Namanya
Yusuf Mansyur. Perjalanan hidup ustadz berusia 30 tahun ini, penuh
warna. Dua kali dia ditahan karena kelalaian dan kecintaan pada dunia
yang berlebihan. Alhamdulillah, di tahanan itu pula, Yusuf Mansyur
menemukan Tuhan yang pernah hilang dalam kehidupannya. Dia bersyukur
menemukan jalan kebenaran yang pasti itu --jalan Allah SWT.
Dalam sinetron Maha Kasih, Yusuf Mansyur, yang belakangan ini terus mengampanyekan kemuliaan, kekuatan, dan bahkan keajaiban bersedekah (Power of Giving) -- mengajarkan bahwa kebaikan pasti berbuah kebaikan pula. Kejujuran berbuah nikmat. Sinetron ini tidak menakut-nakuti, seperti kebanyakan sinetron yang menceritakan jenazah dikerubungi belatung atau jenazah melompat dari kuburan karena tidak diterima bumi.
Perjalanan hidup dan konsep Power of Giving yang kini diusungnya, menarik untuk dijadikan pelajaran. Namun, tulisan ini tidak khusus membahas ustadz muda itu, melainkan kecenderungan yang muncul dalam beberapa tahun belakangan ini. Di mulai Aa Gym, Syafii Antonio, Arifin Ilham, Ary Ginandjar, susul-menyusul mucul anak-anak muda berdakwah, di antaranya Jefrie Al Buchori dan Yusuf Mansyur. Mereka tidak lagi sepenuhnya berdiri di podium-podium, mengepalkan tangan, dan berteriak lantang. Mereka lebih teduh dan terampil menggunakan media modern, televisi, radio, dan media cetak.
Dalam berdakwah, dai-dai muda tersebut menggunakan bahasa yang sama -- suatu kecenderungan baru: tidak hitam-putih mengajak orang pada jalan Allah SWT, tidak menggunakan bahasa ancaman, menakuti-nakuti, suara yang dikeras-keraskan, dan hujatan terhadap orang lain yang tak sejalan. Mereka bicara dengan hati, mengaduk-aduknya, mengajak pada kebaikan dan menyebarkan Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam.
Mungkin karena itu pulalah, dakwah mereka dapat diterima semua gologan, tanpa sekat aliran bahkan juga disukai kalangan non-Muslim. Setelah era Zainuddin MZ, pola dakwah memang berubah menyusul lahirnya ustadz-ustadz muda itu. Mereka berasal dari berbagai disiplin ilmu. Ary Ginandjar Agustian, misalnya, seorang trainer yang sukses memperkenalkan Emotional Spiritual Quotient (ESQ) berdasarkan Islam. Dia berdakwah di kalangan eksekutif. Aa Gym tampil dengan manajemen qolbu. Begitu pula Arifin Ilham, yang membawa majelis dzikir; Muhammad Syafi'i Antonio, pakar ekonomi syariah; dan Yusuf Mansyur melalui wisata hati, yang salah satu unggulannya adalah sinetron Maha Kasih.
Tokoh-tokoh muda itu, selain terampil menyampaikan pesan-pesan dakwah dan keindahan Islam melalui media massa -- terutama media elektronik -- juga berhasil menggeluti dunia bisnis.
Ustadz-ustadz muda itu, kini adalah bunga dalam taman Indonesia. Mereka tumbuh subur dan memancarkan keindahan. Bunga-bunga itu diharap terus mekar, melahirkan kedamaian dalam Indonesia yang gusar, Indonesia yang kelelahan. Negara ini membutuhkan lebih banyak bunga-bunga yang indah seperti itu, sehingga menjadi taman yang besar, negara taman.
Bunga di taman itu -- tumbuh, mekar, dan diterima secara luas. Stasiun televisi, radio, dan media cetak, betapapun telah menjadi pupuk di tanah yang subur ini. Ibarat sebuah taman, Indonesia melahirkan tokoh-tokoh muda yang sangat populer. Mereka, para dai.(Asro Kamal Rokan )
Dalam sinetron Maha Kasih, Yusuf Mansyur, yang belakangan ini terus mengampanyekan kemuliaan, kekuatan, dan bahkan keajaiban bersedekah (Power of Giving) -- mengajarkan bahwa kebaikan pasti berbuah kebaikan pula. Kejujuran berbuah nikmat. Sinetron ini tidak menakut-nakuti, seperti kebanyakan sinetron yang menceritakan jenazah dikerubungi belatung atau jenazah melompat dari kuburan karena tidak diterima bumi.
Perjalanan hidup dan konsep Power of Giving yang kini diusungnya, menarik untuk dijadikan pelajaran. Namun, tulisan ini tidak khusus membahas ustadz muda itu, melainkan kecenderungan yang muncul dalam beberapa tahun belakangan ini. Di mulai Aa Gym, Syafii Antonio, Arifin Ilham, Ary Ginandjar, susul-menyusul mucul anak-anak muda berdakwah, di antaranya Jefrie Al Buchori dan Yusuf Mansyur. Mereka tidak lagi sepenuhnya berdiri di podium-podium, mengepalkan tangan, dan berteriak lantang. Mereka lebih teduh dan terampil menggunakan media modern, televisi, radio, dan media cetak.
Dalam berdakwah, dai-dai muda tersebut menggunakan bahasa yang sama -- suatu kecenderungan baru: tidak hitam-putih mengajak orang pada jalan Allah SWT, tidak menggunakan bahasa ancaman, menakuti-nakuti, suara yang dikeras-keraskan, dan hujatan terhadap orang lain yang tak sejalan. Mereka bicara dengan hati, mengaduk-aduknya, mengajak pada kebaikan dan menyebarkan Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam.
Mungkin karena itu pulalah, dakwah mereka dapat diterima semua gologan, tanpa sekat aliran bahkan juga disukai kalangan non-Muslim. Setelah era Zainuddin MZ, pola dakwah memang berubah menyusul lahirnya ustadz-ustadz muda itu. Mereka berasal dari berbagai disiplin ilmu. Ary Ginandjar Agustian, misalnya, seorang trainer yang sukses memperkenalkan Emotional Spiritual Quotient (ESQ) berdasarkan Islam. Dia berdakwah di kalangan eksekutif. Aa Gym tampil dengan manajemen qolbu. Begitu pula Arifin Ilham, yang membawa majelis dzikir; Muhammad Syafi'i Antonio, pakar ekonomi syariah; dan Yusuf Mansyur melalui wisata hati, yang salah satu unggulannya adalah sinetron Maha Kasih.
Tokoh-tokoh muda itu, selain terampil menyampaikan pesan-pesan dakwah dan keindahan Islam melalui media massa -- terutama media elektronik -- juga berhasil menggeluti dunia bisnis.
Ustadz-ustadz muda itu, kini adalah bunga dalam taman Indonesia. Mereka tumbuh subur dan memancarkan keindahan. Bunga-bunga itu diharap terus mekar, melahirkan kedamaian dalam Indonesia yang gusar, Indonesia yang kelelahan. Negara ini membutuhkan lebih banyak bunga-bunga yang indah seperti itu, sehingga menjadi taman yang besar, negara taman.
Bunga di taman itu -- tumbuh, mekar, dan diterima secara luas. Stasiun televisi, radio, dan media cetak, betapapun telah menjadi pupuk di tanah yang subur ini. Ibarat sebuah taman, Indonesia melahirkan tokoh-tokoh muda yang sangat populer. Mereka, para dai.(Asro Kamal Rokan )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar