Mari kita tengok sejenak peristiwa Tsunami di Aceh beberapa tahun lalu. Jurnal Perempuan menurunkan laporan bahwa hampir sebagian besar korban tewas perempuan tidak terpisahkan dengan korban anak-anak yang masih kecil atau dalam posisi masih mendekap anak-anaknya. Hal itu disebabkan karena mereka tidak bisa berlari cepat, meninggalkan rumah dengan cepat tanpa kepastian apakah anak-anaknya sudah selamat atau belum.
Para ibu, tak bisa menampik menjalankan perannya mengurus keluarga walau suami tak berpenghasilan atau meninggal karena tertelan bencana. Mereka perlu menguatkan mental dan memperkaya kreativitas agar tak mati langkah.Ibu (tanpa menafikan peran kaum bapak) nyaris tidak bisa memikirkan bagaimana dia selamat, tetapi juga bagaimana dia pun harus menyelamatkan anak-anaknya. Inilah yang menjadikan beban mereka bertambah saat menyelamatkan diri karena mereka harus menggendong atau menggandeng anaknya.
Situasi bencana akibat konflik sosial maupun politik seperti perseteruan antar kelompok adat, kelompok agama, perang dan yang lainnya juga berimbas sama, menimpa kaum ibu. Mereka harus menanggung derita yang berkepanjangan. Mulai dari intimidasi maupun teror, bahkan dijadikan sandera saat keluarga laki-lakinya terlibat pertikaian, dijadikan sebagai ’alat’ pemuas seks, mengalami perkosaan dan pelecehan seksual, serta sederet derita lainnya.
Maka, belum lagi hilang trauma akibat bencana, perempuan-perempuan di tengah bencana ibarat semakin dibenamkan bencana baru. Belum lagi lenyap bayangan gemuruh Tsunami, terjangan banjir, goyangan gempa, muntahan lava pijar dan abu vulkanik yang keluar dari gunung, atau kehilangan suami, kakak, adik, anak akibat diterkam senjata musuh di tengah huru-hara konflik, mereka juga terkena imbas tak menguntungkan saat bencana berlangsung.
Malangnya, derita kaum ibu ini tidak berhenti sampai di sana. Penderitaan nyatanya terus berlanjut ketika mereka harus tinggal di pengungsian. Barak pengungsian sedianya menjadi tempat menuju proses pemulihan dirinya. Paling tidak mereka bisa memastikan dirinya pulih dan sehat usai ditimpa bencana, membangun rumah yang hancur, menata kembali keluarga yang tercerai-berai, melanjutkan sisa umur yang tersisa dan menatap masa depan.
Derita kaum ibu di sini terkait dengan pemenuhan kebutuhan mereka yang banyak tidak terpenuhi. Padahal, menilik perannya di ruang domestik [kerumahtanggaan] atau karena alasan jenis kelamin, mereka semestinya difasilitasi secara khusus. Beberapa kebutuhan khusus tersebut, misalnya, ketersediaan pembalut perempuan, susu bayi, ketersediaan air bersih baik untuk memasak, minum dan yang lainnya, juga toilet atau tempat pemandian yang tidak aman karena keterbatasan tempat dimana mereka harus berbagi dengan kaum laki-laki.
Peran kerumahtanggan yang melekat pada kaum ibu pun mau tidak mau mengharuskan mereka menjalankan perannya, sekalipun di pengungsian. Mereka tetap mengurus anak, memasak, mencuci pakaian, mengurus orangtua yang berusia lanjut atau kerabat yang sakit, dan anggota keluarga yang memiliki ketidaksempurnaan fisik/mental. Pada kasus Merapi, misalnya, sebagian dari mereka malah banyak juga yang terlibat membantu mencari nafkah dengan mencari rumput dan mengayak serta mengangkut pasir.
Beberapa waktu lalu, media massa seringkali mewartakan pengungsi dilanda kebosanan akibat tidak adanya aktivitas yang bisa dilakukan. Para pengungsi tersebut biasanya kaum lelaki; bapak, anak lelaki, juga termasuk di dalamnya remaja perempuan, meskipun tingkatnya minim. Dus, jika melihat minimnya aktivitas yang dilakukan para pengungsi di barak-barak pengungsian tersebut semestinya peran kerumahtanggaan di pengungsian bukan lagi dimainkan kelompok ibu semata. Akan tetapi menjadi tanggungjawab semua pihak. Seluruh keluarga tanpa melihat jenis kelamin dan usianya, terlibat bahu-membahu, saling membantu satu dengan lainnya.
Beban Ganda & Perdagangan manusia (human trafficking)
Kehilangan harta benda akibat terjangan bencana adalah sisi lain derita yang tak bisa dielakkan. Kehidupan harus dimulai lagi dari nol karena tiada lagi yang bisa dijadikan sandaran hidup. Sementara di sisi lain, kehidupan di pengungsian tak menjamin kelangsungan hidup sehingga pada akhirnya para korban bencana pun terpaksa pergi keluar meninggalkan pengungsian untuk mengais rezeki.Dalam kondisi ini, lagi-lagi, kaum ibu pun berpasrah diam di tempat pengungsian karena harus mengurus anak-anaknya. Masih untung jika harapan yang digantungkan pada pundak suami dapat terwujud. Masih untung jika suami-suami mereka mau kembali pulang dengan membawa pundi-pundi rezeki demi menyambung hidup. Tetapi, kenyataan di lapangan acapkali berkata lain. Para ibu dan perempuan lainnya yang ditinggalkan itu lama-kelamaan nyatanya juga memainkan peran pencari nafkah karena tulang punggung keluarga mereka tak kunjung datang.
Dalam hal ini, malangnya lagi ibu-ibu di pengungsian tidak memiliki kebebasan berpindah tempat untuk mencari pekerjaan setelah mengalami bencana, mengingat ketiadaan tempat tinggal bagi diri dan anak-anaknya. Para ibu korban bencana tidak mungkin mengadu peruntungan di tempat yang jauh, namun meninggalkan anak-anaknya di pengungsian. Maka cara yang dilakukan adalah mengambil peran suaminya sebagai tulang punggung keluarga dengan melakukan pekerjaan apa saja (serabutan, red) asalkan menghasilkan uang seraya tetap bisa kembali ke barak untuk mengurus anak-anaknya.
Di tengah persoalan baru tersebut, perempuan juga tidak terlepas dari persoalan kekerasan, pelecehan seksual dan rentan untuk mengalami perdagangan manusia. Kebuntuan akan harapan melanjutkan masa depan membuat banyak orang mengambil jalan pintas. Kedatangan para pelaku trafficking di tempat pengungsian seakan membawa mimpi manis dengan janji-janji palsu tawaran pekerjaan bergaji besar. Kenyataan sesungguhnya para korban bencana tersebut akan dikorbankan lagi untuk dipekerjaan secara tidak layak dan terhormat.
Di Merapi, sebagaimana diberitakan mediaindonesia.com bahwa Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP dan PA) menyatakan telah terdapat indikasi praktik perdagangan orang (trafficking) di dalam lingkungan pengungsian bencana letusan Gunung Merapi. Sebagai antisipasinya, KPP dan PA menghimbau pada pihak kepolisian agar menugaskan anggota polisi wanita (polwan) di kantong pengungsian dengan cara menyamar.
"Di daerah pengungsian wajib ada petugas hukum wanita. Di samping mencegah praktik trafficking anak yang terpisah dari orang tua, juga untuk menangkal kasus kekerasan dan eksploitasi pada anak dan perempuan di pengungsian," sebut Menteri PP dan PA, Linda Amalia Sari Gumelar, usai meresmikan Sekretariat Bersama (Sekber) Relawan Peduli Anak dan Perempuan Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Senin (15/11).
Pasca bencana, perempuan sesungguhnya harus mendapatkan perhatian serius pemerintah dan berbagai pihak lainnya yang dianggap bertanggung jawab terhadap hal itu. Karena masa ini mereka sangat rawan terhadap bentuk-bentuk eksploitasi baru oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Perempuan yang susah dan menderita sangat mudah ditipu untuk diperdagangkan. Mereka menjadi sasaran empuk para penjahat traffiking yang menyuplai ke berbagai penjuru Tanah Air maupun mancanegara.
Semangat dan Kreativitas
Derasnya derita yang datang akibat bencana memang bisa melumat apapun yang dimiliki para korban, bahkan sampai tak menyisakan apapun. Para korban bencana mau tak mau harus bergumul dengan situasi baru yang tak pasti dalam menyongong kehidupan. Inilah fase yang akhirnya membuat mereka patah semangat, hilang arah dan tujuan karena merasa keadaan semakin memiskinkan hidup mereka.Ketidakmampuan menerima bencana dengan lapang dada serta bertahan melanjutkan kehidupan akibatnya menyeret mereka pada nestapa kepiluan yang menyesakan. Mereka frustasi, linglung, bahkan gila. Syahdan, sebuah bencana diturunkan Sang Ilahi semata-mata demi menguji rasa sabar dan ketangguhan kita sebagai mahluk hidup. Untuk itulah semangat harus tetap dinyalakan mengingat sesungguhnya Allah akan menyertai langkah mahluk-Nya yang tak berputus asa.
Untuk meneguhkan jalan ke sana, kita pun harus semakin kreatif menggali potensi diri. Sebab kreativitas dibutuhkan untuk memecah kebuntuan harapan hidup akibat mandegnya ekonomi keluarga. Dan tanggungjawab ini, tentu saja, bukan hanya milik para korban bencana. Dalam skala besar pengambil kebijakan, tentunya ada pemerintah yang bisa memfasilitasi dengan terobosan program pemberdayaan, selain juga menjadi PR seluruh pihak. [Berbagai sumber]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar