Selamat Datang di Blog Resmi **Majlisarrahman.blogspot.com ** Majelis Dzikir Ratibul Al-Habib Abdullah Bin Alwi Al-Haddad wa Maulidun Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam (Dzikrullah wa Dzikrurrosul SAW) Jakarta - Indonesia. Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Kami**

 photo oji_zpsb336d6d8.gif
Selamat Datang di Blog Resmi **Majlisarrahman.blogspot.com ** TUNJUKKAN KEPERDULIAN DAN BAKTI KITA PADA PEMBENAHAN ISLAM DENGAN TURUT MENYUMBANGKAN HARTA KITA SEBAGAI SAKSI, BANTUAN KITA ADALAH CERMIN KADAR IMAN KITA, RASULULLAH SAW BERSABDA : SETIAP HARI TURUN DUA MALAIKAT MULIA KE BUMI DAN BERDOA, WAHAI ALLAH BERI ORANG YANG BERINFAQ KESEJAHTERAAN, DAN BERI ORANG YANG KIKIR KEHANCURAN ( shahih Bukhari ). Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Kami**

Jumat, 06 April 2012

Sejarah Pangeran Achmad Djaketra dan Masjid Jami As-Salafiyah


Sekitar bulan Mei tahun 1619 di daerah Mangga Dua, pasukan Pangeran Jayawikarta, disebut juga Pangeran Achmad Djaketra, yang selanjutnya lebih dikenal dengan Jayakarta, berhadap-hadapan dengan tentara Pemerintah Hindia Belanda pimpinan Gubernur Jenderal Jan Pietersen Coen. Pertempuran sengit terjadi, dan pasukan Pangeran Jayakarta terdesak.
Pasukan Belanda mengepung dari arah Senen, Pelabuhan Sunda Kelapa dan Tanjung Priok. Karena terjepit Pangeran Jayakarta dan pasukannya bergerak mundur ke timur hingga daerah Sunter, lalu ke selatan. Sambil terus bergerak ke selatan, ketika itu Pangeran Jayakarta membuang jubahnya ke sebuah sumur tua. Pasukan Belanda mengira Pangeran Jayakarta jatuh dan tewas ke sumur. Mereka kemudian menembaki sumur dan menganggap Pangeran Jayakarta sudah mati. Pasukan Belanda kemudian menimbun sumur itu dengan tanah. Tempat ini selama bertahun-tahun diyakini sebagai makan Pangeran Jayakarta. Padahal, sebenarnya ia belum meninggal.
Pangeran dan sisa pasukannya menuju ke arah Jakarta Timur. Dahulu, daerah ini masih berupa hutan jati dan rawa. Untuk sementara mereka beristirahat di tepi Kali Sunter yang membelah hutan itu yang kemudian dikenal masih bagian dari daerah Jatinegara. Daerah ini kemudian diberi nama Jatinegara yang berarti pemerintahan sejati.
Seterusnya Pangeran Jayakarta dan pengikutnya menetap dan membangun perkampungan baru di tempat itu. Perkampungan berkembang dengan kehadiran kaum pendatang lainnya. Dikisahkan, karena di tempat itu masih banyak hutan jati, maka sumber ekonomi masyarakatnya mengandalkan diri dari kerajinan kayu jati. Inilah mungkin mengapa daerah Klender yang berdekatan dengan Jatinegara Kaum, dikenal sebagai pusat industri furnitur hingga kini.
Mulai tahun 1620, Pangeran Jayakarta membangun sebuah masjid yang diberi nama Masjid Assalafiyah, artinya masjid tertua, yang lokasinya berdekatan dengan Kali Sunter. Masjid ini pada awal dibangun hanya merupakan masjid kecil dengan empat tiang pokok dan satu cungkup (atap masjid). Dalam perkembangannya, masjid ini rupanya digunakan oleh Pangeran Jayakarta untuk menggalang kekuatan kembali. Berpuluh-puluh tokoh masyarakat dan jawara serta ulama seringkali berkumpul di masjid ini menyusun strategi perjuangan dan dakwah Islam.
Pangeran Jayakarta terus bergerilya dan mengatur strategi melawan Belanda dari Masjid Assalafiyah ini. Ia tinggal di sini hingga wafat pada tahun 1640 dan dimakamkan di tempat ini. Ia berwasiat kepada keturunannya agar tidak memberitahukan keberadaannya baik saat ia hidup maupun meninggal kecuali jika Belanda sudah tidak berada di negeri ini.
Wasiat ini dijaga dengan baik oleh keturunan Pangeran Jayakarta, mereka menjaga masjid dan makamnya, namun hanya mereka yang tahu bahwa Pangeran Jayakarta dimakamkan di tempat ini. Orang-orang mengira makam Pangeran Jayakarta ada di Mangga Dua, tempat dimana Belanda menyangka ia tewas dahulu. Demi menjaga wasiat Pangeran Jayakarta, keturunan Pangeran Jayakarta tidak menikah dengan orang lain di luar keluarga Pangeran Jayakarta.
Tahun 1700 Pangeran Sugeri, putera Sultan Fatah dari Banten, memugar masjid ini. Sebelumnya bersama-sama dengan Pangeran Jayakarta, Sugeri dan Fatah yang terbuang dari Kesultanan Banten ini –karena Sultan Haji saudara Sultan Fatah melakukan kup dibantu Belanda–, berjuang melawan Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Pangeran Jayakarta dan Pangeran Sugeri kemudian dimakamkan di kompleks masjid bertiang penyangga jati ini. Pemugaran juga dilakukan oleh Tubagus Aya Kasim pada tahun 1884.
Cagar budaya
Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1960-an, barulah keturunan Pangeran Jayakarta memberitahu kepada masyarakat bahwa keberadaan makam Pangeran Jayakarta yang sebenarnya ada di Masjid Assalafiyah, terletak di Jalan Jatinegara Kaum, Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur. “Baru pada zaman Gubernur Henk Ngantung keberadaan makam ini diungkapkan kepada umum,” ujar R Suprijadi Rosjid yang mengaku termasuk keturunan ke-13 dari Pangeran Jayakarta. Henk Ngantung adalah gubernur DKI Jakarta antara 1964-1965. Kini, masjid Assalafiyah ditetapkan menjadi cagar budaya dan suaka peninggalan sejarah. Pengelolaannya berada di bawah dinas kebudayaan dan permuseuman DKI Jakarta.
Saat ini Masjid Assalafiyah dirawat oleh Rosjid yang juga menjaga peninggalan berupa makam dan masjid juga mendapat peninggalan berupa senjata Biring Galih dan Biring Lanang, yang memiliki makna jaya di laut dan jaya di darat. Selain mendapat amanah dari Pangeran Jayakarta selaku keturunannya, Rosjid juga mendapat Surat Keputusan Gubernur yang menyatakan bahwa ia ditugaskan sebagai juru pelihara masjid dan makam.
Rosjid yang tadinya adalah pengusaha mebel rela menomorduakan usahanya demi menjalankan amanah sebagai juru pelihara masjid dan makam. Pria dengan delapan anak dan tiga cucu ini lebih banyak mengandalkan pendapatan dari honor sebagai juru pelihara masjid dan makam. Lagipula, di usianya yang menginjak 58 tahun ia merasa sudah saatnya ia pensiun dari usaha mebelnya. Rosjid mengatakan, perhatian Pemerintah kepada keberadaan bangunan bersejarah ini sudah baik. “Setiap Gubernur pasti memasukkan anggaran untuk pemugaran Masjid Assalafiyah di setiap periodenya,” ujarnya.
Keluarga Jatinegara Kaum sendiri juga secara swadaya melakukan pemugaran pada tahun 1933. setelah merdeka, pemerintah mulai mengambil alih urusan pemugaran ini. Pada tahun 1968 Gubernur Ali Sadikin melakukan pemugaran yang cukup besar. Masjid Assalafiyah diperluas ke belakang, lalu dibangun dua lantai, dan dibangun menara baru.
Gubernur Suryadi Sudirja sempat memugar masjid ini sebanyak dua kali, yaitu pada periode 1992-1993 dan periode 1994-1995. masjid ini terakhir kali dipugar oleh Gubernur Sutiyoso pada periode 2003-2004. Walaupun sudah banyak dipugar, bangunan Masjid Assalafiyah masih sangat mempertahankan keasliannya, yaitu bangunan asli yang terdiri dari empat pokok, masih dipertahankan dari mulai pokok dari kayu jati hingga atapnya. Bahkan gentingnya pun masih asli.
Wisata Ziarah
Makam Pangeran Jayakarta tak pernah sepi dari kunjungan para peziarah. Mereka tak cuma datang dari Jakarta dan sekitarnya, tetapi bahkan dari berbagai daerah di luar Jawa. Kata Rosyid, “Peziarah banyak, terutama pada setiap malam Jumat.” Sebagai pejuang yang melawan Belanda di Jakarta, Pangeran Jayakarta dianggap sebagai salah seorang pahlawan Jakarta. Karenanya, sudah jadi tradisi bagi gubernur Jakarta untuk berziarah ke makamnya setiap hari ulang tahun Ibu Kota. Hal sama juga dilakukan Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Raya (Kodam Jaya) dalam rangka memperingati hari jadi kesatuan militer, setiap tanggal 24 Desember.
Di hari-hari biasa, selalu ada saja pengunjung yang berziarah ke makam Pangeran Jayakarta. Kegiatan rutin di masjid ini tidak berbeda dengan masjid pada umumnya. Ada pengajian remaja setiap hari Jumat malam, ada pengajian ibu-ibu di hari Minggu, juga pengajian untuk umum pada hari Sabtu. Sementara, di hari-hari besar, ada beberapa peringatan yang diadakan di Masjid Assalafiyah. Sebagaimana layaknya masjid, setiap hari besar islam dirayakan disini, seperti hari Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, dan tahun baru Islam. Ulang Tahun Jakarta atau Haul Pangeran Jayakarta sendiri sudah menjadi agenda Pemerintah Daerah DKI Jakarta untuk mengadakan peringatan sekaligus ziarah ke makam Pangeran Jayakarta.
Tercatat beberapa peninggalan sejarah masjid ini hilang tak ketahuan rimbanya. Yang tersisa hanya empat tiang penyangga dan sebuah kaligrafi Arab berbentuk sarang tawon di dalam plafon menara masjid. Seperti nasib masjid tua lainnya, As-Salafiyah sekarang lebih terlihat lapang. Penampilannya pun terkesan mewah dengan keramik dan marmer menutupi hampir seluruh temboknya. Persis sama dengan masjid-masjid seumurnya, tampaknya ukuran asli As-Salafiyah hanya seluas empat pilar dengan selasar sepanjang 5 meter di setiap sisinya –separuh bagian barat bangunan–. Dan inilah masjid tua yang paling banyak memiliki makam di sisi selatan, barat, dan utara.
Mudah saja memilih angkutan untuk menuju ke Masjid As-Salafiyah. Terminal Pulogadung atau Pasar Klender adalah terminal yang terdekat dengan masjid. Dari Senen ada Metro Mini T-47, dari Kampung Rambutan ada Patas 98, dari Rawamangun ada Angkot T-26, dan dari Kampung Melayu ada Kopaja T-501. [muyawan karim]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar