Disampaikan Dalam Kegiatan Ta’aruf Santri Baru Ma’had Aly al-Munawwir Krapyak Yogyakarta
Oleh: As’ad Syamsul Arifin
A. PENDAHULAN
Hampir seluruh golongan yang ada dalam
Islam, baik yang ada dan berkembang saat ini maupun yang dulu pernah ada
dan saat ini perkembangannya sudah tidak begitu terlihat lagi, semuanya
mengaku dan mengidentifikasi dirinya sebagai golongan seperti yang
tersurat dalam salah satu riwayat yang bersumber dari nabi dan disebut
sebagai “Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah” (selanjutnya akan disebut
ASWAJA-red).
Tidak aneh apabila setiap golongan
mengklaim diri sebagai ASWAJA. Hal ini disebabkan karena hanya
ASWAJA-lah yang oleh Nabi shalallahu’alaihi wasallam diisyaratkan
sebagai golongan yang selamat (Firqah an-Najiyyah) dan berdiri di atas
kebenaran, setelah Islam yang masih menurut peringatan dari Nabi akan
terpecah menjadi 73 golongan.
B. PENJELASAN TETANG ASWAJA
Istilah ASWAJA, merupakan gabungan dari
tiga kata, yakni Ahl, as-Sunnah, dan al-Jamā’ah. Secara etimologis, kata
ahl (أهل) berarti golongan, kelompok atau komunitas. Etimologi kata
as-Sunnah (السنّة) memiliki arti yang cukup variatif, yakni: wajah
bagian atas, kening, karakter, hukum, perjalanan, jalan yang ditempuh,
dan lain-lain. Sedangkan kata al-Jamā’ah (الجماعة) berarti perkumpulan
sesuatu tiga ke atas.
As-Sunnah sendiri menurut istilah Ulama’
adalah ucapan, perbuatan, dan penetapan yang dilakukan oleh Nabi
shalallahu’alaihi wasallam. Barang siapa yang mengamalkan dari tiga
elemen yang bersumber dari Nabi tersebut walaupun sekali dalam umurnya,
menurut Ulama’ sudah masuk dalam kategori ASWAJA. Maksud yang lebih
jelas dari pernyataan ini adalah, barang siapa yang mengimani seluruh
apa yang datang dari Nabi shalallahu’alaihi wasallam maka orang tersebut
sudah masuk dalam kategori ASWAJA, meskipun dalam tataran pelaksanaan
dan konsistensi atas apa yang bersumber dari Nabi tersebut antar orang
per-orang berbeda satu dengan yang lainnya.
Adapun terminologi ASWAJA, bukan merujuk
kepada pengertian bahasa (lughawi) ataupun agama (syar’i), melainkan
merujuk pada pengertian yang berlaku dalam kelompok tertentu (urfi).
Yaitu, ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah adalah kelompok yang konsisten
menjalankan sunnah Nabi saw. dan menteladani para sahabat Nabi dalam
akidah (tauhid), amaliah badāniyah (syariah) dan akhlaq qalbiyah
(tasawuf). Terminologi istilah ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah ini
didasarkan pada sebuah hadits yang menyatakan bahwa hanya kelompok
inilah yang selamat dari 73 perpecahan kelompok umat Nabi Muhammad
shalallahu’alaihi wasallam (1).
Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam
mensifati ASWAJA sebagai golongan yang selamat karena mereka adalah
golongan terbesar dari ummat ini. Sifat ini cocok dengan golongan
Asya’irah, Maturidiyyah, dan Ashab al-Hadits yang mana mereka adalah
golongan terbesar yang ada (2). Kenapa jumlah besar yang menjadi ukuran
selamat dan tidak selamat?, hal ini tidak lain adalah dari hasil
pemahaman yang bersumber dari hadits yang cukup terkenal, yaitu:
لاتجتمع أمتي على الضلالة (3)
Juga dalam satu riwayat lain yang isinya
hampir sama, Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam memerintahkan pada
umatnya untuk selalu mengikuti golongan terbesar (As-Sawad al-A’dzam),
hadits tersebut yaitu:
قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم لا
يجمع الله هذه الأمة على ضلالة أبدا, قال يد الله على الجماعة فاتبعوا سواد
الأعظم فإنه من شذ شذ في النار (4)
Sulthan al-Ulama’ al-Imam Tajuddin As-Subki menyatakan suatu pernyataan yang termaktub dalam kitab Ittikhaf as-Sadah al-Muttaqin bahwa
golongan yang termasuk dalam kategori ASWAJA adalah golongan yang
menyepakati satu keyakinan yang sama, meski mereka berbeda dalam latar
belakang, metode, dan sebab yang menyampaikan mereka pada satu keyakinan
yang sama tersebut. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Imam
as-Subki, golongan yang termasuk sebagai ASWAJA di antaranya adalah: (5)
1. Ahl al-Hadits, yang menjadi dasar
pijakan dari keyakinan mereka adalah al-Adillah as-Sam’iyyah, yaitu:
al-Qur’an, as-Sunnah, dan al-Ijma’.
2. Ahl al-Kalam atau ahl an-Nadzr
yang mengintegarasikan intelegensi (ash-Shina’ah al-Fikriyyah). Mereka
adalah Asya’irah yang dipimpin oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (Basrah
260-324 H) dan Maturidiyyah yang dipimpin oleh Imam Abu Manshur
al-Maturidi (Uzbekistan 250-333 H).
3. Ahl al-Wijdan wa al-Kasyf, mereka
adalah ahl ash-Shufiyyah, dasar pijakan yang ditempuh oleh mereka
adalah sama dengan yang ditempuh oleh ahl an-Nadzr dan ahl al-Hadits
pada permulaannya sebagai penghantar yang kemudian dilanjutkan melalui
kasyf dan ilham.
Dalam suatu hadits Nabi shalallahu’alaihi
wasallam menjelaskan bahwa umat beliau akan bercerai-berai menjadi 73
golongan. Yang satu masuk surga dan yang 72 masuk neraka. Kemudian salah
satu sahabat ada yang bertanya: “Siapakah mereka (golongan yang masuk
surga) itu, wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Mereka adalah ahl
as-Sunnah wal Jamā’ah”.
Kemudian dalam hadits tersebut, kata ahl
as-Sunnah wa al-Jamā’ah juga sudah disebutkan oleh Rasulullah dan beliau
juga menyebut golongan ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah tersebut dengan
sebutanal-Firqah an-Najiah. Hadits tersebut adalah;
تفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة
الناجية منها واحدة والباقون هلكى قالوا ومن الناجية؟ قال أهل السنة
والجماعة قيل وما السنة والجماعة؟ قال ما أنا عليه اليوم وأصحابي (6)
Para Ulama’ menjelaskan jika kata ASWAJA
di mutlakkan maka yang dimaksud dari kata tersebut adalah Asya’irah dan
Maturidiyyah, hal ini disebabkan karena kedua golongan tersebutlah yang
paling dominan di hampir seluruh dunia Islam. Syaikh Muhammad Murtadla
az-Zabidi berkata dalam kitab Ittikhaf Sadah al-Muttaqin:
“Apabila disebut nama Ahl as-Sunnah
secara umum, maka maksudnya adalah al-Asya’irah (para pengikut faham Abu
al-Hasan al-Asy’ari) dan al-Maturidiyyah (para pengikut faham Abu
Manshur al-Maturidi)”. (7)
Syaikh Ali ash-Sha’di dalam kitab Hasyiah al-Adwi menjelaskan:
“Dan Ahl al-Haqq (orang-orang yang
berjalan di atas kebenaran) adalah gambaran tentang Ahl as-Sunnah
Asya’irah dan Maturidiyyah, atau maksudnya mereka adalah orang-orang
yang berada di atas sunnah Rasulullah Shalallahu’alihi wasallam, maka
mencakup orang-orang yang hidup sebelum munculnya dua orang syaikh
tersebut, yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi”.
(8)
C. ASWAJA ADALAH ASYA’IRAH
Ajaran Imam Abu hasan Al-Asy’ary yang
hari ini banyak diikuti dan dianut oleh sebagian besar masyarakat muslim
Indonesia khususnya warga NU dan juga tersebar di hampir sebagian besar
dunia Islam yang pengikutnya dikenal dengan sebutan Asya’irah merupakan
salah satu golongan yang mengeklaim dirinya sebagai golongan yang
seperti disampaikan oleh Nabi shalallahu’alaiwasallam yaitu ASWAJA.
Hal ini tentu bukan merupakan klaim
kosong yang tanpa alasan. Salah satu alasan utama yang mendasari klaim
tersebut adalah seperti apa yang telah disampaikan oleh Nabi bahwa
golongan yang selamat adalah golongan umat Islam yang terbesar seperti
yang telah disebutkan dalam keterangan di atas (as-Sawad al-A’dzam).
Juga dengan alasan bahwa ajaran yang dibawa oleh Imam Abu Hasan
al-Asy’ary yang kemudian dikenal dengan Asy’ariyyah bukan merupakan
ajaran yang benar-benar baru atau hasil kreativitas beliau sendiri,
tetapi beliau hanya sekedar merekonstruksi ajaran atau pemikiran aqaid
yang dulu pada masa sebelum beliau sudah ada (As-Salaf ash-Shalih). (9)
Jika disederhanakan dari uraian di atas
maka akan bisa dikerucutkan pada satu pemahaman bahwa ASWAJA adalah
orang-orang yang mengikuti apa yang telah diajarkan serta dianut oleh
para As-Salaf ash-Shalih yang mana mereka adalah orang-orang yang selalu
berpegang teguh pada Al-Qur’an serta Atsar yang diriwayatkan dari Nabi
shalallahu’alaihi wasallam juga sahabatnya radliayallahu’anhum (ما انا
عليه اليوم و أصحابي). Dan jika uraian ini diringkas kembali, maka yang
disebut dengan ASWAJA adalah Asya’irah (hampir semua pengikut Madzahib
al-Arba’ah), Maturidiyyah (yang diikuti oleh sebagian dari Hanafiyyah),
Ashab al-Hadist (yang diikuti oleh sebagian Hanabilah), serta Ahl
al-Kasyf wa al-Wijdan (para shufi). (10)
Salah seoarang Ulama’ al-Azhar yang cukup
terkenal yaitu Syaikh Dr. Yusuf Qardlawi ketika ditanya tentang aqidah
yang dianut oleh Al-Azhar asy-Syarif beliau menjawab:
“Saya telah melihat bahwa orang yang
mengatakan demikian adalah orang yang mengkritik tentang Asy’ariyah”,
kemudian beliau berkata: “al-Azhar bukan satu-satunya yang berpaham
Asy’ariyyah. Umat Islamiyah adalah Asy’ariyyah, al-Azhar adalah
Asy’ariyyah, az-Zaituniyyah adalah Asy’ariyyah, ad-Deobandi (di India)
adalah Asy’ariyyah, Nadwah al-‘Ulama adalah Asy’ariy, madrasah-madrasah
di Pakistan adalah Asy’ariyyah, hingga seluruh dunia Islam (mayoritas)
adalah Asy’ariyyah”.
Beliau juga mengisyaratkan bahwa
Asy’ariyyah juga terdapat di negeri Saudi yang dianggap sebagai markas
salafiyah al-Wahabiyah, beliau berkata: “Salafiyah (Wahabi) hanya
segelitir saja (minoritas), hingga apabila kita katakan Saudi, maka
bukan seluruh Saud adalah Salafy (Wahabi). Penduduk Hijaz (Asy’ariyyah)
selain Najed, (penduduk Nejd) pun yang bukan bagian timur, (yang bagian
timur) pun bukan seperti di wilayah Jizan, begitulah seterusnya”. (11)
D. SALAFIYYAH
Kata Salafi adalah sebuah bentuk penisbatan kepada as-Salaf. Kata as-Salaf sendiri secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita. Adapun makna as-Salafsecara terminologis yang dimaksud di sini adalah generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah saw dalam haditsnya:
خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم (12)
Berdasarkan hadits ini, maka yang dimaksud dengan as-Salaf adalah para sahabat Nabi saw, kemudian tabi’in, lalu atba’ al-tabi’in. Karena itu, ketiga kurun ini kemudian dikenal juga dengan sebutan al-Qurun al-Mufadhdhalah (kurun-kurun yang mendapatkan keutamaan).Sebagian ulama kemudian menambahkan label as-Shalih (menjadi as-Salaf ash-Shalih) untuk memberikan karakter pembeda dengan pendahulu kita yang lain.Sehingga seorang salafi berarti seorang yang mengaku mengikuti jalan para sahabat Nabi saw, tabi’in dan atba’ al-tabi’in dalam seluruh sisi ajaran dan pemahaman mereka.
Dikalangan para Ulama’ memang terjadi
perbedaan pendapat tentang siapa sebenarnya yang dimaksud dengan
as-Salaf ash-Shalih. Syaikh Ibrahim al-Baijury dalam kitab Jauharah
at-Tauhid menyebutkan dua pendapat tentang yang dimaksud dengan
as-Salaf, diantaranya adalah; mereka yang hidup pada sebelum 500 tahun
hijriyyah pendapat kedua menyatakan as-Salaf adalah orang-orang yang
hidup pada tiga kurun, yaitu; Sahabat, Tabi’in, dan atba’ at-Tabi’iin.
(13)
Dalam kitab Syarhnya terhadap kitab
Shahih Muslim, Imam an-Nawawi juga menyebutkan macam-macam pendapat
tetang siapa itu salaf, tetapi dari berbagai pendapat yang ada menurut
beliau yang shahih adalah pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan as-Salaf adalah orang-orang yang hidup dimasa Nabi, kemudian
Tabi’iin, lalu atba’ at-Tabi’in. (14)
E. MEREKA YANG MENGAKU-AKU SALAF
Aliran yang akhir-akhir ini banyak
menjadi sorotan oleh masyarakat muslim baik di Indonesia atau bahkan
seluruh masyarakat muslim di dunia adalah aliran yang disebut dengan
Wahhābi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya tindakan-tindakan yang mereka
lakukan dan dinilai sangat meresahkan oleh sebagian besar masyarakat
muslim. Bahkan dalam suatu pertemuan ulama’-ulama’ besar dunia yang
diadakan oleh Universitas Islam yang cukup terkenal di dunia yaitu
Universitas al-Azhar asy-Syārif, juga menghasilkan kesimpulan bahwa
aliran Wahhābi sangat meresahkan masyarakat dunia Islam. (15)
Menurut satu riwayat, Muhammad ibnu Abdul
Wahhāb ini dilahirkan di perkampungan `Uyainah dibagian selatan kota
Nejed (Saudi Arabia) sekitar tahun 1115 H atau menurut Ensiklopedi
Oxford menyebutkan hidupnya antara tahun 1703-1791 M. (16)
Pengikut akidah yang dianut Muhammad bin
Abdul Wahhāb ini dikenal sekarang dengan nama golongan Wahhābi atau
dikenal juga dengan Salafi. Nama Wahhābi atau al-Wahhābiyyah kelihatan
dihubungkan kepada nama pendirinya yaitu Muhammad `Abd al-Wahhāb
an-Najdi. Ia tidak dinamakan golongan atau madzhab al-Muhammadiyyah
tidak lain bertujuan untuk membedakan di antara para pengikut Nabi
Muhammad saw dengan pengikut madzhab mereka, dan juga bertujuan untuk
menghalangi segala bentuk eksploitasi (istighlal). (17)
Penganut Wahhābi sendiri menolak untuk
dijuluki sebagai penganut madzhab Wahhābi dan mereka menggelarkan diri
mereka sebagai golongan al-Muwahhidun (unitarians) atau madzhab Salaf
ash-Shāleh atau Salafi (pengikut kaum Salaf) karena mereka
menurut pendapatnya ingin mengembalikan ajaran-ajaran tauhid ke dalam
Islam dan kehidupan murni menurut sunnah Rasulullah shalallahu’alaihi
wasallam. (18)
Golongan Wahhābi atau Salafi ini
berpegang dengan akidah atau keyakinan Muhammad Ibnu Abdul Wahhāb
sebagai penerus atau mendaur ulang keyakinan Ibnu Taimiyyah yang
sebenarnya setelah sepeninggal Ibnu Taimiyyah (wafat tahun 728 H), sudah
tidak popular lagi kemudian dihidupkan kembali oleh Muhammad Ibnu Abdul
Wahhāb. Golongan ini juga sering menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan
hadits Nabi saw secara tekstual (apa adanya kalimat) dan literal (makna
yang sebenarnya) atau harfiah dan meniadakan arti majazi atau kiasan.
Oleh karenanya mereka sering menjasmanikan(tajsim) dan menyerupakan (tasybih) Allah SWT secara hakiki atau sesungguhnya kepada makhluk-Nya Na’udzubillah. (19)
Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an
yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi
atau kiasan, yang mana kata-kata Allah SWT harus diartikan sesuai
dengannya. Banyak ulama-ulama pakar yang mengeritik dan menolak akidah
mengenai tajsim atau penjasmanian dan tasybih atau penyerupaan Allah SWT terhadap makhluk-Nya, dan hal ini sangat bertentangan dengan firman Allah SWT sebagai berikut;
ليس كمثله شيء وهو السميع البصير(20)
Juga ayat-ayat lain seperti surat
al-An’am (6) : 103 “Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya”, dalam surat
ash-Shaffat (37) : 159 “Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan”,
dan ayat yang lain.
Contoh tasybih dan tajsim yang dilakukan oleh golongan Wahhābi adalah:
1. Mereka meyakini bahwa Allah Ta’ala bersemayam atau duduk di Arsy. (21)
2. Meyakini Allah Ta’ala berjisim. (22)
3. Bahwa Kalam Allah Ta’ala adalah dengan suara dan tulisan. (23)
4. Allah Ta’ala bertempat dan memiliki arah. (24)
5. Allah Ta’ala bergerak. (25)
Inilah contoh-contoh tajsim dan tasybih
yang dilakukan oleh golongan yang mengaku Salafiyyah atau lebih dikenal
oleh yang diluar mereka dengan Wahhabiyyah, keyakinan tersebut muncul
disebabkan oleh pemberlakuan ayat-ayat dan hadits mutasyabihat sesuai
dengan makna dzohirnya, dan meyakini itulah makna hakekatnya. Keyakinan
mereka seperti ini sangat berbeda sekali dengan apa yang yakini oleh
Ulama’ ASWAJA baik yang Salaf maupun Khalaf.
Dalam menyikapi ayat-ayat ataupun hadist
yang secara dzohirnya mengarah kepada penjisiman dan tasybih, Ulama
ASWAJA memilik dua metode dalam penyikapannya. Metode tersebut adalah
Tafwidl dan Ta’wil.
Hal ini juga disebutkan oleh Syaikh Ibrahim al-Laqqani dalam Kitab Jauharah at-tauhid dalam nadzamnya:
وكل نص أوهم التشبيها**أوله أوفوض ورم تنزيها (26)
Setiap nash yang menimbulkan persangkaan
penyerupaan**Maka ta’wilkan atau tafwidlkan dan tinggalkanlah dengan
cara mensucikan (tanzih).
Metode Tafwidl dalam menyikapi ayat-ayat
dan hadits Mutasyabihat adalah dengan menyerahkan maknanya pada Allah
Ta’ala dan disertai dengan membersihkan keyakinan terhadap hal-hal yang
tidak sesuai dengan ke-Agungan Allah Ta’ala. Metode Tafwidl ini adalah
metode yang banyak ditempuh oleh Ulama’ salaf dalam menyikapi
ayat-ayat dan hadits Mutasyabihat. Sedangkan metode Ta’wil adalah
dengan membelokkan Nash yang dzohir maknanya mustahil bagi Allah Ta’ala
ke makna yang sesuai dengan keagungan Allah Ta’ala dan ini adalah metode
yang ditempuh oleh Ulama Khalaf. (27)
Imam As-Subki rahimahullah berkata dalam kitab Thobaqot Asy-Syafi’iyyah al-Kubra:
Pernyataan tentang pemberlakuan apa
adanya disertai dengan I’tiqad Tanzih (penyucian dalam hati) itu adalah
pernyataan yang dinisbahkan kepada Salaf, tetapi termasuk Musibah dan
balak yang besar adalah memaknai (ayat mutasyabihat) dengan sesuai
dzohirnya dan meyakini itulah pengertiannya (makna dari ayat
mutasyabihat). Sungguh makna dzohir tersebut adalah mustahil atas Dzat
Pencipta, pernyataan itu (sesuai dzohirnya) adalah pernyataan kaum
Mujassimah penyembah berhala, yang dihatinya ada kecondongan pada
kesesatan dengan mengikuti ayat mutasyabihat dan mengharapkan fitnah,
semoga laknat Allah menimpa mereka satu demi satu. Apa yang mereka
berlakukan adalah bersandar pada kebohongan dan sempitnya pemahaman atas
hakekat. (28)
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah dalam Fath al-Bary Syarh Shahih Bukhary menyatakan:
Barangsiapa yang memberlakukan ayat-ayat
mutasyabihat sesuai dengan dzohirnya, maka akan mengarah pada
penjisiman. Dan barangsiapa yang tidak mengerti terhadap ayat-ayat
mutasyabihat dan mengetahui bahwasanya Allah Suci dari makna dzohirnya
(ayat2 mutasyabihat), adakalanya orang tersebut tertipu dengan riwayat
yang dia nukil dan adakalanya karena dia suka mentakwilnya (dengan tanpa
ilmu). (29)
Imam asy-Syahrastani rahimahullah dalam kitab al-Milal wa an-Nihal menyatakan:
Kemudian golongan yang datang kemudian
menambahi atas apa yang telah disampaikan oleh Ulama salaf (tetang
tafwidl), mereka mengatakan: “ayat-ayat mutasyabihat harus diberlakukan
atas makna dzohirnya”. Maka dengan sebab penambahan tersebut, mereka
telah terperosok pada tasybih (penyerupaan), dan hal itulah yang telah
menyelisihi pemahaman Ulama’ Salaf. (30)
F. PENUTUP
Alhamdulillah tulisan singkat ini sudah
selesai, semoga ada manfaat dan sedikit banyak bisa memberikan tambahan
wacana bagi kita semua tentang apa yang seharusnya kita ketahui. Dan
akhirnya kami secara pribadi mengajak, mari kita kuatkan keyakinan kita
yang berdasarkan Aqidah Ahl As-Sunnah wa al-Jama’ah agar tidak mudah
terombang-ambingkan faham-faham yang tidak benar.
Wallahu A’lam Bisshowab.
Yogyakarta, 18-Juni-2011.
DAFTAR PUSTAKA:
1. As-Salafiyyah al-Mu’ashirah Ila al-Aina, hlm 33
2. Ahl As-Sunnah al-Asya’irah Syahadah al-Ulama’ al-Ummah wa Adillatuhum, hlm 80-81
3. Al-Imam al-Hafidz as-Sakhawi
setelah menjelaskan tentang macam-macam jalur dan sanad dari hadits ini
beliau berkata: “kesimpulannya adalah, hadits ini adalah hadits yang
masyhur matannya, sanadnya banyak, dan memiliki syawahid yang
bermacam-macam baik yang marfu’ maupun selainnya”. Al-Maqashid
al-Hasanah nomor 1288.
4. Imam al-Hakim, Mustadrak ‘ala Sahihain Li al-Hakim ma’a Ta’liqat az-Zahabi Fi at-Talkhis,
(al-Maktabah asy-Syāmilah), I: 199 hadits nomor 391, “Kitab al-‘Ilm.”
Hadits ini dari Abu al-Husain bin Muhammad bin Ahamad bin Tamim al-Asham
dari Ja’far bin Muhammad bin Syakir dari Khalid bin Yazid al-Qarni dari
al-Mu’tamar bin Sulaiman dari bapaknya dari Abdullah bin Dinar dari
Ibnu ‘Umar . Imam az-Zahabi menyatakan, “jika Khalid bin Yazid memang
hafal dengan hadits ini, maka kami menghukumi hadits ini sebagai
shahih.”
5. Ahl As-Sunnah al-Asya’irah Syahadah al-Ulama’ al-Ummah wa Adillatuhum, hlm 81.
6. Imam ath-Thabrani, Mu’jam ash-Shaghir at-Thabrani,
(al-Maktabah asy-Syāmilah), II: 29, hadits nomor 724, “Man Ismuhu
‘Isa.” Hadits dari ‘Isa bin Muhammad as-Simsar al-Wasithi dari Wahhab
bin Baqiyyah dari Sufyan al-Madani dari Sa’id al-Anshari dari Anas bin
Malik.”
7. Ittikhaf Sadah al-Muttaqin, Muhammad Murtadla Az-Zabidi, juz 2 hlm 6.
8. Ali Ash-Sha’idi Al-’Adwi, Hasyiyah Al-’Adwi, juz-1 hal-105.
9. Pengantar yang ditulis Dr. Hasan
Hithu dalam kitab Ahl As-Sunnah Asya’irah Syahadatu Ulama’ al-Ummah wa
Adillatuhum karya Hammad Sinnan dan Fauzi al-Anjari.
10. Lihat , Ahl As-Sunnah Asya’irah Syahadatu Ulama’ al-Ummah wa Adillatuhum, hlm 80.
11.
http://www.qaradawi.net/site/topics/article.asp?cu_no=2&item_no=6914&version=1&template_id=116&parent_id=114
12. Hadits riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahihnya nomor 2533.
13. Jauharah at-Tauhid, Syaikh Ibrahim bin Muhammad al-Baijury, hlm 91.
14. Syarh an-Nawawi ‘ala al-Muslim,
asy-Syaikh Yahya bin Syaraf Abu Zakariya an-Nawawi, dalam syarah beliau
terhadap hadits nomor 2532.
15. “Al-wahhābiyah Khatr ‘ala al-Islam wa al-‘Alam”, http://www.nokhbah.net/vb/showthread.php?t=5976, akses tanggal 13 Januari 2011.
16. Jhon L. Espostio, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern II, (Bandung, Mizan, 2001), hlm 237.
17. Siapa Golongan Salafy/Wahhābi dan
Bagaimana Fahamnya?,
http://salafytobat.wordpress.com/2008/11/02/bab-2-siapakah-golonan-salafiwahabi-dan-bagaimana-fahamnya/,
akses tanggal 20 Januari 2011.
18. Nur Khalik Ridwan, Doktrin Wahhābi Dan Benih-Benih Radikalisme Islam, (Yogyakarta, penerbit Tanah Air, 2009), hlm 3.
19. Shihabudin, INILAH AHLI SUNNAH WAL JAMA’AH (Kumpulan Dialog Membela Faham Aswaja Dari Faham Wahhābi Salafy), (Yogyakarta, Assalafiyyah Press, 2010), hlm 16.
20. Asy-Syuura (42) : 11.
21. Fath al-Majid, Abd ar-Rahman bin Hasan bin Muhammad bin Abd al-Wahhab, cetakan Dar as-Salam Riyadl, hlm 356.
22. Tanbihat ‘ala Man Taawwala ash-Shifat, Ibnu Baz, terbitan Riassah Ammah Lil Ifta’ Riyadl, hlm 19.
23. Fatawa Aqidah karya Utsaimin hlm 72
dan Nazarat wa Ta’aqubat ‘ala fi Kitab as-Salafiyyah karya shalih Fauzan
al-Fauzan hlm 23
24. Pedoman Wanita Muslimah(terjemahan), karya Marfat binti Kamil bin Abdullah Usrah, hlm 7.
25. Syarah at-Thahawi, Ibnu Abi al-Izz, hlm 286, cet th 1988.
26. Jauharah at-Tauhid, hlm 91.
27. Jauharah at-Tauhid, hlm 91.
28. Imam Tajuddin as-Subki, Thobaqot Asy-Syafi’iyyah al-Kubra juz 5 hlm 191-192.
29. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari juz 13 hlm 432.
30. Imam Asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal hlm 92.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar