INTERNALISASI DOKTRIN DAN PEMIKIRAN ASWAJA
I.      DEFINISI DAN HISTORIS KEMUNCULAN ASWAJA
Istilah Ahlussunnah wal Jama'ah (ASWAJA), merupakan gabungan dari tiga kata, yakni Ahl, Assunnah, dan Aljamâ'ah.Secara etimologis, kata ahl (أهل) berarti golongan, kelompok atau komunitas. Etimologi kata assunah (السنّة)
 memiliki arti yang cukup variatif, yakni: wajah bagian atas, kening, 
karakter, hukum, perjalanan, jalan yang ditempuh, dll. Sedangkan kata aljamâ'ah (الجماعة) berarti perkumpulan sesuatu tiga ke atas.
Adapun terminologi Ahlussunnah wal Jama'ah, bukan merujuk kepada pengertian bahasa (lughawi) ataupun agama (syar'i), melainkan merujuk pada pengertian yang berlaku dalam kelompok tertentu (urfi). Yaitu, ASWAJA adalah kelompok yang konsisten menjalankan sunnah Nabi saw. dan mentauladani para sahabat Nabi dalam akidah (tauhîd), amaliah badâniyah (syarîah) dan akhlaq qalbiyah (tasawuf). Terminologi istilah Ahlussunnah wal Jama'ah ini
 didasarkan pada sebuah hadits yang menyatakan bahwa hanya kelompok 
inilah yang selamat dari 73 perpecahan kelompok umat nabi Muhammad saw.:
   | 
والذي
 نفس محمد بيده لتفترق أمتي   على ثلاث وسبعين فرقة, فواحدة فى الجنة 
وثنتان وسبعون فى النار, قيل: من هم يا   رسول الله ؟ قال: هم أهل السنة 
والجماعة. (رواه الطبراني) | 
   | 
Demi
   Tuhan yang jiwa Muhammad ada dalam genggamanNya, umatku akan 
bercerai-berai   ke dalam 73 Golongan. Yang satu masuk surga dan yang 72
 masuk neraka”.   Ditanyakan: ”Siapakah mereka (golongan yang masuk 
surga) itu, wahai   Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Mereka adalah 
Ahlussunnah wal Jama’ah”. (HR.   Thabrani)  | 
   | 
تفترق
 هذه الأمة على ثلاث وسبعين   فرقة الناجية منها واحدة والباقون هلكى قالوا
 ومن الناجية؟ قال أهل السنة   والجماعة قيل وما السنة والجماعة؟ قال ما 
أنا عليه اليوم وأصحابي | 
   | 
Umat
   ini nantinya juga akan terpecah menjadi 73 sekte, satu yang selamat, 
yang   lainnya dalam kerusakan. Shahabat bertanya, ”Siapa yang selamat?”
 Nabi   menjawab: ”Ahlussunah wal Jama‘ah”.   Mereka bertanya kembali: ”Siapa Ahlussunah wal Jama‘ah?”   Jawab Nabi: ”Adalah apa yang aku dan sahabatku praktekkan hari ini”. | 
Dengan pengertian terminologis demikian, ASWAJA secara riil di tengah-tengah umat Islam terbagi menjadi tiga kelompok.Pertama, Ahl Alhadits dengan sumber kajian utamanya adalah dalil sam’iyah, yakni Alqur’an, Assunnah Ijma dan Qiyas.Kedua, para ahl alkalâm atau ahl annadhar (teologi) yang mengintegrasikan intelegensi (asshinâ’ah alfikriyyah).Mereka
 adalah Asyâ'irah dengan pimpinan Abu Hasan Al'asy’ari dan Hanafiyah 
dipimpin oleh Abu Manshur Almaturidi.Sumber penalaran mereka adalah akal
 dengan tetap meletakkan dalil sam’iyyah dalam porsinya. Ketiga, Ahl Alwijdân wa Alkasyf (kaum shufiyah). Sumber inspirasi mereka adalah penalaran Ahl Alhadits dan Ahl Annadhar sebagai media penghantar yang kemudian dilanjutkan melalui pola kasyf dan ilham.[1]Ketiga kelompok inilah yang paling layak disebut ASWAJA secara hakiki.
Di Indonesia, Nahdlatul Ulama merumuskan ASWAJA dengan dua pengertian. Pertama, ASWAJA sudah ada sejak zaman Nabi, sahabat nabi, tâbi'în dan tâbi'înattâbi'în yang umumnya disebut dengan assalaf ashshalih. Pendapat ini didasarkan pada pengertian bahwa ASWAJA berarti golongan yang setia pada Assunah dan Aljamâ'ah,
 yaitu Islam yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. bersama
 para sahabatnya pada zaman Nabi masih hidup dan apa yang dipraktekkan 
para sahabat sepeninggal beliau, terutama Khulafa‘ Arrasyidin.
 Dari pengertian ini, ASWAJA dirumuskan sebagai: kelompok yang 
senantiasa konsisten dan setia mengikuti sunnah Nabi saw. dan thariqah 
atau jalan para sahabatnya dalam akidah, fiqh dan tasawuf. Kelompok ini 
terdiri dari para teolog (mutakallimîn), ahli fiqh (fuqahâ’), ahli hadits (muhaditsîn), dan ulama tasawuf (mutashawwifîn).
Kedua,
 ASWAJA adalah paham keagamaan yang muncul (dimurnikan) setelah Imam Abu
 Alhasan Al'asy'ari dan Imam Abu Manshur Almaturidi memformulasikan 
akidah Islam yang sesuai dengan Alqur'an dan Assunnah.Itu sebabnya, 
kelompok ASWAJA juga disebut sebagai penganut paham Asy'ariyah dan 
Maturidiyah. Syaikh Murtadla Azzubaidi dalam kitab Al'ittihâf Assâdah Almuttaqîn, Syarah kitab Ihyâ' Ulûmiddîn karya Imam Alghazali menyatakan: 
   | 
إذا أطلق أهل السنة والجماعة فالمراد   بهم الأشاعرة والماتردية | 
   | 
Ketika
   diucapkan secara mutlak istilah Ahlussunnah wal Jama'ah, maka yang   
dikehendaki mereka ialah kelompok penganut paham Al'asy'ari dan 
Almaturidi. | 
  
KH. Hasyim Asy’ari pada sambutan pembukaan deklarasi berdirinya Jam’iyah Nahdlatul Ulama menandaskan: “Ciri
 Ahlussunah wal Jama‘ah, adalah mereka yang di bidang tauhid mengikuti 
Imam Abu Alhasan Al'asy’ari atau Abu Mansur Almaturidi; di bidang fiqh 
mengikuti madzhab empat: Imam Abi Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i bin 
Idris atau Ahmad bin Hambal; dan di bidang tasawuf mengikuti ajaran 
Syaikh Junaid Albaghdadi dan Imam Alghazali.”
Dari terminologi ASWAJA seperti di atas, dapat dimengerti bahwa Ahlussunah wal Jama‘ah merupakan istilah yang terbangun melalui nalar ‘urfi, untuk mencirikan umat Muslim sebagai representasi dari sawâd al'a’dham
 (kelompok mayoritas) ketika kondisi perpecahan paham merajalela dan 
dirasa perlu merapatkan barisan dan menyepakati sebuah identititas, 
sebagai upaya membedakan antara yang haq dan bathil, antara mereka yang 
teguh mengikuti sunnah dan yang menyimpang dengan berbagai macam bid’ah,
 sebagaimana yang ditekankan Rasulullah saw. dalam sabdanya:
   | 
قالرسولاللهgلايجمعاللههذهالأمةعلىضلالةأبدا,قاليداللهعلىالجماعةفاتبعواسوادالأعظمفإنهمنشذشذفيالنار | 
   | 
Rasulullah
   saw. bersabda, Allah tidak akan mengumpulkan umat ini dalam kesesatan
   selamanya. Kekuatan (pertolongan) Allah berada pada kelompok, maka 
ikutilah   kelompok terbesar, karena sesungguhnya seseorang yang 
mimisahkan diri, ia   memisahkan diri ke dalam neraka.  | 
Sejarah kemunculan istilah ASWAJAsebagai sebuah namafirqah
 (sekte) Islam, sebenarnya dipengaruhi dari perpecahan dalam Islam. 
Sejak peristiwa pembunuhan khalifah Islam ketiga, Utsman bin Affan, 
sejak saat itulah episode perpecahan dalam tubuh Islam dimulai. Dari 
peristiwa ini muncul serangkaian perang antara para sahabat. Sayyidina 
Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah saat itu harus berhadapan 
perang melawan Sayyidah Aisyah, mertuanya sendiri, yang menuntut qishas
 darah Utsman bin Affan. Dalam perang yang dikenal sebagai perang Jamal 
ini, puluhan sahabat besar dan hapal Alqur’an gugur terbunuh oleh sesama
 Muslim akibat provokasi da konspirasi kaum munafiq Yahudi (Abdulah ibn 
Saba’ dkk.).Berikutnya, pecah perang Shiffin antara pasukan Ali 
berhadapan dengan pasukan Muawaiyah yang kemudian memunculkan peristiwa Tahkîm (arbitrase).Ide Tahkîm
 dari kubu Muawiyah menjelang kekalahan pasukannya yang disetujui Ali 
ini, kemudian menyulut perpecahan di antara pasukan Ali, yang dari sini 
selanjutnya melahirkan sekte Islam Syi’ah yang mendukung kebijakan Ali 
dan sekte Khawarij yang menolak kebijakannya.
Sejak kematian Ali Ibn Abi Thalib pada tahun 40 H. atau 661 M., umat Islam telah terpecah setidaknya menjadi empat kelompok.Petama, Syi’ah yang fanatik kepada Ali dan keluarganya serta membenci Muawiyah Ibn Abi Sufyan.Kedua, Khawarij yang memusuhi bahkan mengkafirkan Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Ketiga, kelompok yang mengakui kekhalifahan Muawiyah. Dan keempat,
 sejumlah sahabat antara lain Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan 
lain-lain, yang menghindarkan diri dari konflik dan menekuni bidang 
keilmuan keagamaan. Dari aktifitas mereka inilah selanjutnya lahir 
sekelompok ilmuan sahabat, yang mewariskan tradisi keilmuan kepada 
generasi berikutnya, sehingga melahirkan tokoh-tokoh mutakallimîn, muhadditsîn, fuqahâ', mufassirîn, dan mutashawwifîn.Kelompok
 ini berusaha mengakomodir semua kekuatan dan model pemikiran yang 
sederhana, sehingga mudah diterima oleh mayoritas umat Islam.
ASWAJA
 sebagai sebuah sekte Islam, eksistensinya semakin populer ketika Syaikh
 Abu Alhasan Al'asy’ari menyatakan keluar dari paham Mu'tazilah dan 
menyerang akidah paham tersebut.Sebelumnya, Abu Alhasan Al'asy’ari 
adalah seorang penganut Mu'tazilah dan menjadi murid Abu Ali Aljaba’i 
Almu'tazili, seorang tokoh Mu'tazilah yang sekaligus ayah tirinya. Dalam
 kutipan akhir perdebatan antara Abu Alhasan Al'asy’ari dengan gurunya, 
Abu Ali Aljaba’i, dalam rangka membatalkan paham Mu'tazilah, 
diceritakan: Abu Alhasan Al'asy’ari bertanya pada Abu Ali Aljaba’i: “Bagaimana
 pendapatmu tentang tiga saudara yang meninggal dunia, yang satu adalah 
orang yang taat, yang kedua adalah orang yang durhaka, dan yang ketiga 
meninggal ketika masih kecil?”
Abu Ali Aljaba’i menjawab: “yang
 taat diberi pahala dan masuk surga, yang durhaka disiksa dan masuk 
neraka, dan yang kecil berada di antara surga dan neraka (manzilah baina
 almanzilatain), tidak diberi pahala dan tidak disiksa”.
Abu Alhasan bertanya:
 “Jika yang kecil mengatakan: “Wahai Tuhanku, kenapa Engkau mencabut 
nyawaku ketika aku masih kecil? Jika Engkau biarkan aku hidup, aku akan 
taat dan masuk surga”, lalu bagaimana jawaban Allah?”.
Abu Ali Aljaba’i menjawab: “Allah
 akan menjawab: “Aku maha tahu, jika engkau hidup sampai dewasa, maka 
engkau akan durhaka sehingga masuk neraka, maka yang terbaik adalah 
engkau mati ketika masih kecil”.
Abu Alhasan bertanya lagi:
 “Jika yang mati dalam keadaan durhaka mengatakan: “Wahai Tuhanku, jika 
Engkau tahu aku akan durhaka, kenapa Engkau tidak mencabut nyawaku 
ketika aku masih kecil, sehingga Engkau tidak memasukkan aku ke dalam 
neraka?”, lalu apa yang akan dikatakan Allah?”Pada pertanyaan terakhir inilah Abu Ali Aljaba’i tak sanggup menjawab untuk membela pahamnya.
Setelah Abu Ali Aljaba’i gagal menjawab pertanyaannya, Abu Alhasan Al'asy’ari
 lalu menyatakan keluar dari paham Mu'tazilah, dan aktif menulis 
kitab-kitab untuk menolak akidah Mu'tazilah dan merumuskan akidah Ahlussunnah wal Jama'ah.
Dengan
 demikian, ASWAJA adalah aliran pemahaman keagamaan yang bercita-cita 
mengamalkan syari’at Islam secara murni, sesuai yang dikehendaki oleh 
Allah.ASWAJA meyakini wahyu bersifat 'gaib' dan disampaikan dalam 
kegaiban. Untuk itu tidak ada yang patut mengaku sebagai pengamal 
syari’at Islam secara mutlak benar kecuali Rasulullah saw., karena 
beliaulah yang menerima dan dituntun wahyu sesuai kehendak Allah. Selain
 Rasulullah, para sahabat yang selalu dekat dan memperoleh ajaran 
langsung Rasulullah adalah umat Islam yang kualitas pemahaman terhadap 
wahyu mendekati sempurna, karena mereka tahu persis bagaimana Nabi 
Muhammad memahami dan mengamalkan wahyu. Hanya dengan merujuk kepada 
akidah, amaliah dan akhlak mereka inilah suatu sekte Islam berhak 
disebut Ahlussunah wal Jama‘ah.
Apabila
 dewasa ini semua sekte Islam mengklaim diri sebagai ASWAJA, maka harus 
ditegaskan bahwa ASWAJA bukanlah klaim, melainkan paham keagamaan dengan
 bukti kesesuaian akidah, amaliah dan akhlaknya dengan akidah, amaliah 
dan akhlak Rasulullah dan yang telah disepakati para sahabat di masa Khulafa' Arrasyidin, berdasarkan hujjah dan dalil yang bisa dipertanggungjawabkan. 
II.    GARIS-GARIS BESAR DOKTRIN ASWAJA
Islam, iman dan ihsan adalah trilogi agama (addîn) yang membentuk tiga dimensi keagamaan meliputi syarî'ah sebagai realitas hukum, tharîqah sebagai jembatan menuju haqîqah
 yang merupakan puncak kebenaran esensial. Ketiganya adalah sisi tak 
terpisahkan dari keutuhan risalah yang dibawa Rasulullah saw. yang 
menghadirkan kesatuan aspek eksoterisme (lahir) dan esoterisme (batin). 
Tiga dimensi agama ini (islam, iman dan ihsan), masing-masing saling 
melengkapi satu sama lain. Keislaman seseorang tidak akan sempurna tanpa
 mengintegrasikan keimanan dan keihsanan. Ketiganya harus berjalan 
seimbang dalam perilaku dan penghayatan keagamaan umat, seperti yang 
ditegaskan dalam firman Allah:
   | 
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا   ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً  | 
   | 
Hai   orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya.   (QS. Albaqarah: 208) | 
Imam Izzuddin bin Abdissalam mengatakan, ”hakikat
 Islam adalah aktifitas badaniah (lahir) dalam menjalankan kewajiban 
agama, hakikat iman adalah aktifitas hati dalam kepasrahan, dan hakikat 
ihsan adalah aktifitas ruh dalam penyaksian (musyâhadah) kepada Allah”.[2] 
Dalam
 perkembangan selanjutnya, kecenderungan ulama dalam menekuni dimensi 
keislaman, melahirkan disiplin ilmu yang disebut fiqh.Kecenderungan 
ulama dalam menekuni dimensi keimanan, melahirkan disiplin ilmu 
tauhid.Dan kecenderungan ulama dalam dimensi keihsanan, melahirkan 
disiplin ilmu tasawuf atau akhlak.Paham ASWAJA mengakomodir secara 
integral tiga dimensi keagamaan tersebut sebagai doktrin dan ajaran 
esensialnya.Karena praktek eksoterisme keagamaan tanpa disertai 
esoterisme, merupakan kemunafikan.Begitu juga esoterisme tanpa didukung 
eksoterisme adalah klenik.Semata-mata formalitas adalah tiada guna, 
demikian juga spiritualitas belaka adalah sia-sia. Imam Malik 
mengatakan:
   | 
مَنْ
 تَصَوَّفَ وَلَمْ يَتفَقَّهْ   فَقَدْ تَزَندَقَ وَمَنْ تَفَقَّهَ وَلَمْ 
يَتَصَوَّفْ فَقَدْ تَفَسَّقَ وَمَنْ   جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ 
تَحَقَّقَ | 
   | 
Barang
   siap menjalani tasawuf tanpa fiqh, maka dia telah zindiq, barang 
siapa   memegang fiqh tanpa tasawuf, maka dia telah fasiq, dan barang 
siapa   menyatukan keduanya, maka dia telah menemukan kebenaran. | 
a.     Doktrin Keimanan
Iman adalah pembenaran (tashdîq)
 terhadap Allah, Rasul dan segala risalah yang dibawanya dari Allah. 
