Selamat Datang di Blog Resmi **Majlisarrahman.blogspot.com ** Majelis Dzikir Ratibul Al-Habib Abdullah Bin Alwi Al-Haddad wa Maulidun Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam (Dzikrullah wa Dzikrurrosul SAW) Jakarta - Indonesia. Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Kami**

 photo oji_zpsb336d6d8.gif
Selamat Datang di Blog Resmi **Majlisarrahman.blogspot.com ** TUNJUKKAN KEPERDULIAN DAN BAKTI KITA PADA PEMBENAHAN ISLAM DENGAN TURUT MENYUMBANGKAN HARTA KITA SEBAGAI SAKSI, BANTUAN KITA ADALAH CERMIN KADAR IMAN KITA, RASULULLAH SAW BERSABDA : SETIAP HARI TURUN DUA MALAIKAT MULIA KE BUMI DAN BERDOA, WAHAI ALLAH BERI ORANG YANG BERINFAQ KESEJAHTERAAN, DAN BERI ORANG YANG KIKIR KEHANCURAN ( shahih Bukhari ). Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Kami**

Selasa, 05 Februari 2013

Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan


Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan : Muda dalam Usia, Diakui dalam Reputasi
Kemampuannya sebagai dai bukan hanya karena dia adalah cucu Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, “Singa Podium” dan pejuang dakwah di Betawi tahun 1906-1969. Tapi juga karena sedari kecil dia memang telah tertempa dalam lingkungan pendidikan yang sarat religius.
Wajah dai yang satu ini tentu sudah banyak dikenal kalangan habaib dan muhibbin yang ada di Indonesia. Usianya masih relatif muda, 31 tahun, namun reputasinya sebagai ulama dan muballig sudah diakui kaum muslimin. Tidak saja di Jakarta, tapi juga di banyak majelis haul dan Maulid yang digelar di berbagai tempat – seperti Gresik, Surabaya, Solo, Pekalongan, Tegal, Semarang, Bandung, Palembang, Pontianak dan Kalimantan. Hampir semua daerah di negeri ini sudah dirambahnya.
Kemampuannya sebagai dai bukan hanya karena dia adalah cucu Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, “Singa Podium” dan pejuang dakwah di Betawi tahun 1906-1969. Tapi juga karena sedari kecil dia memang telah tertempa dalam lingkungan pendidikan yang sarat religius.
Wajah ulama muda yang shalih ini tampak bersih. Tutur katanya halus, dengan gaya berceramahnya yang enak didengar dan mengalir penuh untaian kalam salaf serta kata-kata mutiara yang menyejukkan para pendengarnya. Seperti kebanyakan habib, dia pun memelihara jenggot, dibiarkannya terjurai.
Habib Jindan, putra Habib Novel bin Salim bin Jindan Bin Syekh Abubakar, adalah salah seorang ulama yang terkenal di Jakarta. Ia juga dikenal sebagai penerjemah bahasa Arab ke bahasa Indonesia yang andal. “Ketika dia menerjemahkan taushiyah gurunya, Habib Umar bin Hafidz, makna dan substansinya hampir sama persis dengan bahasa aslinya. Bahkan waktunya pun hampir sama dengan waktu yang digunakan oleh Habib Umar,” tutur Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf di Jakarta.
Berkah Ulama dan Habaib
Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan lahir di Sukabumi, pada hari Rabu 10 Muharram 1398 atau 21 Desember 1977. Sejak kecil ia selalu berada di lingkungan majelis ta’lim, yang sarat dengan pendidikan ilmu-ilmu agama. “Waktu kecil saya sering diajak ke berbagai majelis ta’lim di Jakarta oleh abah saya, Habib Novel bin Salim bin Jindan. Dari situ saya mendapat banyak manfaat, antara lain berkah dari beberapa ulama dan habaib yang termasyhur,” kenang bapak lima anak (empat putra, satu putri) ini kepada alKisah. Ayahandanya memang dikenal sebagai muballigh yang termasyhur. Pengalaman masa kecil itu pula yang mendorongnya selalu memperdalam ilmu agama.
Ketika ia berumur dua tahun, keluarganya tinggal di Pasar Minggu, bersebelahan dengan rumah keluarga Habib Salim bin Toha Al-Haddad. Pada umur lima tahun, ia dititipkan untuk tinggal di rumah Habib Muhammad bin Husein Ba’bud dan putranya, Habib Ali bin Muhammad bin Husein Ba’abud, di Kompleks Pondok Pesantren Darun Nasyi’ien (Lawang, Malang). “Di Lawang, sehari-hari saya tidur di kamar Habib Muhammad Ba’bud. Selama di sana, dibilang mengaji, tidak juga. Namun berkah dari tempat itu selama setahun saya tinggal, masih terasa sampai sekarang,” ujarnya dengan senyum khasnya.
