Ulama Pejuang dan Perintis Pertanian Tembakau
Nama Probolinggo
telah ada sejak tahun 1359 M. (1281 Saka). Ketika Prabu Hayam Wuruk
berhasil mempersatukan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit tahun 1357
M (1279 Saka) atas jerih payah Maha Patih Mada, rombongan pembesar
kerajaan kemudian bermuhibah ke daerah ini dan enggan kembali. Sehingga
ketika sang prabu sedang linggih (duduk) merenugi keindahan kawasan ini,
maka kawasan ini dinamakan oleh masyarakat sebagai Prabu Linggih.
Setelah mengalami proses perubahan ucapan, kata Prabu Linggih kemudian
berubah menjadi Probo Linggo (Probolinggo). Daerah ini merupakan salah
satu bagian dari Propinsi Jawa Timur yang terletak di kaki Gunung
Semeru, Gunung Argopuro dan Pegunungan Tengger dengan luas sekitar
1.696,166 Km persegi.
Paiton adalah adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur yang terkenal dengan kehadiran kompleks Pembangkit Listrik-nya. Kawasan ini berada pada garis pantai yang menghadap ke selat Madura. Kawasan ini juga merupakan daerah penghasil tembakau. Karenanya banyak sekali masyarakat Paiton yang bekerja sebagai petani, nelayan dan pedagang barter seperti tembakau (blandang).
Dengan letak geografis yang cukup menguntungkan dalam perdagangan laut, terutama nelayannya, maka banyak nelayan dari Pasuruan; Sampang, Madura; Muncar, Banyuwangi yang singgah di sini. Karenanya, mayoritas penduduk di kawasan ini adalah etnis Madura. Sehingga dengan sendirinya, sebagaimana umumnya karakter masyarakat etnis madura, Paiton juga merupakan kawasan masyarakat santri yang memiliki banyak pesantren sebagai tempat mendidik generasi mudanya.
Salah satu di antara pesantren-pesantren kawasan ini yang cukup terkenal adalah Pesantren Nurul Jadid di desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, yang didirikan oleh KH Zaini Abdul Mun’im. Seorang ulama pejuang Republik kelahiran Madura yang datang ke Paiton pada tanggal 10 Muharram 1948 M. Beliau singgah di Karanganyar dalam perjalanannya menuju ke Yogyakarta untuk bergabung dengan para pejuang Republik lainnya di sana.
Ketika sedang berada di Karanganyar, KH Zaini mendapat titipan (amanat) dari Allah berupa dua orang santri yang datang kepada Beliau untuk belajar ilmu agama. Kedua santri ini bernama Syafi’udin berasal dari Gondosuli, Kotaanyar Probolinggo dan Saifudin dari Sidodadi Kecamatan Paiton, Probolinggo. Kedatangan dua santri tersebut oleh beliau dianggap sebagai amanat Allah yang tidak boleh diabaikan. mulai saat itulah KH Zaini menetap bersama kedua santrinya.
Namun tidak seberapa lama, beliau ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di LP Probolinggo. KH Zaini, pada waktu tersebut memang termasuk orang yang dicari-cari oleh Belanda sejak dari pulau Madura. Belanda menganggap beliau sebagai orang yang berbahaya, karena menurut Belanda, Beliau mampu mempengaruhi dan menggerakkan rakyat untuk melawan Belanda.
Setelah sekitar tiga bulan di penjara, kemudian beliau dikembalikan lagi ke Karanganyar untuk mengasuh santri-santrinya yang sedang menunggu kedatangannya. Sejak saat itulah, KH Zaini Abdul Mun'im membimbing santri-santrinya yang sudah mulai berdatangan dari berbagai penjuru seperti dari Madura, Situbondo, Malang, Bondowoso dan Probolinggo. Dengan banyaknya santri yang berdatangan, KH Zaini Mun’im kemudian merasa berkewajiban untuk mendidik mereka.
Merintis Dakwah di Tanah seberang
Memang kedatangan KH Zaini tidak secara langsung berniat untuk mendirikan sebuah pesantren. Namun atas saran dan dukungan dari berbagai pihak, maka Beliau pun kemudian memiliki tekad yang mantap untuk mendirikan sebuah pesantren yang dinakaman pesantren Nurul Jadid. Nama pesantren Nurul Jadid ini bermula pada saat KH Zaini Mun’im didatangi seorang tamu, putra gurunya (KH Abdul Majid) yang bernama KH Baqir. Beliau mengharap kepada KH Zaini Mun’im untuk memberi nama pesantren yang diasuhnya dengan nama Nurul Jadid.
Nama Karanganyar sebenarnya adalah desa Tanjung, nama kuno yang diambil dari nama sebuah pohon besar di sana yang dijadikan sebagai pusat penempatan sesajen untuk memuja para roh yang melindungi masyarakat sekitar. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat di sana pada awalnya adalah para penganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Menurut masyarakat setempat, keberadaan beberapa pohon-pohon besar ini tidak boleh ditebang. Pohon-pohon besar tersebut diyakini sebagai pelindung masyarakat dan harus diselenggarakan upacara ritual dalam bentuk pemberian sesajen, utamanya ketika ada suatu hajatan.
Sesajen itu disajikan kepada roh yang diyakini berada di sekitar pohon besar tersebut. Salah satu ritual itu dilakukakan ketika ketika musim tanam tiba. Sebelum panen, masyarakat menggelar sesajenan dengan cara patungan. Beberapa anggota masyarakat meletakkan ayam di beberapa tempat yang dianggap sakral. Selain itu pada setiap tahunnya mereka mengadakan selamatan laut dengan membuang kepala kerbau.
Dalam kehidupan sosial, masyarakat desa Tanjung sangat terbelakang (jahiliyah). Mereka belum mengenal peradaban baru (Islam) yang lebih baik. Hal ini terlihat dengan maraknya perjudian, perampokan, pencurian dan tempat mangkal para pekerja seks komersial (PSK). Kehidupan hedonis mewarnai pemandangan sehari-hari dan moralitas jauh ditinggalkan. Pada saat itu kesenangan dan kebahagiaan hanya terdapat pada perbuatan yang penuh dengan kemaksiatan dan kemungkaran.
Dalam kehidupan ekonomi, masyarakat desa Tanjung termasuk masyarakat yang sangat bergantung pada alam. Mereka menganggap bahwa jika yang diberikan alam sudah tidak ada lagi yang bisa dimakan, maka mereka pindah ke tempat lain atau mencari makan di daerah lain. Tempat yang mereka pilih terutama di daerah pinggiran laut (pantai) yang banyak pohon bakaunya untuk dimakan. Sedangkan lahan pertanian yang ada hanya dikuasai oleh beberapa orang.
Dengan demikian, desa Tanjung waktu itu merupakan desa “mati”, karena disamping daerahnya masih dipenuhi dengan hutan jati dan penuh dengan semak belukar yang tidak menghasilkan nilai ekonomis, juga karena masyarakatnya yang tidak memperdulikan keadaan sekitarnya.
Dalam situasi dan kondisi sosial masyarakat desa Tanjung seperti itulah, KH Zaini Mun’im –setelah mendapatkan restu dan perintah dari KH Syamsul Arifin, ayah KH As’ad Syamsul Arifin, Sukorejo– memutuskan untuk menetap dan bertempat tinggal bersama keluarganya di desa ini. Sebelum memutuskan untuk bertempat tinggal di desa Karanganyar, KH Zaini Mun’im mengajukan tempat-tempat lainnya dengan membawa contoh tanah pada KH Syamsul Arifin.
Daerah lain yang pernah diajukan oleh KH Zaini Mun’im selain tanah desa Karanganyar ini adalah daerah Genggong Timur, dusun Kramat Kraksaan Timur, desa Curahsawo Probolinggo Timur, sebuah dusun di daerah kebun kelapa Jabung, dan dusun Sumberkerang. Setelah diseleksi contoh tanahnya oleh KH Syamsul Arifin, maka KH Zaini Mun’im diperintahkan untuk menetap di Desa Tanjung.
Berkat ketekunan KH Zaini dalam berdakwah, maka berangsur-angsur kehadiran pesantren Nurul Jadid dapat mengubah kondisi yang demikian menjadi kondisi masyarakat dengan iklim religius tanpa mengalami penentangan yang frontal. Lambat laun, dengan kehadiran pesantren yang diasuh oleh KH Zaini dan dakwah Islam yang dipimpinnya dengan santun, nama desa Tanjung berubah menjadi Karanganyar.
Memberdayakan Ekonomi Masyarakat
KH Zaini Abdul Mun’im adalah seorang ulama yang memiliki kepedulian terhadap kondisi kemiskinan dan keterbelakangan rakyat akibat penjajahan dan kekejaman pemerintah kolonial Belanda. Karena karakter KH Zaini yang memiliki kepedulian tinggi terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakatnya, maka pesantren yang didirikannya ini juga diformat untuk memiliki kepeduliannya yang tinggi dan ikut menciptakan pemberdayaan manusia dengan seutuhnya.
Sejak itulah KH Zaini Mun’im mulai dikenal di masyarakat karena keuletan dan keberanian serta ketabahannya. Di samping itu, dua orang teman yang membantunya, yakni KH Munthaha dan KH Sufyan. Keduanya adalah santri yang ditugaskan oleh KH Hasan Sepuh (Pengasuh PP. Zainul Hasan Genggong, Kraksaan) untuk membantu KH Zaini Mun’im sambil mengaji kepada beliau. memang sudah dikenal oleh masyarakat luas karena sering memberi bantuan kepada masyarakat, terutama keampuhan doa-doanya.
Setelah kesadaran beribadah masyarakat mulai tumbuh yang terbukti dengan dibangunnya beberapa mushalla oleh masyarakat setempat, KH Zaini Mun’im memperkenalkan tanaman baru kepada mereka, yakni tembakau yang bibitnya dibawa dari Madura. Awalnya, bibit tersebut sebagai percobaan di desa Karanganyar. Seiring perkembangan waktu, ternyata tanaman ini memang cocok dengan keadaan tanah di desa Karanganyar dan bisa mengangkat perekonomian masyarakatnya. Akhirnya, tanaman ini menjadi penghasilan pokok masyarakat Karanganyar dan bahkan masyarakat di luar Paiton.
Pada sisi lainnya, upaya yang dilakukukan KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya, juga cukup memberikan hasil yang memuaskan. Terbukti dengan pupusnya kepercayaan mereka terhadap roh ghaib dan semakin rendahnya kasus pencurian, pemerkosaan, perjudian, serta lenyapnya gembong PSK. Dan seiring itu pula, tumbuhlah semangat yang menyala-nyala dalam mempertahankan kehidupan menuju keluarga sakinah (keluarga bahagia dunia-akhirat).
Dalam keadaan yang sudah mulai damai dan nyaman, KH Zaini Mun’im dikejutkan oleh surat panggilan yang datangnya dari Menteri Agama (waktu itu adalah KH Wahid Hasyim). Beliau diminta untuk menjadi penasehat jamaah haji Indonesia. Dan tawaran tersebut beliau terima. Pada saat itu jumlah santri yang sudah menetap di PP. Nurul Jadid sekitar 30 orang dan siserahkan di bawah asuhan KH Munthaha dan KH Sufyan. Dengan kharisma yang dimiliki, keduanya, dengan mudah membangun beberapa pondok yang terbuat dari bambu untuk tempat tinggal para santri pada waktu itu.
Sepulangnya KH Zaini Mun’im dari tanah suci dalam tugasnya sebagai penasehat jamaah haji Indonesia, terlihat beberapa gubuk sudah berdiri, maka tergeraklah hati beliau untuk memikirkan masa depan para santri-santrinya. Mulailah KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya membabat hutan yang ada di sekitarnya sehingga berdirilah sebuah pesantren yang cukup besar sampai terlihat seperti sekarang ini.
Secara pelan-pelan, kehidupan masyarakat mulai ada perubahan. Hal ini berkat ketekunan KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya. Mereka disadarkan dengan sentuhan agama. Akhirnya, timbul suatu kesadaran di kalangan masyarakat bahwa merekalah yang sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar untuk bisa merubah cara hidupnya, terutama dari kehidupan sosial ekonomi.
Setelah perekonomian masyarakat mulai meningkat melalui pemanfaatan tanah pertanian, mulailah dimasukkan ajaran dan nilai-nilai agama islam dalam kehidupan masyarakat Karanganyar. Hal lainnya adalah pendalaman ilmu agama melalui sistem pendidikan non formal. Pola pendidikan dan pembinaan semacam itu dilakukan, baik kepada santri maupun kepada masyarakat sekitar pesantren. Pengajian kitab dilakukan dengan berbagai metode. Mulai dari bandongan, sorogan dan takhassus. Sementara itu pemberian makna dalam pengajian kitab kuning menggunakan bahasa indonesia. Sehingga pesantren Nurul Jadid merupakan pesantren pertama yang menggunakan bahasa Indonesia dalam menerangkan dan menterjemahkan kitab-kitab yang dikajinya.
Upaya perubahan yang dilakukan KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya terhadap masyarakat Karanganyar tersebut, kemudian dibalas dengan sikap simpati masyarakat berupa dukungan terhadap perkembangan pesantren Nurul Jadid. Di antaranya adalah dukungan masyarakat Karanganyar terhadap berdirinya Lembaga Pendidikan mulai Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT).
Pesantren yang diasuh KH Zaini Mun’im ini nampaknya mendapat pengakuan yang cukup luas di kalangan masyarakat. Terbukti dengan semakin banyaknya jumlah santri yang berdatangan dari segala penjuru tanah air, bahkan dari luar negeri (Singapura dan Malaysia). Hingga saat ini pesantren Nurul Jadid telah melahirkan ribuan alumni.
Isyarat dan Menjual Tanah
Sebelum mendirikan pesantren di desa karanganyar ini, KH Zaini Mun’im sempat memiliki keraguan, hingga tiba-tiba beliau menemukan sarang lebah. Hal ini kata orang-orang waktu itu adalah sebagai isyarat, jika beliau menetap dan mendirikan pondok pesantren di Desa Karanganyar (Tanjung), maka akan banyak santrinya.
Isyarat kedua datang dari KH Hasan Sepuh Genggong. Suatu saat ketika Kyai Hasan mendatangi suatu pengajian dan melewati desa Tanjung. Beliau berkata kepada kusir dokarnya, ”Di masa mendatang, jika ada kiai atau ulama yang mau mendirikan pondok di daerah sini, maka pondok tersebut kelak akan menjadi pondok yang besar, dan santrinya kelak akan melebihi santri saya.” Sang kusir pun hanya manggut-manggut. Kemudian peryataan ini tersebar ke masyarakat sekitar dan sampai di telinga KHZaini.
Isyarat ketiga datang dari alam setempat, kondisi tanahnya yang bagus dan suplai air yang mencukupi. Selain itu, desa Tanjung merupakan tempat yang jauh dari keramaian kota (Kraksaan), sehingga sangat cocok untuk mendirikan sebuah tempat pendidikan.
Setelah dirasa cocok, KH Zaini Mun’im segera membuat kesepakatan dengan H. Tajuddin salah seorang pemilik tanah yang luas di desa Tanjung. KH Zaini menukarkan dengan tanahnya yang ada di pulau Madura, dengan hutan jati dan belukar di tempat tersebut. Dengan berbekal satu batang lidi, Beliau berjalan menelusuri tanah yang sudah menjadi miliknya itu, sehingga semua hewan dan binatang buas serta membahayakan lari dan meninggalkan hutan jati itu menuju utara desa Grinting. Selama satu tahun lebih beliau membabat hutan, mendirikan rumah, membangun surau kecil bersama dua orang santri pertamanya dan mengubah hutan serta belukar menjadi tegalan dan perkebunan.
Motto hidup KH Zaini adalah mewakafkan diri untuk penyiaran dakwah Islam dan meninggikan agama Allah. Beliau adalah seorang ulama pejuang yang kuat, tabah dan memiliki kesetiaan tinggi kepada rekan-rekannya. Sehingga ketika berada dalam tahanan Belanda di Probolinggo, Beliau tetap bungkam meskipun dipaksa dengan berbagai cara untuk membocorkan tempat-tempat pesembunyian rekan-rekan seperjuangannya yang lain, yang juga menjadi buronan Belanda. KH Zaini sangat kuat memegang semboyan ”liberty or dead (merdeka atau mati)”. Sehingga tidak satu pun temen-teman seperjuangannya yang dapat ditangkap Belanda karena pengakuan Beliau. (Syaifullah Amin)
Paiton adalah adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur yang terkenal dengan kehadiran kompleks Pembangkit Listrik-nya. Kawasan ini berada pada garis pantai yang menghadap ke selat Madura. Kawasan ini juga merupakan daerah penghasil tembakau. Karenanya banyak sekali masyarakat Paiton yang bekerja sebagai petani, nelayan dan pedagang barter seperti tembakau (blandang).
Dengan letak geografis yang cukup menguntungkan dalam perdagangan laut, terutama nelayannya, maka banyak nelayan dari Pasuruan; Sampang, Madura; Muncar, Banyuwangi yang singgah di sini. Karenanya, mayoritas penduduk di kawasan ini adalah etnis Madura. Sehingga dengan sendirinya, sebagaimana umumnya karakter masyarakat etnis madura, Paiton juga merupakan kawasan masyarakat santri yang memiliki banyak pesantren sebagai tempat mendidik generasi mudanya.
Salah satu di antara pesantren-pesantren kawasan ini yang cukup terkenal adalah Pesantren Nurul Jadid di desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, yang didirikan oleh KH Zaini Abdul Mun’im. Seorang ulama pejuang Republik kelahiran Madura yang datang ke Paiton pada tanggal 10 Muharram 1948 M. Beliau singgah di Karanganyar dalam perjalanannya menuju ke Yogyakarta untuk bergabung dengan para pejuang Republik lainnya di sana.
Ketika sedang berada di Karanganyar, KH Zaini mendapat titipan (amanat) dari Allah berupa dua orang santri yang datang kepada Beliau untuk belajar ilmu agama. Kedua santri ini bernama Syafi’udin berasal dari Gondosuli, Kotaanyar Probolinggo dan Saifudin dari Sidodadi Kecamatan Paiton, Probolinggo. Kedatangan dua santri tersebut oleh beliau dianggap sebagai amanat Allah yang tidak boleh diabaikan. mulai saat itulah KH Zaini menetap bersama kedua santrinya.
Namun tidak seberapa lama, beliau ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di LP Probolinggo. KH Zaini, pada waktu tersebut memang termasuk orang yang dicari-cari oleh Belanda sejak dari pulau Madura. Belanda menganggap beliau sebagai orang yang berbahaya, karena menurut Belanda, Beliau mampu mempengaruhi dan menggerakkan rakyat untuk melawan Belanda.
Setelah sekitar tiga bulan di penjara, kemudian beliau dikembalikan lagi ke Karanganyar untuk mengasuh santri-santrinya yang sedang menunggu kedatangannya. Sejak saat itulah, KH Zaini Abdul Mun'im membimbing santri-santrinya yang sudah mulai berdatangan dari berbagai penjuru seperti dari Madura, Situbondo, Malang, Bondowoso dan Probolinggo. Dengan banyaknya santri yang berdatangan, KH Zaini Mun’im kemudian merasa berkewajiban untuk mendidik mereka.
Merintis Dakwah di Tanah seberang
Memang kedatangan KH Zaini tidak secara langsung berniat untuk mendirikan sebuah pesantren. Namun atas saran dan dukungan dari berbagai pihak, maka Beliau pun kemudian memiliki tekad yang mantap untuk mendirikan sebuah pesantren yang dinakaman pesantren Nurul Jadid. Nama pesantren Nurul Jadid ini bermula pada saat KH Zaini Mun’im didatangi seorang tamu, putra gurunya (KH Abdul Majid) yang bernama KH Baqir. Beliau mengharap kepada KH Zaini Mun’im untuk memberi nama pesantren yang diasuhnya dengan nama Nurul Jadid.
Nama Karanganyar sebenarnya adalah desa Tanjung, nama kuno yang diambil dari nama sebuah pohon besar di sana yang dijadikan sebagai pusat penempatan sesajen untuk memuja para roh yang melindungi masyarakat sekitar. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat di sana pada awalnya adalah para penganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Menurut masyarakat setempat, keberadaan beberapa pohon-pohon besar ini tidak boleh ditebang. Pohon-pohon besar tersebut diyakini sebagai pelindung masyarakat dan harus diselenggarakan upacara ritual dalam bentuk pemberian sesajen, utamanya ketika ada suatu hajatan.
Sesajen itu disajikan kepada roh yang diyakini berada di sekitar pohon besar tersebut. Salah satu ritual itu dilakukakan ketika ketika musim tanam tiba. Sebelum panen, masyarakat menggelar sesajenan dengan cara patungan. Beberapa anggota masyarakat meletakkan ayam di beberapa tempat yang dianggap sakral. Selain itu pada setiap tahunnya mereka mengadakan selamatan laut dengan membuang kepala kerbau.
Dalam kehidupan sosial, masyarakat desa Tanjung sangat terbelakang (jahiliyah). Mereka belum mengenal peradaban baru (Islam) yang lebih baik. Hal ini terlihat dengan maraknya perjudian, perampokan, pencurian dan tempat mangkal para pekerja seks komersial (PSK). Kehidupan hedonis mewarnai pemandangan sehari-hari dan moralitas jauh ditinggalkan. Pada saat itu kesenangan dan kebahagiaan hanya terdapat pada perbuatan yang penuh dengan kemaksiatan dan kemungkaran.
Dalam kehidupan ekonomi, masyarakat desa Tanjung termasuk masyarakat yang sangat bergantung pada alam. Mereka menganggap bahwa jika yang diberikan alam sudah tidak ada lagi yang bisa dimakan, maka mereka pindah ke tempat lain atau mencari makan di daerah lain. Tempat yang mereka pilih terutama di daerah pinggiran laut (pantai) yang banyak pohon bakaunya untuk dimakan. Sedangkan lahan pertanian yang ada hanya dikuasai oleh beberapa orang.
Dengan demikian, desa Tanjung waktu itu merupakan desa “mati”, karena disamping daerahnya masih dipenuhi dengan hutan jati dan penuh dengan semak belukar yang tidak menghasilkan nilai ekonomis, juga karena masyarakatnya yang tidak memperdulikan keadaan sekitarnya.
Dalam situasi dan kondisi sosial masyarakat desa Tanjung seperti itulah, KH Zaini Mun’im –setelah mendapatkan restu dan perintah dari KH Syamsul Arifin, ayah KH As’ad Syamsul Arifin, Sukorejo– memutuskan untuk menetap dan bertempat tinggal bersama keluarganya di desa ini. Sebelum memutuskan untuk bertempat tinggal di desa Karanganyar, KH Zaini Mun’im mengajukan tempat-tempat lainnya dengan membawa contoh tanah pada KH Syamsul Arifin.
Daerah lain yang pernah diajukan oleh KH Zaini Mun’im selain tanah desa Karanganyar ini adalah daerah Genggong Timur, dusun Kramat Kraksaan Timur, desa Curahsawo Probolinggo Timur, sebuah dusun di daerah kebun kelapa Jabung, dan dusun Sumberkerang. Setelah diseleksi contoh tanahnya oleh KH Syamsul Arifin, maka KH Zaini Mun’im diperintahkan untuk menetap di Desa Tanjung.
Berkat ketekunan KH Zaini dalam berdakwah, maka berangsur-angsur kehadiran pesantren Nurul Jadid dapat mengubah kondisi yang demikian menjadi kondisi masyarakat dengan iklim religius tanpa mengalami penentangan yang frontal. Lambat laun, dengan kehadiran pesantren yang diasuh oleh KH Zaini dan dakwah Islam yang dipimpinnya dengan santun, nama desa Tanjung berubah menjadi Karanganyar.
Memberdayakan Ekonomi Masyarakat
KH Zaini Abdul Mun’im adalah seorang ulama yang memiliki kepedulian terhadap kondisi kemiskinan dan keterbelakangan rakyat akibat penjajahan dan kekejaman pemerintah kolonial Belanda. Karena karakter KH Zaini yang memiliki kepedulian tinggi terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakatnya, maka pesantren yang didirikannya ini juga diformat untuk memiliki kepeduliannya yang tinggi dan ikut menciptakan pemberdayaan manusia dengan seutuhnya.
Sejak itulah KH Zaini Mun’im mulai dikenal di masyarakat karena keuletan dan keberanian serta ketabahannya. Di samping itu, dua orang teman yang membantunya, yakni KH Munthaha dan KH Sufyan. Keduanya adalah santri yang ditugaskan oleh KH Hasan Sepuh (Pengasuh PP. Zainul Hasan Genggong, Kraksaan) untuk membantu KH Zaini Mun’im sambil mengaji kepada beliau. memang sudah dikenal oleh masyarakat luas karena sering memberi bantuan kepada masyarakat, terutama keampuhan doa-doanya.
Setelah kesadaran beribadah masyarakat mulai tumbuh yang terbukti dengan dibangunnya beberapa mushalla oleh masyarakat setempat, KH Zaini Mun’im memperkenalkan tanaman baru kepada mereka, yakni tembakau yang bibitnya dibawa dari Madura. Awalnya, bibit tersebut sebagai percobaan di desa Karanganyar. Seiring perkembangan waktu, ternyata tanaman ini memang cocok dengan keadaan tanah di desa Karanganyar dan bisa mengangkat perekonomian masyarakatnya. Akhirnya, tanaman ini menjadi penghasilan pokok masyarakat Karanganyar dan bahkan masyarakat di luar Paiton.
Pada sisi lainnya, upaya yang dilakukukan KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya, juga cukup memberikan hasil yang memuaskan. Terbukti dengan pupusnya kepercayaan mereka terhadap roh ghaib dan semakin rendahnya kasus pencurian, pemerkosaan, perjudian, serta lenyapnya gembong PSK. Dan seiring itu pula, tumbuhlah semangat yang menyala-nyala dalam mempertahankan kehidupan menuju keluarga sakinah (keluarga bahagia dunia-akhirat).
Dalam keadaan yang sudah mulai damai dan nyaman, KH Zaini Mun’im dikejutkan oleh surat panggilan yang datangnya dari Menteri Agama (waktu itu adalah KH Wahid Hasyim). Beliau diminta untuk menjadi penasehat jamaah haji Indonesia. Dan tawaran tersebut beliau terima. Pada saat itu jumlah santri yang sudah menetap di PP. Nurul Jadid sekitar 30 orang dan siserahkan di bawah asuhan KH Munthaha dan KH Sufyan. Dengan kharisma yang dimiliki, keduanya, dengan mudah membangun beberapa pondok yang terbuat dari bambu untuk tempat tinggal para santri pada waktu itu.
Sepulangnya KH Zaini Mun’im dari tanah suci dalam tugasnya sebagai penasehat jamaah haji Indonesia, terlihat beberapa gubuk sudah berdiri, maka tergeraklah hati beliau untuk memikirkan masa depan para santri-santrinya. Mulailah KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya membabat hutan yang ada di sekitarnya sehingga berdirilah sebuah pesantren yang cukup besar sampai terlihat seperti sekarang ini.
Secara pelan-pelan, kehidupan masyarakat mulai ada perubahan. Hal ini berkat ketekunan KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya. Mereka disadarkan dengan sentuhan agama. Akhirnya, timbul suatu kesadaran di kalangan masyarakat bahwa merekalah yang sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar untuk bisa merubah cara hidupnya, terutama dari kehidupan sosial ekonomi.
Setelah perekonomian masyarakat mulai meningkat melalui pemanfaatan tanah pertanian, mulailah dimasukkan ajaran dan nilai-nilai agama islam dalam kehidupan masyarakat Karanganyar. Hal lainnya adalah pendalaman ilmu agama melalui sistem pendidikan non formal. Pola pendidikan dan pembinaan semacam itu dilakukan, baik kepada santri maupun kepada masyarakat sekitar pesantren. Pengajian kitab dilakukan dengan berbagai metode. Mulai dari bandongan, sorogan dan takhassus. Sementara itu pemberian makna dalam pengajian kitab kuning menggunakan bahasa indonesia. Sehingga pesantren Nurul Jadid merupakan pesantren pertama yang menggunakan bahasa Indonesia dalam menerangkan dan menterjemahkan kitab-kitab yang dikajinya.
Upaya perubahan yang dilakukan KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya terhadap masyarakat Karanganyar tersebut, kemudian dibalas dengan sikap simpati masyarakat berupa dukungan terhadap perkembangan pesantren Nurul Jadid. Di antaranya adalah dukungan masyarakat Karanganyar terhadap berdirinya Lembaga Pendidikan mulai Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT).
Pesantren yang diasuh KH Zaini Mun’im ini nampaknya mendapat pengakuan yang cukup luas di kalangan masyarakat. Terbukti dengan semakin banyaknya jumlah santri yang berdatangan dari segala penjuru tanah air, bahkan dari luar negeri (Singapura dan Malaysia). Hingga saat ini pesantren Nurul Jadid telah melahirkan ribuan alumni.
Isyarat dan Menjual Tanah
Sebelum mendirikan pesantren di desa karanganyar ini, KH Zaini Mun’im sempat memiliki keraguan, hingga tiba-tiba beliau menemukan sarang lebah. Hal ini kata orang-orang waktu itu adalah sebagai isyarat, jika beliau menetap dan mendirikan pondok pesantren di Desa Karanganyar (Tanjung), maka akan banyak santrinya.
Isyarat kedua datang dari KH Hasan Sepuh Genggong. Suatu saat ketika Kyai Hasan mendatangi suatu pengajian dan melewati desa Tanjung. Beliau berkata kepada kusir dokarnya, ”Di masa mendatang, jika ada kiai atau ulama yang mau mendirikan pondok di daerah sini, maka pondok tersebut kelak akan menjadi pondok yang besar, dan santrinya kelak akan melebihi santri saya.” Sang kusir pun hanya manggut-manggut. Kemudian peryataan ini tersebar ke masyarakat sekitar dan sampai di telinga KHZaini.
Isyarat ketiga datang dari alam setempat, kondisi tanahnya yang bagus dan suplai air yang mencukupi. Selain itu, desa Tanjung merupakan tempat yang jauh dari keramaian kota (Kraksaan), sehingga sangat cocok untuk mendirikan sebuah tempat pendidikan.
Setelah dirasa cocok, KH Zaini Mun’im segera membuat kesepakatan dengan H. Tajuddin salah seorang pemilik tanah yang luas di desa Tanjung. KH Zaini menukarkan dengan tanahnya yang ada di pulau Madura, dengan hutan jati dan belukar di tempat tersebut. Dengan berbekal satu batang lidi, Beliau berjalan menelusuri tanah yang sudah menjadi miliknya itu, sehingga semua hewan dan binatang buas serta membahayakan lari dan meninggalkan hutan jati itu menuju utara desa Grinting. Selama satu tahun lebih beliau membabat hutan, mendirikan rumah, membangun surau kecil bersama dua orang santri pertamanya dan mengubah hutan serta belukar menjadi tegalan dan perkebunan.
Motto hidup KH Zaini adalah mewakafkan diri untuk penyiaran dakwah Islam dan meninggikan agama Allah. Beliau adalah seorang ulama pejuang yang kuat, tabah dan memiliki kesetiaan tinggi kepada rekan-rekannya. Sehingga ketika berada dalam tahanan Belanda di Probolinggo, Beliau tetap bungkam meskipun dipaksa dengan berbagai cara untuk membocorkan tempat-tempat pesembunyian rekan-rekan seperjuangannya yang lain, yang juga menjadi buronan Belanda. KH Zaini sangat kuat memegang semboyan ”liberty or dead (merdeka atau mati)”. Sehingga tidak satu pun temen-teman seperjuangannya yang dapat ditangkap Belanda karena pengakuan Beliau. (Syaifullah Amin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar