Pada era perkembangan kemajuan khazanah keilmuan Islam dan setelah runtuhnya Baghdad sebagai pusat kota kebudayaan Islam karena diserang bangsa Tartar, menyebabkan pusat kebudayaan Islam beralih dari Baghdad ke negeri Syam (Syria) dan Mesir. Ketika itu ulama-ulama terkemuka di Baghdad pindah ke dua negeri tersebut. Di sana mereka mengembangkan ilmu pengetahuan yang mereka miliki, sehingga pada abad-abad berikutnya di kedua negeri itu banyak bermunculan ulama-ulama kenamaan. Nama Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani banyak disebut sebagai ulama yang paling disegani di antara ulama-ulama yang semasa dengannya.
Nama lengkap Ibnu Hajar adalah Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar Al-Kannani Al-Asqalani Al-Mishri. Beliau adalah seorang ulama besar madzhab Syafi’i, diberi gelar oleh ketua para qadhi, Syaikhul Islam, Al-Hafizh Al-Muthlaq (seorang hafizh secara mutlak), Amirul Mukminin dalam bidang hadist. Julukan beliau adalah Syihabuddin dengan nama pangilan (kunyah-nya) Abu Al-Fadhl. Beliau juga dikenal dengan nama Abul Hasan Ali dan lebih terkenal dengan nama Ibnu Hajar Nuruddin Asy-Syafi’i. Guru beliau, Burhanuddin Ibrahim Al-Abnasi memberinya namaAt-Taufiq dan sang penjaga tahqiq
Beliau dilahirkan tanggal 12 Sya’ban tahun 773 Hijriyah (18 Pebruari 1372 Masehi) di pinggiran sungai Nil di Mesir kuno. Tempat tersebut jaraknya berdekatan dengan Dar An-Nuhas dekat masjid Al-Jadid.
Ibnu Hajar adalah seorang yang mempunyai tinggi badan sedang berkulit putih, mukanya bercahaya, bentuk tubuhnya indah, berseri-seri mukanya, lebat jenggotnya, dan berwarna putih serta pendek kumisnya. Beliau adalah seorang yang mempunyai pendengaran dan penglihatan yang sehat, kuat dan utuh giginya, kecil mulutnya, kuat tubuhnya, bercita-cita tinggi, kurus badannya, fasih lisannya, lirih suaranya, sangat cerdas, pandai, pintar bersyair dan menjadi pemimpin di masanya.
Ibnu Hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim, ayah beliau meninggal ketika ia berumur 4 tahun dan ibunya meninggal ketika ia masih balita. Ayah beliau meninggal pada bulam rajab 777 H. setelah berhaji dan mengunjungi Baitulmaqdis dan tinggal di dua tempat tersebut. Waktu itu Ibnu Hajar ikut bersama ayahnya. Setelah ayahnya meninggal beliau ikut dan diasuh oleh Az-Zaki Al-Kharubi (kakak tertua ibnu Hajar) sampai sang pengasuh meninggal. Hal itu karena sebelum meninggal, sang ayah berwasiat kepada anak tertuanya yaitu saudagar kaya bernama Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ahmad Al-Kharubi (wafat tahun 787 H.) untuk menanggung dan membantu adik-adiknya. Begitu juga sang ayah berwasiat kepada syaikh Syamsuddin Ibnu Al-Qaththan (wafat tahun 813 H.) karena kedekatannya dengan Ibnu Hajar kecil.
Ibnu Hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim piatu yang menjaga iffah (menjaga diri dari dosa), sangat berhati-hati, dan mandiri dibawah kepengasuhan kedua orang tersebut. Zaakiyuddin Abu Bakar Al-Kharubi memberikan perhatian yang luar biasa dalam memelihara dan memperhatikan serta mengajari beliau. Dia selalu membawa Ibnu Hajar ketika mengunjungi dan tinggal di Makkah hingga ia meninggal dunia tahun 787 H.
Pada usia lima tahun Ibnu Hajar masuk Al-Maktab (semacam TPA sekarang) untuk menghafal Alquran, di sana ada seorang guru yang bernama Syamsuddin bin Al-Alaf yang saat itu menjadi gubernur Mesir dan juga Syamsuddin Al-Athrusy. Akan tetapi, ibnu Hajar belum berhasil menghafal Alquran sampai beliau diajar oleh seorang ahli fakih dan pengajar sejati yaitu Shadruddin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq As-Safthi Al Muqri’. Kepada beliau ini lah akhirnya ibnu Hajar dapat mengkhatamkan hafalan Alqurannya ketika berumur sembilan tahun.
Untuk mendalami ilmu pengetahuan, beliau mengadakan perlawatan ke beberapa negeri, di antaranya Mekkah. Dari ulama-ulama terkemuka di tanah suci itu beliau sempat menimba ilmu, seperti dari Syeikh Sirajuddin al-Bulqini, Syeikh al-Hafidz al-Iraqi, dan ulama-ulama lain yang bermadzhab Syafi’i.
Ketika Ibnu Hajar berumur 12 tahun ia ditunjuk sebagai imam shalat Tarawih di Masjidil Haram pada tahun 785 H. Ketika sang pengasuh berhaji pada tahun 784 H. Ibnu Hajar menyertainya sampai tahun 786 H. hingga kembali bersama Al-Kharubi ke Mesir. Setelah kembali ke Mesir pada tahun 786 H. Ibnu Hajar benAr-benar bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, hingga ia hafal beberapa kitab-kitab induk seperti Al-‘Umdah Al-Ahkaam karya Abdulghani Al-Maqdisi, Al-Alfiyah fi Ulum Al-Hadits karya guru beliau Al-Haafizh Al-Iraqi, Al-Haawi Ash-Shaghi karya Al-Qazwinir, Mukhtashar ibnu Al-Haajib fi Al-Ushul dan Mulhatu Al-I’rob serta yang lainnya.
Pertama kali beliau diberikan kesenangan meneliti kitab-kitab sejarah (tarikh) lalu banyak hafal nama-nama perawi dan keadaannya. Kemudian meneliti bidang sastra Arab dari tahun 792 H. dan menjadi pakar dalam syair.
Kemudian diberi kesenangan menuntut hadits dan dimulai sejak tahun 793 H. namun beliau belum konsentrasi penuh dalam ilmu ini kecuali pada tahun 796 H. Diwaktu itulah beliau konsentrasi penuh untuk mencari hadits dan ilmunya.
Saat ketidakpuasan dengan apa yang didapatkan akhirnya Ibnu Hajar bertemu denganAl-Hafizh Al-Iraqi yaitu seorang syaikh besar yang terkenal sebagai ahli fikih, orang yang paling tahu tentang madzhab Syafi’i. Disamping itu ia seorang yang sempurna dalam penguasaan tafsir, hadist dan bahasa Arab. Ibnu Hajar menyertai sang guru selama sepuluh tahun. Dan dalam sepuluh tahun ini Ibnu Hajar menyelinginya dengan perjalanan ke Syam dan yang lainnya. Ditangan syaikh inilah Ibnu Hajar berkembang menjadi seorang ulama sejati dan menjadi orang pertama yang diberi izin Al-Iraqi untuk mengajarkan hadits. Sang guru memberikan gelar Ibnu Hajar dengan Al-Hafizh dan sangat dimuliakannya. Adapun setelah sang guru meninggal dia belajar dengan guru kedua yaitu Nuruddin Al-Haitsami, ada juga guru lain beliau yaitu Imam Muhibbuddin Muhammad bin Yahya bin Al-Wahdawaih melihat keseriusan Ibnu Hajar dalam mempelajari hadits, ia memberi saran untuk perlu juga mempelajari fikih karena orang akan membutuhkan ilmu itu dan menurut prediksinya ulama didaerah tersebut akan habis sehingga Ibnu Hajar amat diperlukan.
Imam Ibnu Hajar juga melakukan rihlah (perjalanan menuntut ilmu) ke negeri Syam, Hijaz dan Yaman dan ilmunya matang dalam usia muda hingga mayoritas ulama di zaman beliau mengizinkan beliau untuk berfatwa dan mengajar.
Beliau mengajar di Markaz Ilmiah yang banyak di antaranya mengajar tafsir di Al-Madrasah Al-Husainiyah dan Al-Manshuriyah, mengajar hadits di Madaaris Al-Babrisiyah, Az-Zainiyah dan Asy-Syaikhuniyah dan lainnya. Membuka majlis Tasmi’ Al-Hadits di Al-Mahmudiyah serta mengajarkan fikih di Al-Muayyudiyah dan lain sebagainya.
Beliau juga memegang masyikhakh (semacam kepala para Syeikh) di Al-Madrasah Al-Baibrisiyah dan madrasah lainnya.
Di samping sebagai ulama yang disegani di kalangan ulama-ulama dan masyarakat pada masanya, beliau juga dikenal sebagai hakim yang adil dan disegani oleh penguasa. Beliau mulai memangku jabatan hakim (qadhi) pada bulan Muharram 827 H / 1424 M. Olehkarena ada di antara kebijakan beliau yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah, belum cukup setahun setelah beliau diangkat, tepatnya pada bulan Dzul-Qa’dah 827 H / 1424 M, seliau diturunkan dari jabatan hakim, dan digantikan oleh Syeikh Harawi. Akan tetapi, hakim yang disebut terakhir ini juga tidak bertahan lama dalam jabatan itu, sehingga pada tahun 828 H / 1425 M, ia diturunkan dari jabatan itu dan sebagai penggantinya adalah Ibnu Hajar, dengan pertimbangan keahlian dan kewibawaannya, kembali diangkat memegang jabatan tersebut. Jabatan hakim ini dipegang beliau selama lebih dari dua puluh tahun. Selama memangku jabatan itu, beliau sempat berbuat banyak untuk kepentingan kaum muslimin. Sampai masalah-masalah kecil yang menyangkut kepentingan umat menjadi perhatian beliau. Umpamanya, umat Islam ketika itu tidak mempunyai pedoman untuk mengetahui waktu imsak (waktu mulai wajib menahan diri dari yang membatalkan puasa). Untuk itu, lampu-lampu di jalan yang selama ini sepanjang tahun hanya dinyalakan sampai tengah malam, beliau mengusulkan kepada penguasa agar lampu-lampu itu dibiarkan menyala sampai waktu imsak tiba. Untuk itu harus ada petugas yang khusus berjaga sampai waktu imsak untuk memadamkan lampu, sebagai pertanda bahwa waktu imsak sudah tiba. Kemudian, usulan beliau itu disetujui oleh pemerintah.
Guru Beliau
Al-Hafizh Ibnu Hajar sangat memperhatikan para gurunya dengan menyebut nama-nama mereka dalam banyak karya-karya ilmiahnya. Beliau menyebut nama-nama mereka dalam dua kitab, yaitu:
Al-Mu’jam Al-Muassis lil Mu’jam Al-Mufahris.
Al-Mu’jam Al-Mufahris.
Imam As-Sakhaawi membagi guru beliau menjadi tiga klasifikasi:
Guru yang beliau dengar hadits darinya walaupun hanya satu hadits.
Guru yang memberikan ijazah kepada beliau.
Guru yang beliau ambil ilmunya secara mudzkarah atau mendengar darinya khutbah atau karya ilmiahnya.
Guru beliau mencapai lebih dari 640an orang, sedangkan Ibnu Khalil Ad-Dimasyqi dalam kitab Jumaan Ad-Durar membagi para guru beliau dalam tiga bagian juga dan menyampaikan jumlahnya 639 orang.
Dalam kesempatan ini kami hanya menyampaikan beberapa saja dari mereka yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan keilmuan beliau agar tidak terlalu panjang biografi beliau ini.
Diantara para guru beliau tersebut adalah:
I. Bidang keilmuan Al-Qira’aat (ilmu Alquran):
Syeikh Ibrahim bin Ahmad bin Abdulwahid bin Abdulmu`min bin ‘Ulwaan At-Tanukhi Al-Ba’li Ad-Dimasyqi (wafat tahun 800 H.) dikenal dengan Burhanuddin Asy-Syaami. Ibnu Hajar belajar dan membaca langsung kepada beliau sebagian Alquran, kitab Asy-Syathibiyah, Shahih Al-Bukhari dan sebagian musnad dan Juz Al-Hadits. Syeikh Burhanuddin ini memberikan izin kepada Ibnu Hajar dalam fatwa dan pengajaran pada tahun 796 H.
II. Bidang ilmu Fikih:
Syeikh Abu Hafsh Sirajuddin Umar bin Ruslaan bin Nushair bin Shalih Al-Kinaani Al-‘Asqalani Al-Bulqini Al-Mishri (wafat tahun 805 H) seorang mujtahid, haafizh dan seorang ulama besar. Beliau memiliki karya ilmiah, diantaranya: Mahaasin Al-Ish-thilaah Fi Al-Mushtholah dan Hawasyi ‘ala Ar-Raudhah serta lainnya.
Syeikh Umar bin Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Abdillah Al-Anshari Al-Andalusi Al-Mishri (wafat tahun 804 H) dikenal dengan Ibnu Al-Mulaqqin. Beliau orang yang terbanyak karya ilmiahnya dizaman tersebut. Diantara karya beliau: Al-I’laam Bi Fawaa`id ‘Umdah Al-Ahkam (dicetak dalam 11 jilid) dan Takhrij ahaadits Ar-Raafi’i(dicetak dalam 6 jilid) dan Syarah Shahih Al-Bukhari dalam 20 jilid.
Burhanuddin Abu Muhammad Ibrahim bin Musa bin Ayub Ibnu Abnaasi (725-782 ).
III. Bidang ilmu Ushul Al-Fikih :
Syeikh Izzuddin Muhammad bin Abu bakar bin Abdulaziz bin Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah Al-Kinaani Al-Hamwi Al-Mishri (Wafat tahun 819 H.) dikenal dengan Ibnu Jama’ah seorang faqih, ushuli, Muhaddits, ahli kalam, sastrawan dan ahli nahwu. Ibnu Hajar Mulazamah kepada beliau dari tahun 790 H. sampai 819 H.
IV. Bidang ilmu Sastra Arab :
Majduddin Abu Thaahir Muhammad bin Ya’qub bin Muhammad bin Ibrahim bin Umar Asy-Syairazi Al-Fairuzabadi (729-827 H.). seorang ulama pakar satra Arab yang paling terkenal di masa itu.
Syamsuddin Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali bin Abdurrazaaq Al-Ghumaari 9720 -802 H.).
V. Bidang hadits dan ilmunya:
Zainuddin Abdurrahim bin Al-Husein bin Abdurrahman bin Abu bakar bin Ibrahim Al-Mahraani Al-Iraqi (725-806 H. ).
Nuruddin abul Hasan Ali bin Abu Bakar bin Sulaimanbin Abu Bakar bin Umar bin Shalih Al-Haitsami (735 -807 H.).
Selain beberapa yang telah disebutkan di atas, guru-guru Ibnu Hajar, antara lain:
Al-Iraqi, seorang yang paling banyak menguasai bidang hadits dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan hadits.
Al-Haitsami, seorang yang paling hafal tentang matan-matan.
Al-Ghimari, seorang yang banyak tahu tentang bahasa Arab dan berhubungan dengan bahasa Arab.
A-Muhib bin Hisyam, seorang yang cerdas.
Al-Ghifari, seorang yang hebat hafalannya.
Al-Abnasi, seorang yang terkenal kehebatannya dalam mengajar dan memahamkan orang lain.
Al-Izzu bin Jamaah, seorang yang banyak menguasai beragam bidang ilmu.
At-Tanukhi, seorang yang terkenal dengan qira’atnya dan ketinggian sanadnya dalam qira’at.
Murid Beliau
Kedudukan dan ilmu beliau yang sangat luas dan dalam tentunya menjadi perhatian para penuntut ilmu dari segala penjuru dunia. Mereka berlomba-lomba mengarungi lautan dan daratan untuk dapat mengambil ilmu dari sang ulama ini. Oleh karena itu tercatat lebih dari lima ratus murid beliau sebagaimana disampaikan murid beliau imam As-Sakhawi.
Diantara murid beliau yang terkenal adalah:
Syeikh Ibrahim bin Ali bin Asy-Syeikh bin Burhanuddin bin Zhahiirah Al-Makki Asy-Syafi’i (wafat tahun 891 H.).
Syeikh Ahmad bin Utsmaan bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdillah Al-Karmaani Al-hanafi (wafat tahun 835 H.) dikenal dengan Syihabuddin Abul Fathi Al-Kalutaani seorang Muhaddits.
Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hasan Al-Anshari Al-Khazraji (wafat tahun 875 H.) yang dikenal dengan Al-Hijaazi.
Zakariya bin Muhammad bin Zakariya Al-Anshari wafat tahun 926 H.
Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abu bakar bin Utsmaan As-Sakhaawi Asy-Syafi’i wafat tahun 902 H.
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Abdullah bin Fahd Al-Hasyimi Al-‘Alawi Al-Makki wafat tahun 871 H.
Burhanuddin Al-Baqa’i, penulis kitab Nuzhum Ad-Dhurar fi Tanasub Al-Ayi wa As-Suwar.
Ibnu Al-Haidhari.
At-Tafi bin Fahd Al-Makki.
10. Al-Kamal bin Al-Hamam Al-Hanafi.
11. Qasim bin Quthlubugha.
12. Ibnu Taghri Bardi, penulis kitab Al-Manhal Ash-Shafi.
13. Ibnu Quzni.
14. Abul Fadhl bin Asy-Syihnah.
15. Al-Muhib Al-Bakri.
16. Ibnu Ash-Shairafi.
Wafat Beliau
Setelah melalui masa-masa kehidupan yang penuh dengan kegiatan ilmiah dalamkhidmah kepada ilmu dan berjihad menyebarkannya dengan beragam sarana yang ada. Ibnu Hajar jatuh sakit dirumahnya setelah ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai qadhi pada tanggal 25 Jamadal Akhir tahun 852 H. Dia adalah seorang yang selalu sibuk dengan mengarang dan mendatangi majelis-majelis taklim hingga pertama kali penyakit itu menjangkit yaitu pada bulan Dzulqa’dah tahun 852 H. Ketika ia sakit yang membawanya meninggal, ia berkata, “Ya Allah, bolehlah engkau tidak memberikanku kesehatan, tetapi janganlah engkau tidak memberikanku pengampunan.” Beliau berusaha menyembunyikan penyakitnya dan tetap menunaikan kewajibannya mengajar dan membacakan imla’. Namun penyakit tersebut semakin bertambah parah sehingga para tabib dan penguasa (umara) serta para Qadhi bolak balik menjenguk beliau. Sakit ini berlangsung lebih dari satu bulan kemudian beliau terkena diare yang sangat parah dengan mengeluarkan darah. Imam As-Sakhaawi berkata, “Saya mengira Allah telah memuliakan beliau dengan mati syahid, karena penyakit tha’un telah muncul. Kemudian pada malam sabtu tanggal 28 Dzulhijjah tahun 852 H (22 Pebruari 1449 M). berselang dua jam setelah shalat isya’, orang-orang dan para sahabatnya berkerumun didekatnya menyaksikan hadirnyasakaratul maut.”
Hari itu adalah hari musibah yang sangat besar. Orang-orang menangisi kepergiannya sampai-sampai orang non muslim pun ikut meratapi kematian beliau. Pada hari itu pasar-pasar ditutup demi menyertai kepergiannya. Para pelayat yang datang pun sampai-sampai tidak dapat dihitung. Semua para pembesar dan pejabat kerajaan saat itu datang melayat dan bersama masyarakat yang banyak sekali menshalatkan jenazah beliau. Diperkirakan orang yang menshalatkan beliau lebih dari 50.000 orang dan Amirul Mukminin khalifah Al-Abbasiah mempersilahkan Al-Bulqini untuk menyalati Ibnu Hajar di Ar-Ramilah di luar kota Kairo. Jenazah beliau kemudian dipindah ke Al-Qarafah Ash-Shughra untuk dikubur di pekuburan Bani Al-Kharrubi yang berhadapan dengan masjid Ad-Dailami di antara makam Imam Syafi’i dengan Syaikh Muslim As-Silmi.
Sanjungan Para Ulama Terhadap Beliau
Al-Hafizh As-Sakhawi berkata, “Adapun pujian para ulama terhadapnya, ketahuilah pujian mereka tidak dapat dihitung. Mereka memberikan pujian yang tak terkira jumlahnya, namun saya berusaha untuk menyebutkan sebagiannya sesuai dengan kemampuan.”
Al-Iraqi berkata, “Ia adalah syaikh, yang alim, yang sempurna, yang mulia, yang seorang muhhadits (ahli hadist), yang banyak memberikan manfaat, yang agung, seorang Al-Hafizh, yang sangat bertakwa, yang dhabit (dapat dipercaya perkataannya), yang tsiqah, yang amanah, Syihabudin Ahmad Abdul Fadhl bin Asy-Syaikh, Al-Imam, Al-Alim, Al-Auhad, Al-Marhum Nurudin, yang kumpul kepadanya para perawi dan syaikh-syaikh, yang pandai dalam nasikh dan mansukh, yang menguasai Al-Muwafaqat dan Al-Abdal, yang dapat membedakan antara rawi-rawi yang tsiqah dan dhaif, yang banyak menemui para ahli hadits,dan yang banyak ilmunya.
Karya Ilmiah Beliau.
Al-Haafizh ibnu Hajar telah menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu dan menyebarkannya dengan lisan, amalan dan tulisan. Beliau telah memberikan jasa besar bagi perkembangan beraneka ragam bidang keilmuan untuk umat ini.
Murid beliau yang ternama imam As-Sakhaawi dalam kitab Ad-Dhiya’ Al-Laami’menjelaskan bahwa karya tulis beliau mencapai lebih dari 150 karya, sedangkan dalam kitab Al-Jawaahir wad-Durar disampaikan lebih dari 270 karya.
Tulisan-tulisan Ibnu Hajar, antara lain:
Ithaf Al-Mahrah bi Athraf Al-Asyrah.
An-Nukat Azh-Zhiraf ala Al-Athraf.
Ta’rif Ahli At-Taqdis bi Maratib Al-Maushufin bi At-Tadlis (Thaqabat Al-Mudallisin).
Taghliq At-Ta’liq.
At-Tamyiz fi Takhrij Ahadits Syarh Al-Wajiz (At-Talkhis Al-Habir).
Ad-Dirayah fi Takhrij Ahadits Al-Hidayah.
Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari.
Al-Qaul Al-Musaddad fi Adz-Dzabbi an Musnad Al-Imam Ahmad.
Al-Kafi Asy-Syafi fi Takhrij Ahadits Al-Kasyyaf.
Mukhtashar At-Targhib wa At-Tarhib.
Al-Mathalib Al-Aliyah bi Zawaid Al-Masanid Ats-Tsamaniyah.
Nukhbah Al-Fikri fi Mushthalah Ahli Al-Atsar.
Nuzhah An-Nazhar fi Taudhih Nukhbah Al-Fikr.
Komentar dan kritik atas kitab Ulum Hadits karya Ibnu As-Shalah.
Hadyu As-Sari Muqqadimah Fath Al-Bari.
Tabshir Al-Muntabash bi Tahrir Al-Musytabah.
Ta’jil Al-Manfaah bi Zawaid Rijal Al-Aimmah Al-Arba’ah.
Taqrib At-Tahdzib.
Tahdzib At-Tahdzib.
Lisan Al-Mizan.
Al-Ishabah fi Tamyiz Ash-Shahabah.
Inba’ Al-Ghamar bi Inba’ Al-Umur.
Ad-Durar Al-Kaminah fi A’yan Al-Miah Ats-Tsaminah.
Raf’ul Ishri ‘an Qudhat Mishra.
Bulughul Maram min Adillah Al-Ahkam.
Quwwatul Hujjaj fi Umum Al-Maghfirah Al-Hujjaj.
Di antara karya-karya beliau di atas, yang paling terkenal adalah kitab “Fathul Bari bi Syarhi Shahih al-Bukari”. Kitab tersebut mulai disusun pada tahun 817 H / 1415 M, setelah menyelesaikan kitab mukaddimahnya “Huda as-Sari” pada tahun 817 H / 1415 M. Ketika kitab “Fathul Bari” itu diselesaikan pada tahun 842 H / 1439 M, maka diadakanlah semacam resepsi syukuran, yang dihadiri oleh banyak ulama, kaum muslimin, dan penguasa setempat. Naskah pertama itu kemudian dibeli oleh pemerintah negeri itu dengan harga 300 dinar untuk diperbanyak dan disebarluaskan. Kitab tersebut sampai sekarang menjadi rujukan utama bagi siapa saja yang hendak mendalami hadits, khususnya kitab “Shahih Al-Bukhari”. Kitab yang terdiri dari 14 jilid ini (termasuk mukaddimah “Fathul Bari”) cukup menggambarkan keahlian pengarangnya.
(Thobary Syadzily
Tidak ada komentar:
Posting Komentar