Nama lengkapnya adalah Muhammad Nashiruddin bin Nuh bin Adam Najati. Nama julukannya adalah Al-Albani,disandarkan kepada negeri kelahirannya yaitu Albani. Beliau dipanggil dengan sebutan Abu ‘Abdirrahman. Beliau adalah seorang Imam Mujaddid, seorang ‘alim yang dapat dipercaya, peneliti yang cermat, ahli hadits dan fiqih di zaman ini, pembawa bendera Tauhid dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berjalan meniti jejak Salafush Shalih dalam aqidah, ibadah dan manhaj, pembela Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dari perubahan orang-orang yang melampaui batas atau orang-orang yang menganggap baik kebatilan mereka, atau dari penakwilan orang-orang yang jahil.
KELAHIRAN
Beliau rahimahullah dilahirkan pada tahun 1332 H/1914 M, di kota Shkodera (Ashqodar), ibukota lama Republik Albania. Beliau hidup di kota ini kurang lebih selama sembilan tahun. Hidup dalam sebuah keluarga miskin yang jauh dari kekayaan. Keluarganya dikenal sebagai keluarga yang patuh pada agama dan berilmu. Ayah beliau adalah Al-Haj Nuh Najati rahimahullah, seorang alumnus beberapa pesantren dan sekolah tinggi Islam yang berada di Istambul, ibukota pemerintahan ‘Utsmaniyyah. Setelah menyelesaikan studinya, ia kembali ke Albania untuk berdedikasi kepada agama, mengajarkan ilmunya kepada umat sehingga menjadi salah satu referensi (tempat bertanya) kaum muslimin yang berdatangan untuk menimba ilmunya. Beliau adalah seorang ulama dan ahli fiqih madzhab Hanafi.
HIJRAH KE NEGERI SYAM
Ketika Ahmad Zogu (Raja Ahmad Zagho) berkuasa di Albania, ia merubah Albania menjadi sebuah negara sekuler yang berkiblat kepada Barat dalam segala aspek kehidupan, menyempitkan ruang gerak kaum muslimin dan menekan mereka dengan tekanan-tekanan yang menyulitkan.Mengamati kondisi yang semakin memburuk, al-Haj Nuh Najati rahimahullah sangat khawatir terhadap agama dan keturunannya. Ia putuskan untuk hijrah ke negeri Syam dan memilih kota Damaskus sebagai tempat domisilinya.
Banyak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan keutamaan negeri Syam, lagipula kota ini tidak asing baginya karena merupakan kota persinggahan dalam perjalanan haji. Syaikh Al-Albani rahimahullah menuturkan:
“Ketika Ahmad Zogu menguasai Albania dan memerintahnya, ia memaksa rakyat untuk melaksanakan perundang-undangan produk Barat, menekan kaum wanita untuk menanggalkan hijab mereka dan memaksa polisi serta tentara untuk memakai topi. Semua itu sebagai peringatan akan jeleknya pemerintahan tersebut menurut pandangan ayahku. Oleh sebab itu ia memutuskan untuk hijrah ke negeri Syam, khususnya ke kota Damaskus. Usiaku pada saat itu sembilan tahun. Aku tidak mengetahui bahasa Arab sedikit pun. Dengan demikian, tatkala pergi ke Damaskus kami tidak mengetahui membaca dan menulis Arab.” (Lihat Shafahat Baidha’, hal. 19-20)MENUNTUT ILMU
Syaikh rahimahullah berkata menceritakan permulaan masa belajarnya:
“Kemudian aku masuk sebuah sekolah swasta yang bernama Jam’iyyatul Is’af al-Khairi (di Syria), di sanalah awal belajarku. Disebabkan usiaku yang cukup besar, maka aku lalui kelas satu dan dua ibtida’iyah hanya dalam waktu satu tahun. Oleh sebab itu aku berhasil mendapatkan ijazah ibtida’iyah dalam masa belajar empat tahun.”Kata Syaikh al-Albani rahimahullah:
Melihat jeleknya sekolah-sekolah umum/pemerintah dari segi pengajaran agama, ayahnya memutuskan untuk tidak memberi kesempatan kepada al-Albani untuk melanjutkan studinya. Beliau membuat program ilmiyah intensif bagi putranya. (Al-Qaryuti, hal. 2)
“Setelah menamatkan Ibtida’iyah, ayahku menetapkan agar aku belajar kepada para ulama (syaikh), lalu aku pun belajar pada beliau fiqih madzhab Hanafi dan ilmu SHaraf. Pada Syaikh Sa’id al-Burhani aku belajar sebagian fiqih Hanafi dan secara terfokus aku membaca kitab “Maraqil Falah Syarh Nurul ‘Iddhah’, dan juga sebagian kitab Nahwu dan Balaghah modern. Aku telah menamatkan membaca al-Qur’anul Karim disertai tajwidnya bersama ayahku.MENEKUNI ILMU HADITS
Pada waktu yang sama aku bekerja sebagai tukang kayu, mengikuti dua orang guruku, yang pertama adalah pamanku Ismail, aku mengikutinya selama dua tahun. Yang kedua adalah Abu Muhammad, seorang Syria, juga selama dua tahun. Biasanya pekerjaan kami merenovasi rumah-rumah lama yang telah hancur disebabkan hujan dan salju. Pada musim hujan kami tidak berbuat sesuatu. Pada suatu hari di musim hujan, aku mengunjungi ayahku, beliau bekerja sebagai tukang reparasi jam, ia menyapaku: ‘Apakah kamu tidak bekerja hari ini?’ Aku menjawab: ‘Ya.’ Beliau berkata: ‘Bagaimana pendapatmu jika bekerja padaku, karena aku melihat pekerjaanmu tidak sesuai bagimu.’ AKu menjawab: ‘Terserah ayah.’ Ia berkata: ‘Naiklah ke toko.’ Tokonya terletak di sebuah tempat yang ditinggikan dari tanah karena khawatir hujan dan salju.”
Al-Albani rahimahullah berkata:
“Bahwasanya nikmat Allah yang dianugerahkan kepadaku sangat banyak, aku tidak mampu menghitungnya. Di antara nikmat-nikmat itu ada dua hal yang sangat penting: Yang pertama hijrah ayahku ke negeri Syam dan yang kedua aku diajari sebuah profesi yang dimilikinya yaitu keterampilan mereparasi jam. Adapun yang pertama (hijrah ke negeri Syam), telah memudahkanku untuk belajar bahasa Arab, yang seandainya kami tetap di Albania, aku kira tidak akan mempelajarinya walaupun hanya satu huruf. Padahal tiada jalan menuju Kitabullah (al-Qur’an) dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dengan bahasa Arab.Sedang yang kedua (keahlian dalam mereparasi jam), telah memberi aku waktu senggang yang aku isi dengan menuntut ilmu, serta kesempatan beberapa jam setiap hari untuk mengunjungi perpustakaan “Zhahiriyyah”.Syaikh Muhammad al-Majdzub berkata dalam kitabnya “Ulama wa Mufakkirun”:
Seandainya aku terus menekuni upaya untuk menjadi seorang pandai kayu, tentunya akan menyita seluruh waktuku. Akibatnya tertutuplah jalan-jalan di hadapanku untuk menuntut ilmu, yang mana setiap penuntut ilmu harus menyiapkan banyak waktu. Karena memiliki banyak waktu luang, aku mohon izin kepada ayahku untuk menghadiri kajian-kajian di masjid Bani Umayyah.Suatu ketika di waktu senggang, Allah mentakdirkan bagiku bertemu dengan seseorang dari Mesir. Pekerjaannya membeli kitab-kitab lama, lalu dipajangnya pada sebuah toko kecil miliknya yang terletak di depan pintu barat masjid. Aku sering menghampiri buku-buku tersebut dan menemukan kisah-kisah yang kusukai, lalu kupinjam darinya dengan memberi upah dan setelah itu mengembalikannya.
Suatu hari aku jumpai beberapa edisi majalah Al-Manar di antara kitab-kitab pajangannya. Ketika kubaca, aku dapati sebuah tulisan Sayyid Rasyid Ridha. Ia membahas sisi positif kitab Ihya’ Ulumuddin karya al-Ghazali, dan mengkritiknya dari beberapa segi seperti masalah Tasawwuf dan hadits-hadits dha’if. Beliau juga menyebutkan bahwa Abu Fadhl Zainuddin al-Iraqi rahimahullah mempunyai sebuah kitab mengenai Ihya’ Ulumuddin, meneliti hadits-haditsnya serta memisahkan antara yang shahih dan yang dha’if. Nama kitabnya Al-Mughni ‘an Hamlil Asfar fil Asfar fi Takhrij ma fil Ihya’ minal Akhbar. (Lihat Shafahat Baidha’, hal. 24)
Aku sangat berminat memiliki buku ini, oleh sebab itu aku pergi ke pasar untuk mencarinya, ibarat seorang yang jatuh cinta dan bingung karena sedih. Aku menemukannya pada seorang penjual kitab, namun pada saat itu aku seorang yang faqir seperti ayahku, tidak mampu membelinya. Maka aku bersepakat dengan pemiliknya untuk menyewanya, kubawa buku itu dan seolah-olah aku ingin terbang karena sangat gembira. Kembalilah aku ke toko dan kumanfaatkan kesempatan untuk membacanya dengan konsentrasi di saat ayahku sedang pergi.Kemudian timbul keinginanku untuk menyalin isi buku tersebut, maka aku beli beberapa lembar kertas dan mulailah untuk menyalinnya. Terlintas di dalam benakku untuk memanfaatkan kitab-kitab ayahku sebagai referensi dalam memahami kata-kata yang asing bagiku, karena aku seorang ajam (bukan orang Arab) sehingga ada beberapa kata dalam hadits yang sulit dipahami. Aku mendapat banyak manfaat dari pekerjaan ini, sekarang salinan kitab itu masih tersimpan sebagai sebuah manuskrip.” (Ibid, hal. 25, dan majalah Al-Ashaalah XXIII, hal. 11, Muhadditsul ‘Ashri, hal. 13)
“Beliau menunjukkan karya tersebut kepada saya, berjumlah empat juz dalam tiga jilid mencapai 2012 (dua ribu dua belas) halaman. Tulisannya terdiri dari dua macam, yang pertama tulisan biasa dan yang kedua tulisan yang sangat rapi dan teliti sebagai footnote, isinya berupa komentar, penafsiran makna hadits, atau melengkapi (sesuatu yang dianggap perlu dari tulisan al-Iraqi, pent).” (Lihat Hayat al-Albani, I/47)Perhatian terhadap hadits Nabi telah menjadi pekerjaan yang sangat menyibukkannya. Sehingga beliau bekerja (mereparasi jam) hanya tiga jam sehari, selain hari Selasa dan Jum’at. Beliau berkata:
“Waktu tersebut cukup untuk memperoleh makanan pokok bagi keluarga dan anak-anakku, dan tentu hanya ala kadarnya saja. Sedang waktu-waktu selebihnya aku manfaatkan untuk menuntut ilmu, menulis dan mempelajari hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terutama manuskrip-manuskrip hadits yang berada di perpustakaan “Zhahiriyyah”. Aku menekuni di perpustakaan tersebut sebagaimana pegawainya antara enam sampai delapan jam setiap hari, hal mana tergantung pada ketentuan jam kerja yang telah ditetapkan pada musim panas dan dingin.” (Lihat Hayat al-Albani, I/48), Adz-Dzabbul Ahmad: 4)Terkadang al-Albani rahimahullah duduk di perpustakaan selama dua belas jam untuk membaca, mengomentari sebuah tulisan dan mentahqiq (meneliti kitab-kitab) tanpa merasa jenuh. Beliau keluar hanya pada waktu-waktu shalat. Pada waktu makan, beliau hanya makan makanan yang sederhana di perpustakaan.
Jerih payah dan kesungguhan ini telah membuahkan hasil, di antaranya takhrij hadits-hadits tentang jual beli dalam ensiklopedi fiqih Islam dan karya-karya tulis lainnya. (Lihat Hayat al-Albani, I/52-53)
Syaikh Al-Albani rahimahullah, memanfaatkan waktunya 18 jam di perpustakaannya. Ketika masih di kota Damaskus, berada di perpustakaan Zhahiriyyah antara 6 – 8 jam sehari, tidak termasuk waktunya untuk bekerja, kajian dan ceramah-ceramah ilmiyah lainnya. Pernah mencari 1 lembar kertas yang hilang dari sebuah manuskrip, sampai memeriksa 10.000 manuskrip yang ada di perpustakaan.
Syaikh Al-Albani rahimahullah menceritakan:
“Telah kulalui hari-hari yang mana dengan terpaksa aku menyiapkan tangga untuk menaikinya agar terjangkau olehku kitab-kitab yang tertata rapi pada rak-rak yang tinggi. Aku berdiri di tangga selama berjam-jam sambil mempelajari kitab-kitab itu dengan cepat. Jika aku memilih sebuah manuskrip untuk dipelajari, diperiksa dan diteliti dengan cermat, aku mohon kepada salah seorang pegawai khusus untuk menurunkan dan meletakkannya di atas meja setelah aku serahkan padanya daftar dan nomor manuskrip serta tanda tangannya.”MENENTANG BIDA’H DAN PERPISAHAN DENGAN SANG AYAH
Hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ditekuninya mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam mengarahkan Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam ilmu dan amal. Beliau menempuh manhaj yang benar, yaitu menimba ilmu dari Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menjadikan pemahaman para Imam Salaf sebagi batu loncatan tanpa adanya sikap fanatik atau antipati kepada salah seorang di antara mereka.
