As-Sulami adalah sufi produktif di zamannya, karya-karyanya menjadi rujukan sufi besar sesudahnya.
Namanya tidak mungkin terlupakan dalam perkembangan tasawuf, betapa
tidak, ia rajin dan produktif menuliskan gagasan-gagasannya tentang
Ketuhanan. Sampai kini pemikirannya masih relevan dan sering digunakan
oleh kalangan sufi sebagai rujukan. Selain itu, As-Sulami juga berhasil
menciptakan terobosan baru dalam mistisisme Islam.
Nama lengkapnya Abu Abdurrahman bin Al-Hussain bin Muhammad bin Musa As-Sulami Al-Azdi.
Ia lahir di Khurasan, Iran, pada tahun 325 H / 937 M dalam sebuah
keluarga yang sangat taat bergama. Bahkan kedua orang tuanya di kenal
sebagai ulama dan Sufi yang masyhur di Khurasan. Suasana serba religius
di dalam rumah inilah yang mempengaruhi As-Sulami di kemudian hari.
Ketika ia berusia 15 tahun, ayahnya meninggal. Ia kemudian diasuh oleh
nenek dari pihak ibunya.
Seperti lazimnya para ulama dan sufi masa itu, As-Sulami mengenal
agama dari ayahnya sendiri dan kemudian berguru kepada sejumlah ulama.
Sejak kecil ia sudah mendalami bahasa Arab dan Al-Qur’an sebagai basis
untuk mempelajari berbagai hal mengenai Islam. Di antara guru-gurunya
terdapat beberapa nama terkemuka, seperti Ad-Daruquthni, Al-Sarraj,
Al-Nasrabazi, Al-Abzari, dan Al-Asfahami.
Dari merekalah As-Sulami memperlajari ilmu tafsir, hadis, fikih
hingga tasawuf. Belakangan ia dikenal sebagai pakar Hadis dan sejarah
serta guru para sufi. Dimanapun ia berada – di Naisabur, Merv, Irak,
Hijaz, – As-Sulami selalu menulis.
Sejak usia delapan tahun ia sudah mendalami hadits bahkan kemudian
meriwayatkannya. Ia mempelajari hadis dari beberapa guru seperti Syekh
Abu Bakar As-Sibhghi dan Imam Abu Nua’im Al-Isbahani, pengarang kitab
mengenai tasawuf, “Hilyatul Awliya”. Kepiawaiannya dalam ilmu hadis menjadikan As-Sulami sebagai rujukan banyak ulama.
Para ulama tersebut antara lain: Imam Al-Hakim, pengarang kitab Al-Mustadrak, Imam Al-Qusyairi, pengarang kitab Al-Risalah Qusyairiyah,
Imam Al-Bayhaqi, Abu Said Abu Ramish, Abu Bakr Muhammad ibn Yahya ibn
Ibrahim Al-Muzakk, Abu Saleh Al-Muadhdhin, Abu Abdillah Al-Qasim ibn
Al-Fadl ibn Ahmad Al-Thaqafi Al-Jubari, Ahmad ibn Muhammad ibn Abd.
Al-Wahid Al-Wakil Al-Munkadiri, Al-Qadi Ahmad ibn Ali ibn Al-Husyain
Al-Tawwazi, Abu bakar Ahmad ibn Ali ibn Abdillah Al-Shirazi, Abu Hamid
Ahmad ibn Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi, dan Abu Muhammad al-Juwaini.
Panjangnya deretan nama ulama dan sufi yang sering merujuk kepadanya
membuktikan betapa mereka mengagumi As-Sulami mempunyai kedudukan yang
tinggi dalam ilmu, sementara Abdul Ghafir Al-Farisi berkata, “Beliau
adalah seorang Syekh Thariqat (jalan menuju kebenran dalam tasawuf)
yang telah dikaruniai penguasaan berbagai ilmu hakekat dan tasawuf.
Beliau telah menulis sekitar 100 kitab tentang risalah tasawuf yang
hebat.” Dalam hal tasawuf, As-Sulami mengaji kepada Ibnu Munazil,
Abu Ali Al-Thaqafi (di Khurasan), Abu Uthman Al-Hiri, Abu Nasr As-Sarraj
(penulis kitab Al-Luma fit Tasawuf) dan Abu Qasim Al-Nasrabadzi yang
juga sahabatnya dalam berdiskusi.
Banyak kisah sufistik seputar As-Sulami, salah satunya diceritakan
oleh Al-Khatib Al-Baghdadi, ia meriwayatkan, Imam Abu Ali Ad-Daqqaq
pernah berkata kepada muridnya Imam Al-Qusyairi, bahwaq ia mendengar
As-Sulami mempunyai amalan unik.
Menari Berputar
Imam Abu Ali pun kemudian berkata kepada Qusyairi, “Bagi seorang
sufi yang mempunyai maqam (kedudukan yang mulia atau tinggi) seperti
As-Sulami, lebih baik jika ia berdiam diri, bertafakkur, daripada
menari,” kemudian Ad-Daqqaq menyuruh Qusyairi mengunjungi As-Sulami dan berkata, “Engkau
akan dapati bahwa dia sedang di perpustakaannya, engkau akan lihat
sebuah buku berwarna merah berisi puisi karya Abu Mansur Al-Hallaj, bawa
buku itu kepadaku.”
Maka Qusyairi pun pergilah, dan mendapati as-Sulami seperti yang
diceritakan oleh Ad-Daqqaq. Imam Qusyairi pun duduk dan sejenak kemudian
As-Sulami berkata, “Ada seorang hamba Allah yang biasa mengkritik
perilaku para ulama, pada suatu hari pengkritik itu sendiri berputar
menari di rumahnya.” Maka ketika As-Sulami di tanya mengapa ia menari, padahal ia selalu mengkritik perbuatan tersebut, As-Sulami menjawab, “Aku
mempunyai persoalan yang sulit yang kemudian jadi jelas. Aku tidak
dapat menahan kegembiraanku, lalu aku bangun dan berputar menari,
begitulah keadaan orang yang menari berputar.”
Seolah-olah As-Sulami menjawab persoalan yang ditanyakan oleh
Ad-Daqqaq. Selanjutnya Qusyairi menceritakan semua suruhan gurunya, “Aku takut menyalahimu, tapi aku tidak mengingkari suruhan guruku,” maka As-Sulami pun menjawab. “Ambillah buku itu dan katakan kepada gurumu bahwa kadangkala aku mengutip puisi Al-Hallaj dalam karangan-karanganku.”
Al-Qusyairi meriwayatkan, suatu ketika As-Sulami bertanya kepada Abu Ali Ad-Daqqaq, “Manakah yang lebih sempurna, dzikir atau pikir?” Ad-Daqqaq menjawab dengan ganti bertanya, “Apakah pembuka Rohani tuan Syekh?” jawab As-Sulami, “bagiku dzikir terlebih sempurna, karena Al-Haq itu diberitakan oleh dzikir, bukan oleh pikir.” Abu Ali Ad-Daqqaq setuju. As-Sulami juga pernah berkata, “Akar
tasawuf adalah ketaatan kepada Al-Qur’an dan sunah, meninggalkan nafsu
syahwat dan perkara Bid’ah, menghormati orang-orang suci, dan istiqamah
dalam berdzikir.”
Selain dikenal luas sebagai sufi besar, As-Sulami juga sebagai
seorang penulis kitab yang produktif. Ia sudah menulis ketika masih
berusia 20 tahun. Karya-karyanya meliputi sejumlah besar kitab dan
risalah tentang hadis dan tasawuf. Semua karyanya menjadi tumpuan
rujukan para ulama di seluruh dunia hingga kini. Sebagian besar masa
hidupnya ia habiskan di perpustakaan untuk membaca dan menulis. Sampai
beberapa bulan menjelang wafatnya pada tahun 412 H / 1021 M (ketika
berusa 87 tahun), ia masih berkarya. Hari-hari terakhirnya ia habiskan
dengan bersunyi diri di sebuah pertapaan sufi di Naisabur, Iran. Di
sana pula ia wafat dan dimakamkan.
Karya-karyanya: Adab As-Sufiyya, Adab Al-Suhba wa Husn al-Ushra,
Amthal al-Qur’an, Al-Arbain fi al-Hadis, Bayan fi Al-Sufiyya, Darajat
al-Muamalat, Darajat As-Shiddiqin, Al-Farq Bayn al-Syaria wal Haqiqa,
Al-Futuwwa, Ghalatat al-Sufiyya, Al-Ikhwah wal Akhwa min al-Sufiyya,
al-Istishadat, Juwami, Adab al-Sufiyya, al-Malamatiyya, Manahij
al-Arifin, Maqamat al-Awliya, Masail Waradat min Makkah, Mihan
Al-Sufiyya, Al-Muqaddimah fi at-Tasawuf wa Haqiqatih al-Radd ‘ala ahl
al-Kalam, Al-Sama, Al-Sualat Suluk al-Arifin, Sunnah al-Sufiyya, dan sebagainya.
Di antara sekian banyak karyanya, yang paling mendapat perhatian para ulama ialah Thabaqat al-Sufiyya.
Lebih dari 100 orang telah memberikan syarah dan komentar atas kitab
tersebut. Bahkan pengaruh-pengaruh pikirannya dalam kitab itu tampak
jelas dalam karya Abu Naim dalam kitab Hilyat al-Auliya, Kitab Al-Baghdadi dalam kitab Tarikh al-Baghdad, Al-Qusyairi dalam kitab Al-Risalah, Abdurrahman al-Jami, dalam kitab Nafkhat al-Uns dan Al-Sya’rani dalam Thabaqat al-Qubra. Dalam karya-karyanya As-Sulami selalu berusaha mempersatukan syariat dan hakikat, selalu berpegang pada Al-Qur’an dan As-Sunah.
Sumber kisah dari Alkisah Nomor 14 / 5 – 18 Juli 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar