Sekitar
bulan Mei tahun 1619 di daerah Mangga Dua, pasukan Pangeran
Jayawikarta, disebut juga Pangeran Achmad Djaketra, yang selanjutnya
lebih dikenal dengan Jayakarta, berhadap-hadapan dengan tentara
Pemerintah Hindia Belanda pimpinan Gubernur Jenderal Jan Pietersen Coen.
Pertempuran sengit terjadi, dan pasukan Pangeran Jayakarta terdesak.
Pasukan
Belanda mengepung dari arah Senen, Pelabuhan Sunda Kelapa dan Tanjung
Priok. Karena terjepit Pangeran Jayakarta dan pasukannya bergerak mundur
ke timur hingga daerah Sunter, lalu ke selatan. Sambil terus bergerak
ke selatan, ketika itu Pangeran Jayakarta membuang jubahnya ke sebuah
sumur tua. Pasukan Belanda mengira Pangeran Jayakarta jatuh dan tewas ke
sumur. Mereka kemudian menembaki sumur dan menganggap Pangeran
Jayakarta sudah mati. Pasukan Belanda kemudian menimbun sumur itu dengan
tanah. Tempat ini selama bertahun-tahun diyakini sebagai makan Pangeran
Jayakarta. Padahal, sebenarnya ia belum meninggal.
Pangeran
dan sisa pasukannya menuju ke arah Jakarta Timur. Dahulu, daerah ini
masih berupa hutan jati dan rawa. Untuk sementara mereka beristirahat di
tepi Kali Sunter yang membelah hutan itu yang kemudian dikenal masih
bagian dari daerah Jatinegara. Daerah ini kemudian diberi nama
Jatinegara yang berarti pemerintahan sejati.
Seterusnya
Pangeran Jayakarta dan pengikutnya menetap dan membangun perkampungan
baru di tempat itu. Perkampungan berkembang dengan kehadiran kaum
pendatang lainnya. Dikisahkan, karena di tempat itu masih banyak hutan
jati, maka sumber ekonomi masyarakatnya mengandalkan diri dari kerajinan
kayu jati. Inilah mungkin mengapa daerah Klender yang berdekatan dengan
Jatinegara Kaum, dikenal sebagai pusat industri furnitur hingga kini.
Mulai
tahun 1620, Pangeran Jayakarta membangun sebuah masjid yang diberi nama
Masjid Assalafiyah, artinya masjid tertua, yang lokasinya berdekatan
dengan Kali Sunter. Masjid ini pada awal dibangun hanya merupakan masjid
kecil dengan empat tiang pokok dan satu cungkup (atap masjid). Dalam
perkembangannya, masjid ini rupanya digunakan oleh Pangeran Jayakarta
untuk menggalang kekuatan kembali. Berpuluh-puluh tokoh masyarakat dan
jawara serta ulama seringkali berkumpul di masjid ini menyusun strategi
perjuangan dan dakwah Islam.
Pangeran
Jayakarta terus bergerilya dan mengatur strategi melawan Belanda dari
Masjid Assalafiyah ini. Ia tinggal di sini hingga wafat pada tahun 1640
dan dimakamkan di tempat ini. Ia berwasiat kepada keturunannya agar
tidak memberitahukan keberadaannya baik saat ia hidup maupun meninggal
kecuali jika Belanda sudah tidak berada di negeri ini.
Wasiat
ini dijaga dengan baik oleh keturunan Pangeran Jayakarta, mereka
menjaga masjid dan makamnya, namun hanya mereka yang tahu bahwa Pangeran
Jayakarta dimakamkan di tempat ini. Orang-orang mengira makam Pangeran
Jayakarta ada di Mangga Dua, tempat dimana Belanda menyangka ia tewas
dahulu. Demi menjaga wasiat Pangeran Jayakarta, keturunan Pangeran
Jayakarta tidak menikah dengan orang lain di luar keluarga Pangeran
Jayakarta.
Tahun
1700 Pangeran Sugeri, putera Sultan Fatah dari Banten, memugar masjid
ini. Sebelumnya bersama-sama dengan Pangeran Jayakarta, Sugeri dan Fatah
yang terbuang dari Kesultanan Banten ini –karena Sultan Haji saudara
Sultan Fatah melakukan kup dibantu Belanda–, berjuang melawan Pemerintah
Hindia Belanda di Batavia. Pangeran Jayakarta dan Pangeran Sugeri
kemudian dimakamkan di kompleks masjid bertiang penyangga jati ini.
Pemugaran juga dilakukan oleh Tubagus Aya Kasim pada tahun 1884.
Cagar budaya
Setelah
Indonesia merdeka, pada tahun 1960-an, barulah keturunan Pangeran
Jayakarta memberitahu kepada masyarakat bahwa keberadaan makam Pangeran
Jayakarta yang sebenarnya ada di Masjid Assalafiyah, terletak di Jalan
Jatinegara Kaum, Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur. “Baru pada zaman
Gubernur Henk Ngantung keberadaan makam ini diungkapkan kepada umum,”
ujar R Suprijadi Rosjid yang mengaku termasuk keturunan ke-13 dari
Pangeran Jayakarta. Henk Ngantung adalah gubernur DKI Jakarta antara
1964-1965. Kini, masjid Assalafiyah ditetapkan menjadi cagar budaya dan
suaka peninggalan sejarah. Pengelolaannya berada di bawah dinas
kebudayaan dan permuseuman DKI Jakarta.
Saat
ini Masjid Assalafiyah dirawat oleh Rosjid yang juga menjaga
peninggalan berupa makam dan masjid juga mendapat peninggalan berupa
senjata Biring Galih dan Biring Lanang, yang memiliki makna jaya di laut
dan jaya di darat. Selain mendapat amanah dari Pangeran Jayakarta
selaku keturunannya, Rosjid juga mendapat Surat Keputusan Gubernur yang
menyatakan bahwa ia ditugaskan sebagai juru pelihara masjid dan makam.
Rosjid
yang tadinya adalah pengusaha mebel rela menomorduakan usahanya demi
menjalankan amanah sebagai juru pelihara masjid dan makam. Pria dengan
delapan anak dan tiga cucu ini lebih banyak mengandalkan pendapatan dari
honor sebagai juru pelihara masjid dan makam. Lagipula, di usianya yang
menginjak 58 tahun ia merasa sudah saatnya ia pensiun dari usaha
mebelnya. Rosjid mengatakan, perhatian Pemerintah kepada keberadaan
bangunan bersejarah ini sudah baik. “Setiap Gubernur pasti memasukkan
anggaran untuk pemugaran Masjid Assalafiyah di setiap periodenya,”
ujarnya.
Keluarga
Jatinegara Kaum sendiri juga secara swadaya melakukan pemugaran pada
tahun 1933. setelah merdeka, pemerintah mulai mengambil alih urusan
pemugaran ini. Pada tahun 1968 Gubernur Ali Sadikin melakukan pemugaran
yang cukup besar. Masjid Assalafiyah diperluas ke belakang, lalu
dibangun dua lantai, dan dibangun menara baru.
Gubernur
Suryadi Sudirja sempat memugar masjid ini sebanyak dua kali, yaitu pada
periode 1992-1993 dan periode 1994-1995. masjid ini terakhir kali
dipugar oleh Gubernur Sutiyoso pada periode 2003-2004. Walaupun sudah
banyak dipugar, bangunan Masjid Assalafiyah masih sangat mempertahankan
keasliannya, yaitu bangunan asli yang terdiri dari empat pokok, masih
dipertahankan dari mulai pokok dari kayu jati hingga atapnya. Bahkan
gentingnya pun masih asli.
Wisata Ziarah
Makam
Pangeran Jayakarta tak pernah sepi dari kunjungan para peziarah. Mereka
tak cuma datang dari Jakarta dan sekitarnya, tetapi bahkan dari
berbagai daerah di luar Jawa. Kata Rosyid, “Peziarah banyak, terutama
pada setiap malam Jumat.” Sebagai pejuang yang melawan Belanda di
Jakarta, Pangeran Jayakarta dianggap sebagai salah seorang pahlawan
Jakarta. Karenanya, sudah jadi tradisi bagi gubernur Jakarta untuk
berziarah ke makamnya setiap hari ulang tahun Ibu Kota. Hal sama juga
dilakukan Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Raya (Kodam Jaya)
dalam rangka memperingati hari jadi kesatuan militer, setiap tanggal 24
Desember.
Di
hari-hari biasa, selalu ada saja pengunjung yang berziarah ke makam
Pangeran Jayakarta. Kegiatan rutin di masjid ini tidak berbeda dengan
masjid pada umumnya. Ada pengajian remaja setiap hari Jumat malam, ada
pengajian ibu-ibu di hari Minggu, juga pengajian untuk umum pada hari
Sabtu. Sementara, di hari-hari besar, ada beberapa peringatan yang
diadakan di Masjid Assalafiyah. Sebagaimana layaknya masjid, setiap hari
besar islam dirayakan disini, seperti hari Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj,
dan tahun baru Islam. Ulang Tahun Jakarta atau Haul Pangeran Jayakarta
sendiri sudah menjadi agenda Pemerintah Daerah DKI Jakarta untuk
mengadakan peringatan sekaligus ziarah ke makam Pangeran Jayakarta.
Tercatat
beberapa peninggalan sejarah masjid ini hilang tak ketahuan rimbanya.
Yang tersisa hanya empat tiang penyangga dan sebuah kaligrafi Arab
berbentuk sarang tawon di dalam plafon menara masjid. Seperti nasib
masjid tua lainnya, As-Salafiyah sekarang lebih terlihat lapang.
Penampilannya pun terkesan mewah dengan keramik dan marmer menutupi
hampir seluruh temboknya. Persis sama dengan masjid-masjid seumurnya,
tampaknya ukuran asli As-Salafiyah hanya seluas empat pilar dengan
selasar sepanjang 5 meter di setiap sisinya –separuh bagian barat
bangunan–. Dan inilah masjid tua yang paling banyak memiliki makam di
sisi selatan, barat, dan utara.
Mudah
saja memilih angkutan untuk menuju ke Masjid As-Salafiyah. Terminal
Pulogadung atau Pasar Klender adalah terminal yang terdekat dengan
masjid. Dari Senen ada Metro Mini T-47, dari Kampung Rambutan ada Patas
98, dari Rawamangun ada Angkot T-26, dan dari Kampung Melayu ada Kopaja
T-501. [muyawan karim]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar