Selamat Datang di Blog Resmi **Majlisarrahman.blogspot.com ** Majelis Dzikir Ratibul Al-Habib Abdullah Bin Alwi Al-Haddad wa Maulidun Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam (Dzikrullah wa Dzikrurrosul SAW) Jakarta - Indonesia. Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Kami**

 photo oji_zpsb336d6d8.gif
Selamat Datang di Blog Resmi **Majlisarrahman.blogspot.com ** TUNJUKKAN KEPERDULIAN DAN BAKTI KITA PADA PEMBENAHAN ISLAM DENGAN TURUT MENYUMBANGKAN HARTA KITA SEBAGAI SAKSI, BANTUAN KITA ADALAH CERMIN KADAR IMAN KITA, RASULULLAH SAW BERSABDA : SETIAP HARI TURUN DUA MALAIKAT MULIA KE BUMI DAN BERDOA, WAHAI ALLAH BERI ORANG YANG BERINFAQ KESEJAHTERAAN, DAN BERI ORANG YANG KIKIR KEHANCURAN ( shahih Bukhari ). Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Kami**

Rabu, 10 April 2013

Pangeran Diponegoro

Biografi Pangeran Diponegoro - Nama tokoh yang satu ini mungkin tidak asing lagi bagi kita semua, beliau merupakan salah satu dari pahlawan nasional Republik Indonesia dari tanah Jawa. Ya kita semua mengenalnya dengan nama Pangeran Diponegoro. Sebenarnya nama dari Pangeran Diponegoro adalah Dipanegara namun masyarakat pada saat itu memanggilnya dengan gelar Pangeran Dipanegara karena pengaruh bahasa jawa penyebutan Pangeran Dipanegara berubah menjadi Pangeran Diponerogo dan alasan itulah kita lebih mengenalnya sampai sekarang dengan nama Pangeran Diponegoro.

1. Biografi Lengkap Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro merupakan putra sulung dari Sultan Hamengkubuwono III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Beliau lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan nama Mustahar dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Raden Mas Antawirya (Bahasa Jawa: Ontowiryo).

Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan hamengkubuwono III untuk mengangkatnya menjadi seorang raja menggantikan posisinya. Permintaan ayahnya ini ditolah oleh beliau mengingat ibunya bukanlah seorang permaisuri. Diponegoro pada saat itu mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Kedhaton, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.

Pangeran Diponegoro pada saat itu lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat. Sehingga beliau lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakan Diponegoro terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang pada saat itu baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian inilah yang tidak disetujui sama sekali oleh  Diponegoro.

3. Riwayat Perang Pangeran Diponegoro

Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Pangeran Diponegoro di desa Tegalrejo. Pada saat itu, beliau memang sudah sangat kesal dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka ini mendapat simpati dan dukungan rakyat Indonesia. Atas permintaan dari pamannya, Pangeran Mangkubumi, Pangeran Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong. Perjuangan Pangeran Diponegoro ini didukung oleh S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya Bupati Gagatan.

Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.

Pada tanggal 8 Januari 1855, Pangeran Diponegoro wafat dan dimakamkan di Makassar, tepatnya di Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, sekitar empat kilometer sebelah utara pusat Kota Makassar.

Tuanku Imam Bonjol

1. Biografi Lengkap Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia pada tahun 1772.  Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab. Beliau merupakan putra dari pasangan Bayanuddin (ayah) dan Hamatun (ibu). Sejatinya ayah dari Tuanku Imam Bonjol merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Sebagai alim ulama dan pemimpin bagi masyarakat setempat, Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Dan akhirnya sampai sekarang ia lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.

2. Riwayat Perjuangan Tuanku Imam Bonjol

Perang Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa kita. Hampir selama 18 tahun (1803-1821) lamanya perang itu terjadi dan praktis yang berperang pada saat itu adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.

Pada awalnya timbulnya Perang Padri ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah SAW. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.

Dalam beberapa perundingan yang dilakukan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama pada saat itu) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.

Pada  tanggal 21 Februari 1821, kaum Adat membuat keputusan mengejutkan dengan bekerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman daerah Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.

Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang, Dalam hal ini Kompeni melibatkan diri dalam perang karena "diundang" oleh kaum Adat.

Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.

Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda. Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an)).

Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian? yang artinya "Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?"

Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan seterusnya, tetapi juga terdapat nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.

Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep, Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai orang-orang Bugis yang berada di bagian depan dalam penyerangan pertahanan Padri.

Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapten Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka juga disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.

Setelah datang bala bantuan yang banyak dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit dan terdesak, namun beliau berprinsip tak sudi untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol. Bonjol merupakan sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Setelah peperangan yang lama dan sengit pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol akhirnya dapat dikuasai oleh pihak Belanda.

Tetap pada awal bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk melakukan perunding. Tiba di tempat perundingan tersebut, beliau langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat pengasingan terakhirnya ini, beliau menghembuskan nafas terakhir tepatnya pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.

Heroiknya kisah perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol untuk mengusir Belanda dari tanah air patut diapresiasi. Sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol resmi diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973 mewakili perjuangan dari tanah Sumatra (Minangkabau).

Tak hanya itu sebagai rasa terimakasih kepada perjuangan beliau, nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik bangsa sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.

Sejarah Ahlussunnah wal Jama’ah

Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlussunnah wal Jama’ah hanya merupakan kelangsungan desain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur-rasyidin. Namun sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah pada abad ke II H.
Seorang Ulama’ besar bernama Al-Imam Al-Bashry dari golongan At-Tabi’in di Bashrah mempunyai sebuah majlis ta’lim, tempat mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam. Beliau wafat tahun 110 H. Diantara murid beliau, bernama Washil bin Atha’. Ia adalah salah seorang murid yang pandai dan fasih dalam bahasa Arab.
Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dan murid, tentang seorang mu’min yang melakukan dosa besar. Pertanyaan yang diajukannya, apakah dia masih tetap mu’min atau tidak? Jawaban Al-Imam Hasan Al-Bashry, “Dia tetap mu’min selama ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi dia fasik dengan perbuatan maksiatnya.” Keterangan ini berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits karena Al-Imam Hasan Al-Bashry mempergunakan dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Qur’an dan Hadits.
Dalil yang dimaksud, sebagai berikut; pertama, dalam surat An-Nisa’: 48;

اِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُاَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُمَادُوْنَ ذلِكَ ِلمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِافْتَرَى اِثْمًاعَظِيْمًا (النساء : 48.

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa seseorang yang berbuat syirik, tetapi Allah mengampuni dosa selian itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang mempersekutukan Tuhan ia telah membuat dosa yang sangat besar.”
Kedua, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

عَنْ اَبِى ذَرٍ رَضِىَاللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتِانِى اتٍ مِنْ رَبىِ فَأَخْبَرَنِى اَنَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ اُمَّتِى لاَيُشْرِكُ بِاللهِ دَخَلَ اْلجَنَّةَ. قُلْتُ: وَاِنْ زَنىَ وَاِنْ شَرَقَ. قَالَ وَاِنْ زَنىَ وَاِنْ سَرَقَ رواه البخارى ومسلم.

Dari shahabat Abu Dzarrin berkata; Rasulullah SAW bersabda: Datang kepadaku pesuruh Allah menyampaikan kepadamu. Barang siapa yang mati dari umatku sedang ia tidak mempersekutukan Allah maka ia akan masuk surga, lalu saya (Abu Dzarrin) berkata; walaupun ia pernah berzina dan mencuri ? berkata (Rasul) : meskipun ia telah berzina dan mencuri.” (Diriwayatkan Bukhari dan Muslim).

فَيَقُوْلُ وَعِزَّتِى وَجَللاَ لِى وَكِبْرِيَانِى وَعَظَمَتِى لأَُخْرِجَنَّ مِنْهَا مَنْ قَالَ لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ. رواه البخارى.

Allah berfirman: Demi kegagahanku dan kebesaranku dan demi ketinggian serta keagunganku, benar akan aku keluarkan dari neraka orang yang mengucapkan; Tiada Tuhan selain Allah.”
Tetapi, jawaban gurunya tersebut, ditanggapi berbeda oleh muridnya, Washil bin Atha’. Menurut Washil, orang mu’min yang melakukan dosa besar itu sudah bukan mu’min lagi. Sebab menurut pandangannya, “bagaimana mungkin, seorang mu’min melakukan dosa besar? Jika melakukan dosa besar, berarti iman yang ada padanya itu iman dusta.”
Kemudian, dalam perkembangan berikutnya, sang murid tersebut dikucilkan oleh gurunya. Hingga ke pojok masjid dan dipisah dari jama’ahnya. Karena peristiwa demikian itu Washil disebut mu’tazilah, yakni orang yang diasingkan. Adapun beberapa teman yang bergabung bersama Washil bin Atha’, antara lain bernama Amr bin Ubaid.
Selanjutnya, mereka memproklamirkan kelompoknya dengan sebutan Mu’tazilah. Kelompok ini, ternyata dalam cara berfikirnya, juga dipengaruhi oleh ilmu dan falsafat Yunani. Sehingga, terkadang mereka terlalu berani menafsirkan Al-Qur’an sejalan dengan akalnya. Kelompok semacam ini, dalam sejarahnya terpecah menjadi golongan-golongan yang tidak terhitung karena tiap-tiap mereka mempunyai pandangan sendiri-sendiri. Bahkan, diantara mereka ada yang terlalu ekstrim, berani menolak Al-Qur’an dan Assunnah, bila bertentangan dengan pertimabangan akalnya.
Semenjak itulah maka para ulama’ yang mengutamakan dalil al-Qur’an dan Hadits namun tetap menghargai akal pikiran mulai memasyarakatkan cara dan sistem mereka di dalam memahami agama. Kelompok ini kemudian disebut kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah. Sebenarnya pola pemikiran model terakhir ini hanya merupakan kelangsungan dari sistem pemahaman agama yang telah berlaku semenjak Rasulullah SAW dan para shahabatnya.

KH Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)

Sejarah Kodifikasi Hadits

Hadis Nabawi atau Sunnah Nabawiyyah adalah satu dari dua sumber syariat Islam setelah Al-Quran. Fungsi hadits dalam syariat Islam sangat strategis. Diantara fungsi hadis yang paling penting adalah menafsirkan Al-Qur`an dan menetapkan hukum-hukum lain yang tidak terdapat dalam Al-Qur`an. Begitu pentingnya kedudukan hadits, pantas jika salah seorang ulama berkata, “Al-Qur`an lebih membutuhkan kepada Sunnah daripada Sunnah kepada Al-Qur`an.”
Dahulu, para sahabat yang biasa mendengarkan perkataan Nabi dan menyaksikan tindak-tanduk dan kehidupan Nabi secara langsung, jika mereka berselisih dalam menafsirkan ayat Al-Quran atau kesulitan dalam menentukan suatu hukum, mereka merujuk kepada hadits Nabi. Mereka sangat memegang teguh sunnah yang belum lama diwariskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pelengkap wahyu yang turun untuk seluruh manusia.
Sejak jaman kenabian, hadis adalah ilmu yang mendapat perhatian besar dari kaum muslimin. Hadits mendapat tempat tersendiri di hati para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang datang setelah mereka. Setelah Al-Quran, seseorang akan dimuliakan sesuai dengan tingkat keilmuan dan hapalan hadisnya. Karena itu, mereka sangat termotivasi untuk mempelajari dan menghafal hadis-hadis Nabi melalui proses periwayatan. Tidak heran, jika sebagian mereka sanggup menumpuh perjalanan beribu-ribu kilometer demi mencari satu hadits saja.
Di awal pertumbuhan ilmu hadis ini, kaum muslimin lebih cenderung bertumpu pada kekuatan hapalannya tanpa menuliskan hadis-hadis yang mereka hapal sebagaimana yang mereka lakukan dengan Al-Qur`an. Kemudian, ketika sinar Islam mulai menjelajah berbagai negeri, wilayah kaum muslimim semakin meluas, para sahabat pun menyebar di sejumlah negeri tersebut dan sebagiannya sudah mulai meninggal dunia serta daya hapal kaum muslimim yang datang setelah mereka sedikit lemah, kaum muslimin mulai merasakan pentingnya mengumpulkan hadis dengan menuliskannya.

Masa Sahabat
Sebetulnya, kodifikasi (penulisan dan pengumpulan) hadis telah dilakukan sejak jaman para sahabat. Namun, hanya beberapa orang saja diantara mereka yang menuliskan dan menyampaikan hadis dari apa yang mereka tulis. Disebutkan dalam shahih al-Bukhari, di Kitab al-Ilmu, bahwa Abdullah bin ‘Amr biasa menulis hadis. Abu Hurairah berkata, “Tidak ada seorang pun dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih banyak hadisnya dari aku kecuali Abdullah bin ‘Amr, karena ia biasa menulis sementara aku tidak.”
Namun, kebanyakan mereka hanya cukup mengandalkan kekuatan hapalan yang mereka miliki. Hal itu diantara sebabnya adalah karena di awal-awal Islam Rasulullah sempat melarang penulisan hadis karena khawatir tercampur dengan Al-Qur`an. Dari Abu Sa’id al-Khudri, Bahwa Rasulullah bersabda, “Janganlah menulis dariku! Barangsiapa menulis dariku selain Al-Quran, maka hapuslah. Sampaikanlah dariku dan tidak perlu segan..” (HR Muslim)

Masa Tabi’in dan setelahnya
Tradisi periwayatan hadis ini juga kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh tabi`in sesudahnya. Hingga datang masa kepemimpinan khalifah kelima, Umar Ibn Abdul’aziz. Dengan perintah beliau, kodifikasi hadits secara resmi dilakukan.
Imam Bukhari mencatat dalam Shahihnya, kitab al-ilmu, “Dan Umar bin Abdul ‘aziz menulis perintah kepada Abu Bakar bin Hazm, “Lihatlah apa yang merupakan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tulislah, karena sungguh aku mengkhawatirkan hilangnya ilmu dan lenyapnya para ulama.”
Ibnu Hajar mengatakan, “Dapat diambil faidah dari riwayat ini tentang permulaan kodifikasi hadis nabawi. Dahulu kaum muslimin mengandalkan hapalan. Ketika Umar bin Abdul aziz merasa khawatir –padahal beliau ada di akhir abad pertama- hilangnya ilmu dengan meninggalnya para ulama, beliau memandang bahwa kodifikasi hadis itu dapat melanggengkannya.
Abu Nu’aim meriwayatkan dalam tarikh ashfahan kisah ini dengan redaksi, “Umar bin Abdul ‘aziz memerintahkan kepada seluruh penjuru negeri, “lihatlah hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kumpulkanlah.”
Diantara yang pertama kali mengumpulkan hadis atas perintah Umar bin Abdul ‘aziz adalah Muhammad bin Muslim, ibnu Syihab az-Zuhry, salah seorang ulama ahli Hijaz dan Syam. Setelah itu, banyak para ulama yang menuliskan hadis-hadis Rasulullah dan mengumpulkannya dalam kitab mereka.
Di Mekah ada Ibnu Juraij (w 150 H) dengan kitab “as-sunan”, “at-Thaharah”, “as-shalah”, “at-tafsir” dan “al-Jaami”. Di madinah Muhammad bin Ishaq bin Yasar (w 151 H) menyusun kitab “as-sunan” dan “al-Maghazi”, atau Malik bin Anas (w 179 H) menyusun “al-Muwaththa”. Di Bashrah Sa’id bin ‘Arubah (w 157 H) menyusun “as-sunan” dan “at-tafsiir”, Hammad bin Salamah (w 168 H) menyusun “as-sunan”. Di Kufah Sufyan ast-Tsauri (w 161 H) menyusun “at-Tafsir”, “al-Jami al-Kabir”, al-Jami as-Shaghir”, “al-Faraaidh”, “al-Itiqad”
Al-‘Auza’I di Syam, Husyaim di Washith, Ma’mar di Yaman, Jarir bin Abdul hamid di ar-Rai, Ibnul Mubarak di Khurasan. Semuanya adalah para ulama di abad ke dua. Kumpulan hadis yang ada pada mereka masih bercampur dengan perkataan para sahabat dan fatwa para ulama tabi’iin.
Begitulah juga penulisan hadis ini menjadi tradisi ulama setelahnya di abad ke tiga dan seterusnya. Hingga datang zaman keemasan dalam penulisan hadis. Ia adalah periode Kitab Musnad Ahmad dan kutub sittah. Diantaranya adalah dua kitab shahih. Al-Imam al-Bukhari, seorang ulama hadis jenius yang memiliki kedudukan tinggi, menulis dan mengumpulkan hadis-hadis shahih dalam satu kitab yang kemudian terkenal dengan nama “shahih al-Bukhari”. Diikuti setelahnya oleh al-Imam Muslim dengan kitab “shahih muslim”.
Tidak hanya itu, zaman keemasan ini telah menelurkan kitab-kitab hadis yang hampir tidak terhitung jumlahnya. Dalam bentuk majaami, sunan, masanid, ‘ilal, tarikh,  ajzaa` dan lain-lain. Hingga, tidak berlalu zaman ini kecuali sunnah seluruhnya telah tertulis. Tidak ada riwayat yang diriwayatkan secara verbal yang tidak tertulis dalam kitab-kitab itu kecuali riwayat-riwayat yang tidak diperhitungkan.

Rujukan Utama:
  • Muqaddimah Mushahhih Kitab “Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis”, al-Hakim an-Naisaburi.
  • Al-Manhaj al-Muqtarah lii fahmi al-Musthalah, Syaikh DR. Syarif Hatim al-‘Auni
  • Fathul Bariy, al-Hafidz ibnu Hajar.
  • dll

Perbedaan Antara Adat Dan Ibadah

Sebagian orang kurang memahami perbedaan antara ibadah dan adat sehingga rancu dalam memahami kaidah para ulama. Kaidah yang dimaksud adalah,
hukum asal adat atau muamalah itu boleh sampai ada dalil yang melarang, sedangkan untuk perkara ibadah, hukum asalnya haram sampai ada dalil yang mendukungnya
Karena kurang paham akan hal ini, jadi ada yang seenaknya memasukkan suatu amalan yang sebenarnya berisi ibadah pada masalah adat, sampai ia mengatakan, “Kenapa dilarang? Kan asalnya boleh?
Beda antara Adat dan Ibadah
  1. Ibadah kembali pada penjagaan agama dan ingin meraih pahala di sisi Allah seperti iman dan shalat. Adat kembali pada penjagaan diri, harta atau kehormatan seperti jual beli dan makanan.
  2. Ibadah adalah hak Allah yang harus ditunaikan oleh hamba seperti disebutkan dalam hadits Mu’adz, “Hak Allah yang harus ditunaikan oleh hamba adalah hendaklah mereka menyembah Allah dan tidak berbuat syirik pada-Nya dengan sesuatu pun” (Muttafaqun ‘alaih). Adapun adat adalah hak hamba yang mengandung maslahat bagi mereka.
  3. Ibadah dibangun di atas tawqif (dalil) dan dicukupkan apa yang ada dalam dalil. Sedangkan adat terdapat kebebasan untuk melakukannya selama tidak ada dalil yang melarang.
  4. Ibadah tidak mungkin bagi akal memikirkan maksudnya, seperti kita tidak perlu bertanya mengapa shalat Zhuhur empat raka’at. Sedangkan adat ditunjukkan oleh akal manakah yang maslahat. (Diringkas dari penjelasan Syaikh Dr. Muhammad bin Husain Al Jizaniy dinukil dari Multaqo Ahlil Hadits)
Kaidah Penting
Setelah kita memahami perbedaan antara adat dan ibadah, maka ada Kaidah yang perlu diperhatikan yang disebutkan oleh para ulama. Mereka berkata,
كل تقرب إلى الله بفعل شيء من العادات أو المعاملات من وجه لم يعتبره الشارع فهو بدعة
Setiap pendekatan diri pada Allah dengan melakukan perkara adat atau muamalah dengan cara yang tidak dianggap oleh syari’at, maka ia termasuk bid’ah”.
Kaidah ini di antaranya disebutkan oleh Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom.
Contoh penerapan kaidah di atas:
  1. Menjadikan memakai pakaian shuf (wol) sebagai bentuk pendekatan diri pada Allah seperti yang dilakukan kalangan sufiyah.
  2. Menjadikan diam (tidak berbicara) selamanya, enggan makan daging (vegetarian) atau enggan minum air, begitu pula berdiri di terik matahari tanpa mau mengambil tempat untuk berteduh, semua ini dilakukan dalam rangka ibadah (pendekatan diri pada Allah).
Kaidah di atas berlaku untuk perkara adat dan muamalat saja yang digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah. Disebut bid’ah karena asalnya tidak ada tuntunan, dan tata caranya tidak diajarkan dalam Islam. Ada juga perkara adat atau muamalat yang secara hakiki termasuk bid’ah karena tidak ada dalilnya secara umum, maupun secara terperinci.
Lihat bahasan di atas dalam Qowa’id Ma’rifatil Bida’ karya Muhammad bin Husain Al Jizaniy, hal. 106-107.
Adat atau Muamalah Diniatkan Ibadah
Ada yang sering bertanya, “Berarti Facebook untuk dakwah itu bid’ah, begitu pula mencari nafkah juga bid’ah jika diniatkan untuk ibadah karena tidak ada dalilnya?” Nah, point berikut ini yang harus dipahami.
Perlu diketahui bahwa adat atau muamalah bisa termasuk ibadah dan bukan bid’ah ketika memenuhi salah satu dari dua syarat:
  1. Dilakukan dengan niat yang benar.
  2. Sebagai wasilah (perantara) dan men-support amalan shalih.
Dalil yang mendukung syarat pertama adalah hadits,
وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ ، إِلاَّ أُجِرْتَ ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ
Sesungguhnya engkau tidaklah menafkahkan suatu nafkah dalam rangka mengharap wajah Allah melainkan akan diganjar dengan usaha itu sampai pun sesuap makanan yang engkau masukkan dalam mulut istrimu.” (HR. Bukhari no. 6373 dan Muslim no. 1628).
Di sini disebutkan dengan niat ikhlas mengharap pahala di sisi Allah, barulah perbuatan yang asalnya bukan ibadah berbuah pahala.
Dalil bahwasanya perbuatan non-ibadah jika sebagai wasilah (perantara) pada ketaatan atau ibadah dapat bernilai pahala dapat disimpulkan dari firman Allah Ta’ala,
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلَا نَصَبٌ وَلَا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ
Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh.” (QS. At Taubah: 120). Ayat ini menunjukkan bahwa wasilah (perantara) dan mendukung terwujudnya ketaatan dianggap sebagai ketaataan pula dan bernilai pahala. [Lihat bahasan di atas dalam Qowa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 107]
Sebagai Wasilah (Perantara), Bukan Tujuan
Namun ingat di sini, itu jika perkara non-ibadah dijadikan sebagai sarana dan bukan tujuan. Sehingga tidak tepat berdalil dengan point ini untuk mendukung acara mauludan (peringatan Maulid Nabi) dan acara bid’ah lainnya. Karena mauludansendiri yang dimaksud adalah tujuan, bukan sarana karena yang melakukan mauludan memaksudkan amalan tersebut untuk meraih pahala dengan dibacakan shalawat, dll. Sedangkan jika seseorang menggunakan FB atau HP untuk berdakwah, itu sebagai wasilah (sarana) dan bukan maksud atau tujuan. Jadi sungguh keliru yang serampangan dalam menggunakan Kaidah ini karena tidak paham.
Dua syarat yang telah disebutkan sebelumnya dianggap oleh syari’at. Sehingga tepatlah dalam Kaidah yang kami sebutkan di atas ditambahkan embel-embel, “Setiap pendekatan diri pada Allah dengan melakukan perkara adat atau muamalah dengan cara yang tidak dianggap oleh syari’at, maka ia termasuk bid’ah.” Di antara cara yang tidak dianggap oleh syari’at adalah menjadikan perkara non-ibadah (adat atau muamalat) secara dzatnya sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Inilah yang terjadi di tengah masyarakat kita pada acara yasinan atau tahlilan. Acara ini termasuk adat, namun secara dzat dimaksudkan untuk ibadah. Dan di dalamnya dikhususkan ibadah pula yang tidak dituntunkan. Karena mengkhususkan selamatan kematian dengan surat Yasin atau bacaan tahlil tidak ada dalil pendukungnya.
Ibnu Rajab dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam berkata,
فمن تقرَّب إلى الله بعمل ، لم يجعله الله ورسولُه قربة إلى الله ، فعمله باطلٌ مردودٌ عليه
“Barangsiapa mendekatkan diri pada Allah dengan amalan yang Allah dan Rasul-Nya tidak nilai sebagai ibadah (pendekatan diri pada-Nya), maka amalannya batil dan tertolak.”
Coba renungkan berbagai amalan yang tersebar di tengah masyarakat, apakah termasuk ibadah atau non-ibadah? Contohnya peringatan Maulid, apakah itu non-ibadah? Bukankah -asalnya- acara maulid diadakan untuk cari pahala, bukan untuk cari keuntungan seperti dalam jual beli? Kalau jelas ibadah, lantas mengapa masih membuat rancu dengan mengatakan maulid Nabi itu perkara muamalat (sehingga sah-sah saja diperingati) dan bukan ibadah padahal di dalamnya terdapat shalawatan, yang tentu itu dimaksud untuk mendapatkan pahala di sisi Allah?
Semoga jadi renungan, hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Diselesaikan selepas shalat Fajar di Mabna 27, Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA
Rabu, 18 Rabi’ul Awwal 1434 H

Kesabaran Butuh Keikhlasan



Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Para ulama menjelaskan bahwa sabar ada 3 jenis:

  • Sabar dalam ketaatan
  • Sabar dari kemaksiatan
  • Sabar dalam menghadapi musibah

Namun kita tidak boleh lupa bahwa sabar itu juga ada 3 tingkatan:
  • Sabar lillah (الصبر لله)
  • Sabar billah (الصبر بالله)
  • Sabar ma'allah (الصبر مع الله)

- Sabar lillah maksudnya sabar yang ikhlas karena Allah, baik sabar dalam ketaatan, sabar dari kemaksiatan, dan sabar dalam menghadapi musibah.

Dalilnya: Allah berfirman:

و لربك فاصبر

"Dan untuk Rabb-mu bersabarlah." (QS. Al-Muddatstsir: 7).

- Sabar billah maksudnya sabar dengan memohon pertolongan dari Allah. Kita tidak mungkin bisa bersabar kecuali dengan meminta pertolongan dari Allah. Allah berfirman:

و اصبر و ما صبرك إلا بالله

"Bersabarlah, dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan dari Allah." (QS. An-Nahl: 127).

- Sabar ma'allah maksudnya selalu bersabar apapun keadaannya karena dia yakin Allah mengawasinya. Ini merupakan tingkatan yang tertinggi. Allah berfirman:

إن الله مع الصابرين

"Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 153)

  • Perlu dicatat, bahwa seseorang tidak akan mencapai ke tingkatan sabar ma'allah, kecuali dengan meminta pertolongan-Nya (sabar billah). Dan sabar billah tidak mungkin dicapai kecuali jika ia mengikhlaskan kesabarannya karena Allah (sabar lillah).

Jadi, kesabaran pun butuh keikhlasan.
Semoga Allah memberi kita keikhlasan dalam setiap amal kita, baik yang tampak maupun tak tampak.

Wa shallallaahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad.

(disarikan oleh Abu Yazid Nurdin dari dars syaikh Muhammad bin 'Ali Asy-Syinqithi dan syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid -hafizhahumallaah-).

Kiat Agar Terlindung dari Sihir

Sihir adalah sebuah kata yang kerap akrab di telinga kita. Siapa yang tidak tahu tentang sihir, bahkan sekarang sihir telah menjadi suatu hiburan, wallahul musta’an. Padahal jika kita mau menela’ah lebih dalam apa itu sihir, pasti akan kita dapati bahaya yang sangat besar, terutama bahaya terhadap aqidah seorang muslim.

Apa Itu Sihir?
Sihir secara bahasa digunakan untuk segala sesuatu hal yang sebabnya samar, lembut dan tidak jelas. Adapun secara istilah, dikarenakan sihir memiliki berbagai macam bentuk dan caranya berbeda-beda, maka tidak ada definisi yang lengkap mencakup makna sihir.


Di dalam kitab Adhwa-ul Bayan (4: 444) dijelaskan, “Ketahuilah, sesungguhnya sihir itu secara istilah tidak mungkin di definisikan dengan satu definisi yang lengkap mencakup semua jenis sihir dan mencegah yang bukan termasuk bagian sihir untuk masuk ke dalam bagian dari definisi tersebut, dikarenakan jenisnya yang banyak dan berbeda-beda yang masuk ke dalam istilah sihir. Tidak akan terwujud titik kesamaan di antara jenis sihir yang bisa mencakup semua macam jenis dan mencegah hal-hal yang termasuk sihir untuk masuk ke dalam definisi sihir. Dan ‘ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan istilah tersebut, dengan perbedaan yang sangat mencolok”.

Bahaya Sihir
Sesuatu yang dimiliki oleh setiap muslim di dunia ini lebih mahal dibanding apa pun adalah agamanya. Orang yang berakal pasti menjaga agamanya dan tidak akan pernah ridha dengan perbuatan yang dapat merusak atau melemahkan atau mengotori aqidahnya. Melakukan sihir dan pergi untuk meminta tukang sihir untuk melakukan sihir dapat membahayakan aqidah, bahkan meminta tukang sihir untuk melakukan sihir menjadi salah satu penyebab batalnya Islam seseorang.

Maka tukang sihir dan orang yang pergi ke tukang sihir untuk minta disihirkan, keduanya dihukumi sama. Dan sihir merupakan suatu keharaman dalam semua ajaran Rasul. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana pun ia datang.” (QS. Thaha: 69) Barangsiapa yang telah melakukan sihir, maka ia telah terjerumus dalam kesyirikan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, Dan barangsiapa yang melakukan sihir, maka ia telah Syirik.” (Diriwatkan An-Nasa-i). Disebutkan dalam Fathul Majid (231), “Ini adalah dalil tegas bahwa tukang sihir adalah Musyrik.”.

Kiat Agar Terlindung dari Sihir
Di bawah ini ada beberapa hal yang dapat melindungi dan menjaga kita dari pengaruh sihir
  1. Menjaga Shalat Shubuh. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang mendirikan shalat shubuh, maka ia berada di dalam jaminan perlindungan Allah” (HR. Muslim). Barangsiapa yang menjaga shalat shubuhnya, maka ia akan mendapat perlindungan dari Allah atas gangguan setan-setan yang ingin melakukan sihir
  2. Membaca Surah Al-Baqarah di Dalam Rumah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Bacalah Surah Al-Baqarah! Karena sesungguhnya mengambilnya (membacanya) adalah barakah dan meninggalkannya adalah penyesalan (kerugian), dan sihir tidak akan mampu menghadapinya” (HR. Muslim)
  3. Menjaga Bacaan Mu’awwidzatain (Surah Al-Falaq dan An-Nas) pada Waktu Shubuh dan Petang. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang membacanya tiga kali pada waktu shubuh dan pada waktu petang, maka tidak ada yang bisa membahayakannya sesuatu apa pun.” (HR. Abu Dawud)
  4. Membaca Ayat Kursi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Apabila engkau mendatangi tempat tidur (di malam hari), bacalah Ayat Kursi, niscaya Allah akan senantiasa menjagamu dan setan tidak akan mendekatimu hingga waktu pagi” (HR. Al-Bukhari)
  5. Membaca Dua Ayat Terakhir dari Surah Al-Baqarah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang membaca dua ayat terakhir dari surah Al-Baqarah di malam hari, maka keduanya telah mencukupinya.” (Muttafaqun ‘alaih)
  6. Memakan Tujuh Buah Kurma ‘Ajwah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang memakan tujuh buah kurma ‘Ajwah di pagi hari, maka tidak ada yang bisa membahayakannya pada hari itu, baik racun dan sihir.” (Muttafaqun ‘alaih).
Sungguh begitu besar bahaya sihir bagi seorang muslim. Sihir tidak hanya membahayakan jiwa seseorang, namun dapat merusak aqidah seseorang. Sehingga bisa menjadi salah satu sebab batalnya keislaman seorang muslim. Semoga Allah senantiasa menjaga kita semua dari pengaruh buruk sihir dan para tukang sihir

Rujukan: Banyak mengambil faedah dari kitab Ba’i-u Diinihi karya Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Muhammad Al-Qasam

Penulis: Wiwit Hardi Priyanto
Artikel www.muslim.or.id

Sihir dan Perdukunan Perusak Tauhid

 
Fenomena kesyirikan dan pelanggaran tauhid banyak terjadi di masyarakat kita, karena kurangnya pengetahuan mereka tentang masalah tauhid dan keimanan, serta hal-hal yang bisa mendangkalkan bahkan merusak akidah (keyakinan) seorang muslim.

Kenyataan ini diisyaratkan dalam banyak ayat al-Qur’an, di antaranya dalam firman Allah Ta’ala,

{وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ}

Dan sebagian besar manusia tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan-Nya (dengan sembahan-sembahan lain) (QS Yusuf:106). Ibnu Abbas menjelaskan arti ayat ini, “Kalau ditanyakan kepada mereka: Siapakah yang menciptakan langit? Siapakah yang menciptakan bumi? Siapakah yang menciptakan gunung? Maka mereka akan menjawab: “Allah (yang menciptakan semua itu)”, (tapi bersamaan dengan itu) mereka mempersekutukan Allah (dengan beribadah dan menyembah kepada selain-Nya)[1].

Semakna dengan ayat di atas Allah Ta’ala juga berfirman,

{وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ}

Dan sebagian besar manusia tidak beriman (dengan iman yang benar) walaupun kamu sangat menginginkannya (QS Yusuf:103). Artinya: Mayoritas manusia walaupun kamu sangat menginginkan dan bersunguh-sungguh untuk (menyampaikan) petunjuk (Allah), mereka tidak akan beriman kepada Allah (dengan iman yang benar), karena mereka memegang teguh (keyakinan) kafir (dan syirik) yang merupakan agama (warisan) nenek moyang mereka[2].

Dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih menegaskan hal ini dalam sabda beliau:

«لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَلْحَقَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي بِالْمُشْرِكِينَ وَحَتَّى يَعْبُدُوا الأَوْثَانَ»

Tidak akan terjadi hari kiamat sampai beberapa qabilah (suku/kelompok) dari umatku bergabung dengan orang-orang musyrik dan sampai mereka menyembah berhala (segala sesuatu yang disembah selain Allah Ta’ala)[3].

Ayat-ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa perbuatan syirik terus ada dan terjadi di umat Islam sampai datangnya hari kiamat[4].

Tukang sihir dan dukun adalah Thagut sekaligus syaitan dari kalangan manusia
Allah Ta’ala berfirman,

{هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنزلُ الشَّيَاطِينُ، تَنزلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ، يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ}

Apakah akan Aku beritakan kepada kalian, kepada siapa syaitan-syaitan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak berbuat jahat/buruk (para dukun dan tukang sihir). Syaitan-syaitan tersebut menyampaikan berita yang mereka dengar (dengan mencuri berita dari langit, kepada para dukun dan tukang sihir), dan kebanyakan mereka adalah para pendusta (QS asy-Syu’araa’:221-223).

Imam Qatadah[5] menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “para pendusta lagi banyak berbuat jahat/buruk” adalah para dukun dan tukang sihir[6], mereka itulah teman-teman dekat para syaitan yang mendapat berita yang dicuri para syaitan tersebut dari langit[7].

Bahkan sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud ketika menafsirkan firman Allah,

{وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا}

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia) (QS al-An’aam:112). Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata, “Para dukun (dan tukang sihir) adalah syaitan-syaitan (dari kalangan) manusia”[8].

Dalam atsar/riwayat yang lain sahabat yang mulia Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu ketika ditanya tentang arti “Thagut”, beliau t berkata: “mereka adalah para dukun yang syaitan-syaitan turun kepada mereka”[9].
Thagut adalah segala sesuatu yang dijadikan sembahan selain Allah Ta’ala dan dijadikan sekutu bagi-Nya[10]. Allah Ta’ala telah mewajibkan kita untuk mengingkari dan menjauhi Thagut dalam segala bentuknya, bahkan tidak akan benar keimanan dan tauhid seorang hamba tanpa mengingkari dan menjauhinya. Allah Ta’ala berfirman,

{وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ}

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu (QS an-Nahl:36).

Dalam ayat lain Dia Ta’ala berfirman,

{فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ}

Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah (semata-mata), maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat (dan) tidak akan putus (kalimat tauhid Laa ilaaha illallah). Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS al-Baqarah:256).

Demikianlah profil sangat buruk para dukun dan tukang sihir, tapi mengapa masih saja ada orang yang mau mempercayai mereka, bahkan menyandarkan nasib hidup mereka kepada teman-teman syaitan ini? Bukankah ini merupakan kebodohan yang nyata dan penentangan besar terhadap Allah Ta’ala dan agama-Nya?. Termasuk dalam kategori dukun dan tukang sihir adalah tukang santet, tukang tenung, ahli nujum, peramal, dan orang yang disebut sebagai “paranormal[11] atau “orang pintar”.

Praktek kufur dan syirik yang biasa dilakukan oleh para dukun dan tukang sihir.
Allah Ta’ala berfirman,

{وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ}

Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), maka janganlah kamu kafir.” Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepada diri mereka sendiri dan tidak memberi manfaat. Padahal sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (QS al-Baqarah:102).

Ayat ini dengan tegas menyatakan kafirnya para dukun dan tukang sihir[12], yang ini disebabkan perbuatan syirik dan kufur yang mereka lakukan, yaitu:

1. Mengaku-ngaku mengetahui hal-hal yang gaib, padahal ini merupakan kekhususan bagi Allah Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya:

{قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ الْغَيْبَ إِلا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ}

Katakanlah:”Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bilamana mereka akan dibangkitkan (QS an-Naml:65).
Juga dalam firman-Nya,

{عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا إِلا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا}

(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya (QS al-Jin:26-27).
  • Imam al-Qurthubi, ketika menafsirkan ayat di atas, beliau berkata: “(Para) ahli nujum dan orang-orang yang seperti mereka (para dukun dan tukang sihir) yang melakukan (praktek perdukunan) dengan memukul batu-batu kerikil, melihat buku-buku (perdukunan), atau mengusir burung (sebagai tanda kesialan atau keberuntungan), mereka itu bukanlah rasul yang diridhai-Nya untuk diperlihatkan-Nya kepada mereka perkara-perkara gaib yang mereka inginkan, bahkan mereka adalah orang yang kafir (kepada-Nya), berdusta (besar) atas (nama)-Nya dengan kebohongan, penipuan dan prasangka (dusta) yang mereka (lakukan)”[13].
  • Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu syaikh ketika menjelaskan makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal kemudian membenarkan ucapannya, maka sungguh dia telah kafir terhadap agama yang diturunkan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam[14]. Beliau berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan kafirnya dukun dan tukang sihir, karena mereka mengaku-ngaku mengetahui ilmu gaib, yang ini merupakan kekafiran”[15].
Adapun perkara-perkara gaib yang disampaikan oleh para dukun yang terkadang benar, maka itu adalah berita yang dicuri oleh para syaitan dari langit, lalu mereka sampaikan kepada teman-teman dekat mereka, yaitu para dukun dan tukang sihir, yang kemudian mencampuradukkan berita tersebut dengan seratus kedustaan sebelum disampaikan kepada orang lain, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits shahih[16].

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang al-kuhhaan (para dukun), beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang tidak punya arti (orang-orang yang hina)”. Kemudian si penanya berkata, Sesungguhnya para dukun tersebut terkadang menyampaikan kepada kami suatu (berita) yang (kemudian ternyata) benar. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Kalimat (berita) yang benar itu adalah yang dicuri (dari berita di langit) oleh jin (syaitan), lalu dimasukkannya ke telinga teman dekatnya (dukun dan tukang sihir), yang kemudian mereka mencampuradukkan berita tersebut dengan seratus kedustaan[17].

Peristiwa pencurian berita dari langit oleh para syaitan banyak terjadi di jaman Jahiliyah sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adapun setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka itu tidak banyak terjadi, karena Allah Ta’ala telah menjadikan bintang-bintang sebagai penjaga langit dan pembakar para syaitan yang mencuri berita dari langit[18]. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,

{ وَأَنَّا لَمَسْنَا السَّمَاءَ فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيدًا وَشُهُبًا. وَأَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ فَمَنْ يَسْتَمِعِ الآنَ
 يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَصَدًا}

(Para Jin itu berkata): “Dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api. Dan sesungguhnya kami dahulu (sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang (setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) barangsiapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya) (QS al-Jin:8-9).

2. Bekerjasama dengan syaitan dan melakukan perbuatan kufur/syirik sebagai syarat agar syaitan mau membantu mereka dalam praktek sihir dan perdukunan.
Para dukun dan tukang sihir selalu bekerjasama dengan para jin dan setan dalam menjalankan praktek perdukunan dan sihir mereka, bahkan para jin dan setan tersebut tidak mau membantu mereka dalam praktek tersebut sampai mereka melakukan perbuatan syirik dan kafir kepada Allah Ta’ala, misalnya mempersembahkan hewan qurban untuk para jin dan setan tersebut, menghinakan al-Qur’an dengan berbagai macam cara, atau perbuatan-perbuatan kafir lainnya[19]. Allah Ta’ala berfirman,

{وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا}

Dan bahwasannya ada beberapa orang dari (kalangan) manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari (kalangan) jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS al-Jin:6).
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,

{وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الإنْسِ، وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ الإنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا، قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ}

Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya, (dan Dia berfirman): “Hai golongan jin (syaitan), sesungguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia”, lalu berkatalah teman-teman dekat mereka dari golongan manusia (para dukun dan tukang sihir): “Ya Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah mendapatkan kesenangan/manfaat dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami”. Allah berfirman: “Neraka itulah tempat tinggal kalian, sedang kalian kekal didalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain)”. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui (QS al-An’aam:128).
  • Imam al-Qurthubi berkata: “Kesenangan/manfaat yang didapatkan jin dari manusia adalah dengan berita bohong menakutkan, perdukunan dan sihir yang diberikan jin kepada manusia (dukun dan tukang sihir)”[20].
  • Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “Jin (syaitan) mendapatkan kesenangan dengan manusia mentaatinya, menyembahnya, mengagungkannya dan berlindung kepadanya (berbuat syirik dan kufur kepada Allah Ta’ala). Sedangkan manusia mendapatkan kesenangan dengan dipenuhi dan tercapainya keinginannya dengan sebab bantuan dari para jin untuk memuaskan keinginannya. Maka orang yang menghambakan diri pada jin (sebagai imbalannya) jin tersebut akan membantunya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya”[21].
Oleh karena itulah, syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz ketika menerangkan sebab kafirnya para dukun dan tukang sihir, beliau berkata, “…Karena dukun dan tukang sihir mengaku-ngaku (mengetahui) ilmu gaib, dan ini adalah kekafiran, juga karena mereka tidak akan (mungkin) mencapai tujuan mereka (melakukan sihir dan perdukunan) kecuali dengan melayani jin (syaitan) dan menjadikannya sembahan selain Allah, dan ini adalah perbuatan kufur kepada Allah dan syirik (menyekutukan Allah Ta’ala)”[22].

Hukum mendatangi dukun dan tukang sihir
Mendatangi dan bertanya kepada teman-teman dekat syaitan ini adalah perbuatan dosa yang sangat besar dan bahkan bisa jadi merupakan kekafiran kepada Allah Ta’ala[23], dengan perincian sebagai berikut:
  • Mendatangi dan bertanya kepada mereka tentang sesuatu, tanpa membenarkannya (hanya sekedar bertanya), maka ini hukumnya dosa yang sangat besar dan tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari[24], berdasarkan sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal (orang yang mengaku mengetahui ilmu gaib, termasuk dukun dan tukang sihir[25]), kemudian bertanya tentang sesuatu hal kepadanya, maka tidak akan diterima shalat orang tersebut selama empat puluh malam (hari)[26].
  • Mendatangi dan bertanya kepada mereka tentang sesuatu, kemudian membenarkan ucapan/berita yang mereka sampaikan, maka ini adalah kufur/kafir terhadap Allah Ta’ala[27], berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal kemudian membenarkan ucapannya, maka sungguh dia telah kafir terhadap agama yang diturunkan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam[28].
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu syaikh berkata: “Orang yang membenarkan dukun dan tukang sihir, meyakini (benarnya ucapan mereka), dan meridhai hal tersebut, maka ini merupakan kekafiran (kepada Allah Ta’ala)”[29].

Bolehkah menghilangkan/mengobati sihir dengan bantuan dukun/tukang sihir?
Jawabnya: jelas tidak boleh, karena kalau mendatangi dan membenarkan tukang sihir/dukun adalah perbuatan kafir kepada Allah Ta’ala, maka terlebih lagi meminta bantuan kepada mereka untuk menghilangkan sihir![30].

Oleh karena itu, dalam hadits yang shahih, ketika Rasulullah ditanya tentang anNusyrah (cara mengobati sihir) yang biasa dilakukan orang-orang di jaman Jahiliyah, yaitu dengan meminta tukang sihir/dukun atau memakai sihir untuk menghilangkan sihir tersebut[31], Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Itu termasuk perbuatan syaitan”[32].

Adapun mengobati sihir dengan ruqyah (pengobatan dengan membacakan ayat-ayat Al Qur-an dan zikir-zikir dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), ta’awwudzaat (zikir-zikir meminta perlindungan dari Allah yang bersumber dari Al Qur-an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang disyariatkan, dan pengobatan-pengobatan (lain) yang diperbolehkan (dalam agama), maka ini boleh dilakukan dan inilah pengobatan yang diridhai Allah Ta’ala, serta benar-benar bisa diharapkan kesembuhannya dengan izin-Nya[33].

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata,“an-Nusyrah adalah (cara) menghilangkan sihir dari orang yang terkena sihir, yang ini ada dua macam:
  1. (pertama): menghilangkan sihir dengan sihir yang semisalnya (dengan bantuan dukun/tukang sihir). Inilah yang termasuk perbuatan syaitan (seperti yang disebutkan dalam hadits di atas), karena sihir itu termasuk perbuatannya, maka (ini dilakukan dengan cara) yang melakukan pengobatan (dukun/tukang sihir) dan si pasien melakukan pendekatan diri kepada syaitan sesuai dengan yang diinginkan syaitan tersebut, (agar) kemudian syaitan tersebut menghilangkan sihir dari si pasien.
  2. Yang kedua: menghilangkan sihir dengan ruqyah (pengobatan dengan membacakan ayat-ayat Al Qur-an dan zikir-zikir dari sunnah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam), ta’awwudzaat (zikir-zikir meminta perlindungan dari Allah yang bersumber dari Al Qur-an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), do’a-do’a, dan pengobatan-pengobatan (lain) yang diperbolehkan (dalam agama), maka ini (hukumnya) boleh bahkan dianjurkan (dalam Islam)”[34].
Larangan penggunaan sihir ini juga berlaku dalam perkara-perkara lain, meskipun perkara itu dianggap baik oleh sebagian orang, misalnya mendekatkan/menguatkan hubungan cinta pasutri, mendamaikan dua orang yang sedang berselisih, dan lain sebagainya.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – ketika ditanya tentang hukum menjadikan harmonis hubungan suami-istri dengan sihir, beliau menjawab: “Ini (hukumnya) diharamkan (dalam Islam) dan tidak boleh (dilakukan), ini disebut al-Athfu (mendekatkan), sedangkan sihir yang digunakan untuk memisahkan (suami-istri) disebut ash-Sharfu (memalingkan), dan ini juga diharamkan (dalam Islam). Bahkan terkadang (perbuatan) ini bisa jadi (hukumnya sampai pada) kekafiran dan syirik (menyekutukan Allah). Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ
 بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ}

…Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), maka janganlah kamu kafir.” Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepada diri mereka sendiri dan tidak memberi manfaat. Padahal sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat”(QS al-Baqarah:102)”[35].

Penutup
Demikianlah penjelasan tentang sihir dan perdukunan, dan pengaruh buruknya dalam merusak tauhid dan keimanan seorang muslim. Oleh sebab itu, wajib bagi setiap muslim yang ingin menjaga keutuhan imannya kepada Allah Ta’ala untuk menjauhi bahkan memerangi semua bentuk praktek sihir dan perdukunan, serta melarang keras dan menasehati orang lain yang masih terpengaruh dengan para dukun dan tukang sihir untuk menjauhi mereka.

Sebagai penutup, renungkanlah nasehat berharga dari firman Allah Ta’ala berikut,

{إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا، إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ}

Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh (yang nyata) bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanyalah (ingin) mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala” (QS Faathir:6).

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين.
 
Kota Kendari, 23 Jumadal tsaniyah1431 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
_________
[1] Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (2/649), lihat juga kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 406).
[2] Kitab “Fathul Qadiir” (4/77).
[3] HR Abu Dawud (no. 4252), at-Tirmidzi (no. 2219) dan Ibnu Majah (no. 3952), dinyatakan shahih oleh imam at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani.
[4] Lihat kitab “al-‘Aqiidatul Islaamiyyah” (hal. 33-34) tulisan syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.
[5] Beliau adalah Qotadah bin Di’aamah As Saduusi Al Bashri (wafat setelah tahun 110 H), imam besar dari kalangan tabi’in yang sangat terpercaya dan kuat dalam meriwayatkan hadits Rasulullah r (lihat kitab “Taqriibut tahdziib”, hal. 409).
[6] Dinukil oleh imam al-Bagawi dalam “Ma’aalimut tanziil” (6/135) dan Ibnul Jauzi dalam “Zaadul masiir (6/149).
[7] Lihat kitab “Ma’aalimut tanziil” (6/135).
[8] Dinukil oleh imam asy-Syaukani dalam tafsir beliau “Fathul Qadiir” (2/466).
[9] Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (1/680).
[10] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (1/416).
[11] Meskipun yang lebih tepat disebut “ora normal” (tidak normal).
[12] Lihat kitab “Zaadul masiir” (1/122).
[13] Kitab “al-Jaami’ liahkaamil Qur’an’ (19/28).
[14] HR Ahmad (2/429) dan al-Hakim (1/49), dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani dalam “Ash-Shahiihah” (no. 3387).
[15] Kitab “Fathul Majiid” (hal. 356).
[16] HSR al-Bukhari (no. 4424).
[17] HSR al-Bukhari (no. 5429) dan Muslim (no. 2228).
[18] Lihat kitab “Fathul Majiid” (hal. 353) dan “at-Tamhiid li syarhi kitaabit tauhiid” (hal. 318).
[19] Lihat kitab “at-Tamhiid li syarhi kitaabit tauhiid” (hal. 317) dan kitab “Hum laisu bisyai” (hal. 4).
[20] Kitab “al-Jaami’ liahkaamil Qur’an’ (7/75).
[21] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 273).
[22] Lihat kitab “Risaalatun fi hukmis sihri wal kahaanah” (hal. 5).
[23] Lihat kitab “Fathul Majiid” (hal. 354) dan “at-Tamhiid li syarhi kitaabit tauhiid” (hal. 320).
[24] Lihat kitab “Taisiirul ‘Aziizil Hamiid” (hal. 358), “at-Tamhiid li syarhi kitaabit tauhiid” (hal. 320) dan kitab “Hum laisu bisyai” (hal. 4).
[25] Lihat kitab “Syarhu shahiihi Muslim” karya imam an-Nawawi (14/227).
[26] HSR Muslim (no. 2230).
[27] Lihat kitab “Taisiirul ‘Aziizil Hamiid” (hal. 358), “at-Tamhiid li syarhi kitaabit tauhiid” (hal. 320) dan kitab “Hum laisu bisyai” (hal. 4).
[28] HR Ahmad (2/429) dan al-Hakim (1/49), dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani dalam “Ash-Shahiihah” (no. 3387).
[29] Kitab “Fathul Majiid” (hal. 356).
[30] Lihat kitab “Risaalatun fi hukmis sihri wal kahaanah” (hal. 11).
[31] Lihat kitab “Risaalatun fi hukmis sihri wal kahaanah” (hal. 11-12).
[32] HR Abu Dawud (no. 3868), Ahmad (3/294) dan al-Hakim (4/464), dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani.
[33] Lihat kitab “Risaalatun fi hukmis sihri wal kahaanah” (hal. 12) dan kitab “Hum laisu bisyai” (hal. 17).
[34] Kitab “I’laamul muwaqqi’iin” (4/396).
[35] Kitab “Majmu’u fataawa wa rasa-il syaikh Ibnu ‘Utsaimin” (2/143).