Dalam doktrin keimanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang 
tauhid (teologi/kalam) ini, ASWAJA berpedoman pada akidah islamiyah (ushûluddîn) yang dirumuskan oleh Abu Alhasan Al'asy'ari (260 H./874 M. – 324 H./936 M.) dan Abu Manshur Almaturidi (w. 333 H.). 
Kedua
 tokoh ASWAJA ini nyaris sepakat dalam masalah akidah islamiyah, 
meliputi sifat-sifat wajib, mustahil dan ja'iz bagi Allah, para rasul 
dan malaikatNya, kendati keduanya berbeda dalam cara dan proses 
penalaran. Kedua tokoh ini hanya berbeda dalam tiga masalah yang tidak 
berakibat fatal.Yaitu dalam masalah istitsnâ’, takwîn, dan iman dengan taqlid.
Pertama istitsna’, atau mengatakan keimanan dengan insya'Allah, seperti “Saya beriman, insya'Allah”, menurut Maturidiyah tidak diperbolehkan, karena istitsnâ
 demikian mengisyaratkan sebuah keraguan, dan keimanan batal dengan 
adanya ragu-ragu.Menurut Asyâ'irah diperbolehkan, karena maksud istisnâ’ demikian bukan didasari keraguan atas keimanan itu sendiri, melainkan keraguan tentang akhir hidupnya dengan iman atau tidak, na’ûdzu billah min dzalik.Atau, istitsnâ’ demikian maksudnya keraguan dan spekulasi terhadap kesempurnaan imannya di hadapan Allah.
Kedua sifat takwîn (mewujudkan), menurut Asyâ'irah sifat takwîn (تكوين) tidak berbeda dengan sifat Qudrah.Sedangkan menurut Maturidiyah, takwîn adalah sifat tersendiri yang berkaitan dengan sifat Qudrah.
Dan ketiga, tentang imannya orang yang taqlid (ikut-ikutan tanpa mengetahui dalilnya). Menurut Maturidi, imannya muqallid sah dan disebut arif
 serta masuk surga. Sedangkan Menurut Abu Alhasan Al'asy'ari, keimanan 
demikian tidak cukup.Sedangkan Asyâ'irah (pengikut Abu Alhasan 
Al'asy'ari) berbeda pendapat tentang imannya muqallid. Sebagian 
menyatakan mukmin tapi berdosa karena tidak mau berusaha mengetahu 
melalui dalil; sebagian mengatakan mukmin dan tidak berdosa kecuali jika
 mampu mengetahui dalil; dan sebagian yang lain mengatakan tidak 
dianggap mukmin sama sekali. 
Dari tingkatan tauhid ini, selanjutnya ada empat strata keimanan.Ada iman bittaqlîd, iman biddalîl, iman bil iyyân dan iman bil haqq. Pertama, iman bittaqlîd
 adalah keimanan melalui ungkapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya 
secara langsung. Keimanan seperti ini keabsahannya masih 
diperselisihkan. Kedua, iman biddalîl (ilmul yaqîn) ialah keyakinan terhadap aqâ'idlima puluh dengan dalil dan alasan filosofinya. Dua strata keimanan ini masih terhalang (محجوب) dalam mengetahui Allah.Ketiga, iman bil iyyân(‘ainul yaqîn) ialah keimanan yang senantiasa hatinya muraqabah kepada Allah.Artinya, dalam kondisi apapun, Allah tidak hilang dari kesadaran hatinya.Dan keempat, iman bil haqq (haqqul yaqîn) yaitu keimanan yang telah terlepas dari segala yang hadîts dan tenggelam dalam fanâ' billah.
Mempelajari ilmu tauhid, fiqh dan tasawuf, hanya akan menghasilkan iman biddalîl (ilmul yaqîn), dan jika keimanan ini senantiasa disertai kesadaran hati dan penghayatan amaliah, maka naik ke strata iman biliyyân (‘ainul yaqîn) hingga puncaknya mencapai pada iman bil haqq (haqqul yaqîn). 
Doktrin keimanan terhadap Allah, berarti tauhid atau mengEsakan Allah dalam af'âl, shifah dan dzât. Dengan demikian, tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid fi’li, yaitu fana’ dari seluruh perbuatan; tauhid washfi, yaitu fana’ dari segala sifat; dan tauhiddzati, yaitu fana’ dari segala yang maujûd.Fana’ fi’li disebut juga dengan ilmul yaqîn, fana’ washfi disebut juga dengan ‘ainul yaqîn, dan fana’ dzati juga disebut dengan haqqul yaqîn. Level tauhid demikian ini merupakan puncak prestasi dari penghayatan firman Allah:
   | 
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ | 
   | 
Padahal   Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.(QS.   Ashshafat: 96) | 
Sebagian ulama 'arif billah menyatakan:
   | 
من شهد الخلق لا فعل لهم فقد فاز ومن   شهدهم لاحياة لهم فقد جاز ومن شهدهم عين العدم فقد وصل | 
   | 
Barang
   siapa dapat menyaksikan makhluk tidak memiliki perbuatan, maka ia 
telah   beruntung, barang siapa menyaksikannya tidak hidup, maka itu 
diperbolehkan,   dan barang siapa menyaksikannya praktis tiada, maka ia 
telah wushul.   | 
Konsep tauhid ASWAJA mengenai af'âl
 (perbuatan) Allah, berada di tengah antara paham Jabariyah di satu 
pihak dan Qadariyah dan Mu'tazilah di pihak lain. Ketika Jabariyah 
menyatakan paham peniadaan kebebasan dan kuasa manusia atas segala 
kehendak dan perbuatannya secara mutlak, sementara Qadariyah dan 
Mu’tazilah menyatakan makhluk memiliki kebebasan dan kuasa mutlak atas 
kehendak dan perbuatannya, maka lahirlah ASWAJA sebagai sekte moderat di
 antara dua paham ektrim tersebut.ASWAJA meyakini bahwa makhluk memiliki
 kebebasan kehendak (ikhtiyar) namun tidak memiliki kuasa (qudrah) perbuatan selain sebatas kasb (upaya).Dalam keyakinan ASWAJA, secara dhahir manusia adalah 'kuasa' (memiliki qudrah), namun secara batin, manusia adalah majbûr (tidak memiliki qudrah apapun).
Dalam
 doktrin keimanan ASWAJA, keimanan seseorang tidak dianggap hilang dan 
menjadi kafir, dengan melakukan kemaksiatan. Seseorang yang melakukan 
maksiat ataupun bid'ah, sementara hatinya masih teguh meyakini dua 
kalimat syahadat, maka ASWAJA tidak akan menvonis sebagai kafir, 
melainkan sebagai orang yang sesat (dhalâl) dan durhaka.[3]ASWAJA sangat berhati-hati dan tidak gampang dalam sikap takfîr
 (mengkafirkan). Karena memvonis kafir seseorang yang sejatinya mukmin 
akan menjadi bumerang bagi diri sendiri. Rasulullah saw. bersabda: 
   | 
إِذَاقَالَالرَّجُلُلأَخِيهِيَاكَافِرُفَقَدْبَاءَبِهِأَحَدُهُمَا | 
   | 
Ketika seseorang   berkata kepada saudaranya: ”wahai seorang yang kafir”, maka salah satunya   benar-benar telah kafir. (HR. Bukhari) | 
Keimanan
 seseorang akan hilang dan menjadi kafir (murtad) apabila menafikan 
wujud Allah, mengandung unsur syirik yang tidak dapat dita’wil, 
mengingkari kenabian, mengingkari hal-hal yang lumrah diketahui dalam 
agama (ma'lûm bi adldlarûri), dan mengingkari hal-hal mutawâtir atau mujma’ ‘alaih
 yang telah lumrah diketahui. Tindakan yang menyebabkan seseorang 
dikategorikan kafir bisa meliputi ucapan, perbuatan atau keyakinan, yang
 mengandung unsur-unsur di atas ketika telah terbukti (tahaqquq) dan tidak bisa dita’wil.
b.    Doktrin Keislaman
Doktrin keislaman, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang fiqh yang meliputi hukum-hukum legal-formal (ubudiyah, mu'amalah, munakahah, jinayah, siyasah dan lain-lain), ASWAJA berpedoman pada salah satu dari empat madzhab fiqh: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah. 
Ada
 alasan mendasar mengenai pembatasan ASWAJA hanya kepada empat madzhab 
ini.Di samping alasan otentisitas madzhab yang terpercaya melalui 
konsep-konsep madzhab yang terkodifikasi secara rapi dan sistematis, 
metodologi pola pikir dari empat madzhab ini relatif tawâzun (berimbang) dalam mensinergikan antara dalil aql (rasio-logis) dan dalil naql
 (teks-teks keagamaan).Empat madzhab ini yang dinilai paling moderat 
dibanding madzhab Dawud Adhdhahiri yang cenderung tekstualis dan Madzhab
 Mu'tazilah yang cenderung rasionalis.
Jalan tengah (tawâsuth)
 yang ditempuh ASWAJA di antara dua kutub ekstrim, yaitu antara 
rasioalis dengan tekstualis ini, karena jalan tengah atau moderat 
diyakini sebagai jalan paling selamat di antara yang selamat, jalan 
terbaik diantara yang baik, sebagaimana yang ditegaskan Nabi saw. dalam 
sabdanya:
   | 
خَيْرُالأُمُورِأَوْسَاطُهَا | 
   | 
Sebaik-baiknya perkara   adalah tengahnya. | 
Dengan
 prinsip inilah ASWAJA mengakui bahwa empat madzhab yang memadukan dalil
 Alqur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas (analogi), diakuinya mengandung 
kemungkinan lebih besar berada di jalur kebenaran dan keselamatan.Hal 
ini juga dapat berarti bahwa kebenaran yang diikuti dan diyakini oleh 
ASWAJA hanya bersifat kemungkinan dan bukan kemutlakan.Dalam arti, 
mungkin benar dan bukan mutlak benar. Empat dalil (Alqur'an, Hadits, 
Ijma' dan Qiyas) ini dirumuskan dari ayat:
   | 
يَاأَيُّهَا
 الَّذِينَ ءَامَنُوا   أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي 
الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ   تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى 
اللهِ وَالرَّسُولِ. | 
   | 
Hai
   orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), 
dan ulil   amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat 
tentang sesuatu,   maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan 
Rasul (sunnahnya) (QS.   Annisa': 59) | 
Dalam ayat ini secara implisit ditegaskan, bahwa ada empat dalil yang bisa dijadikan tendensi penggalian (istinbâth)
 hukum, yaitu Alqur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas. Perintah taat kepada 
Allah dan utusanNya, berarti perintah berpegang pada Alqur'an dan 
Hadits, perintah taat kepada ulil amri berarti perintah berpegang pada Ijma' (konsensus) umat (mujtahidîn), dan perintah mengembalikan perselisihan kepada Allah dan RasulNya berarti perintah berpegang pada Qiyas sepanjang tidak ada nash dan ijma'. Sebab, Qiyas hakikatnya mengembalikan sesuatu yang berbeda pada hukum Allah dan utusanNya.
Disamping
 itu, ASWAJA juga melegalkan taqlid, bahkan mewajibkannya bagi umat yang
 tidak memiliki kapasitas dan kualifikasi keilmuan yang memungkinkan 
melakukan ijtihad.Taqlid hanya haram bagi umat yang benar-benar memiliki
 kapasitas dan piranti ijtihad sebagaimana yang dikaji dalam kitab Ushul
 Fiqh.Dengan demikian, ASWAJA tidak pernah menyatakan pintu ijtihad 
tertutup.Pintu ijtihad selamanya terbuka, hanya saja umat Islam yang 
agaknya dewasa ini 'enggan' memasukinya. Mewajibkan ijtihad kepada umat 
yang tidak memiliki kapasitas ijtihad, sama saja memaksakan susuatu di 
luar batas kemampuannya. Maka kepada umat seperti inilah taqlid dipahami
 sebagai kewajiban oleh ASWAJA berdasarkan firman Allah:
   | 
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ   كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ | 
   | 
Maka   bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak   mengetahui. (QS. Annahl: 43) | 
c.      Doktrin Keihsanan
Tasawuf
 adalah sebuah manhaj spiritual yang bisa dilewati bukan melalui 
teori-teori ilmiah semata melainkan dengan mengintegrasikan antara ilmu 
dan amal, dengan jalan melepaskan (takhallî) baju kenistaan (akhlaq madzmûmah) dan mengenakan (tahallî) jubah keagungan (akhlaq mahmûdah), sehingga Allah hadir (tajallî) dalam setiap gerak-gerik dan perilakunya, dan inilah manifestasi konkret dari ihsan dalam sabda Rasulullah saw.:
   | 
الْإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ   كأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ | 
   | 
Ihsan   adalah engkau menyembah Allah seolah engkau melihatNya, dan jika engkau tidak   melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu. | 
Doktrin
 keihsanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang tasawuf atau
 akhlaq ini, ASWAJA berpedoman pada konsep tasawuf akhlaqi atau amali,
 yang dirumuskan oleh Imam Aljunaid Albaghdadi dan Alghazali. Limitasi 
(pembatasan) hanya kepada kedua tokoh ini, tidak berarti manafikan 
tokoh-tokoh tasawuf falsafi dari kelompok ASWAJA, seperti Ibn Al'arabi, 
Alhallaj dan tokoh-tokoh sufi 'kontroversial' lainnya. 
Dari
 uraian di atas, dapat dimengerti bahwa kelompok yang masuk kategori 
ASWAJA meliputi ahli tauhid (kalam), ahli fiqh (syariat), ahli tasawuf 
(akhlak) dan bahkan ahli hadits (muhadditsîn).Dari 
kelompok-kelompok ini masing-masing memiliki konsep metodologis dan tema
 kajian sendiri-sendiri yang tidak bisa diuraikan di makalah ringkas 
ini.
III.             METODOLOGI PEMIKIRAN (MANHAJ ALFIKR) ASWAJA
Jika
 kita mencermati doktrin-doktrin paham ASWAJA, baik dalam akidah (iman),
 syariat (islam) ataupun akhlak (ihsan), maka bisa kita dapati sebuah 
metodologi pemikiran (manhaj alfkr) yang tengah dan moderat (tawassuth), berimbang atau harmoni (tawâzun), netral atau adil (ta'âdul), dan toleran (tasâmuh). Metodologi pemikiran ASWAJA senantiasa menghidari sikap-sikap tatharruf (ekstrim), baik ekstrim kanan atau ekstrim kiri.
Inilah
 yang menjadi esensi identitas untuk mencirikan paham ASWAJA dengan 
sekte-sekte Islam lainnya.Dan dari prinsip metodologi pemikiran seperti 
inilah ASWAJA membangun keimanan, pemikiran, sikap, perilaku dan 
gerakan.
a.    Tawasuth (Moderat)
Tawassuth
 ialah sebuah sikap tengah atau moderat yang tidak cenderung ke kanan 
atau ke kiri.Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pemikiran moderat 
ini sangat urgen menjadi semangat dalam mengakomodir beragam kepentingan
 dan perselisihan, lalu berikhtiar mencari solusi yang paling ashlah (terbaik). Sikap ini didasarkan pada firman Allah:
   | 
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً   وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ   شَهِيدًا | 
   | 
Dan
   demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang 
adil dan   pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan 
agar Rasul   (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS.   Albaqarah: 143)   | 
b.   Tawâzun (Berimbang)
Tawâzun
 ialah sikap berimbang dan harmonis dalam mengintegrasikan dan 
mensinergikan dalil-dalil (pijakan hukum) atau pertimbangan-pertimbangan
 untuk mencetuskan sebuah keputusan dan kebijakan.Dalam konteks 
pemikiran dan amaliah keagamaan, prinsip tawâzun menghindari sikap ekstrim (tatharruf)
 yang serba kanan sehingga melahirkan fundamentalisme, dan menghindari 
sikap ekstrim yang serba kiri yang melahirkan liberalisme dalam 
pengamalan ajaran agama. Sikap tawâzun ini didasarkan pada firman Allah:
   | 
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا   بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ   النَّاسُ بِالْقِسْطِ | 
   | 
Sesungguhnya
   Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang 
nyata   dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca 
(keadilan) supaya   manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS. Alhadid: 25) | 
c.     Ta'âdul (Netral dan Adil)
Ta'âdul
 ialah sikap adil dan netral dalam melihat, menimbang, menyikapi dan 
menyelesaikan segala permasalahan. Adil tidak selamanya berarti sama 
atau setara (tamâtsul). Adil adalah sikap proporsional 
berdasarkan hak dan kewajiban masing-masing. Kalaupun keadilan menuntut 
adanya kesamaan atau kesetaraan, hal itu hanya berlaku ketika realitas 
individu benar-benar sama dan setara secara persis dalam segala 
sifat-sifatnya. Apabila dalam realitasnya terjadi tafâdlul (keunggulan), maka keadilan menuntut perbedaan dan pengutamaan (tafdlîl).Penyetaraan antara dua hal yang jelas tafâdlul, adalah tindakan aniaya yangbertentangan dengan asas keadilan itu sendiri. Sikap ta'âdul ini berdasrkan firman Allah:
   | 
يَاأَيُّهَا
 الَّذِينَ ءَامَنُوا   كُونُوا قَوَّامِينَ لِلهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ 
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ   قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا
 هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى | 
   | 
Hai
   orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
   menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan 
janganlah   sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong 
kamu untuk berlaku   tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih 
dekat kepada takwa.(QS.   Alma'idah: 9) | 
d.   tasâmuh (toleran)
Tasâmuh
 ialah sikap toleran yang bersedia menghargai terhadap segala kenyataan 
perbedaan dan keanekaragaman, baik dalam pemikiran, keyakinan, sosial 
kemasyarakatan, suku, bangsa, agama, tradisi-budaya dan lain 
sebagainya.Toleransi dalam konteks agama dan keyakinan bukan berarti 
kompromi akidah. Bukan berarti mengakui kebenaran keyakinan dan 
kepercayaan orang lain. Toleransi agama juga bukan berarti mengakui 
kesesatan dan kebatilan sebagai sesuatu yang haq dan benar.Yang salah 
dan sesat tetap harus diyakini sebagai kesalahan dan kesesatan.Dan yang 
haq dan benar harus tetap diyakini sebagai kebenaran yang haq.Dalam 
kaitannya dengan toleransi agama, Allah swt.berfirman:
   | 
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ | 
   | 
Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS.   Alkafirun: 6) | 
   | 
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ   دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ | 
   | 
Barangsiapa
   mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan 
diterima   (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk 
orang-orang yang rugi. (QS.   Ali Imran: 85) | 
Toleransi
 dalam konteks tradisi-budaya bangsa, ialah sikap permisif yang bersedia
 menghargai tradisi dan budaya yang telah menjadi nilai normatif 
masyarakat. Dalam pandangan ASWAJA, tradisi-budaya yang secara 
substansial tidak bertentangan dengan syariat, maka Islam akan 
menerimanya bahkan mengakulturasikannya dengan nilai-nilai keislaman. 
Dengan demikian, tasâmuh
 (toleransi), berati sebuah sikap untuk menciptakan keharmonisan 
kehidupan sebagai sesama umat manusia.Sebuah sikap untuk membangun 
kerukunan antar sesama makhluk Allah di muka bumi, dan untuk menciptakan
 peradaban manusia yang madani.Dari sikap tasâmuh inilah selanjutnya ASWAJA merumuskan konsep persaudaraan (ukhuwwah) universal.Meliputi ukhuwwah islamiyyah (persaudaan keislaman), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaaan) dan ukhuwwah basyariyyah atau insâniyyah
 (persaudaraan kemanusiaan). Persaudaraan universal untuk menciptakan 
keharmonisan kehidupan di muka bumi ini, merupakan implementasi dari 
firman Allah swt.:
   | 
يَاأَيُّهَا
 النَّاسُ إِنَّا   خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ 
شُعُوبًا وَقَبَائِلَ   لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ 
أَتْقَاكُمْ | 
   | 
Hai
   manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki 
dan   seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan 
bersuku-suku   supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang 
yang paling mulia di antara   kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
 bertakwa di antara kamu. (QS.   Alhujurat; 13)  | 
   | 
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ   إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً | 
   | 
Ingatlah   ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya   Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi“. (QS.   Albaqarah: 30) | 
IV.            ESENSI KHILAFAH DALAM PANDANGAN ASWAJA
Dalam
 pandangan ASWAJA, esensi dan hakikat dari sebuah pemerintahan atau 
negara (khilafah), adalah sebagai salah satu diantara instrumen (wasâ'il) untuk usaha terwujudnya aplikasi syariat secara totalitas (kâffah) dalam kehidupan umat melalui kewajiban menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, yang menjadi cita-cita dan tujuan akhirnya (maqâshid). Karena kedudukannya yang dipandang sebagai wasîlah untuk maqâshid berupa tugas amar ma'ruf nahi munkar,
 maka pemerintahan atau negara tidak harus terikat dengan bentuk, sistem
 ataupun dasar idiologi negara tertentu. Apapun sistem, bentuk ataupun 
dasar idiologi yang diberlakukan, sepanjang tidak bertentangan dengan 
ajaran Islam, dan tidak menjadi rintangan dalam tugas dakwah islamiyah, 
serta tidak menghalangi umat Islam dalam menjalankan praktek 
keagamaannya, maka tidak ada kewajiban untuk melakukan kudeta atau 
merubahnya. Merubah bentuk, sistem atau dasar idiologi negara, hanya 
wajib dilakukan —sesuai batas kemampuan— jika nyata-nyata bertentangan 
dengan syariat.
Pendirian
 Khilafah Islamiyah bagi ASWAJA (baca: Nahdlatul Ulama) dalam konteks 
keIndonesiaan, bukanlah cita-cita urgen, sebab eksistensinya hanyalah 
sebagai wasîlah. Ada cita-cita (maqâshid) yang jauh lebih penting dan esensial dari sekedar membentuk instrumen perjuangan, yaitu menegakkan amar ma'ruf nahi munkar di tengah kehidupan masyarakat, dan tugas maqâshid ini bisa dilangsungkan tidak harus melalui pendirian Khilafah Islamiyah.
Pandangan
 seperti inilah yang mendasari sikap ASWAJA (baca: NU) yang tidak ambisi
 dan bercita-cita mendirikan Khilafah Islamiyah di Indonesia. Karena 
khilafah bukanlah satu-satunya instrumen yang bisa ditempuh untuk 
menegakkan syariat dalam kehidupan umat.Bahkan selama ini, setiap usaha 
merubah bentuk dan dasar hukum negara, nyata-nyata lebih banyak 
memunculkan ekses negatif yang justru merugikan kaum Muslimin 
sendiri.Gerak perjuangan ASWAJA (NU) dalam konteks Indonesia, bukan 
semangat perjuangan mendirikan Khilafah Islamiyah, melainkan semangat 
perjuangan menegakkan syariat dalam perilaku keseharian umat. Dengan 
kata lain, perjuangan ASWAJA (NU) tidak dikonsentrasikan pada 
pembentukan sebuah wadah syariat secara formal, berupa bentuk khilafah 
atau sistem negara Islam, melainkan lebih dikonsentrasikan pada 
perjuangan aplikasi syariat dalam perilaku umat sehingga menjadi ruh dan
 substansi perilaku kehidupan masyarakat. Perilaku umat yang 
berlandaskan syariat jauh lebih penting dan lebih baik dibanding sekedar
 formalitas bentuk dan sistem negara islami.
Hal
 ini logis, sebab jika kita jujur membaca fakta sejarah khilafah dalam 
Islam, sebenarnya yang layak dilabeli dengan 'islamiyah' (baca: 
demokratis), hanyalah khilafah era Khulafa' Arrasyidin saja. Khilafah pasca Khulafa' Arrasyidin,
 secara umum telah kehilangan label ke-islamiyah-annya, bahkan identik 
dengan sistem kekaisaran Romawi dan Persi.Dari sejarah ini pula bisa 
kita tegaskan bahwa sistem pemerintahan demokrasi sebenarnya tidak bisa 
diklaim sebagai produk kafir, sebab khilafah era Khulafa' Arrasyidin adalah pemerintahan paling demokratis dari sistem demokrasi manapun.
Disamping
 itu, misi pendirian kembali Khilafah Islamiyah yang diusung oleh 
sebagian sekte dan gerakan Islam dalam konteks Indonesia dewasa ini, 
faktanya tidak murni hanya mengusung misi mendirikan negara Islam saja, 
melainkan juga mengusung paham dan idiologi aliran mereka, seperti 
idiologi Wahabi, Syi'ah atau lainnya. Mereka tidak akan mendirikan 
Khilafah Islamiyah kecuali paham dan idiologi mereka juga menjadi paham 
dan idiologi resmi pemerintah. Artinya, ketika khilafah berhasil 
didirikan, bukan mustahil mereka memberhangus kelompok ASWAJA yang 
bertentangan dengan paham mereka, seperti sejarah kekejaman Pemerintahan
 Arab Saudi dengan paham Wahhabinya.
Inilah
 yang menjadi alasan fundamental kenapa ASWAJA (NU) menentang setiap 
gerakan dan sekte yang mengusung Khilafah Islamiyah di Indonesia dan 
merongrong NKRI yang beridiolgi Pancasila. Dengan kenyakinan bahwa sila 
pertama yang mencerminkan tauhid Islam telah menjiwai sila-sila lain 
dalam Pancasila, dan mempertimbangkan kenyataan rakyat bangsa Indonesia 
yang plural dalam ras, suku dan agama, serta mempertimbangkan resiko 
ancaman integritas bangsa, maka ASWAJA (NU) menyatakan: bahwa NKRI dan 
Pancasila sebagai idiologinya, adalah final dari segala upaya membentuk 
negara di Indonesia. Sikap seperti ini bukan berarti ASWAJA (NU) anti 
khilafah, melainkan lebih demi mempertahankan eksistensi idiologi ASWAJA
 dan menghindarkan kekacauan umum (chaos) yang harus diprioritaskan dari sekedar mencapai kemaslahatan (mendirikan khilafah), sesuai kaidah fiqh:
   | 
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى   جَلْبِ الْمَصَالِحِ | 
   | 
Menghindari kekacauan   lebih diprioritaskan dari mengupayakan kemaslahatan | 
Apabila
 sejauh ini dikenal tiga model hubungan agama-negara, yaitu hubungan 
intergasi (agama dan negara adalah satu kesatuan); hubungan sekuler 
(pemisahan peran agama dalam pemerintahan); dan hubungan simbiosis 
(agama-negara terpisah namun saling membutuhkan dan mengisi secara 
timbal-balik), maka model ketiga inilah yang menjadi pilihan ASWAJA 
dalam memandang hubungan agama dan negara.Agama tidak harus diformalkan 
sebagai sebuah sistem dan bentuk suatu negara, namun agama juga tidak 
boleh diceraikan dari intervensi peran politik.
Pandangan
 politik ASWAJA seperti ini, tidak bisa dipertentangkan dengan muatan 
surat Alma'idah ayat 44, 45 dan 47, yang memvonis kafir, dhalim dan 
fasiq bagi orang yang tidak memberlakukan hukum-hukum yang diturunkan 
Allah. Vonis kafir, dhalim dan fasiq dalam tiga ayat tersebut meski 
berlaku bagi umat Islam atau ahli alkitab (non Muslam), namun bila dilakukan orang mukmin, menurut Thawus: “kekafiran itu tidak mengeluarkannya dari agama“.Dan menurut Atha'; “kekafiran di bawah kekafiran, kedhaliman di bawah kedhaliman, dan kefasikan di bawah kefasikan".
 Sedangkan dalam riwayat lain menurut Ibn Abbas, penguasa Muslim yang 
tidak memberlakukan hukum sesuai apa yang diturunkan Allah dipilah 
menjadi dua. Ibn Abbas mengatakan: “Orang yang mengingkari apa yang 
diturunkan Allah, maka dia adalah kafir, dan orang yang membenarkannya 
namun tidak menerapkannya, maka dia dhalim atau fasiq”. 
Dari
 sini bisa dipahami bahwa, apabila tidak memberlakukan hukum-hukum yang 
diturunkan Allah lantaran ketidaksanggupan, atau karena justeru akan 
menimbulkan bahaya dan kerusakan (mafâsid), seperti ancaman 
disintegrasi bangsa, tekanan internasional dll., maka vonis kafir, 
dhalim dan fasiq tidak bisa dijatuhkan kepada umat Islam.
CATATAN
Syaikh Abi Al-Fadlal, Syarh Alkawâkib Allamâ’ah hlm. 24-25 
 Alfiqh Alwâdlih min Alkitab wa Assunnah, hlm. 2 
 Yusuf bin Ismail Annabhani, Syawahid Alhaqq, hlm. 19