Agak sulit membedakan Habib Ahmad bin Novel bin Jindan dan kakaknya, Habib Jindan bin Novel bin Jindan. Apalagi kalau sudah memakai pakaian kebesaran habib, jubah dan serbannya yang khas.
Ketika
Habib Ahmad tampil didaulat Habib Anis bin Alwi Alhabsyi untuk
memberikan mauizah hasanah dalam acara Khataman Bukhari di Masjid
Riyadh, Solo, Syakban 1426 lalu, banyak muhibin mengira, dia adalah
Habib Jindan. Alkisah, yang karena duduk di belakang, terpengaruh dengan
perkataan para muhibin sekitarnya, sehingga terkecoh dan menuliskan
orang yang berdiri di hadapan para habib sepuh itu Habib Jindan. Namun,
yang sebenarnya, dia adalah Habib Ahmad bin Novel bin Jindan.
Ketika Alkisah bertamu di Pondok
Pesantren Al-Fachriyah, Jalan Prof. Hamka, Kampung Gaga, Masjid RT
001/04, Larangan Selatan, Kecamatan Ciledug, Tangerang, tempat mengajar
sekaligus tempat tinggalnnya, baru jelas perbedaan itu. Apalagi ketika
itu dia hanya memakai kopiah putih dan tanpa jubah, sehingga terlihat
kemudaannya. Dia hanya tertawa lebar ketika Alkisah mengakui
kesalahannya menulis di nomor sebelumnya.
“Tidak masalah, saya justru senang.
Sebetulnya saya enggan tampil di muka umum sebelum mendapatkan izin dari
kakak saya, Habib Jindan. Begitu juga, kalau Habib Jindan tidak
mengizinkan saya diwawancarai Alkisah, saya tidak akan bersedia menerima
Anda. Namun kalau Anda sekadar bersilaturahmi, pintu saya terbuka
lebar,” katanya.
Begitulah hormatnya Habib Ahmad kepada
kakaknya, Habibi Jindan. Boleh dikatakan, setelah ditinggal wafat Habib
Novel bin Salim bin Jindan, posisi kepala keluarga Jindan jatuh kepada
Habib Jindan. Karena itulah, dia yang menjadi pemimpin di PP Fachriyah,
sekaligus juga pemimpin keluarga Jindan. Hal ini sebetulnya lumrah saja,
sebab keluarga Jindan bertahun-tahun membawa nama baik keluarga,
khususnya sebagai keluarga habib dan ulama yang menjunjung tingga
akhlakul karimah dan sunah Rasulullah SAW, sehingga harus menerapkan
kehidupan Islami itu sesuai dengan syariah.
Setelah Alkisah diterima di beranda muka
rumahnya, sebentar saja suasana jadi cair. Habib Ahmad, yang sering
memiliki roman muka serius, ternyata seoang teman bicara yang hangat,
dan beberapa lelucon meluncur dari lidahnya yang terjaga dari fitnah.
Pembicaraan semakin “jauh mengembara” karena kami ditemani suguhan kopi
jahe serta kue-kue yang lezat. Dalam suasana hujan rintik sore itu,
Habib Ahmad melayani wawancara Alkisah.
Habib Ahmad mendapat tugas dari kakaknya
untuk menjadi ustaz di Pondok Pesantren Al-Fachriyah. Selain itu, dia
juga membina beberapa majelis taklim di Tangerang. “Khususnya untuk
membentengi iman mereka dari serangan atau godaan propaganda agama
lain,” ujarnya.
Selama
ini, putra keempat Habib Novel ini melihat, ghirah atau semangat
beragama kaum muslimin di Tangerang cukup tinggi, dan sulit bagi mereka
untuk berpindah agama meski diiming-imingi berbagai godaan materi. Namun
yang dikhawatirkan adalah meluasnya kebodohan di kalangan generasi muda
Islam akibat pengaruh narkoba, kemiskinan, maupun perbuatan maksiat
lainnya. Karena itulah, penting dilakukan pembinaan terus-menerus di
kalangan pemuda Islam.
Masyarakat Islam di seputar Jakarta cukup
kuat imannya. Alhamdulillah, bentengnya cukup kuat, sehingga sulit
rasanya kaum di luar Islam bisa mendirikan gereja di lingkungan kaum
muslimin sesuai dengan SK Menteri. “Tapi entah kalau mereka bermain
dengan orang dalam,” tuturnya.
Sekali lagi diingatkan oleh habib yang
lahir 16 Januari 1982 ini bahwa yang lebih penting adalah memperingatkan
umat dari bahaya maksiat, seperti perjudian, pelacuran, narkoba,
minuman keras, serta perbuatan maksiat lainnya. Habib Ahmad setuju pada
apa yang dilakukan oleh Habib Rizieq, yaitu mencegah kemaksiatan. “Bukan
semata-mata aksi penutupan tempat-tempat maksiatnya, tetapi apa yang
menjadi penyebab Habib Rizieq untuk melakukan aksi itu. Jadi jangan
semata- mata dilihat aksinya,” ujarnya.
Sudah beberapa kali Habib Rizieq
memberikan peringatan bahwa tempat-tempat maksiat tersebut terlarang
oleh agama maupun pemerintah, tetapi para pemilik tempat maksiat itu
tetap nekat. Maka sah bagi Habib Rizieq dan teman-temannya untuk
memperingatkan tempat-tempat maksiat itu agar tutup.
Dalam taklimnya, Habib Ahmad selalu
menyerukan untuk meningkatkan ghirah me- nambah pengetahuan agama.
Dicontohkan, bulan Ramadan lalu, dia mengundang puluhan pengurus masjid
yang sekaligus amil zakat fitrah se-Tangerang untuk diberi bekal,
bagaimana memahami zakat fitrah secara sebenarnya. Habib Ahmad
meluangkan waktunya untuk menulis risalah kecil yang berjudul Mutiara
yang Indah dalam Fiqih Zakat Fitrah.
Menurut bapak dua anak ini, masih ada
salah pengertian para amil zakat fitrah terhadap orang-orang yang wajib
menerima zakat fitrah. Mereka adalah fakir, miskin, amil, mualaf, fir
riqab (budak), gharim (orang yang banyak utang), fi sabilillah (orang
yang berperang di jalan Allah), dan ibnu sabil (musafir).
Namun ada beberapa kesalahan dalam
mengidentifikasi orang-orangyang menerima zakat fitrah. “Di Tangerang
ini, banyak orang salah menafsirkan fi sabilillah dengan kiai atau guru.
Sedang yang sebenarnya maksudnya adalah orang yang berperang di jalan
Allah untuk melawan orang kafir tanpa digaji oleh pemerintah. Sekarang
ini di Indonesia tidak ada peperangan demi agama, jadi golongan ini
sementara ditiadakan,” katanya.
Konsekuensinya, kiai, ustaz, guru, masjid
atau musala, pesantren, madrasah, dan semacamnya, bukanlah yang
dimaksud dengan kata fi sabilillah sesuai dengan ayat tersebut. Sebab
tidak ada seorang pun dari ahli tafsir yang menafsirkan kata fi
sabilillah dengan ulama, kiai, ustaz, masjid, musala, dan semacamnya.
Sebaliknya, para ahli tafsir itu menafsirkannya dengan orang yang
berperang di jalan Allah. Bahkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dan Al-Hakim yang juga disahihkan olehnya, Nakaum bi Muhammad
SAW secara jelas menyebutkan bahwa fi sabilillah adalah orang yang
berperang di jalan Allah. Dengan kata lain, tidak benar bagi kiai atau
ustaz mengambil jatah zakat fitrah penduduk sekitarnya dengan alasan
bahwa mereka termasuk golongan fi sabilillah.
Habib Ahmad juga menegaskan, zakat fitrah
tidak boleh diwujudkan dalam bentuk uang, tetapi harus berupa makanan
pokok setempat yang ukurannya sudah ditentukan. “Karena itu, amil zakat
fitrah harus menyediakan beras kalau ada orang ingin berzakat fitrah
dengan uang. Uang itu dibelikan beras yang sudah disediakan,” ujarnya.
Habib Ahmad lahir 24 tahun lalu di
Jakarta dan dididik dengan ketat di lingkungan agama sejak kecil oleh
keluarganya. Pertama dididik oleh ayahnya sendiri, Habib Novel, yang
mendirikan Pondok Pesantren Al-Fachriyah. Kemudian di madrasah ibtidaiah
dan sanawiah di Jakata dan kemudian melanjutkan ke Pesantren Darul
Mustafa, Tarim, Hadramaut, selama empat tahun. Pada tahun 2000 pulang ke
Jakarta, kemudian menikah. Pernikahannya itu menghasilkan dua anak
laki-laki, Salim, 3 tahun, dan Utsman, 1,5 tahun.
Sehari-hari, Habib Ahmad mengajar para
santri di Pondok Pesantren Al-Fachriyah dan juga menjadi manajer
koperasi di tempat itu juga. Di luar pondok, ia membina beberapa majelis
taklim. Pada Sabtu sore di Otista, tempat almarhum Habib Salim bin
Jindan, kakeknya. Malam Sabtu di Majelis Taklim Jasatul Mustafa. Malam
Senin di Perumahan Ciledug Indah Tangerang. Malam Kamis di Pondok
Kacang.
Dalam majelis taklim tersebut, Habib
Ahmad mengajak hadirin untuk bersama membaca Ratib Hadad, kemudian
pengajian dengan membaca kitab-kitab kecil Habib Abdullah Hadad serta
kitab Ihya’ Ulumuddin, karya Imam al-Ghazali. Setelah itu dilanjutkan
dengan tanya jawab bagi mereka yang memiliki persoalan tertentu.
Dari perjalanan dakwahnya, para habib
melihat dan menyimak kealimannya, sehingga sekarang ia mulai tampil di
muka umum di kalangan habaib. Seperti, ia diminta secara mendadak
memberikan mauizah hasanah dalam Khataman Bukhari di Masjid Riyadh,
Solo, yang diselenggarakan Habib Anis Alhabsyi. Kemudian, di acara-acara
para habib, ia ditempatkan di lingkaran dalam para habib sepuh.
“Saya sebetulnya belum patut bicara di
hadapan para habib sepuh, tetapi karena diminta ya jadi terpaksa. Sebab,
sulit rasanya menolak permintaan para sesepuh,” katanya. Ia
mewanti-wanti supaya dirinya tidak disejajarkan dengan para habib sepuh.
Sebab dia merasa, ilmunya masih rendah. Di samping itu, ada sosok yang
dihormatinya dan lebih patut menempati tempat terhormat itu, yaitu
kakaknya, Habib Jindan.