Yang dicarinya adalah al-Haq (kebenaran) di mana pun (ia) berada. Oleh sebab itu beliau awali dengan menyelisihi madzhabnya, yaitu madzhab Hanafi, tempat beliau tumbuh dan dibesarkan.
Ayahnya rahimahullah selalu menentangnya dalam banyak masalah yang berkaitan dengan masalah madzhab. Al-Albani pun menjelaskan kepada sang ayah, bahwasanya tidak diperbolehkan bagi seorang muslim meninggalkan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam manakala hadits itu shahih dan telah diamalkan oleh sebagian ulama, hanya karena perkataan manusia biasa siapa pun orangnya. Inilah jalan yang ditempuh oleh Abu Hanifah dan para Imam yang lainnya rahimahumullah.
Marilah kita ikuti Syaikh Al-Albani rahimahullah menuturkan kisahnya, beliau berkata:
“Setelah mempelajari ilmu hadits secara kontinyu, tampaklah padaku kesalahan-kesalahan yang menyebar pada saat itu. Karena mereka mengikuti sebagian bid’ah. Sebagai contoh, dalam kitab Hasyiah Ibnu ‘Abidin (sebuah kitab Madzhab Hanafi) pada bagian terakhir disebutkan: Dari Sufyan Ats-Tsauri:Kata Syaikh Al-Albani rahimahullah:
“Shalat di masjid Bani Umayyah memperoleh ganjaran 70 ribu shalat.” (Dikeluarkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam Tarikhnya)
Aku temukan atsar ini, dan ternyata sanadnya gelap gulita, aku berkata: “Subhanallah!!”
Bagaimana mungkin para Fuqaha’ itu meriwayatkan atsar ini sedangkan sanadnya sedemikian rupa, ini adalah atsar yang mu’dhal (hadits yang pada sanadnya terhapus dua atau lebih dari perawinya) sebagaimana istilah ulama ahli hadits.
Demikian pula aku baca dalam “Tarikh Ibnu ‘Asakir” tentang kisah kuburan Nabi Yahya Alaihissalam yang terletak di masjid Bani Umayyah. Sehingga hasil pembahasan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa shalat di masjid tersebut tidak diperbolehkan.
Aku ingin paparkan pendapatku ini kepada sebagian Syaikh, seperti ayahku dan Syaikh al-Burhani. Pada suatu hari setelah shalat Dzuhur aku sampaikan secara rahasia kepada Syaikh al-Burhani bahwa “shalat di masjid Bani Umayyah” tidak sah. Beliau menyambutku dengan mengatakan: “Tulislah segala sesuatu yang telah engkau temukan dalam masalah ini.” Maka kutuliskan dalam tiga atau empat halaman lalu kuserahkan kepadanya. Beliau berkata: “Aku akan berikan jawaban padamu setelah Idul Fithri,” saat itu kami masih berada di bulan Ramadhan.
Ketika beliau kudatangi, ia berkata: “Semua tulisan yang engkau tulis ini tidak mempunyai dasar.” Aku katakan padanya dengan nada keheranan: “Mengapa demikian?” Beliau menjawab: “Karena semua kitab yang menjadi sumber nukilanmu, bukan merupakan sandaran bagi madzhab kami.”
“Aku tidak mengerti makna ucapannya ini karena aku menukilnya dari kitab-kitab madzhab Hanafi, seperti kitab ‘Mabariqul Azhar Syarh Masyariqil Anwar’, sebuah kitab madzhab Hanafi, demikian pula aku nukil dari kitab ‘Mirqatul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih’ karya Mulla Ali Qari’ -seorang yang bermadzhab Hanafi-, serta beberapa nash-nash lainnya. Namun semuanya tidak digubris, sama halnya dengan sikap ayahku.”
Selanjutnya Syaikh Al-Albani menuturkan:
“Setelah peristiwa itu aku menulis sebuah kitab “Tahdziirus Saajid Min Ittikhaadzil Qubuur Masaajid” (Peringatan Bagi Orang yang Shalat Agar Tidak Menjadikan Kuburan Sebagai Masjid, pent).[23] Pada masa Khilafah ‘Utsmaniyyah orang yang menjadi imam shalat adalah madzhab Hanafi, baik di masjid Bani Umayyah ataupun di masjid At-Taubah. Ketika al-Husaini menjadi presiden, ia perintahkan jama’ah pertama dipimpin oleh madzhab Syafi’i dan jama’ah kedua diimami oleh madzhab Hanafi (Lihat Shafahat Baidha, hal. 29, footnote 2).
Sejak itu pula aku memutuskan untuk tidak melaksanakan shalat di masjid Bani Umayyah, agar perbuatanku tidak menyelisihi perkataanku. Ayahku mengetahui keputusanku namun ia menyembunyikan di dalam dirinya. Kemudian ada masalah lain yang juga menyelisihi mereka, yaitu shalat berjama’ah gelombang kedua di masjid Bani Umayyah. Karena di masjid tersebut terdapat dua kali shalat berjama’ah. Jama’ah yang pertama dipimpin oleh imam bermadzhab Hanafi, sedangkan jama’ah yang kedua dipimpin oleh imam bermadzhab Syafi’i.[23]
Biasanya jama’ah yang pertama diimami oleh Syaikh al-Burhani dan jika berhalangan digantikan ayahku[*]. Hal ini kulakukan karena aku berpendapat bahwa shalat berjama’ah yang kedua makruh hukumnya, jika dilakukan pada sebuah masjid yang sudah melaksanakan shalat jama’ah yang pertama.[*] Ayah beliau -Al-Haj Nuh Najati rahimahullah- adalah seorang alumnus dari beberapa pesantren dan sekolah tinggi Islam yang ada di Istambul, ibukota pemerintahan ‘Utsmaniyyah. Setelah menyelesaikan studinya ia kembali ke Albania untuk berdedikasi kepada agama, mengajarkan ilmunya kepada umat sehingga menjadi salah satu referensi (tempat bertanya) kaum muslimin yang berdatangan untuk menimba ilmunya. Beliau adalah seorang ulama dan ahli fiqih dari madzhab Hanafi]
Dari sanalah para pendengki mulai menghasut ayahku tentang aku sehingga pada suatu hari ketika kami sedang makan malam, ayahku berkata kepadaku dengan menggunakan bahasa Arab yang sangat jelas:BERDAKWAH DI JALAN ALLAH
“(Hanya dua pilihan bagimu) Mengikuti madzhabku atau berpisah meninggalkan kami.”
Maka aku mohon pada ayahku agar memberiku kesempatan untuk berpikir selama tiga hari. Lalu aku datangi beliau dengan membawa sebuah jawaban, kukatakan kepadanya:
“Aku memilih keluar dari rumah ini agar ayah tidak cemas dan gelisah disebabkan perbuatanku yang menyelisihi madzhab ayah.”
Lalu keluarlah aku, sedangkan (saat itu) aku tidak memiliki satu dinar atau satu dirham pun. Aku hanya diberi dua puluh lima lira Syiria. Maka pergilah aku ke salah seorang teman dan mengambil darinya dua ratus lira Syiria. Aku mengontrak sebuah toko dan bekerja dengan penuh kebebasan. Merupakan karunia Allah Azza wa Jalla atasku, di mana aku sangat teliti dan cermat dalam profesiku (reparasi jam).
Usiaku pada saat itu menginjak dua puluh dua tahun. Di tempat yang baru ini aku merasa bebas dalam bekerja dan berpikir. Kami mengadakan kajian-kajian di rumah beberapa teman. Setelah meluasnya ruang lingkup dakwah, kami adakan kajian-kajian dalam materi hadits yang disertai fiqihnya. Terkadang ayahku ikut hadir, ia mengajakku berbicara, demikian pula aku. Suatu ketika beliau datang dan berkata kepadaku:
“Aku tidak mengingkari bahwasanya telah banyak ilmu yang kudapati darimu.”
Rupanya kalimat tersebut sebagai kaffarah atas tindakannya padaku. (Lihat Shafahat Baidha’, hal. 26-29, adz-Dzabbul Ahmad, hal. 10-11, dinukil dari kitab “Al-Albani – al-Imam”, hal. 7)
Telah dijelaskan (dalam status sebelumnya) bahwa Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki andil besar dalam mengarahkan Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam ilmu dan amal. Beliau pun menempuh jalan yang benar, (dengan) mengikuti kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melenyapkan fanatisme madzhab atau golongan dan mengikuti kebenaran dimana pun (ia berada).
Bertolak dari sanalah Syaikh Al-Albani rahimahullah mengawali kesungguhannya dalam berdakwah kepada Allah Azza wa Jalla. Beliau menceritakan awal mulai perjalanan dakwahnya:
“Aku mulai menghubungi orang-orang yang aku kenal, sahabat-sahabatku serta teman-teman mereka. Aku jadikan tempat kerjaku sebagai wadah pertemuan kami, lalu pindah ke rumah salah seorang teman, dan pindah lagi yang pada akhirnya kami mengontrak sebuah flat (rumah susun).Selain kegiatan di atas, beliau selalu mengadakan dialog dan diskusi dengan para ulama dan imam-imam masjid. Banyak tantangan berat yang dihadapinya dari para Syaikh yang fanatik madzhab, para Syaikh Sufi, khurafat dan ahlul bid’ah, terutama dari kaumnya sendiri. Mereka memprovokasi orang-orang awam agar menentangnya, menyebarluaskan fitnah bahwa beliau adalah seorang Wahabi yang sesat, serta mengingatkan mereka agar waspada terhadapnya.
Orang-orang yang menghadiri kajian semakin banyak, sehingga tempat pertemuan menjadi sempit. Aktifitas kami mencapai peningkatan yang pesat dalam membaca hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menerangkan sanad-sanadnya. Kegiatan ini terus berkelanjutan hingga upaya yang dilakukan oleh para penentang kami membuahkan hasil. Kami pun ditekan dan seluruh pertemuan dibatalkan serta dibubarkan.” [Lihat kitab Hayat al-Albani (I/54, adz-Dzabbaul Ahmad, hal. 11), dinukil dari kitab Ulama wa Mufakkirun Araftuhum, oleh al-Madzub, jilid I, hal. 289-290)]
Namun pada saat yang sama, dakwah beliau dihadiri ulama-ulama terpandang dan terkenal di kota Damaskus, seperti ‘Allamah Muhammad Bahjat al-Baithar, Syaikh ‘Abdul fatah al-Imam -Pimpinan Ikatan Pemuda Muslimin-, Syaikh Taufik al-Bazrah rahimahullah, dan tokoh-tokoh terkemuka lainnya. [Lihat Hayat al-Albani (I/54), tarjamah Muhadditsul 'Ashri al-Albani, hal. 4, Shafahat Baidha', hal. 37)]
Tantangan dan ucapan-ucapan manusia tidak digubrisnya. Semua itu justru menambah keteguhannya dalam berpegang teguh pada manhaj yang haq serta memutuskan untuk bersabar dan menanggung penderitaan. Semuanya itu dilakukannya sebagai bentuk pengamalan wasiat Luqman kepada anaknya sebagaimana yang dikisahkan Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
“… Hai anakku, janganlah engkau berbuat syirik kepada Allah. Sesungguhnya kesyirikan (adalah) sebuah kedhaliman yang amat besar.” (Luqman: 13)
Sampai pada firman-Nya:
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan perintahlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar serta bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Luqman: 17)
Al-Albani adalah seorang alim pembawa bendera Tauhid dan Sunnah. Banyak ulama Damaskus yang dikunjunginya dan berlangsung dialog seputar masalah tauhid, fanatisme madzhab, serta masalah-masalah bid’ah lainnya. Beliau didampingi oleh Syaikh Abdul Fatah al-Imam rahimahullah.
Para penghasud, orang-orang jahil, para intel, dan penentang manhajnya terus memberikan tekanan-tekanan kepada beliau, sebagaimana beliau kisahkan di bawah ini:
“Sambutan baik terhadap dakwah initelah mendorong kami menyusun program untuk mengunjungi beberapa wilayah di Syiria antara Halab dan Laziqiyyah, seperti kota Idlib, Silmiyah, Himish, Hammah dan Riqqah. Meskipun waktu-waktu yang ditetapkan untuk setiap kotaterbatas, namun demikian, perjalanan dakwah keliling ini telah membuahkan hasil yang nyata, merekrut sejumlah orang yang berminat dalam ilmu hadits pada seminar-seminar yang mirip dengan sebuah training. Di sana dibacakan kitab-kitab hadits, pertanyaan-pertanyaan bergulir dan membangkitkan dialog-dialog yang sangat bermanfaat.Rangkaian peristiwa dan kejadian yang dialami al-Albani sebagai konsekuensi dakwahnya kepada Tauhid dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya:
Perjalanan ke kota Halab selain untuk tujuan dakwah dimanfaatkan pula oleh beliau untuk mengunjungi Perpustakaan Auqaf Islamiyah, satu-satunya perpustakaan di kota tersebut yang penuh dengan manuskrip. Di perpustakaan ini beliau selalu memanfaatkan waktu selama berjam-jam untuk mempelajari manuskrip-manuskripnya dan menyalin yang dianggap penting untuk program ilmiyah beliau. Di antara manuskrip yang dinukilnya adalah kitab Az-Zawa’id karya al-Bushairi. Demikian pula al-Albani telah menulis daftar manuskrip yang ada di perpustakaan ini, namun karya ini hilang ketika beliau hijrah dari Damaskus ke Yordania. (Lihat Hayat al-Albani, I/56)
Perjalanan dakwah ini telah melipat gandakan dan memperbesar dendam kesumat segolongan manusia, hingga mereka meningkatkan upaya-upaya menyampaikan (menghasut) kepada pihak yang berwenang sehingga kami pun menghadapi kesulitan yang berkepanjangan. (Lihat Shafahat Baidha’, hal. 38)
1. Setelah mengumpulkan tanda tangan masyarakat banyak, sekelompok syaikh/ulama di kotanya menyepakati sebuah dakwaan untuk menentangnya, lalu diajukan kepada Mufti Negeri Syam. Isi dakwaan itu bahwa beliau mengajak manusia kepada dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan mengganggu kaum muslimin. Oleh sang Mufti, tuduhan ini disampaikan kepada kepala kepolisian sehingga beliau pun dipanggil. Namun Allah Azza wa Jalla dengan kelembutan-Nya telah menganugerahkan karunia-Nya sehingga beliau selamat dari tipu daya mereka.
2. Dipanggil oleh Wakil Kementrian Dalam Negeri Urusan Keamanan untuk menyampaikan kepadanya permohonan Mufti kota Idlib agar beliau dicekal dan tidak masuk ke wilayah Idlib serta diasingkan ke kota al-Haskah.
3. Para syaikh tarikat sufi memfitnah dan berkata dusta tentang beliau serta berupaya memperingatkan umat agar waspada dan menjauhinya, yang berakhir dengan dimasukkannya al-Albani ke dalam penjara Qal’ah di Damaskus. Di penjara ini pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim rahimahumullah ditahan karena sebab yang sama, yaitu ulah para syaikh sesat dan menyimpang.
Di samping itu, mereka berupaya untuk mengingatkan para penuntut ilmu dan kaum awam agar tidak mendengar kajian Syaikh al-Albani, menghindar dari majelis ilmunya serta menghajr dan memutuskan hubungan dengannya. (Lihat kitab adz-Dzabul Ahmad, hal. 15, dinukil dari kitab al-Albani al-Imam, oleh ‘Abdul Qadir al-Junaid, hal. 13-14)
MENGAJAR DI UNIVERSITAS ISLAM MADINAH
Al-Ustadz ‘Id ‘Abbas dan ‘Ali Khasysyan dalam biografi al-Albani menuturkan:
Berkat kesungguhan yang berkesinambungan dan taufiq dari Allah Azza wa Jalla lahirlah karya-karya Syaikh yang sangat bermanfaat dalam bidang hadits, fiqih, aqidah dan yang lainnya.
Semua itu memberi isyarat kepada para ulama dan para tokoh, akan karunia Allah Azza wa Jalla yang dianugerahkan kepadanya berupa pemahaman yang benar dan ilmu yang banyak serta pengetahuan yang mendalam dalam hadits dan perawinya. Lebih dari itu beliau telah menempuh metode ilmiyah yang benar yaitu menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hakim dan neraca kebenaran dalam segala permasalahan. Menjadikan pemahaman Salafush Shalih sebagai pelita yang mengarahkan dan menerangi jalannya dalam memahami agama dan menggali hukum-hukumnya.
Metode inilah yang telah ditempuh para ulama peneliti seperti Syaikhul Islam Ahmad bin ‘Abdul Halim Ibnu Taimiyah rahimahullah, para muridnya serta ulama-ulama yang mengikuti jalan dan jejak mereka. Dari apa yang telah dicapainya, menjadikan beliau sebagai seorang tokoh terkemukadi mana popularitasnya menjulang tinggi dan sebagai referensi para ulama.
Derajat dan kemampuannya hanya diketahui oleh para petinggi yang mengawasi pusat-pusat kajian ilmiyah. Semua itu telah mendorong para pembimbing Universitas Islam Madinah -terutama Syaikh al-’Allamah Muhammad bin Ibrahim, Rektor Universitas dan Mufti Kerajaan Saudi Arabia pada saat itu- untuk menjatuhkan pilihannya kepada Syaikh al-Albani. Beliau dipercayakan memimpin pengajaran ilmu hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan fiqihnya di Universitas Madinah.
Al-Albani rahimahullah menetap di Madinah selama tiga tahun, bekerja sebagai dosen ilmu hadits. Selama mengajar, al-Albani rahimahullah telah menjadi teladan dalam kesungguhan dan keikhlasan. Pada waktu-waktu istirahat dan pergantian mata kuliah, beliau duduk bersama para mahasiswa di halaman perkuliahan. Sebagian dosen menuturkan:
“Inilah belajar yang hakiki, bukan yang kalian keluar darinya atau akan kembali padanya.” (Yang dimaksudkan adalah ruang perkuliahan).
Inilah pekerjaan Syaikh sebagai karunia Allah Azza wa Jalla yang dianugerahkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, sementara para dosen lain menuju ke ruang peristirahatan untuk mencicipi kurma segar, kopi dan teh.
Bisa jadi kesungguhan dan keikhlasan inilah yang telah menimbulkan kedengkian dan hasad pada sebagian orang atas beliau. Melihat ketergantungan dan kecintaan mahasiswa kepadanya, baik di dalam ataupun di luar kampus pada perjalanan rihlah yang diadakan oleh Universitas, maka para pendengki enggan kecuali beliau harus disingkirkan (dari universitas).
Hubungan Syaikh al-Albani rahimahullah dengan mahasiswa ibarat hubungan persahabatan seseorang dengan sahabatnya, bukan seperti hubungan antara seorang ustadz dengan muridnya. Beliau menyingkirkan beban mental yang membuat seorang murid merasa segan atau malu terhadap gurunya. Lalu digantinya dengan menanamkan perasaan ukhuwah/persaudaraan dan tsiqah (sikap percaya kepada seorang ustadz).
Beliau menuturkan:
“Aku membawa dengan mobilku siapa saja di antara mahasiswa yang kutemui baik ke kampus ataupun ke kota Madinah. Demikian kondisi mobilku setiap saat selalu penuh ketika pergi dan pulang.”Karena hubungannya yang demikian erat dengan mahasiswa , hingga pada suatu hari ketika usai mengajar beliau menuju ke kantor administrasi universitas, di sana al-Albani rahimahullah bertemu dengan al-Ustadz Muhammad bin Abdul Wahhab al-Banna’, beliau ingin ke kota Madinah. Maka keluarlah Syaikh al-Albani bersama beliau ke mobilnya untuk mengantar Ustadz al-Banna’, ternyata beliau dapati mobilnya telah dipenuhi oleh mahasiswa. Setelah melihat Ustadz al-Banna’, maka salah seorang di antara mereka mengalah dan memberikan tempatnya kepada sang ustadz.
Jika datang ke kampus di pagi hari, mobilnya hampir tidak kelihatan karena dikelilingi oleh kerumunan mahasiswa yang datang menyalami, bertanya, dan menimba ilmu darinya rahimahullah. [Hayat al-Albani (I/58-60), Shafahat Baidha', hal. 40-41)]
Apa yang disebutkan di atas telah membangkitkan amarah para penghasut beliau. Mereka membuat makar, tipu daya, dan fitnahan kepada beliau, lalu disampaikan kepada para pejabat tinggi Universitas Islam Madinah. Sementara mereka lupa dan lalai bahwa mereka akan berdiri di hadapan Allah Azza wa Jalla pada suatu hari yang tiada sesuatu pun tersembunyi di hadapan-Nya. Pada akhirnya universitas memutuskan untuk mengakhiri masa baktinya. Al-Albani bersabar atas tuduhan dan fitnahan yang dialamatkan kepadanya dan mengucapkan:
“… Cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.” (Ali Imran: 173)Allah-lah yang menghendaki dan Dia pula yang memilih, tiada seorang pun dapat menolak kehendak-Nya, Maha Suci Allah Azza wa Jalla.
Beliau ridha atas putusan Allah Azza wa Jalla dengan jiwa yang tenang dan jujur penuh keyakinan. Pada saat terjadinya peristiwa ini, Syaikh ‘Abdul Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz rahimahullah menghibur beliau seraya berkata:
“Di manapun berada, kamu dapat menjalankan kewajiban dakwahmu, tidak ada perbedaan bagimu.”Syaikh bin Baaz mengucapkan kalimat ini karena beliau mengetahui kekuatan iman al-Albani kepada Allah Yang Maha Agun, keluasan ilmu serta kesabarannya dalam menghadapi cobaan. Kemungkinan besar, inilah penafsiran sikap beliau yang selalu mengulang-ulang ucapan:
“Segala puji hanya milik Allah pada setiap keadaan,’ tatakala ditimpa musibah.
Syaikh bin Baaz rahimahullah pernah berkata:
“Aku tidak mengetahui di abad ini seorang alim dalam ilmu hadits yang menyamai al-’Allamah Muhammad Nashiruddin al-Albani.”Ketika ditanya siapakah Mujaddid abad ini?
Beliau menjawab:
“Menurutku, asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani adalah Mujaddid abad ini.” (Idem)***
Semoga bermanfaat…
-Sahabatmu-
Abu Muhammad Herman
(Disalin dengan sedikit diringkas dan beberapa penyesuaian dari Biografi Syaikh Al-Albani, Mujaddid dan Ahli Hadits Abad Ini, karya Ustadz Mubarak bin Mahfudh Bamuallim, Lc, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta)