Penulis: Al-Ustadz Abul Faruq Ayip Syafruddin.
Menjadi ibu rumah tangga
atau bergelutnya wanita dalam lingkup domestik merupakan kemunduran
adalah sekelumit citra yang kuat tertanam sebagai buah dari propaganda
emansipasi. Dengan ini, para wanita pun terpacu untuk mengejar karir
meski hanya untuk meraih simbol status. Padahal tanpa disadari, banyak
hal yang mereka pertaruhkan di sini.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Peribahasa ini sangat tepat untuk menggambarkan keadaan kaum wanita di
era kiwari. Ini terkait perjuangan emansipasi yang menghendaki kebebasan
kaum wanita manggung di ruang publik. Betapa tidak. Kala gerakan
emansipasi ini menggerus feodalisme yang mengungkung kaum wanita, dan
menyuarakan kebebasan untuk berkarir, pada saat itu kaum wanita
terpelanting pada arus budaya kapitalisme. Wanita menjadi komoditas,
barang dagangan utama.
Wanita dieksploitasi para pemilik modal (kapitalis) [1]. Suara kebebasan yag didengungkan hanya mengantarkan kaum wanita menjadi mesin-mesin ekonomi. Harkat,
martabat, dan kemuliaan yang dicitakan cuma sebatas angan. Malang nian
nasib kaum wanita. Lepas dari mulut buaya, masuk mulut harimau.
Emansipasi tak mampu mengangkatnya dari titik nadir keterpurukan.
Masih berkutat di ruang
publik. Angin kebebasan bagi kaum wanita berembus pula ke kubangan
politik. Wanita berpacu memperebutkan kursi. Entah kursi eksekutif atau
legislatif. Kaum wanita pun sudah tak sungkan dan malu lagi untuk turun
ke jalan. Mereka demonstrasi mengikuti arus kebebasan. Walau untuk itu,
mereka harus menggendong anaknya, berbaur dengan lawan jenis,
mendedahkan aurat berteriak di jalanan dan keluar rumah dengan keperluan
yang tak dilandasi syar’i.
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu
pernah ditanya terkait aktivitas kaum Hawa di luar rumah. Beliau
rahimahullahu menuturkan bahwa pokok masalah (hukum asal) pembicaraan
tentang wanita ini berdasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala terkait
individu para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.” (Al-Ahzab: 33).
Lantas beliau rahimahullahu mengutip pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu:
“Sesungguhnya, hukum asal bagi laki-laki (adalah) pergi dan keluar
(dari rumah). Sedangkan bagi wanita (adalah) tetap tinggal di rumah,
tidak keluar, kecuali jika ada keperluan yang mengharuskan dia keluar
rumah.”.
Lebih lanjut, beliau rahimahullahu menuturkan bahwa dalam Shahih Al-Bukhari, tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan hijab kepada kaum wanita, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَدْ أَذِنَ اللهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ
“Allah telah mengizinkan bagi kalian (para wanita) untuk keluar (rumah) tatkala kalian memiliki keperluan.” [2].
Maka, bila seorang
wanita keluar dari rumahnya dengan memakai jilbabnya, tidak memakai
parfum (wewangian), lantaran ada keperluan, maka yang demikian
diperbolehkan. Apabila dia keluar rumah diiringi pelanggaran terhadap
hal-hal yang kami isyaratkan tadi (seperti tidak menutup aurat atau
mengenakan wewangian, pen.) atau mengganggu sebagian kewajiban di
rumahnya, maka berlakulah ayat Al-Qur`an:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Dan hendaklah kamu tetap di rumah-rumahmu”.
Tidak boleh bagi seorang
wanita keluar (rumah) dan meninggalkan anak-anaknya bersama pembantu.
Karena, seorang ibu lebih mengetahui apa saja kebutuhan yang diminta
anak-anaknya. Dia pun mengetahui kebaikan apa saja bagi anak-anaknya
berkenaan dengan arahan dan pendidikan. (Masa`il Nisa`iyyah Mukhtarah min Fiqhi Al-’Allamah Al-Albani rahimahullahu, Ummu Ayyub Nurah bintu Ahsan Ghawi, hal. 79).
Demikian Islam
membimbing kaum wanita. Namun bagi kalangan pegiat emansipasi, bimbingan
semacam ini dianggap sebagai tindak mengekang kebebasan wanita. Mereka,
dengan gelap mata, menuduh bahwa kaum wanita cuma diposisikan untuk urusan domestik: kasur, pupur, dapur. Atau istilah lain: macak, masak, manak [3].
Dengan segala latar belakang sejarah dan pemikiran gerakan emansipasi
yang bertolak belakang dengan Islam, maka bagi kalangan pegiat
emansipasi melihat Islam dari sudut negatif. Karena benak mereka telah
dirasuki sejarah dan pemikiran emansipasi tersebut, mereka mendekati
Islam dengan dasar curiga. Sehingga, mereka melihat apa yang telah
diatur dalam Islam sebagai bentuk penistaan terhadap kaum wanita. Mereka
melihat kemajuan dan kemuliaan wanita adalah manakala telah mampu
melampaui atau sama dengan yang dicapai kaum pria. Kemajuan dan
kemuliaan wanita identik dengan jabatan, gelar, atau status sosial yang
dicapai. Hal-hal yang bersifat keakhiratan, keshalihan, ketaatan dan
keimanan dianggap sebagai angin lalu.
Dengan corak pemikiran
semacam itu, yang tidak bertumpu pada nilai-nilai Islam yang benar, maka
keberadaan kaum wanita yang memainkan peran domestiknya dianggap
sebagai kemunduran. Tak terbetik dalam diri mereka nilai keutamaan
seorang wanita yang sabar dalam menghadapi kesulitan mengurusi rumah
tangga. Tak terbetik pula dalam diri mereka, keutamaan seseorang yang
tetap mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan dzikir kala sulit melilit rumah tangganya.
Dikisahkan dari hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Fathimah
radhiyallahu ‘anha mengeluhkan tangannya akibat penggilingan (yang
digerakkan tangannya). Sedangkan pada saat itu terbetik berita bahwa
didatangkan tawanan perang (budak) kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Maka, bertolaklah Fathimah untuk menemui Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam (dengan maksud bisa meminta budak untuk dijadikan
pembantu di rumahnya). Namun, ternyata dia tak bertemu Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dia bertemu Aisyah radhiyallahu ‘anha. Diungkapkanlah apa yang menjadi keinginan hatinya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Maka, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba, Aisyah
radhiyallahu ‘anha mengabarkan tentang hal itu kepada beliau. Kemudian
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka berdua. Saat
ditemui, mereka berdua tengah berbaring di tempat tidur. “Tetaplah kalian di tempat,”
kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau duduk di antara
keduanya (Ali dan Fathimah radhiyallahu ‘anhuma). Kata Ali, “Hingga aku rasakan dinginnya kedua kaki beliau di perutku.” Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلَا
أُعَلِّمُكُمَا خَيْرًا مِمَّا سَأَلْتُمَا؟ إِذَا أَخَذْتُمَا
مَضَاجِعَكُمَا أَنْ تُكَبِّرَا اللهَ أَرْبَعًا وَثَلَاثِيْنَ
وَتُسَبِّحَاهُ ثَلَاثَةً وَثَلَاثِيْنَ وَتَحْمَدَاهُ ثَلَاثًا
وَثَلَاثِيْنَ، فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ
“Maukah
aku ajari kalian berdua tentang sesuatu yang lebih baik dari (pembantu)
yang kalian berdua minta? Apabila kalian berdua telah mendapati tempat
pembaringan (menjelang tidur), hendaknya bertakbir (mengagungkan-Nya) 34
kali, bertasbih (menyucikan-Nya) 33 kali, dan bertahmid (memuji-Nya) 33
kali. Maka, itu (semua) lebih baik daripada seorang pembantu.” (HR. Al-Bukhari, Bab ‘Amalil Mar`ah fi Baiti Zaujiha, no. 5361, dan Bab Khadimul Mar`ah, no. 5362; Muslim, Bab At-Tasbih Awwalan Nahar wa ‘indan Naum, no. 2727).
Berkenaan hadits di atas, Al-Imam Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menjelaskan, bahwa dengan membiasakan berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
niscaya akan diberikan kekuatan yang lebih besar dibanding kekuatan
yang mampu dikerjakan oleh seorang pembantu. Atau (dengan membiasakan
berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) akan mempermudah urusan.
Sekiranya terjadi seseorang diberi beragam urusan, dengan (dzikir) itu
akan lebih memudahkan dibanding diberi seorang pembantu kepadanya. Yang
jelas, kandungan hadits di atas memiliki maksud betapa manfaat tasbih
(menyucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala) dikhususkan terhadap kampung
akhirat, sedangkan manfaat adanya pembantu khusus menggapai (apa yang
ada) di dunia saja. Padahal akhirat itu lebih baik dan lebih kekal
adanya. (Fathul Bari, Bab ‘Amalil Mar`ah fi Baiti Zaujiha, penjelasan hadits no. 5361, 9/484).
Begitulah solusi yang dibangun melalui pendekatan keimanan dan keshalihan.
Kisah Fathimah radhiyallahu ‘anha
semoga bisa memberi secercah cahaya bagi mata hati nan gulita.
Sepenggal kisah tersebut semoga pula bisa meneduhkan kalbu yang galau
menatap kilau dunia. Beragam kesulitan yang silih berganti tiada henti,
yang menerpa para wanita di kala mengurusi rumah tangganya, ternyata
memendam untaian pahala tiada ternilai. Ketika tugas-tugas domestik itu
bisa ditunaikan dengan penuh kesabaran, ikhlas semata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala,
maka urusan-urusan rumah yang digelutinya menjadi ladang kebaikan. Ia
akan senantiasa mereguk pahala kebaikan yang tercurah padanya. Maka,
keutamaan mana lagi yang harus dia kejar?.
Tentu, bagi kalangan
feminis -aktivis perempuan yang getol menyuarakan kebebasan- hal-hal
keshalihan, ketaatan, keimanan, dan kesabaran dalam menggarap ladang
kebaikan di rumah tak akan menggiurkannya. Jangankan tergiur, untuk
menoleh sesaat saja dada terasa menyempit. Sesak terasa. Rumah baginya adalah penjara yang membelenggu kebebasannya untuk berkiprah di luar rumah. Ingatlah, bahwa akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
“Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Al-A’la: 17).
وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ اْلأُولَى
“Dan sesungguhnya akhirat itu lebih baik bagimu dari permulaan (dunia).” (Adh-Dhuha: 4).
Menurut Ibnu Katsir rahimahullahu, maksud ayat ini, bahwa kehidupan akhirat lebih baik bagimu dari (kehidupan) di dunia ini. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 7/395).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perumpamaan tentang kehidupan dunia. Berdasar hadits Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidur di atas selembar tikar. Tatkala beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bangun, nampak bekas tikar di bagian rusuknya. Lantas kami
katakan kepada beliau: ‘Wahai Rasulullah, (bagaimana) seandainya (tempat tidurmu) kami lapisi lembaran yang lebih baik?’ Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Apa
urusanku dengan dunia?! Tiadalah aku dalam (menyikapi dunia) kecuali
seperti seorang pengelana yang berteduh di bawah pohon, kemudian
beristirahat dan meninggalkan pohon tersebut.” (Sunan At-Tirmidzi, no. 2377. Hadits ini dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu).
Bila dicermati, semakin
laju zaman, keengganan -bahkan penolakan- terhadap peran domestik ini
makin menguat. Berpokok pada kejahilan umat terhadap Islam, diperparah
dengan gempuran budaya materialistik kapitalistik sehingga membentuk
cara berpikir yang pragmatis, simpel, praktis, dengan meninggalkan
idealisme beragama. Bahkan kondisi demikian menggejala nyaris di semua
lini kehidupan.
Tak terkecuali dengan
nilai-nilai Islam. Beberapa kalangan dari kaum muslimin, khususnya
mereka yang fokus terhadap emansipasi wanita, mulai bersuara sumbang.
Mereka katakan, tafsir terkait masalah wanita dihasilkan dari dominasi
penafsir laki-laki sehingga cenderung membela laki-laki. Terlontar pula
dari mereka bahwa tafsir terkait masalah wanita dihasilkan pada
abad-abad pertengahan yang merupakan abad kemunduran. Ungkapan-ungkapan
yang mereka lansir adalah upaya untuk mengecoh umat dari nilai-nilai
Islam. Sengaja mereka tebarkan ungkapan sejenis itu guna menjatuhkan
kredibilitas para ulama. Jika umat sudah tidak lagi memercayai ulamanya,
kepada siapa lagi mereka menyandarkan diri dalam masalah agama? Dari
sinilah kita memahami bahwa ada rencana besar di balik ini semua, yaitu
menghancurkan kaum muslimin. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dari semua ini.
