlu sesuai pula dengan kadar keilmuan, tentang siapa yang bisa dijuluki syaikh atau ‘alim atau ‘allamah. Bukan sekadar hafal syair ya Robbi bil Mushthofa (  يا رب بالمصطفى بلغ مقاصدنا  yang syair itu sendiri mengandung persoalan secara aqidah karena mengandung tawassul/ perantara dengan orang yang sudah wafat, yang hal itu sama sekali tidak syar’i) lalu diberi gelar ‘alim atau ‘ulama atau ‘allamah, sebagaimana sekarang bisa digelari Kiyai.
    Apakah para Kiyai akan ikhlas dengan usulan semacam ini? Wallahu a’lam. Itu urusan mereka. Hal yang baik dan yang benar dalam Islam tidak perlu persetujuan para Kiyai. Justru para Kiyai mestinya yang harus tunduk kepada kebenaran, kalau memang merekaistiqomah / konsisten dalam ber-Islam. Ini hanya mengingatkan, perlunya dibuang istilah Kiyai dari julukan keulamaan itu karena mengikuti kaidah saddudz dzarooi’ yaitu menutup jalan yang menuju bahaya. Kaidah itu diakui oleh para ulama dalam Ushul Fiqh. Bukti-bukti dan gejalanya telah nampak, maka sebelum kondisinya akan lebih parah, sebaiknya ditempuh jalan saddudz dzaroi’  itu.
   Demikianlah. Apabila hal ini menyinggung perasaan para Kiyai, maka dengan sepenuh hati kami minta maaf. Walaupun demikian, pendapat ini tetap kami sengaja untuk dikemukakan. [Dikutip dari Buku “Bila Kyai Dipertuhankan”].

Catatan Kaki :
[1] Drs H Ibnu Qoyim Isma’il MA, Kiai penghulu Jawa Peranannya di Masa Kolonial, Gema Insani Press, Jakarta, cetakan I, 1977, halaman 62, mengutip Ahmad Adaby Darban, Ulama di Jawa: Perspektif Sejarah, Yogyakarta, 1988,  halaman 6, juga mengutip FA Sutjipto, Pemimpin-pemimpin Agama di Wilayah Kerajaan Mataram  Sekitar Abad 18, Yogyakarta 1971.
[2] Sunan di sini bukan bentuk jama’ (plural) dari kata Arab Sunnah (hadits ataupun tradisi) tetapi dari kata Susuhunan sebagai gelar untuk wali/ ulama ataupun pejabat di mahkamah yang bahasa Arabnya Qodhi yaitu hakim di kerajaan Islam di Jawa pada masa itu, sedang rajanya bergelar Sultan dari kata Arab Sulthon.
[3] Ibnu Qoyim Isma’i, ibid, halaman 62.
[4] Ibid, halaman 63.
[5] Majalah Gema Islam No. 30 tahun II, 15 April 1963, kemudian dikumpulkan  menjadi: Hamka Membahas Soal-soal Islam oleh H Rusydi dan Afif, Pustaka Panjimas, Jakarta,  cetakan IV, 1985, halaman 397-398.   
[6] Ibid, halaman 400
[7] Ibid, halaman 401.

oleh : HARTONO AHMAD JAIZ