Selamat Datang di Blog Resmi **Majlisarrahman.blogspot.com ** Majelis Dzikir Ratibul Al-Habib Abdullah Bin Alwi Al-Haddad wa Maulidun Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam (Dzikrullah wa Dzikrurrosul SAW) Jakarta - Indonesia. Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Kami**

 photo oji_zpsb336d6d8.gif
Selamat Datang di Blog Resmi **Majlisarrahman.blogspot.com ** TUNJUKKAN KEPERDULIAN DAN BAKTI KITA PADA PEMBENAHAN ISLAM DENGAN TURUT MENYUMBANGKAN HARTA KITA SEBAGAI SAKSI, BANTUAN KITA ADALAH CERMIN KADAR IMAN KITA, RASULULLAH SAW BERSABDA : SETIAP HARI TURUN DUA MALAIKAT MULIA KE BUMI DAN BERDOA, WAHAI ALLAH BERI ORANG YANG BERINFAQ KESEJAHTERAAN, DAN BERI ORANG YANG KIKIR KEHANCURAN ( shahih Bukhari ). Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Kami**

Selasa, 24 April 2012

Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah Dan Salafiyyah

Kang As'ad
Disampaikan Dalam Kegiatan Ta’aruf Santri Baru Ma’had Aly al-Munawwir Krapyak Yogyakarta
 Oleh: As’ad Syamsul Arifin

 A.    PENDAHULAN
 Hampir seluruh golongan yang ada dalam Islam, baik yang ada dan berkembang saat ini maupun yang dulu pernah ada dan saat ini perkembangannya sudah tidak begitu terlihat lagi, semuanya mengaku dan mengidentifikasi dirinya sebagai golongan seperti yang tersurat dalam salah satu riwayat yang bersumber dari nabi dan disebut sebagai “Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah” (selanjutnya akan disebut ASWAJA-red).
Tidak aneh apabila setiap golongan mengklaim diri sebagai ASWAJA. Hal ini disebabkan karena hanya ASWAJA-lah yang oleh Nabi shalallahu’alaihi wasallam diisyaratkan sebagai golongan yang selamat (Firqah an-Najiyyah) dan berdiri di atas kebenaran, setelah Islam yang masih menurut peringatan dari Nabi akan terpecah menjadi 73 golongan.
B.     PENJELASAN TETANG ASWAJA
Istilah ASWAJA, merupakan gabungan dari tiga kata, yakni Ahl, as-Sunnah, dan al-Jamā’ah. Secara etimologis, kata ahl (أهل) berarti golongan, kelompok atau komunitas. Etimologi kata as-Sunnah (السنّة) memiliki arti yang cukup variatif, yakni: wajah bagian atas, kening, karakter, hukum, perjalanan, jalan yang ditempuh, dan lain-lain. Sedangkan kata al-Jamā’ah (الجماعة) berarti perkumpulan sesuatu tiga ke atas.
As-Sunnah sendiri menurut istilah Ulama’ adalah ucapan, perbuatan, dan penetapan yang dilakukan oleh Nabi shalallahu’alaihi wasallam. Barang siapa yang mengamalkan dari tiga elemen yang bersumber dari Nabi tersebut walaupun sekali dalam umurnya, menurut Ulama’ sudah masuk dalam kategori ASWAJA. Maksud yang lebih jelas dari pernyataan ini adalah, barang siapa yang mengimani seluruh apa yang datang dari Nabi shalallahu’alaihi wasallam maka orang tersebut sudah masuk dalam kategori ASWAJA, meskipun dalam tataran pelaksanaan dan konsistensi atas apa yang bersumber dari Nabi tersebut antar orang per-orang berbeda satu dengan yang lainnya.
Adapun terminologi ASWAJA, bukan merujuk kepada pengertian bahasa (lughawi) ataupun agama (syar’i), melainkan merujuk pada pengertian yang berlaku dalam kelompok tertentu (urfi). Yaitu, ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah adalah kelompok yang konsisten menjalankan sunnah Nabi saw. dan menteladani para sahabat Nabi dalam akidah (tauhid), amaliah badāniyah (syariah) dan akhlaq qalbiyah (tasawuf). Terminologi istilah ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah ini didasarkan pada sebuah hadits yang menyatakan bahwa hanya kelompok inilah yang selamat dari 73 perpecahan kelompok umat Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam (1).
Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam mensifati ASWAJA sebagai golongan yang selamat karena mereka adalah golongan terbesar dari ummat ini. Sifat ini cocok dengan golongan Asya’irah, Maturidiyyah, dan Ashab al-Hadits yang mana mereka adalah golongan terbesar yang ada (2). Kenapa jumlah besar yang menjadi ukuran selamat dan tidak selamat?, hal ini tidak lain adalah dari hasil pemahaman yang bersumber dari hadits yang cukup terkenal, yaitu:
لاتجتمع أمتي على الضلالة (3)
Juga dalam satu riwayat lain yang isinya hampir sama, Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam memerintahkan pada umatnya untuk selalu mengikuti golongan terbesar (As-Sawad al-A’dzam), hadits tersebut yaitu:
قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم لا يجمع الله هذه الأمة على ضلالة أبدا, قال يد الله على الجماعة فاتبعوا سواد الأعظم فإنه من شذ شذ في النار (4)
Sulthan al-Ulama’ al-Imam Tajuddin As-Subki menyatakan suatu pernyataan yang termaktub dalam kitab Ittikhaf as-Sadah al-Muttaqin bahwa golongan yang termasuk dalam kategori ASWAJA adalah golongan yang menyepakati satu keyakinan yang sama, meski mereka berbeda dalam latar belakang, metode, dan sebab yang menyampaikan mereka pada satu keyakinan yang sama tersebut. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Imam as-Subki, golongan yang termasuk sebagai ASWAJA di antaranya adalah: (5)
1.      Ahl al-Hadits, yang menjadi dasar pijakan dari keyakinan mereka adalah al-Adillah as-Sam’iyyah, yaitu: al-Qur’an, as-Sunnah, dan al-Ijma’.
2.      Ahl al-Kalam atau ahl an-Nadzr yang mengintegarasikan intelegensi (ash-Shina’ah al-Fikriyyah). Mereka adalah Asya’irah yang dipimpin oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (Basrah 260-324 H) dan Maturidiyyah yang dipimpin oleh Imam Abu Manshur al-Maturidi (Uzbekistan 250-333 H).
3.      Ahl al-Wijdan wa al-Kasyf, mereka adalah ahl ash-Shufiyyah, dasar pijakan yang ditempuh oleh mereka adalah sama dengan yang ditempuh oleh ahl an-Nadzr dan ahl al-Hadits pada permulaannya sebagai penghantar yang kemudian dilanjutkan melalui kasyf dan ilham.
Dalam suatu hadits Nabi shalallahu’alaihi wasallam menjelaskan bahwa umat beliau akan bercerai-berai menjadi 73 golongan. Yang satu masuk surga dan yang 72 masuk neraka. Kemudian salah satu sahabat ada yang bertanya: “Siapakah mereka (golongan yang masuk surga) itu, wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Mereka adalah ahl as-Sunnah wal Jamā’ah”.
Kemudian dalam hadits tersebut, kata ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah juga sudah disebutkan oleh Rasulullah dan beliau juga menyebut golongan ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah tersebut dengan sebutanal-Firqah an-Najiah. Hadits tersebut adalah;
تفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة الناجية منها واحدة والباقون هلكى قالوا ومن الناجية؟ قال أهل السنة والجماعة قيل وما السنة والجماعة؟ قال ما أنا عليه اليوم وأصحابي  (6)
Para Ulama’ menjelaskan jika kata ASWAJA di mutlakkan maka yang dimaksud dari kata  tersebut adalah Asya’irah dan Maturidiyyah, hal ini disebabkan karena kedua golongan tersebutlah yang paling dominan di hampir seluruh dunia Islam. Syaikh Muhammad Murtadla az-Zabidi berkata dalam kitab Ittikhaf Sadah al-Muttaqin:
“Apabila disebut nama Ahl as-Sunnah secara umum, maka maksudnya adalah al-Asya’irah (para pengikut faham Abu al-Hasan al-Asy’ari) dan al-Maturidiyyah (para pengikut faham Abu Manshur al-Maturidi)”. (7)
Syaikh Ali ash-Sha’di dalam kitab  Hasyiah al-Adwi menjelaskan:
“Dan Ahl al-Haqq (orang-orang yang berjalan di atas kebenaran) adalah gambaran tentang Ahl as-Sunnah Asya’irah dan Maturidiyyah, atau maksudnya mereka adalah orang-orang yang berada di atas sunnah Rasulullah Shalallahu’alihi wasallam, maka mencakup orang-orang yang hidup sebelum munculnya dua orang syaikh tersebut, yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi”. (8)
C.     ASWAJA ADALAH ASYA’IRAH
Ajaran Imam Abu hasan Al-Asy’ary yang hari ini banyak diikuti dan dianut oleh sebagian besar masyarakat muslim Indonesia khususnya warga NU dan juga tersebar di hampir sebagian besar dunia Islam yang pengikutnya dikenal dengan sebutan Asya’irah merupakan salah satu golongan yang mengeklaim dirinya sebagai golongan yang seperti disampaikan oleh Nabi shalallahu’alaiwasallam yaitu ASWAJA.
Hal ini tentu bukan merupakan klaim kosong yang tanpa alasan. Salah satu alasan utama yang mendasari klaim tersebut adalah seperti apa yang telah disampaikan oleh Nabi bahwa golongan yang selamat adalah golongan umat Islam yang terbesar seperti yang telah disebutkan dalam keterangan di atas (as-Sawad al-A’dzam). Juga dengan alasan bahwa ajaran yang dibawa oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ary yang kemudian dikenal dengan Asy’ariyyah bukan merupakan ajaran yang benar-benar baru atau hasil kreativitas beliau sendiri, tetapi  beliau hanya sekedar merekonstruksi ajaran atau pemikiran aqaid yang dulu pada masa sebelum beliau sudah ada (As-Salaf ash-Shalih). (9)
Jika disederhanakan dari uraian di atas maka akan bisa dikerucutkan pada satu pemahaman bahwa ASWAJA adalah orang-orang yang mengikuti apa yang telah diajarkan serta dianut oleh para As-Salaf ash-Shalih yang mana mereka adalah orang-orang yang selalu berpegang teguh pada Al-Qur’an serta Atsar yang diriwayatkan dari Nabi shalallahu’alaihi wasallam juga sahabatnya radliayallahu’anhum (ما انا عليه اليوم و أصحابي). Dan jika uraian ini diringkas kembali, maka yang disebut dengan ASWAJA adalah Asya’irah (hampir semua pengikut Madzahib al-Arba’ah), Maturidiyyah (yang diikuti oleh sebagian dari Hanafiyyah), Ashab al-Hadist (yang diikuti oleh sebagian Hanabilah), serta Ahl al-Kasyf wa al-Wijdan (para shufi). (10)
Salah seoarang Ulama’ al-Azhar yang cukup terkenal yaitu Syaikh Dr. Yusuf Qardlawi ketika ditanya tentang aqidah yang dianut oleh Al-Azhar asy-Syarif beliau menjawab:
“Saya telah melihat bahwa orang yang mengatakan demikian adalah orang yang mengkritik tentang Asy’ariyah”, kemudian beliau berkata: “al-Azhar bukan satu-satunya yang berpaham Asy’ariyyah. Umat Islamiyah adalah Asy’ariyyah, al-Azhar adalah Asy’ariyyah, az-Zaituniyyah adalah Asy’ariyyah, ad-Deobandi (di India) adalah Asy’ariyyah, Nadwah al-‘Ulama adalah Asy’ariy, madrasah-madrasah di Pakistan adalah Asy’ariyyah, hingga seluruh dunia Islam (mayoritas) adalah Asy’ariyyah”.
Beliau juga mengisyaratkan bahwa Asy’ariyyah juga terdapat di negeri Saudi yang dianggap sebagai markas salafiyah al-Wahabiyah, beliau berkata: “Salafiyah (Wahabi) hanya segelitir saja (minoritas), hingga apabila kita katakan Saudi, maka bukan seluruh Saud adalah Salafy (Wahabi). Penduduk Hijaz (Asy’ariyyah) selain Najed, (penduduk Nejd) pun yang bukan bagian timur, (yang bagian timur) pun bukan seperti di wilayah Jizan, begitulah seterusnya”. (11)
D.    SALAFIYYAH
Kata Salafi adalah sebuah bentuk penisbatan kepada as-SalafKata as-Salaf sendiri secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita. Adapun makna as-Salafsecara terminologis yang dimaksud di sini adalah generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah saw dalam haditsnya:
خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم  (12)
Berdasarkan hadits ini, maka yang dimaksud dengan as-Salaf adalah para sahabat Nabi saw, kemudian tabi’in, lalu atba’ al-tabi’inKarena itu, ketiga kurun ini kemudian dikenal juga dengan sebutan al-Qurun al-Mufadhdhalah (kurun-kurun yang mendapatkan keutamaan).Sebagian ulama kemudian menambahkan label as-Shalih (menjadi as-Salaf ash-Shalih) untuk memberikan karakter pembeda dengan pendahulu kita yang lain.Sehingga seorang salafi berarti seorang yang mengaku mengikuti jalan para sahabat Nabi saw, tabi’in dan atba’ al-tabi’in dalam seluruh sisi ajaran dan pemahaman mereka.
Dikalangan para Ulama’ memang terjadi perbedaan pendapat tentang siapa sebenarnya yang dimaksud dengan as-Salaf ash-Shalih. Syaikh Ibrahim al-Baijury dalam kitab Jauharah at-Tauhid menyebutkan dua pendapat tentang yang dimaksud dengan as-Salaf, diantaranya adalah; mereka yang hidup pada sebelum 500 tahun hijriyyah  pendapat kedua menyatakan as-Salaf adalah orang-orang yang hidup pada tiga kurun, yaitu; Sahabat, Tabi’in, dan atba’ at-Tabi’iin. (13)
Dalam kitab Syarhnya terhadap kitab Shahih Muslim, Imam an-Nawawi juga menyebutkan macam-macam pendapat tetang siapa itu salaf, tetapi dari berbagai pendapat yang ada menurut beliau yang shahih adalah pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan as-Salaf adalah orang-orang yang hidup dimasa Nabi, kemudian Tabi’iin, lalu atba’ at-Tabi’in. (14)
E.     MEREKA YANG MENGAKU-AKU SALAF
Aliran yang akhir-akhir ini banyak menjadi sorotan oleh masyarakat muslim baik di Indonesia atau bahkan seluruh masyarakat muslim di dunia adalah aliran yang disebut dengan Wahhābi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya tindakan-tindakan yang mereka lakukan dan dinilai sangat meresahkan oleh sebagian besar masyarakat muslim. Bahkan dalam suatu pertemuan ulama’-ulama’ besar dunia yang diadakan oleh Universitas  Islam yang cukup terkenal di dunia yaitu Universitas al-Azhar asy-Syārif, juga menghasilkan kesimpulan bahwa aliran Wahhābi sangat meresahkan masyarakat dunia Islam. (15)
Menurut satu riwayat, Muhammad ibnu Abdul Wahhāb ini dilahirkan di perkampungan `Uyainah dibagian selatan kota Nejed (Saudi Arabia) sekitar tahun 1115 H atau menurut Ensiklopedi Oxford menyebutkan hidupnya antara tahun 1703-1791 M. (16)
Pengikut akidah yang dianut Muhammad bin Abdul Wahhāb ini dikenal sekarang dengan nama golongan Wahhābi atau dikenal juga dengan Salafi. Nama Wahhābi atau al-Wahhābiyyah kelihatan dihubungkan kepada nama pendirinya yaitu Muhammad `Abd al-Wahhāb an-Najdi. Ia tidak dinamakan golongan atau madzhab al-Muhammadiyyah tidak lain bertujuan untuk membedakan di antara para pengikut Nabi Muhammad saw dengan pengikut madzhab mereka, dan juga bertujuan untuk menghalangi segala bentuk eksploitasi (istighlal). (17)
Penganut Wahhābi sendiri menolak untuk dijuluki sebagai penganut madzhab Wahhābi dan mereka menggelarkan diri mereka sebagai golongan al-Muwahhidun (unitarians) atau madzhab Salaf ash-Shāleh atau Salafi (pengikut kaum Salaf) karena mereka menurut pendapatnya  ingin mengembalikan ajaran-ajaran tauhid ke dalam Islam dan kehidupan murni menurut sunnah Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam. (18)
Golongan Wahhābi atau Salafi ini berpegang dengan akidah atau keyakinan Muhammad Ibnu Abdul Wahhāb sebagai penerus atau mendaur ulang keyakinan Ibnu Taimiyyah yang sebenarnya setelah sepeninggal Ibnu Taimiyyah (wafat tahun 728 H), sudah tidak popular lagi kemudian dihidupkan kembali oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahhāb. Golongan ini juga sering menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi saw secara tekstual (apa adanya kalimat) dan literal (makna yang sebenarnya) atau harfiah  dan meniadakan arti majazi atau kiasan. Oleh karenanya mereka sering menjasmanikan(tajsim) dan menyerupakan (tasybih) Allah SWT secara hakiki atau sesungguhnya kepada makhluk-Nya Na’udzubillah. (19)
Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi atau kiasan, yang mana kata-kata Allah SWT harus diartikan sesuai dengannya. Banyak ulama-ulama pakar yang mengeritik dan menolak akidah mengenai tajsim atau penjasmanian dan tasybih atau penyerupaan Allah SWT terhadap makhluk-Nya, dan hal ini sangat bertentangan dengan firman Allah SWT sebagai berikut;
ليس كمثله شيء وهو السميع البصير(20)
Juga ayat-ayat lain seperti surat al-An’am (6) : 103 “Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya”, dalam surat ash-Shaffat (37) : 159 “Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan”,  dan ayat yang lain.
Contoh tasybih dan tajsim yang dilakukan oleh golongan Wahhābi adalah:
1.      Mereka meyakini bahwa Allah Ta’ala bersemayam atau duduk di Arsy. (21)
2.      Meyakini Allah Ta’ala berjisim. (22)
3.      Bahwa Kalam Allah Ta’ala adalah dengan suara dan tulisan. (23)
4.      Allah Ta’ala bertempat dan memiliki arah. (24)
5.      Allah Ta’ala bergerak. (25)
Inilah contoh-contoh tajsim dan tasybih yang dilakukan oleh golongan yang mengaku Salafiyyah atau lebih dikenal oleh yang diluar mereka dengan Wahhabiyyah, keyakinan tersebut muncul disebabkan oleh pemberlakuan ayat-ayat dan hadits mutasyabihat sesuai dengan makna dzohirnya, dan meyakini itulah makna hakekatnya. Keyakinan mereka seperti ini sangat berbeda sekali dengan apa yang yakini oleh Ulama’ ASWAJA baik yang Salaf maupun Khalaf.
Dalam menyikapi ayat-ayat ataupun hadist yang secara dzohirnya mengarah kepada penjisiman dan tasybih, Ulama ASWAJA memilik dua metode dalam penyikapannya. Metode tersebut adalah Tafwidl dan Ta’wil.
Hal ini juga disebutkan oleh Syaikh Ibrahim al-Laqqani dalam Kitab Jauharah at-tauhid dalam nadzamnya:
وكل نص أوهم التشبيها**أوله أوفوض ورم تنزيها  (26)
Setiap nash yang menimbulkan persangkaan penyerupaan**Maka ta’wilkan atau tafwidlkan dan tinggalkanlah dengan cara mensucikan (tanzih).
Metode Tafwidl dalam menyikapi ayat-ayat dan hadits Mutasyabihat adalah  dengan menyerahkan maknanya pada Allah Ta’ala dan disertai dengan membersihkan keyakinan terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan ke-Agungan Allah Ta’ala. Metode Tafwidl ini adalah metode yang banyak ditempuh oleh Ulama’ salaf dalam   menyikapi ayat-ayat dan hadits Mutasyabihat. Sedangkan metode Ta’wil adalah  dengan membelokkan Nash yang dzohir maknanya mustahil bagi Allah Ta’ala ke makna yang sesuai dengan keagungan Allah Ta’ala dan ini adalah metode yang ditempuh oleh Ulama Khalaf. (27)
Imam As-Subki rahimahullah berkata dalam kitab Thobaqot Asy-Syafi’iyyah al-Kubra:
Pernyataan tentang pemberlakuan apa adanya disertai dengan I’tiqad Tanzih (penyucian dalam hati) itu adalah pernyataan yang dinisbahkan kepada Salaf, tetapi termasuk Musibah dan balak yang besar adalah memaknai (ayat mutasyabihat) dengan sesuai dzohirnya dan meyakini itulah pengertiannya (makna dari ayat mutasyabihat). Sungguh makna dzohir tersebut adalah mustahil atas Dzat Pencipta, pernyataan itu (sesuai dzohirnya) adalah pernyataan kaum Mujassimah penyembah berhala, yang dihatinya ada kecondongan pada kesesatan dengan mengikuti ayat mutasyabihat dan mengharapkan fitnah, semoga laknat Allah menimpa mereka satu demi satu. Apa yang mereka berlakukan adalah bersandar pada kebohongan dan sempitnya pemahaman atas hakekat.  (28)
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah dalam Fath al-Bary Syarh Shahih Bukhary menyatakan:
Barangsiapa yang memberlakukan ayat-ayat mutasyabihat sesuai dengan dzohirnya, maka akan mengarah pada penjisiman. Dan barangsiapa yang tidak mengerti terhadap ayat-ayat mutasyabihat dan mengetahui bahwasanya Allah Suci dari makna dzohirnya (ayat2 mutasyabihat), adakalanya orang tersebut tertipu dengan riwayat yang dia nukil dan adakalanya karena dia suka mentakwilnya (dengan tanpa ilmu). (29)
Imam asy-Syahrastani rahimahullah dalam kitab al-Milal wa an-Nihal menyatakan:
Kemudian golongan yang datang kemudian menambahi atas apa yang telah disampaikan oleh Ulama salaf (tetang tafwidl), mereka mengatakan: “ayat-ayat mutasyabihat harus diberlakukan atas makna dzohirnya”. Maka dengan sebab penambahan tersebut, mereka telah terperosok pada tasybih (penyerupaan), dan hal itulah yang telah menyelisihi pemahaman Ulama’ Salaf. (30)
F.      PENUTUP
Alhamdulillah tulisan singkat ini sudah selesai, semoga ada manfaat dan sedikit banyak bisa memberikan tambahan wacana bagi kita semua tentang apa yang seharusnya kita ketahui. Dan akhirnya kami secara pribadi mengajak, mari kita kuatkan keyakinan kita yang berdasarkan Aqidah Ahl As-Sunnah wa al-Jama’ah agar tidak mudah terombang-ambingkan faham-faham yang tidak benar.
Wallahu A’lam Bisshowab.
Yogyakarta, 18-Juni-2011.
DAFTAR PUSTAKA:
1.      As-Salafiyyah al-Mu’ashirah Ila al-Aina, hlm 33
2.      Ahl As-Sunnah al-Asya’irah Syahadah al-Ulama’ al-Ummah wa Adillatuhum, hlm 80-81
3.      Al-Imam al-Hafidz as-Sakhawi setelah menjelaskan tentang macam-macam jalur dan sanad dari hadits ini beliau berkata: “kesimpulannya adalah, hadits ini adalah hadits yang masyhur matannya, sanadnya banyak, dan memiliki syawahid yang bermacam-macam baik yang marfu’ maupun selainnya”. Al-Maqashid al-Hasanah nomor 1288.
4.      Imam al-Hakim, Mustadrak ‘ala Sahihain Li al-Hakim ma’a Ta’liqat az-Zahabi Fi at-Talkhis, (al-Maktabah asy-Syāmilah), I: 199 hadits nomor 391, “Kitab al-‘Ilm.” Hadits ini dari Abu al-Husain bin Muhammad bin Ahamad bin Tamim al-Asham dari Ja’far bin Muhammad bin Syakir dari Khalid bin Yazid al-Qarni dari al-Mu’tamar bin Sulaiman dari bapaknya dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar . Imam az-Zahabi menyatakan, “jika Khalid bin Yazid memang hafal dengan hadits ini, maka kami menghukumi hadits ini sebagai shahih.”
5.      Ahl As-Sunnah al-Asya’irah Syahadah al-Ulama’ al-Ummah wa Adillatuhum, hlm 81.
6.      Imam ath-Thabrani, Mu’jam ash-Shaghir at-Thabrani, (al-Maktabah asy-Syāmilah), II: 29, hadits nomor 724, “Man Ismuhu ‘Isa.” Hadits dari ‘Isa bin Muhammad as-Simsar al-Wasithi dari Wahhab bin Baqiyyah dari Sufyan al-Madani dari Sa’id al-Anshari dari Anas bin Malik.”
7.      Ittikhaf Sadah al-Muttaqin, Muhammad Murtadla Az-Zabidi, juz 2 hlm 6.
8.      Ali Ash-Sha’idi Al-’Adwi, Hasyiyah Al-’Adwi, juz-1 hal-105.
9.      Pengantar yang ditulis Dr. Hasan Hithu dalam kitab Ahl As-Sunnah Asya’irah Syahadatu Ulama’ al-Ummah  wa Adillatuhum karya Hammad Sinnan dan Fauzi al-Anjari.
10.  Lihat , Ahl As-Sunnah Asya’irah Syahadatu Ulama’ al-Ummah  wa Adillatuhum, hlm 80.
11.  http://www.qaradawi.net/site/topics/article.asp?cu_no=2&item_no=6914&version=1&template_id=116&parent_id=114
12.  Hadits riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahihnya nomor  2533.
13.  Jauharah at-Tauhid, Syaikh Ibrahim bin Muhammad al-Baijury, hlm 91.
14.  Syarh an-Nawawi ‘ala al-Muslim, asy-Syaikh Yahya bin Syaraf  Abu Zakariya an-Nawawi, dalam syarah beliau terhadap hadits nomor 2532.
15.  “Al-wahhābiyah Khatr ‘ala al-Islam wa al-‘Alam”, http://www.nokhbah.net/vb/showthread.php?t=5976, akses tanggal 13 Januari 2011.
16.  Jhon L. Espostio, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern II, (Bandung, Mizan, 2001), hlm 237.
17.  Siapa Golongan Salafy/Wahhābi dan Bagaimana Fahamnya?, http://salafytobat.wordpress.com/2008/11/02/bab-2-siapakah-golonan-salafiwahabi-dan-bagaimana-fahamnya/, akses tanggal 20 Januari 2011.
18.  Nur Khalik Ridwan, Doktrin Wahhābi Dan Benih-Benih Radikalisme Islam, (Yogyakarta, penerbit Tanah Air, 2009), hlm 3.
19.  Shihabudin, INILAH AHLI SUNNAH WAL JAMA’AH (Kumpulan Dialog Membela Faham Aswaja Dari Faham Wahhābi Salafy), (Yogyakarta, Assalafiyyah Press, 2010), hlm 16.
20.  Asy-Syuura (42) : 11.
21.  Fath al-Majid, Abd ar-Rahman bin Hasan bin Muhammad bin Abd al-Wahhab, cetakan Dar as-Salam Riyadl, hlm 356.
22.  Tanbihat ‘ala Man Taawwala ash-Shifat, Ibnu Baz, terbitan Riassah Ammah Lil Ifta’ Riyadl, hlm 19.
23.  Fatawa Aqidah karya Utsaimin hlm 72 dan Nazarat wa Ta’aqubat ‘ala fi Kitab as-Salafiyyah karya shalih Fauzan al-Fauzan hlm 23
24.  Pedoman Wanita Muslimah(terjemahan), karya Marfat binti Kamil bin Abdullah Usrah, hlm 7.
25.  Syarah at-Thahawi, Ibnu Abi al-Izz, hlm 286, cet th 1988.
26.  Jauharah at-Tauhid, hlm 91.
27.  Jauharah at-Tauhid, hlm 91.
28.  Imam Tajuddin as-Subki, Thobaqot Asy-Syafi’iyyah al-Kubra juz 5 hlm 191-192.
29.  Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari juz 13 hlm 432.
30.  Imam Asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal hlm 92.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar