Selamat Datang di Blog Resmi **Majlisarrahman.blogspot.com ** Majelis Dzikir Ratibul Al-Habib Abdullah Bin Alwi Al-Haddad wa Maulidun Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam (Dzikrullah wa Dzikrurrosul SAW) Jakarta - Indonesia. Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Kami**

 photo oji_zpsb336d6d8.gif
Selamat Datang di Blog Resmi **Majlisarrahman.blogspot.com ** TUNJUKKAN KEPERDULIAN DAN BAKTI KITA PADA PEMBENAHAN ISLAM DENGAN TURUT MENYUMBANGKAN HARTA KITA SEBAGAI SAKSI, BANTUAN KITA ADALAH CERMIN KADAR IMAN KITA, RASULULLAH SAW BERSABDA : SETIAP HARI TURUN DUA MALAIKAT MULIA KE BUMI DAN BERDOA, WAHAI ALLAH BERI ORANG YANG BERINFAQ KESEJAHTERAAN, DAN BERI ORANG YANG KIKIR KEHANCURAN ( shahih Bukhari ). Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Kami**

Selasa, 05 Februari 2013

Habib Ahmad bin Novel bin Salim Jindan; Diakui, tapi Tetap Rendah Hati

Agak sulit membedakan Habib Ahmad bin Novel bin Jindan dan kakaknya, Habib Jindan bin Novel bin Jindan. Apalagi kalau sudah memakai pakaian kebesaran habib, jubah dan serbannya yang khas.

habib ahmad bin novel bin salim 

Ketika Habib Ahmad tampil didaulat Habib Anis bin Alwi Alhabsyi untuk memberikan mauizah hasanah dalam acara Khataman Bukhari di Masjid Riyadh, Solo, Syakban 1426 lalu, banyak muhibin mengira, dia adalah Habib Jindan. Alkisah, yang karena duduk di belakang, terpengaruh dengan perkataan para muhibin sekitarnya, sehingga terkecoh dan menuliskan orang yang berdiri di hadapan para habib sepuh itu Habib Jindan. Namun, yang sebenarnya, dia adalah Habib Ahmad bin Novel bin Jindan.
Ketika Alkisah bertamu di Pondok Pesantren Al-Fachriyah, Jalan Prof. Hamka, Kampung Gaga, Masjid RT 001/04, Larangan Selatan, Kecamatan Ciledug, Tangerang, tempat mengajar sekaligus tempat tinggalnnya, baru jelas perbedaan itu. Apalagi ketika itu dia hanya memakai kopiah putih dan tanpa jubah, sehingga terlihat kemudaannya. Dia hanya tertawa lebar ketika Alkisah mengakui kesalahannya menulis di nomor sebelumnya.
“Tidak masalah, saya justru senang. Sebetulnya saya enggan tampil di muka umum sebelum mendapatkan izin dari kakak saya, Habib Jindan. Begitu juga, kalau Habib Jindan tidak mengizinkan saya diwawancarai Alkisah, saya tidak akan bersedia menerima Anda. Namun kalau Anda sekadar bersilaturahmi, pintu saya terbuka lebar,” katanya.
Begitulah hormatnya Habib Ahmad kepada kakaknya, Habibi Jindan. Boleh dikatakan, setelah ditinggal wafat Habib Novel bin Salim bin Jindan, posisi kepala keluarga Jindan jatuh kepada Habib Jindan. Karena itulah, dia yang menjadi pemimpin di PP Fachriyah, sekaligus juga pemimpin keluarga Jindan. Hal ini sebetulnya lumrah saja, sebab keluarga Jindan bertahun-tahun membawa nama baik keluarga, khususnya sebagai keluarga habib dan ulama yang menjunjung tingga akhlakul karimah dan sunah Rasulullah SAW, sehingga harus menerapkan kehidupan Islami itu sesuai dengan syariah.
Setelah Alkisah diterima di beranda muka rumahnya, sebentar saja suasana jadi cair. Habib Ahmad, yang sering memiliki roman muka serius, ternyata seoang teman bicara yang hangat, dan beberapa lelucon meluncur dari lidahnya yang terjaga dari fitnah. Pembicaraan semakin “jauh mengembara” karena kami ditemani suguhan kopi jahe serta kue-kue yang lezat. Dalam suasana hujan rintik sore itu, Habib Ahmad melayani wawancara Alkisah.
Habib Ahmad mendapat tugas dari kakaknya untuk menjadi ustaz di Pondok Pesantren Al-Fachriyah. Selain itu, dia juga membina beberapa majelis taklim di Tangerang. “Khususnya untuk membentengi iman mereka dari serangan atau godaan propaganda agama lain,” ujarnya.

habib ahmad bin novel bin salim bin jindan 

Selama ini, putra keempat Habib Novel ini melihat, ghirah atau semangat beragama kaum muslimin di Tangerang cukup tinggi, dan sulit bagi mereka untuk berpindah agama meski diiming-imingi berbagai godaan materi. Namun yang dikhawatirkan adalah meluasnya kebodohan di kalangan generasi muda Islam akibat pengaruh narkoba, kemiskinan, maupun perbuatan maksiat lainnya. Karena itulah, penting dilakukan pembinaan terus-menerus di kalangan pemuda Islam.
Masyarakat Islam di seputar Jakarta cukup kuat imannya.  Alhamdulillah, bentengnya cukup kuat, sehingga sulit rasanya kaum di luar Islam bisa mendirikan gereja di lingkungan kaum muslimin sesuai dengan SK Menteri. “Tapi entah kalau mereka bermain dengan orang dalam,” tuturnya.
Sekali lagi diingatkan oleh habib yang lahir 16 Januari 1982 ini bahwa yang lebih penting adalah memperingatkan umat dari bahaya maksiat, seperti perjudian, pelacuran, narkoba, minuman keras, serta perbuatan maksiat lainnya. Habib Ahmad setuju pada apa yang dilakukan oleh Habib Rizieq, yaitu mencegah kemaksiatan. “Bukan semata-mata aksi penutupan tempat-tempat maksiatnya, tetapi apa yang menjadi penyebab Habib Rizieq untuk melakukan aksi itu. Jadi jangan semata- mata dilihat aksinya,” ujarnya.
Sudah beberapa kali Habib Rizieq memberikan peringatan bahwa tempat-tempat maksiat tersebut terlarang oleh agama maupun pemerintah, tetapi para pemilik tempat maksiat itu tetap nekat. Maka sah bagi Habib Rizieq dan teman-temannya untuk memperingatkan tempat-tempat maksiat itu agar tutup.
Dalam taklimnya, Habib Ahmad selalu menyerukan untuk meningkatkan ghirah me- nambah pengetahuan agama. Dicontohkan, bulan Ramadan lalu, dia mengundang puluhan pengurus masjid yang sekaligus amil zakat fitrah se-Tangerang untuk diberi bekal, bagaimana memahami zakat fitrah secara sebenarnya. Habib Ahmad meluangkan waktunya untuk menulis risalah kecil yang berjudul Mutiara yang Indah dalam Fiqih Zakat Fitrah.
Menurut bapak dua anak ini, masih ada salah pengertian para amil zakat fitrah terhadap orang-orang yang wajib menerima zakat fitrah. Mereka adalah fakir, miskin, amil, mualaf, fir riqab (budak), gharim (orang yang banyak utang), fi sabilillah (orang yang berperang di jalan Allah), dan ibnu sabil (musafir).
Namun ada beberapa kesalahan dalam mengidentifikasi orang-orangyang menerima zakat fitrah. “Di Tangerang ini, banyak orang salah menafsirkan fi sabilillah dengan kiai atau guru. Sedang yang sebenarnya maksudnya adalah orang yang berperang di jalan Allah untuk melawan orang kafir tanpa digaji oleh pemerintah. Sekarang ini di Indonesia tidak ada peperangan demi agama, jadi golongan ini sementara ditiadakan,” katanya.
Konsekuensinya, kiai, ustaz, guru, masjid atau musala, pesantren, madrasah, dan semacamnya, bukanlah yang dimaksud dengan kata fi sabilillah sesuai dengan ayat tersebut. Sebab tidak ada seorang pun dari ahli tafsir yang menafsirkan kata fi sabilillah dengan ulama, kiai, ustaz, masjid, musala, dan semacamnya. Sebaliknya, para ahli tafsir itu menafsirkannya dengan orang yang berperang di jalan Allah. Bahkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al-Hakim yang juga disahihkan olehnya, Nakaum bi Muhammad SAW secara jelas menyebutkan bahwa fi sabilillah adalah orang yang berperang di jalan Allah. Dengan kata lain, tidak benar bagi kiai atau ustaz mengambil jatah zakat fitrah penduduk sekitarnya dengan alasan bahwa mereka termasuk golongan fi sabilillah.
Habib Ahmad juga menegaskan, zakat fitrah tidak boleh diwujudkan dalam bentuk uang, tetapi harus berupa makanan pokok setempat yang ukurannya sudah ditentukan. “Karena itu, amil zakat fitrah harus menyediakan beras kalau ada orang ingin berzakat fitrah dengan uang. Uang itu dibelikan beras yang sudah disediakan,” ujarnya.
Habib Ahmad lahir 24 tahun lalu di Jakarta dan dididik dengan ketat di lingkungan agama sejak kecil oleh keluarganya. Pertama dididik oleh ayahnya sendiri, Habib Novel, yang mendirikan Pondok Pesantren Al-Fachriyah. Kemudian di madrasah ibtidaiah dan sanawiah di Jakata dan kemudian melanjutkan ke Pesantren Darul Mustafa, Tarim, Hadramaut, selama empat tahun. Pada tahun 2000 pulang ke Jakarta, kemudian menikah. Pernikahannya itu menghasilkan dua anak laki-laki, Salim, 3 tahun, dan Utsman, 1,5 tahun.
Habib Ahmad bin Novel bin Jindan dan kakaknya, Habib Jindan bin Novel bin Jindan
Habib Ahmad bin Novel bin Jindan dan kakaknya, Habib Jindan bin Novel bin Jindan
Sehari-hari, Habib Ahmad mengajar para santri di Pondok Pesantren Al-Fachriyah dan juga menjadi manajer koperasi di tempat itu juga. Di luar pondok, ia membina beberapa majelis taklim. Pada Sabtu sore di Otista, tempat almarhum Habib Salim bin Jindan, kakeknya. Malam Sabtu di Majelis Taklim Jasatul Mustafa. Malam Senin di Perumahan Ciledug Indah Tangerang. Malam Kamis di Pondok Kacang.
Dalam majelis taklim tersebut, Habib Ahmad mengajak hadirin untuk bersama membaca Ratib Hadad, kemudian pengajian dengan membaca kitab-kitab kecil Habib Abdullah Hadad serta kitab Ihya’ Ulumuddin, karya Imam al-Ghazali. Setelah itu dilanjutkan dengan tanya jawab bagi mereka yang memiliki persoalan tertentu.
Dari perjalanan dakwahnya, para habib melihat dan menyimak kealimannya, sehingga sekarang ia mulai tampil di muka umum di kalangan habaib. Seperti, ia diminta secara mendadak memberikan mauizah hasanah dalam Khataman Bukhari di Masjid Riyadh, Solo, yang diselenggarakan Habib Anis Alhabsyi. Kemudian, di acara-acara para habib, ia ditempatkan di lingkaran dalam para habib sepuh.
“Saya sebetulnya belum patut bicara di hadapan para habib sepuh, tetapi karena diminta ya jadi terpaksa. Sebab, sulit rasanya menolak permintaan para sesepuh,” katanya. Ia mewanti-wanti supaya dirinya tidak disejajarkan dengan para habib sepuh. Sebab dia merasa, ilmunya masih rendah. Di samping itu, ada sosok yang dihormatinya dan lebih patut menempati tempat terhormat itu, yaitu kakaknya, Habib Jindan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar