Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan : Muda dalam Usia, Diakui dalam Reputasi
Kemampuannya sebagai dai bukan hanya karena dia adalah cucu Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, “Singa Podium” dan pejuang dakwah di Betawi tahun 1906-1969. Tapi juga karena sedari kecil dia memang telah tertempa dalam lingkungan pendidikan yang sarat religius.
Wajah dai yang satu ini tentu sudah banyak dikenal kalangan habaib dan muhibbin yang ada di Indonesia. Usianya masih relatif muda, 31 tahun, namun reputasinya sebagai ulama dan muballig sudah diakui kaum muslimin. Tidak saja di Jakarta, tapi juga di banyak majelis haul dan Maulid yang digelar di berbagai tempat – seperti Gresik, Surabaya, Solo, Pekalongan, Tegal, Semarang, Bandung, Palembang, Pontianak dan Kalimantan. Hampir semua daerah di negeri ini sudah dirambahnya.
Kemampuannya sebagai dai bukan hanya karena dia adalah cucu Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, “Singa Podium” dan pejuang dakwah di Betawi tahun 1906-1969. Tapi juga karena sedari kecil dia memang telah tertempa dalam lingkungan pendidikan yang sarat religius.
Wajah dai yang satu ini tentu sudah banyak dikenal kalangan habaib dan muhibbin yang ada di Indonesia. Usianya masih relatif muda, 31 tahun, namun reputasinya sebagai ulama dan muballig sudah diakui kaum muslimin. Tidak saja di Jakarta, tapi juga di banyak majelis haul dan Maulid yang digelar di berbagai tempat – seperti Gresik, Surabaya, Solo, Pekalongan, Tegal, Semarang, Bandung, Palembang, Pontianak dan Kalimantan. Hampir semua daerah di negeri ini sudah dirambahnya.
Kemampuannya sebagai dai bukan hanya karena dia adalah cucu Habib 
Salim bin Ahmad bin Jindan, “Singa Podium” dan pejuang dakwah di Betawi 
tahun 1906-1969. Tapi juga karena sedari kecil dia memang telah tertempa
 dalam lingkungan pendidikan yang sarat religius. 
Wajah ulama muda yang shalih ini tampak bersih. Tutur katanya halus, 
dengan gaya berceramahnya yang enak didengar dan mengalir penuh untaian 
kalam salaf serta kata-kata mutiara yang menyejukkan para pendengarnya. 
Seperti kebanyakan habib, dia pun memelihara jenggot, dibiarkannya 
terjurai.
Habib Jindan, putra Habib Novel bin Salim bin Jindan Bin Syekh 
Abubakar, adalah salah seorang ulama yang terkenal di Jakarta. Ia juga 
dikenal sebagai penerjemah bahasa Arab ke bahasa Indonesia yang andal. 
“Ketika dia menerjemahkan taushiyah gurunya, Habib Umar bin Hafidz, 
makna dan substansinya hampir sama persis dengan bahasa aslinya. Bahkan 
waktunya pun hampir sama dengan waktu yang digunakan oleh Habib Umar,” 
tutur Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf di Jakarta.
Berkah Ulama dan Habaib
Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan lahir di Sukabumi, pada hari 
Rabu 10 Muharram 1398 atau 21 Desember 1977. Sejak kecil ia selalu 
berada di lingkungan majelis ta’lim, yang sarat dengan pendidikan 
ilmu-ilmu agama. “Waktu kecil saya sering diajak ke berbagai majelis 
ta’lim di Jakarta oleh abah saya, Habib Novel bin Salim bin Jindan. Dari
 situ saya mendapat banyak manfaat, antara lain berkah dari beberapa 
ulama dan habaib yang termasyhur,” kenang bapak lima anak (empat putra, 
satu putri) ini kepada alKisah. Ayahandanya memang dikenal sebagai 
muballigh yang termasyhur. Pengalaman masa kecil itu pula yang 
mendorongnya selalu memperdalam ilmu agama. 
Ketika ia berumur dua tahun, keluarganya tinggal di Pasar Minggu, 
bersebelahan dengan rumah keluarga Habib Salim bin Toha Al-Haddad. Pada 
umur lima tahun, ia dititipkan untuk tinggal di rumah Habib Muhammad bin
 Husein Ba’bud dan putranya, Habib Ali bin Muhammad bin Husein Ba’abud, 
di Kompleks Pondok Pesantren Darun Nasyi’ien (Lawang, Malang). “Di 
Lawang, sehari-hari saya tidur di kamar Habib Muhammad Ba’bud. Selama di
 sana, dibilang mengaji, tidak juga. Namun berkah dari tempat itu selama
 setahun saya tinggal, masih terasa sampai sekarang,” ujarnya dengan 
senyum khasnya.
Menginjak umur enam tahun, ia ikut orangtuanya pindah ke Senen 
Bungur. Ia mengawali belajar di SD Islam Meranti, Kalibaru Timur 
(Bungur, Jakarta Pusat). Ia juga belajar diniyah pada sebuah madrasah 
yang diasuh oleh Ustadzah Nur Baiti. 
Kemudian dia melanjutkan ke tingkat tsanawiyah di Madrasah Jami’atul 
Kheir, Jakarta, hingga tingkat aliyah, tapi tidak tamat. Selama di 
Jami’at Kheir, banyak guru yang mendidiknya, seperti Habib Rizieq 
Shihab, Habib Ali bin Ahmad Assegaf, K.H. Sabillar Rosyad, K.H. 
Fachrurazi Ibrahim, Ustadz Syaikhon Al-Gadri, Ustadz Fuad bin Syaikhon 
Al-Gadri, dan lain-lain.
Sejak muda, sepulang sekolah ia selalu belajar pada habaib dan ulama 
di Jakarta, seperti di Madrasah Tsaqafah Islamiyah, yang diasuh Habib 
Abdurrahman bin Ahmad Assegaf dan putranya, Ustadz  Abu Bakar Assegaf. 
Habib Jindan juga pernah belajar bahasa Arab di Kwitang (Senen, Jakarta 
Pusat) di tempat Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi, dengan ustadz-ustadz 
setempat.
Selain itu pada sorenya ia sering mengikuti rauhah yang digelar oleh 
Majelis Ta’lim Habib Muhammad Al-Habsyi. Di majelis itu, banyak habib 
dan ulama yang menyampaikan pelajaran-pelajaran agama, seperti Habib 
Abdullah Syami’ Alattas, Habib Muhammad Al-Habsyi, Ustadz Hadi Assegaf, 
Habib Muhammad Mulachela, Ustadz Hadi Jawwas, dan lain-lain.
Beruntung, karena sering berada di lingkungan Kwitang, ia banyak 
berjumpa para ulama dari mancanegara, seperti Sayid Muhammad bin Alwi 
Al-Maliki, Habib Ja’far Al-Mukhdor, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf,
 dan masih banyak lainnya.
Pada setiap Ahad pagi, ia hadir di Kwitang bersama abahnya, Habib 
Novel, yang juga selalu didaulat berceramah. Sekitar 1993, ia bertemu 
pertama kali dengan Habib Umar Hafidz di Majlis Ta’lim Habib Ali bin 
Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang) saat pengajian Ahad pagi. Pertemuan 
kedua terjadi saat Habib Umar bin Salim Al-Hafidz berkunjung ke Jami’at 
Kheir. Saat itu yang mengantar rombongan Habib Umar adalah Habib Umar 
Mulachela dan Ustadz Hadi Assegaf.
Uniknya, satu-satunya kelas yang dimasuki Habib Umar adalah kelasnya,
 padahal di Jami’at Kheir saat itu ada belasan kelas. Begitu masuk 
kelas, Ustadz Hadi Assegaf dari depan kelas memperkenalkannya dengan 
Habib Umar bin Salim Al-Hafidz. Saat itu, Ustadz Hadi menunjuknya sambil
 mengatakan kepada Habib Umar bahwa dirinya juga bermarga Bin Syekh Abu 
Bakar bin Salim, sama klannya dengan Habib Umar bin Salim Al-Hafidz. 
Saat itulah Habib Umar tersenyum sambil memandang Habib Jindan. 
Itulah perkenalan pertama Habib Jindan dengan Habib Umar Al-Hafidz di 
ruang kelasnya, yang masih terkenang sampai sekarang.
Sejak saat itu hatinya tergerak untuk belajar ke Hadhramaut. Pernah 
suatu ketika ia akan berangkat ke Hadhramaut, tapi sayang sang pembawa, 
Habib Bagir bin Muhammad bin Salim Alattas (Kebon Nanas), meninggal. 
Pernah juga ia akan berangkat dengan salah satu saudaranya, tapi 
saudaranya itu sakit. Hingga akhirnya tiba-tiba Habib Abdul Qadir 
Al-Haddad (Al-Hawi, Condet) datang ke rumahnya mengabarkan bahwa Habib 
Umar bin Hafidz menerimanya sebagai santri.
Sumber Inspirasi
Lalu ia berangkat bersama rombongan pertama dari Indonesia yang 
jumlahnya 30 orang santri. Di antaranya Habib Munzir bin Fuad 
Al-Musawwa, Habib Qureisy Baharun, Habib Shodiq bin Hasan Baharun, Habib
 Abdullah bin Hasan Al-Haddad, Habib Jafar bin Bagir Alattas, dan 
lain-lain. Ia kemudian belajar agama kepada Habib Umar bin Hafidz di 
Tarim, Hadhramaut. “Ketika itu Habib Umar belum mendirikan Pesantren 
Darul Musthafa. Yang ada hanya Ribath Tarim. Kami tinggal di rumah Habib
 Umar,” tuturnya.
Baru dua minggu di Hadhramaut, pecah perang saudara di Yaman. Memang,
 situasi perang tidak terasa di lingkungan pondok. Ada perang atau 
tidak, Habib Umar tetap mengajar murid-muridnya. Namun dampak perang 
saudara ini dirasakan seluruh penduduk Yaman. Listrik mati, gas minim, 
bahan makanan langka. “Terpaksa kami masak dengan kayu bakar,” katanya.
Baginya, Habib Umar bin Hafidz bukan sekadar guru, tapi juga sumber 
inspirasi. “Saya sangat mengagumi semangatnya dalam berdakwah dan 
mengajar. Dalam situasi apa pun, beliau selalu menekankan pentingnya 
berdakwah dan mengajar. Bahkan dalam situasi perang pun, tetap mengajar.
 Beliau memang tak kenal lelah.”
Saat itu Darul Musthafa belum mantap seperti sekarang, situasinya 
serba terbatas. Walaupun begitu, sangat mengesankan baginya. Dahulu para
 santri tinggal di sebuah kontrakan yang sederhana di belakang kediaman 
Habib Umar. Sedangkan pelajaran ta’lim, selain diasuh sendiri oleh Habib
 Umar, para santri juga belajar di berbagai majelis ta’lim yang biasa 
digelar di Tarim, seperti di Rubath Tarim, Baitul Faqih, Madrasah Syeikh
 Ali, mengaji kitab Bukhari di Masjid Ba’alwi, ta’lim di Zawiyah Habib 
Abdullah bin Alwi Al-Haddad (Al-Hawi, Hadhramaut), belajar kitab Ihya di
 Zanbal di Gubah Habib Abdullah bin Abubakar Alaydrus, Zawiyah Mufti 
Tarim, diasuh Syaikh Fadhal bin Abdurrahman Bafadhal, dan lain-lain.
Selama mengaji dengan Habib Umar, ia sangat terkesan. “Beliau dalam 
mengajar tidak pernah marah. Saya tidak pernah mendengar beliau mengomel
 atau memaki-maki kami. Kalau ada yang salah, ditegurnya baik-baik dan 
dikasih tahu. Selain itu, Habib Umar juga terkenal sangat istiqamah 
dalam hal apa pun.”
Habib Jindan mengaku sangat beruntung bisa belajar dengan seorang 
alim dan orator ulung seperti Habib Umar. Memang Habib Umar mendidik 
santri-santrinya bisa berdakwah. Para santri mendapat pendidikan khusus 
untuk memberikan taushiyah dalam bahasa Arab tiap sehabis shalat Subuh, 
masing-masing dua orang, walaupun hanya sekitar lima sampai sepuluh 
menit. Latihan kultum itu juga menjadi ajang saling memberikan masukan 
antarsantri. 
Setelah satu tahun menjadi santri, ada program dakwah tiga hari 
sampai seminggu bagi yang mau dakwah berkeliling. Bahkan dirinya sudah 
mengajar untuk santri-santri senior pada akhir-akhir masa pendidikan.
Setelah selama kurang lebih empat tahun, tahun 1998, ia pulang ke 
Indonsia bersama rombongan Habib Umar yang mengantar sekaligus 
santri-santri asal Indoensia dan berkunjung ke rumah beberapa muridnya. 
Angkatan pertama ini hampir seluruhnya dari Indonesia, hanya dua-tiga 
orang yang santri setempat. Untuk itulah, ia pulang seminggu terlebih 
dahulu, untuk mempersiapkan acara dan program kunjungan Habib Umar di 
Indonesia.
Saat pertama kali pulang, ia, oleh sang abah, diperintahkan untuk 
berziarah ke para habib sepuh yang ada di Jakarta, Bogor, dan 
sekitarnya. Ayahandanya, Habib Novel, Habib Hadi bin Ahmad Assegaf, dan 
Habib Anis Al-Habsyi mendorongnya untuk berdakwah. 
Masukan, didikan, dan motivasi sang abah ia rasakan hingga sekarang. 
“Ikhlaslah dalam berdakwah. Apa yang keluar dari hati akan sampai ke 
hati,” kata Habib Jindan menirukan abahnya. Habib Novel (alm.) memang 
dikenal sebagai orator ulung sebagaimana abahnya, Habib Salim bin 
Jindan. Wajarlah bila Habib Novel ingin putra-putranya menjadi dai-dai 
yang tangguh. 
“Kalau ceramah, jangan terlalu panjang. Selagi orang sedang asyik, 
kamu berhenti. Jangan kalau orang sudah bosan, baru berhenti, nanti 
banyak audiens kapok mendengarnya. Lihat situasi dan keadaannya, 
sesuaikan dengan materi ceramahnya dan waktu ceramahnya. Lihat, kalau di
 situ ada beberapa penceramah, kamu harus batasi waktu berceramah dan 
bagi-bagi waktunya dengan yang lain.” Sampai masalah akhlaq dan sopan 
santun, semua orang diajarkan. AST

 