Menginjak umur enam tahun, ia ikut orangtuanya pindah ke Senen Bungur. Ia mengawali belajar di SD Islam Meranti, Kalibaru Timur (Bungur, Jakarta Pusat). Ia juga belajar diniyah pada sebuah madrasah yang diasuh oleh Ustadzah Nur Baiti.
Kemudian dia melanjutkan ke tingkat tsanawiyah di Madrasah Jami’atul Kheir, Jakarta, hingga tingkat aliyah, tapi tidak tamat. Selama di Jami’at Kheir, banyak guru yang mendidiknya, seperti Habib Rizieq Shihab, Habib Ali bin Ahmad Assegaf, K.H. Sabillar Rosyad, K.H. Fachrurazi Ibrahim, Ustadz Syaikhon Al-Gadri, Ustadz Fuad bin Syaikhon Al-Gadri, dan lain-lain.
Sejak muda, sepulang sekolah ia selalu belajar pada habaib dan ulama di Jakarta, seperti di Madrasah Tsaqafah Islamiyah, yang diasuh Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf dan putranya, Ustadz Abu Bakar Assegaf. Habib Jindan juga pernah belajar bahasa Arab di Kwitang (Senen, Jakarta Pusat) di tempat Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi, dengan ustadz-ustadz setempat.
Selain itu pada sorenya ia sering mengikuti rauhah yang digelar oleh Majelis Ta’lim Habib Muhammad Al-Habsyi. Di majelis itu, banyak habib dan ulama yang menyampaikan pelajaran-pelajaran agama, seperti Habib Abdullah Syami’ Alattas, Habib Muhammad Al-Habsyi, Ustadz Hadi Assegaf, Habib Muhammad Mulachela, Ustadz Hadi Jawwas, dan lain-lain.
Beruntung, karena sering berada di lingkungan Kwitang, ia banyak berjumpa para ulama dari mancanegara, seperti Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Habib Ja’far Al-Mukhdor, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, dan masih banyak lainnya.
Pada setiap Ahad pagi, ia hadir di Kwitang bersama abahnya, Habib Novel, yang juga selalu didaulat berceramah. Sekitar 1993, ia bertemu pertama kali dengan Habib Umar Hafidz di Majlis Ta’lim Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang) saat pengajian Ahad pagi. Pertemuan kedua terjadi saat Habib Umar bin Salim Al-Hafidz berkunjung ke Jami’at Kheir. Saat itu yang mengantar rombongan Habib Umar adalah Habib Umar Mulachela dan Ustadz Hadi Assegaf.
Uniknya, satu-satunya kelas yang dimasuki Habib Umar adalah kelasnya, padahal di Jami’at Kheir saat itu ada belasan kelas. Begitu masuk kelas, Ustadz Hadi Assegaf dari depan kelas memperkenalkannya dengan Habib Umar bin Salim Al-Hafidz. Saat itu, Ustadz Hadi menunjuknya sambil mengatakan kepada Habib Umar bahwa dirinya juga bermarga Bin Syekh Abu Bakar bin Salim, sama klannya dengan Habib Umar bin Salim Al-Hafidz.
Saat itulah Habib Umar tersenyum sambil memandang Habib Jindan. Itulah perkenalan pertama Habib Jindan dengan Habib Umar Al-Hafidz di ruang kelasnya, yang masih terkenang sampai sekarang.
Sejak saat itu hatinya tergerak untuk belajar ke Hadhramaut. Pernah suatu ketika ia akan berangkat ke Hadhramaut, tapi sayang sang pembawa, Habib Bagir bin Muhammad bin Salim Alattas (Kebon Nanas), meninggal. Pernah juga ia akan berangkat dengan salah satu saudaranya, tapi saudaranya itu sakit. Hingga akhirnya tiba-tiba Habib Abdul Qadir Al-Haddad (Al-Hawi, Condet) datang ke rumahnya mengabarkan bahwa Habib Umar bin Hafidz menerimanya sebagai santri.
Sumber Inspirasi
Lalu ia berangkat bersama rombongan pertama dari Indonesia yang jumlahnya 30 orang santri. Di antaranya Habib Munzir bin Fuad Al-Musawwa, Habib Qureisy Baharun, Habib Shodiq bin Hasan Baharun, Habib Abdullah bin Hasan Al-Haddad, Habib Jafar bin Bagir Alattas, dan lain-lain. Ia kemudian belajar agama kepada Habib Umar bin Hafidz di Tarim, Hadhramaut. “Ketika itu Habib Umar belum mendirikan Pesantren Darul Musthafa. Yang ada hanya Ribath Tarim. Kami tinggal di rumah Habib Umar,” tuturnya.
Baru dua minggu di Hadhramaut, pecah perang saudara di Yaman. Memang, situasi perang tidak terasa di lingkungan pondok. Ada perang atau tidak, Habib Umar tetap mengajar murid-muridnya. Namun dampak perang saudara ini dirasakan seluruh penduduk Yaman. Listrik mati, gas minim, bahan makanan langka. “Terpaksa kami masak dengan kayu bakar,” katanya.
Baginya, Habib Umar bin Hafidz bukan sekadar guru, tapi juga sumber inspirasi. “Saya sangat mengagumi semangatnya dalam berdakwah dan mengajar. Dalam situasi apa pun, beliau selalu menekankan pentingnya berdakwah dan mengajar. Bahkan dalam situasi perang pun, tetap mengajar. Beliau memang tak kenal lelah.”
Saat itu Darul Musthafa belum mantap seperti sekarang, situasinya serba terbatas. Walaupun begitu, sangat mengesankan baginya. Dahulu para santri tinggal di sebuah kontrakan yang sederhana di belakang kediaman Habib Umar. Sedangkan pelajaran ta’lim, selain diasuh sendiri oleh Habib Umar, para santri juga belajar di berbagai majelis ta’lim yang biasa digelar di Tarim, seperti di Rubath Tarim, Baitul Faqih, Madrasah Syeikh Ali, mengaji kitab Bukhari di Masjid Ba’alwi, ta’lim di Zawiyah Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad (Al-Hawi, Hadhramaut), belajar kitab Ihya di Zanbal di Gubah Habib Abdullah bin Abubakar Alaydrus, Zawiyah Mufti Tarim, diasuh Syaikh Fadhal bin Abdurrahman Bafadhal, dan lain-lain.
Selama mengaji dengan Habib Umar, ia sangat terkesan. “Beliau dalam mengajar tidak pernah marah. Saya tidak pernah mendengar beliau mengomel atau memaki-maki kami. Kalau ada yang salah, ditegurnya baik-baik dan dikasih tahu. Selain itu, Habib Umar juga terkenal sangat istiqamah dalam hal apa pun.”
Habib Jindan mengaku sangat beruntung bisa belajar dengan seorang alim dan orator ulung seperti Habib Umar. Memang Habib Umar mendidik santri-santrinya bisa berdakwah. Para santri mendapat pendidikan khusus untuk memberikan taushiyah dalam bahasa Arab tiap sehabis shalat Subuh, masing-masing dua orang, walaupun hanya sekitar lima sampai sepuluh menit. Latihan kultum itu juga menjadi ajang saling memberikan masukan antarsantri.
Setelah satu tahun menjadi santri, ada program dakwah tiga hari sampai seminggu bagi yang mau dakwah berkeliling. Bahkan dirinya sudah mengajar untuk santri-santri senior pada akhir-akhir masa pendidikan.
Setelah selama kurang lebih empat tahun, tahun 1998, ia pulang ke Indonsia bersama rombongan Habib Umar yang mengantar sekaligus santri-santri asal Indoensia dan berkunjung ke rumah beberapa muridnya. Angkatan pertama ini hampir seluruhnya dari Indonesia, hanya dua-tiga orang yang santri setempat. Untuk itulah, ia pulang seminggu terlebih dahulu, untuk mempersiapkan acara dan program kunjungan Habib Umar di Indonesia.
Saat pertama kali pulang, ia, oleh sang abah, diperintahkan untuk berziarah ke para habib sepuh yang ada di Jakarta, Bogor, dan sekitarnya. Ayahandanya, Habib Novel, Habib Hadi bin Ahmad Assegaf, dan Habib Anis Al-Habsyi mendorongnya untuk berdakwah.
Masukan, didikan, dan motivasi sang abah ia rasakan hingga sekarang. “Ikhlaslah dalam berdakwah. Apa yang keluar dari hati akan sampai ke hati,” kata Habib Jindan menirukan abahnya. Habib Novel (alm.) memang dikenal sebagai orator ulung sebagaimana abahnya, Habib Salim bin Jindan. Wajarlah bila Habib Novel ingin putra-putranya menjadi dai-dai yang tangguh.
“Kalau ceramah, jangan terlalu panjang. Selagi orang sedang asyik, kamu berhenti. Jangan kalau orang sudah bosan, baru berhenti, nanti banyak audiens kapok mendengarnya. Lihat situasi dan keadaannya, sesuaikan dengan materi ceramahnya dan waktu ceramahnya. Lihat, kalau di situ ada beberapa penceramah, kamu harus batasi waktu berceramah dan bagi-bagi waktunya dengan yang lain.” Sampai masalah akhlaq dan sopan santun, semua orang diajarkan. AST

Habib Ahmad bin Novel bin Salim Jindan; Diakui, tapi Tetap Rendah Hati

Agak sulit membedakan Habib Ahmad bin Novel bin Jindan dan kakaknya, Habib Jindan bin Novel bin Jindan. Apalagi kalau sudah memakai pakaian kebesaran habib, jubah dan serbannya yang khas.

habib ahmad bin novel bin salim 

Ketika Habib Ahmad tampil didaulat Habib Anis bin Alwi Alhabsyi untuk memberikan mauizah hasanah dalam acara Khataman Bukhari di Masjid Riyadh, Solo, Syakban 1426 lalu, banyak muhibin mengira, dia adalah Habib Jindan. Alkisah, yang karena duduk di belakang, terpengaruh dengan perkataan para muhibin sekitarnya, sehingga terkecoh dan menuliskan orang yang berdiri di hadapan para habib sepuh itu Habib Jindan. Namun, yang sebenarnya, dia adalah Habib Ahmad bin Novel bin Jindan.
Ketika Alkisah bertamu di Pondok Pesantren Al-Fachriyah, Jalan Prof. Hamka, Kampung Gaga, Masjid RT 001/04, Larangan Selatan, Kecamatan Ciledug, Tangerang, tempat mengajar sekaligus tempat tinggalnnya, baru jelas perbedaan itu. Apalagi ketika itu dia hanya memakai kopiah putih dan tanpa jubah, sehingga terlihat kemudaannya. Dia hanya tertawa lebar ketika Alkisah mengakui kesalahannya menulis di nomor sebelumnya.
“Tidak masalah, saya justru senang. Sebetulnya saya enggan tampil di muka umum sebelum mendapatkan izin dari kakak saya, Habib Jindan. Begitu juga, kalau Habib Jindan tidak mengizinkan saya diwawancarai Alkisah, saya tidak akan bersedia menerima Anda. Namun kalau Anda sekadar bersilaturahmi, pintu saya terbuka lebar,” katanya.
Begitulah hormatnya Habib Ahmad kepada kakaknya, Habibi Jindan. Boleh dikatakan, setelah ditinggal wafat Habib Novel bin Salim bin Jindan, posisi kepala keluarga Jindan jatuh kepada Habib Jindan. Karena itulah, dia yang menjadi pemimpin di PP Fachriyah, sekaligus juga pemimpin keluarga Jindan. Hal ini sebetulnya lumrah saja, sebab keluarga Jindan bertahun-tahun membawa nama baik keluarga, khususnya sebagai keluarga habib dan ulama yang menjunjung tingga akhlakul karimah dan sunah Rasulullah SAW, sehingga harus menerapkan kehidupan Islami itu sesuai dengan syariah.
Setelah Alkisah diterima di beranda muka rumahnya, sebentar saja suasana jadi cair. Habib Ahmad, yang sering memiliki roman muka serius, ternyata seoang teman bicara yang hangat, dan beberapa lelucon meluncur dari lidahnya yang terjaga dari fitnah. Pembicaraan semakin “jauh mengembara” karena kami ditemani suguhan kopi jahe serta kue-kue yang lezat. Dalam suasana hujan rintik sore itu, Habib Ahmad melayani wawancara Alkisah.
Habib Ahmad mendapat tugas dari kakaknya untuk menjadi ustaz di Pondok Pesantren Al-Fachriyah. Selain itu, dia juga membina beberapa majelis taklim di Tangerang. “Khususnya untuk membentengi iman mereka dari serangan atau godaan propaganda agama lain,” ujarnya.

habib ahmad bin novel bin salim bin jindan 

Selama ini, putra keempat Habib Novel ini melihat, ghirah atau semangat beragama kaum muslimin di Tangerang cukup tinggi, dan sulit bagi mereka untuk berpindah agama meski diiming-imingi berbagai godaan materi. Namun yang dikhawatirkan adalah meluasnya kebodohan di kalangan generasi muda Islam akibat pengaruh narkoba, kemiskinan, maupun perbuatan maksiat lainnya. Karena itulah, penting dilakukan pembinaan terus-menerus di kalangan pemuda Islam.
Masyarakat Islam di seputar Jakarta cukup kuat imannya.  Alhamdulillah, bentengnya cukup kuat, sehingga sulit rasanya kaum di luar Islam bisa mendirikan gereja di lingkungan kaum muslimin sesuai dengan SK Menteri. “Tapi entah kalau mereka bermain dengan orang dalam,” tuturnya.
Sekali lagi diingatkan oleh habib yang lahir 16 Januari 1982 ini bahwa yang lebih penting adalah memperingatkan umat dari bahaya maksiat, seperti perjudian, pelacuran, narkoba, minuman keras, serta perbuatan maksiat lainnya. Habib Ahmad setuju pada apa yang dilakukan oleh Habib Rizieq, yaitu mencegah kemaksiatan. “Bukan semata-mata aksi penutupan tempat-tempat maksiatnya, tetapi apa yang menjadi penyebab Habib Rizieq untuk melakukan aksi itu. Jadi jangan semata- mata dilihat aksinya,” ujarnya.
Sudah beberapa kali Habib Rizieq memberikan peringatan bahwa tempat-tempat maksiat tersebut terlarang oleh agama maupun pemerintah, tetapi para pemilik tempat maksiat itu tetap nekat. Maka sah bagi Habib Rizieq dan teman-temannya untuk memperingatkan tempat-tempat maksiat itu agar tutup.
Dalam taklimnya, Habib Ahmad selalu menyerukan untuk meningkatkan ghirah me- nambah pengetahuan agama. Dicontohkan, bulan Ramadan lalu, dia mengundang puluhan pengurus masjid yang sekaligus amil zakat fitrah se-Tangerang untuk diberi bekal, bagaimana memahami zakat fitrah secara sebenarnya. Habib Ahmad meluangkan waktunya untuk menulis risalah kecil yang berjudul Mutiara yang Indah dalam Fiqih Zakat Fitrah.
Menurut bapak dua anak ini, masih ada salah pengertian para amil zakat fitrah terhadap orang-orang yang wajib menerima zakat fitrah. Mereka adalah fakir, miskin, amil, mualaf, fir riqab (budak), gharim (orang yang banyak utang), fi sabilillah (orang yang berperang di jalan Allah), dan ibnu sabil (musafir).
Namun ada beberapa kesalahan dalam mengidentifikasi orang-orangyang menerima zakat fitrah. “Di Tangerang ini, banyak orang salah menafsirkan fi sabilillah dengan kiai atau guru. Sedang yang sebenarnya maksudnya adalah orang yang berperang di jalan Allah untuk melawan orang kafir tanpa digaji oleh pemerintah. Sekarang ini di Indonesia tidak ada peperangan demi agama, jadi golongan ini sementara ditiadakan,” katanya.
Konsekuensinya, kiai, ustaz, guru, masjid atau musala, pesantren, madrasah, dan semacamnya, bukanlah yang dimaksud dengan kata fi sabilillah sesuai dengan ayat tersebut. Sebab tidak ada seorang pun dari ahli tafsir yang menafsirkan kata fi sabilillah dengan ulama, kiai, ustaz, masjid, musala, dan semacamnya. Sebaliknya, para ahli tafsir itu menafsirkannya dengan orang yang berperang di jalan Allah. Bahkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al-Hakim yang juga disahihkan olehnya, Nakaum bi Muhammad SAW secara jelas menyebutkan bahwa fi sabilillah adalah orang yang berperang di jalan Allah. Dengan kata lain, tidak benar bagi kiai atau ustaz mengambil jatah zakat fitrah penduduk sekitarnya dengan alasan bahwa mereka termasuk golongan fi sabilillah.
Habib Ahmad juga menegaskan, zakat fitrah tidak boleh diwujudkan dalam bentuk uang, tetapi harus berupa makanan pokok setempat yang ukurannya sudah ditentukan. “Karena itu, amil zakat fitrah harus menyediakan beras kalau ada orang ingin berzakat fitrah dengan uang. Uang itu dibelikan beras yang sudah disediakan,” ujarnya.
Habib Ahmad lahir 24 tahun lalu di Jakarta dan dididik dengan ketat di lingkungan agama sejak kecil oleh keluarganya. Pertama dididik oleh ayahnya sendiri, Habib Novel, yang mendirikan Pondok Pesantren Al-Fachriyah. Kemudian di madrasah ibtidaiah dan sanawiah di Jakata dan kemudian melanjutkan ke Pesantren Darul Mustafa, Tarim, Hadramaut, selama empat tahun. Pada tahun 2000 pulang ke Jakarta, kemudian menikah. Pernikahannya itu menghasilkan dua anak laki-laki, Salim, 3 tahun, dan Utsman, 1,5 tahun.
Habib Ahmad bin Novel bin Jindan dan kakaknya, Habib Jindan bin Novel bin Jindan
Habib Ahmad bin Novel bin Jindan dan kakaknya, Habib Jindan bin Novel bin Jindan
Sehari-hari, Habib Ahmad mengajar para santri di Pondok Pesantren Al-Fachriyah dan juga menjadi manajer koperasi di tempat itu juga. Di luar pondok, ia membina beberapa majelis taklim. Pada Sabtu sore di Otista, tempat almarhum Habib Salim bin Jindan, kakeknya. Malam Sabtu di Majelis Taklim Jasatul Mustafa. Malam Senin di Perumahan Ciledug Indah Tangerang. Malam Kamis di Pondok Kacang.
Dalam majelis taklim tersebut, Habib Ahmad mengajak hadirin untuk bersama membaca Ratib Hadad, kemudian pengajian dengan membaca kitab-kitab kecil Habib Abdullah Hadad serta kitab Ihya’ Ulumuddin, karya Imam al-Ghazali. Setelah itu dilanjutkan dengan tanya jawab bagi mereka yang memiliki persoalan tertentu.
Dari perjalanan dakwahnya, para habib melihat dan menyimak kealimannya, sehingga sekarang ia mulai tampil di muka umum di kalangan habaib. Seperti, ia diminta secara mendadak memberikan mauizah hasanah dalam Khataman Bukhari di Masjid Riyadh, Solo, yang diselenggarakan Habib Anis Alhabsyi. Kemudian, di acara-acara para habib, ia ditempatkan di lingkaran dalam para habib sepuh.
“Saya sebetulnya belum patut bicara di hadapan para habib sepuh, tetapi karena diminta ya jadi terpaksa. Sebab, sulit rasanya menolak permintaan para sesepuh,” katanya. Ia mewanti-wanti supaya dirinya tidak disejajarkan dengan para habib sepuh. Sebab dia merasa, ilmunya masih rendah. Di samping itu, ada sosok yang dihormatinya dan lebih patut menempati tempat terhormat itu, yaitu kakaknya, Habib Jindan.

Muhadiddtsin


Para Shahabiyah Rasulullah



صلى ا لله عليه وسلم

Para Tabi’in dan Tabiut Tabi’in


Sedangkan para Tabi’ut Tabi’in dan murid muridnya serta generasi sesudahnya telah disebutkan pada biografi diatas antara lain seperti: Malik bin Anas, Imam Al Auza’I, Sufyan Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Imam Syafee’I, Imam Hambali, Imam Muslim, Imam Bukhari, Imam Abu Dawud, Imam Hatim, Imam Zur’ah, Imam Tirmidzi, Imam Nasa’i. Serta generasi berikutnya.

Para Sahabat Rasulullah

صلى ا لله عليه وسلم

Keluarga Rasulullah

صلى ا لله عليه وسلم
Istri- istri Nabi زوجات النبي
Cucu Nabi
Paman Nabi

Para Ulama Salaf Lainnya

Para Ulama Salaf Ahlul Hadits selain yang disebutkan diatas yang masyur dizamannya antara lain :
Para Ulama sekarang yang berjalan diatas As-Sunnah yaitu:

Para Ulama Ahlul Hadits

بسم الله الرحمن الرحيم
Biografi para ulama ahlul hadits mulai dari zaman sahabat hingga sekarang yang masyhur :



 







Sumber: Makanatu Ahli Hadits karya Asy-Syaikh Rabi bin Hadi Al-Madkhali dan Wujub Irtibath bi Ulama dengan sedikit tambahan.