Islam tidak mengajarkan umatnya untuk taqlid buta. Namun, Islam pun mengajarkan kepada umatnya untuk menghormati para ulama.
Tidak melecehkan mereka, apalagi menghilangkan kepercayaan terhadapnya.
Para ulama adalah orang-orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28).
- Al-Imam Al-Ajurri rahimahullahu dalam Akhlaqul ‘Ulama` (hal. 47), menjelaskan tentang sifat-sifat para ulama atau seorang yang alim. Beberapa pernyataan salafush shalih yang beliau nukil, seperti apa yang dinyatakan Al-Imam Al-Auza’i rahimahullahu yang berkata: “Aku telah mendengar Yahya bin Abi Katsir menyatakan, seorang alim adalah orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan (yang) takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah orang yang wara’ (yang menjauhi maksiat dan syubuhat)”.
- Kata Masruq rahimahullahu, “Cukuplah seorang termasuk berilmu, manakala dia takut kepada Allah -taala-. Dan cukuplah seseorang termasuk dalam kebodohan (jahil) manakala dia merasa ujub (bangga) dengan ilmunya”.
Atas dasar sikap takut
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akhlak terpuji lainnya, para ulama
menyampaikan bimbingannya. Apa yang disampaikan para ulama benar-benar
didasari rasa tanggung jawab yang besar. Tak cuma di hadapan umat, lebih
dari itu semuanya bakal dipertanggungjawabkan di hadapan Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Karenanya, sungguh tidak memiliki dasar ilmiah sama
sekali, mereka yang melansir ucapan bahwa tafsir masalah wanita
cenderung membela laki-laki, atau yang semakna dengan itu. Selain itu,
dalam khazanah Islam telah terbentuk tradisi metodologi keilmuan yang
ketat. Ini bisa dikaji secara ilmiah. Sehingga apa yang disampaikan para
ulama bukan sesuatu yang asal ucap tanpa dasar pijakan yang kokoh.
Kebenaran itu datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti firman-Nya:
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
“Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (Al-Baqarah: 147).
Jalan untuk menggapai kebenaran itu pun hanya satu.
Tidak ada jalan selain jalan yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karenanya, segenap
manusia diseru untuk menempuh jalan yang satu tersebut. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
وَأَنَّ هَذَا
صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ
فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
“Dan
bahwa inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu
mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan
Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (Al-An’am: 153).
Ibnu Katsir rahimahullahu dalam tafsirnya menyebutkan hadits yang diriwayatkan Al-Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullahu dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Dia berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggaris satu guratan garis
dengan tangannya, kemudian bersabda, ‘Ini jalan Allah yang lurus.’
Lantas mengguratkan di sebelah kanan dan kiri garis tadi, kemudian
bersabda, ‘Ini jalan-jalan, tak ada dari salah satu jalan tersebut kecuali setan menyeru kepadanya.’ Kemudian beliau membaca ayat di atas (Al-An’am: 153)”.
Menempuh jalan -dalam
memahami, meyakini dan mengamalkan agama- dengan jalan yang bukan
dituntunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, niscaya tertolak.
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang
yang rugi.” (Ali ‘Imran: 85).
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang tidak ada padanya, maka dia tertolak.” (HR. Al-Bukhari, no. 2697, Muslim, no. 1718).
Untuk memalingkan muslimah dari jalan Islam, kalangan feminis (baca: para aktivis emansipasi)
terus mempropagandakan ide-idenya. Bisa dilihat selembar potret kusam
yang menggambarkan rekayasa penghancuran kaum muslimah di Timur Tengah.
Meski apa yang terjadi di Indonesia tak kalah dahsyat tentunya. Sebut
misal, Markus Fahmi, seorang Qibthi Mesir, penulis buku Wanita di Timur. Dengan lantang tanpa ragu dia menuntut lima hal:
- Singkirkan hijab (jilbab syar’i, ed.),
- Membolehkan ikhtilath (membaurkan kaum wanita dengan laki-laki),
- Nikahkan muslimah dengan laki-laki Kristen,
- Menolak poligami,
- Talak harus di depan hakim (bukan menjadi hak suami, pen.). (Mu’amaratul Mar`ah Al-Kubra, Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam, 1/70-71)
Maka, adakah dari kelima hal di atas, yang kini merebak di Indonesia?.
Bandingkan dengan suara wanita Indonesia -meski tak semuanya- pada acara Kongres Perempuan Pertama di Yogyakarta: “Menoeroet
hoekoem agama Islam, orang lelaki itoe boleh mempoenjai isteri lebih
dari seorang, ja hingga empat orangpoen boleh djoega. Hal inilah jang
menjakitkan hati kita kaoem perempoean, dan djoega merendahkan
deradjatnja orang perempoean….” (Kongres Perempuan Pertama, Tinjauan Ulang, Susan Blackburn, 1/98).
Seruan yang nyaris sepadan disuarakan pula oleh Ana Maria Ilyas, feminis asal Suriah, penulis Kepemimpinan atas Wanita Islam.
Dia menggagas acara festival yang menjiplak mentah-mentah Festival
Paris di Perancis. Festival ini menjadi ajang berbaur bebas antara pria
dan wanita. Dari berbagai orang Eropa, Mesir, dan orang-orang Barat yang
bermukim di Mesir, khususnya dari kalangan Kristiani, mereka berkumpul.
Latar belakang mereka, selain orang-orang Eropa, juga memiliki pikiran
sekularis dan Yahudi. Maka, kata Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah
Al-Imam hafizhahullah, inilah hakikat seruan kepada (kebebasan) hak-hak
wanita. Mungkinkah bisa terjadi seruan terhadap (kebebasan) hak-hak
wanita tersebut tanpa menerima kelompok orang-orang berdosa dan
menyimpang itu? (Tentunya, tidak mungkin). Bahkan, mereka adalah sumber
dan tempat merujuk. Perhatikanlah, bagaimana (lantaran menyuarakan
hak-hak wanita) mereka bergelimang pada perkara-perkara kekufuran, dan
saling mengasihi serta melindungi! La haula wala quwwata illa billah. (Mu’amarah Al-Kubra, 1/71).
Tersebut juga nama Duriyah Syafiq.
Sekembali dari studi di Perancis dengan menggondol gelar doktor, ia
mendirikan partai politik. Dengan lantang dia menyuarakan kebebasan kaum
wanita untuk dipilih dan masuk parlemen, menghapuskan poligami, serta
memasukkan sistem perundangan Eropa dalam masalah talak ke dalam
undang-undang Mesir. (Mu’amarah Al-Kubra, 1/72).
Bandingkan dengan fenomena yang terjadi di Indonesia.
Perjuangan kaum wanita untuk mendapatkan kuota dalam pemilihan anggota
legislatif semakin menganga. Kini, syarat sebuah partai politik berdiri,
harus menyertakan keterwakilan perempuan paling rendah 30%.
Mestikah kemajuan materi yang digapai kini hanya akan mengeraskan hati manusia? Sehingga, dengan itu manusia tak mau tunduk patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mestikah laju pengetahuan yang demikian canggih, menjadikan manusia angkuh, merasa diri mampu atas segalanya?.
Sudah tiba saatnya, kaum muslimah berkaca diri. Menatap tentang keadaan dirinya. Sudahkah bersolek dengan hiasan keimanan, ketaatan, dan keshalihan? Lalu menggubah rumah menjadi madrasah bagi masa depan anak-anaknya.
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ
“Dan seorang wanita adalah pemimpin bagi rumah suami dan anaknya.” (HR. Al-Bukhari, no. 5200, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma).
Wallahu a’lam.
Footnote:
[1]. Dijadikan pemikat
guna melariskan dan memuluskan usaha. Baik di perkantoran, di dunia
periklanan, atau lainnya, nyaris selalu mengedepankan kaum wanita.
[2]. Lihat Shahih Al-Bukhari, Kitabun Nikah, Bab Khurujun Nisa` li Hawa`ijihinna, hadits no. 5237. (pen)
[3]. Pupur (jw)=bedak, macak (jw)=berdandan, manak (jw)=melahirkan. Maksudnya, wanita dicitrakan tak jauh-jauh dari urusan ‘ranjang’, dandan, memasak, dan melahirkan anak.
[2]. Lihat Shahih Al-Bukhari, Kitabun Nikah, Bab Khurujun Nisa` li Hawa`ijihinna, hadits no. 5237. (pen)
[3]. Pupur (jw)=bedak, macak (jw)=berdandan, manak (jw)=melahirkan. Maksudnya, wanita dicitrakan tak jauh-jauh dari urusan ‘ranjang’, dandan, memasak, dan melahirkan anak.
Sumber: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=612.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar