INTERNALISASI DOKTRIN DAN PEMIKIRAN ASWAJA
I. DEFINISI DAN HISTORIS KEMUNCULAN ASWAJA
Istilah Ahlussunnah wal Jama'ah (ASWAJA), merupakan gabungan dari tiga kata, yakni Ahl, Assunnah, dan Aljamâ'ah.Secara etimologis, kata ahl (أهل) berarti golongan, kelompok atau komunitas. Etimologi kata assunah (السنّة)
memiliki arti yang cukup variatif, yakni: wajah bagian atas, kening,
karakter, hukum, perjalanan, jalan yang ditempuh, dll. Sedangkan kata aljamâ'ah (الجماعة) berarti perkumpulan sesuatu tiga ke atas.
Adapun terminologi Ahlussunnah wal Jama'ah, bukan merujuk kepada pengertian bahasa (lughawi) ataupun agama (syar'i), melainkan merujuk pada pengertian yang berlaku dalam kelompok tertentu (urfi). Yaitu, ASWAJA adalah kelompok yang konsisten menjalankan sunnah Nabi saw. dan mentauladani para sahabat Nabi dalam akidah (tauhîd), amaliah badâniyah (syarîah) dan akhlaq qalbiyah (tasawuf). Terminologi istilah Ahlussunnah wal Jama'ah ini
didasarkan pada sebuah hadits yang menyatakan bahwa hanya kelompok
inilah yang selamat dari 73 perpecahan kelompok umat nabi Muhammad saw.:
والذي
نفس محمد بيده لتفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة, فواحدة فى الجنة
وثنتان وسبعون فى النار, قيل: من هم يا رسول الله ؟ قال: هم أهل السنة
والجماعة. (رواه الطبراني)
|
Demi
Tuhan yang jiwa Muhammad ada dalam genggamanNya, umatku akan
bercerai-berai ke dalam 73 Golongan. Yang satu masuk surga dan yang 72
masuk neraka”. Ditanyakan: ”Siapakah mereka (golongan yang masuk
surga) itu, wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Mereka adalah
Ahlussunnah wal Jama’ah”. (HR. Thabrani)
|
تفترق
هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة الناجية منها واحدة والباقون هلكى قالوا
ومن الناجية؟ قال أهل السنة والجماعة قيل وما السنة والجماعة؟ قال ما
أنا عليه اليوم وأصحابي
|
Umat
ini nantinya juga akan terpecah menjadi 73 sekte, satu yang selamat,
yang lainnya dalam kerusakan. Shahabat bertanya, ”Siapa yang selamat?”
Nabi menjawab: ”Ahlussunah wal Jama‘ah”. Mereka bertanya kembali: ”Siapa Ahlussunah wal Jama‘ah?” Jawab Nabi: ”Adalah apa yang aku dan sahabatku praktekkan hari ini”.
|
Dengan pengertian terminologis demikian, ASWAJA secara riil di tengah-tengah umat Islam terbagi menjadi tiga kelompok.Pertama, Ahl Alhadits dengan sumber kajian utamanya adalah dalil sam’iyah, yakni Alqur’an, Assunnah Ijma dan Qiyas.Kedua, para ahl alkalâm atau ahl annadhar (teologi) yang mengintegrasikan intelegensi (asshinâ’ah alfikriyyah).Mereka
adalah Asyâ'irah dengan pimpinan Abu Hasan Al'asy’ari dan Hanafiyah
dipimpin oleh Abu Manshur Almaturidi.Sumber penalaran mereka adalah akal
dengan tetap meletakkan dalil sam’iyyah dalam porsinya. Ketiga, Ahl Alwijdân wa Alkasyf (kaum shufiyah). Sumber inspirasi mereka adalah penalaran Ahl Alhadits dan Ahl Annadhar sebagai media penghantar yang kemudian dilanjutkan melalui pola kasyf dan ilham.[1]Ketiga kelompok inilah yang paling layak disebut ASWAJA secara hakiki.
Di Indonesia, Nahdlatul Ulama merumuskan ASWAJA dengan dua pengertian. Pertama, ASWAJA sudah ada sejak zaman Nabi, sahabat nabi, tâbi'în dan tâbi'înattâbi'în yang umumnya disebut dengan assalaf ashshalih. Pendapat ini didasarkan pada pengertian bahwa ASWAJA berarti golongan yang setia pada Assunah dan Aljamâ'ah,
yaitu Islam yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. bersama
para sahabatnya pada zaman Nabi masih hidup dan apa yang dipraktekkan
para sahabat sepeninggal beliau, terutama Khulafa‘ Arrasyidin.
Dari pengertian ini, ASWAJA dirumuskan sebagai: kelompok yang
senantiasa konsisten dan setia mengikuti sunnah Nabi saw. dan thariqah
atau jalan para sahabatnya dalam akidah, fiqh dan tasawuf. Kelompok ini
terdiri dari para teolog (mutakallimîn), ahli fiqh (fuqahâ’), ahli hadits (muhaditsîn), dan ulama tasawuf (mutashawwifîn).
Kedua,
ASWAJA adalah paham keagamaan yang muncul (dimurnikan) setelah Imam Abu
Alhasan Al'asy'ari dan Imam Abu Manshur Almaturidi memformulasikan
akidah Islam yang sesuai dengan Alqur'an dan Assunnah.Itu sebabnya,
kelompok ASWAJA juga disebut sebagai penganut paham Asy'ariyah dan
Maturidiyah. Syaikh Murtadla Azzubaidi dalam kitab Al'ittihâf Assâdah Almuttaqîn, Syarah kitab Ihyâ' Ulûmiddîn karya Imam Alghazali menyatakan:
إذا أطلق أهل السنة والجماعة فالمراد بهم الأشاعرة والماتردية
|
Ketika
diucapkan secara mutlak istilah Ahlussunnah wal Jama'ah, maka yang
dikehendaki mereka ialah kelompok penganut paham Al'asy'ari dan
Almaturidi.
|
KH. Hasyim Asy’ari pada sambutan pembukaan deklarasi berdirinya Jam’iyah Nahdlatul Ulama menandaskan: “Ciri
Ahlussunah wal Jama‘ah, adalah mereka yang di bidang tauhid mengikuti
Imam Abu Alhasan Al'asy’ari atau Abu Mansur Almaturidi; di bidang fiqh
mengikuti madzhab empat: Imam Abi Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i bin
Idris atau Ahmad bin Hambal; dan di bidang tasawuf mengikuti ajaran
Syaikh Junaid Albaghdadi dan Imam Alghazali.”
Dari terminologi ASWAJA seperti di atas, dapat dimengerti bahwa Ahlussunah wal Jama‘ah merupakan istilah yang terbangun melalui nalar ‘urfi, untuk mencirikan umat Muslim sebagai representasi dari sawâd al'a’dham
(kelompok mayoritas) ketika kondisi perpecahan paham merajalela dan
dirasa perlu merapatkan barisan dan menyepakati sebuah identititas,
sebagai upaya membedakan antara yang haq dan bathil, antara mereka yang
teguh mengikuti sunnah dan yang menyimpang dengan berbagai macam bid’ah,
sebagaimana yang ditekankan Rasulullah saw. dalam sabdanya:
قالرسولاللهgلايجمعاللههذهالأمةعلىضلالةأبدا,قاليداللهعلىالجماعةفاتبعواسوادالأعظمفإنهمنشذشذفيالنار
|
Rasulullah
saw. bersabda, Allah tidak akan mengumpulkan umat ini dalam kesesatan
selamanya. Kekuatan (pertolongan) Allah berada pada kelompok, maka
ikutilah kelompok terbesar, karena sesungguhnya seseorang yang
mimisahkan diri, ia memisahkan diri ke dalam neraka.
|
Sejarah kemunculan istilah ASWAJAsebagai sebuah namafirqah
(sekte) Islam, sebenarnya dipengaruhi dari perpecahan dalam Islam.
Sejak peristiwa pembunuhan khalifah Islam ketiga, Utsman bin Affan,
sejak saat itulah episode perpecahan dalam tubuh Islam dimulai. Dari
peristiwa ini muncul serangkaian perang antara para sahabat. Sayyidina
Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah saat itu harus berhadapan
perang melawan Sayyidah Aisyah, mertuanya sendiri, yang menuntut qishas
darah Utsman bin Affan. Dalam perang yang dikenal sebagai perang Jamal
ini, puluhan sahabat besar dan hapal Alqur’an gugur terbunuh oleh sesama
Muslim akibat provokasi da konspirasi kaum munafiq Yahudi (Abdulah ibn
Saba’ dkk.).Berikutnya, pecah perang Shiffin antara pasukan Ali
berhadapan dengan pasukan Muawaiyah yang kemudian memunculkan peristiwa Tahkîm (arbitrase).Ide Tahkîm
dari kubu Muawiyah menjelang kekalahan pasukannya yang disetujui Ali
ini, kemudian menyulut perpecahan di antara pasukan Ali, yang dari sini
selanjutnya melahirkan sekte Islam Syi’ah yang mendukung kebijakan Ali
dan sekte Khawarij yang menolak kebijakannya.
Sejak kematian Ali Ibn Abi Thalib pada tahun 40 H. atau 661 M., umat Islam telah terpecah setidaknya menjadi empat kelompok.Petama, Syi’ah yang fanatik kepada Ali dan keluarganya serta membenci Muawiyah Ibn Abi Sufyan.Kedua, Khawarij yang memusuhi bahkan mengkafirkan Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Ketiga, kelompok yang mengakui kekhalifahan Muawiyah. Dan keempat,
sejumlah sahabat antara lain Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan
lain-lain, yang menghindarkan diri dari konflik dan menekuni bidang
keilmuan keagamaan. Dari aktifitas mereka inilah selanjutnya lahir
sekelompok ilmuan sahabat, yang mewariskan tradisi keilmuan kepada
generasi berikutnya, sehingga melahirkan tokoh-tokoh mutakallimîn, muhadditsîn, fuqahâ', mufassirîn, dan mutashawwifîn.Kelompok
ini berusaha mengakomodir semua kekuatan dan model pemikiran yang
sederhana, sehingga mudah diterima oleh mayoritas umat Islam.
ASWAJA
sebagai sebuah sekte Islam, eksistensinya semakin populer ketika Syaikh
Abu Alhasan Al'asy’ari menyatakan keluar dari paham Mu'tazilah dan
menyerang akidah paham tersebut.Sebelumnya, Abu Alhasan Al'asy’ari
adalah seorang penganut Mu'tazilah dan menjadi murid Abu Ali Aljaba’i
Almu'tazili, seorang tokoh Mu'tazilah yang sekaligus ayah tirinya. Dalam
kutipan akhir perdebatan antara Abu Alhasan Al'asy’ari dengan gurunya,
Abu Ali Aljaba’i, dalam rangka membatalkan paham Mu'tazilah,
diceritakan: Abu Alhasan Al'asy’ari bertanya pada Abu Ali Aljaba’i: “Bagaimana
pendapatmu tentang tiga saudara yang meninggal dunia, yang satu adalah
orang yang taat, yang kedua adalah orang yang durhaka, dan yang ketiga
meninggal ketika masih kecil?”
Abu Ali Aljaba’i menjawab: “yang
taat diberi pahala dan masuk surga, yang durhaka disiksa dan masuk
neraka, dan yang kecil berada di antara surga dan neraka (manzilah baina
almanzilatain), tidak diberi pahala dan tidak disiksa”.
Abu Alhasan bertanya:
“Jika yang kecil mengatakan: “Wahai Tuhanku, kenapa Engkau mencabut
nyawaku ketika aku masih kecil? Jika Engkau biarkan aku hidup, aku akan
taat dan masuk surga”, lalu bagaimana jawaban Allah?”.
Abu Ali Aljaba’i menjawab: “Allah
akan menjawab: “Aku maha tahu, jika engkau hidup sampai dewasa, maka
engkau akan durhaka sehingga masuk neraka, maka yang terbaik adalah
engkau mati ketika masih kecil”.
Abu Alhasan bertanya lagi:
“Jika yang mati dalam keadaan durhaka mengatakan: “Wahai Tuhanku, jika
Engkau tahu aku akan durhaka, kenapa Engkau tidak mencabut nyawaku
ketika aku masih kecil, sehingga Engkau tidak memasukkan aku ke dalam
neraka?”, lalu apa yang akan dikatakan Allah?”Pada pertanyaan terakhir inilah Abu Ali Aljaba’i tak sanggup menjawab untuk membela pahamnya.
Setelah Abu Ali Aljaba’i gagal menjawab pertanyaannya, Abu Alhasan Al'asy’ari
lalu menyatakan keluar dari paham Mu'tazilah, dan aktif menulis
kitab-kitab untuk menolak akidah Mu'tazilah dan merumuskan akidah Ahlussunnah wal Jama'ah.
Dengan
demikian, ASWAJA adalah aliran pemahaman keagamaan yang bercita-cita
mengamalkan syari’at Islam secara murni, sesuai yang dikehendaki oleh
Allah.ASWAJA meyakini wahyu bersifat 'gaib' dan disampaikan dalam
kegaiban. Untuk itu tidak ada yang patut mengaku sebagai pengamal
syari’at Islam secara mutlak benar kecuali Rasulullah saw., karena
beliaulah yang menerima dan dituntun wahyu sesuai kehendak Allah. Selain
Rasulullah, para sahabat yang selalu dekat dan memperoleh ajaran
langsung Rasulullah adalah umat Islam yang kualitas pemahaman terhadap
wahyu mendekati sempurna, karena mereka tahu persis bagaimana Nabi
Muhammad memahami dan mengamalkan wahyu. Hanya dengan merujuk kepada
akidah, amaliah dan akhlak mereka inilah suatu sekte Islam berhak
disebut Ahlussunah wal Jama‘ah.
Apabila
dewasa ini semua sekte Islam mengklaim diri sebagai ASWAJA, maka harus
ditegaskan bahwa ASWAJA bukanlah klaim, melainkan paham keagamaan dengan
bukti kesesuaian akidah, amaliah dan akhlaknya dengan akidah, amaliah
dan akhlak Rasulullah dan yang telah disepakati para sahabat di masa Khulafa' Arrasyidin, berdasarkan hujjah dan dalil yang bisa dipertanggungjawabkan.
II. GARIS-GARIS BESAR DOKTRIN ASWAJA
Islam, iman dan ihsan adalah trilogi agama (addîn) yang membentuk tiga dimensi keagamaan meliputi syarî'ah sebagai realitas hukum, tharîqah sebagai jembatan menuju haqîqah
yang merupakan puncak kebenaran esensial. Ketiganya adalah sisi tak
terpisahkan dari keutuhan risalah yang dibawa Rasulullah saw. yang
menghadirkan kesatuan aspek eksoterisme (lahir) dan esoterisme (batin).
Tiga dimensi agama ini (islam, iman dan ihsan), masing-masing saling
melengkapi satu sama lain. Keislaman seseorang tidak akan sempurna tanpa
mengintegrasikan keimanan dan keihsanan. Ketiganya harus berjalan
seimbang dalam perilaku dan penghayatan keagamaan umat, seperti yang
ditegaskan dalam firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً
|
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya. (QS. Albaqarah: 208)
|
Imam Izzuddin bin Abdissalam mengatakan, ”hakikat
Islam adalah aktifitas badaniah (lahir) dalam menjalankan kewajiban
agama, hakikat iman adalah aktifitas hati dalam kepasrahan, dan hakikat
ihsan adalah aktifitas ruh dalam penyaksian (musyâhadah) kepada Allah”.[2]
Dalam
perkembangan selanjutnya, kecenderungan ulama dalam menekuni dimensi
keislaman, melahirkan disiplin ilmu yang disebut fiqh.Kecenderungan
ulama dalam menekuni dimensi keimanan, melahirkan disiplin ilmu
tauhid.Dan kecenderungan ulama dalam dimensi keihsanan, melahirkan
disiplin ilmu tasawuf atau akhlak.Paham ASWAJA mengakomodir secara
integral tiga dimensi keagamaan tersebut sebagai doktrin dan ajaran
esensialnya.Karena praktek eksoterisme keagamaan tanpa disertai
esoterisme, merupakan kemunafikan.Begitu juga esoterisme tanpa didukung
eksoterisme adalah klenik.Semata-mata formalitas adalah tiada guna,
demikian juga spiritualitas belaka adalah sia-sia. Imam Malik
mengatakan:
مَنْ
تَصَوَّفَ وَلَمْ يَتفَقَّهْ فَقَدْ تَزَندَقَ وَمَنْ تَفَقَّهَ وَلَمْ
يَتَصَوَّفْ فَقَدْ تَفَسَّقَ وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ
تَحَقَّقَ
|
Barang
siap menjalani tasawuf tanpa fiqh, maka dia telah zindiq, barang
siapa memegang fiqh tanpa tasawuf, maka dia telah fasiq, dan barang
siapa menyatukan keduanya, maka dia telah menemukan kebenaran.
|
a. Doktrin Keimanan
Iman adalah pembenaran (tashdîq)
terhadap Allah, Rasul dan segala risalah yang dibawanya dari Allah.
Dalam doktrin keimanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang
tauhid (teologi/kalam) ini, ASWAJA berpedoman pada akidah islamiyah (ushûluddîn) yang dirumuskan oleh Abu Alhasan Al'asy'ari (260 H./874 M. – 324 H./936 M.) dan Abu Manshur Almaturidi (w. 333 H.).
Kedua
tokoh ASWAJA ini nyaris sepakat dalam masalah akidah islamiyah,
meliputi sifat-sifat wajib, mustahil dan ja'iz bagi Allah, para rasul
dan malaikatNya, kendati keduanya berbeda dalam cara dan proses
penalaran. Kedua tokoh ini hanya berbeda dalam tiga masalah yang tidak
berakibat fatal.Yaitu dalam masalah istitsnâ’, takwîn, dan iman dengan taqlid.
Pertama istitsna’, atau mengatakan keimanan dengan insya'Allah, seperti “Saya beriman, insya'Allah”, menurut Maturidiyah tidak diperbolehkan, karena istitsnâ
demikian mengisyaratkan sebuah keraguan, dan keimanan batal dengan
adanya ragu-ragu.Menurut Asyâ'irah diperbolehkan, karena maksud istisnâ’ demikian bukan didasari keraguan atas keimanan itu sendiri, melainkan keraguan tentang akhir hidupnya dengan iman atau tidak, na’ûdzu billah min dzalik.Atau, istitsnâ’ demikian maksudnya keraguan dan spekulasi terhadap kesempurnaan imannya di hadapan Allah.
Kedua sifat takwîn (mewujudkan), menurut Asyâ'irah sifat takwîn (تكوين) tidak berbeda dengan sifat Qudrah.Sedangkan menurut Maturidiyah, takwîn adalah sifat tersendiri yang berkaitan dengan sifat Qudrah.
Dan ketiga, tentang imannya orang yang taqlid (ikut-ikutan tanpa mengetahui dalilnya). Menurut Maturidi, imannya muqallid sah dan disebut arif
serta masuk surga. Sedangkan Menurut Abu Alhasan Al'asy'ari, keimanan
demikian tidak cukup.Sedangkan Asyâ'irah (pengikut Abu Alhasan
Al'asy'ari) berbeda pendapat tentang imannya muqallid. Sebagian
menyatakan mukmin tapi berdosa karena tidak mau berusaha mengetahu
melalui dalil; sebagian mengatakan mukmin dan tidak berdosa kecuali jika
mampu mengetahui dalil; dan sebagian yang lain mengatakan tidak
dianggap mukmin sama sekali.
Dari tingkatan tauhid ini, selanjutnya ada empat strata keimanan.Ada iman bittaqlîd, iman biddalîl, iman bil iyyân dan iman bil haqq. Pertama, iman bittaqlîd
adalah keimanan melalui ungkapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya
secara langsung. Keimanan seperti ini keabsahannya masih
diperselisihkan. Kedua, iman biddalîl (ilmul yaqîn) ialah keyakinan terhadap aqâ'idlima puluh dengan dalil dan alasan filosofinya. Dua strata keimanan ini masih terhalang (محجوب) dalam mengetahui Allah.Ketiga, iman bil iyyân(‘ainul yaqîn) ialah keimanan yang senantiasa hatinya muraqabah kepada Allah.Artinya, dalam kondisi apapun, Allah tidak hilang dari kesadaran hatinya.Dan keempat, iman bil haqq (haqqul yaqîn) yaitu keimanan yang telah terlepas dari segala yang hadîts dan tenggelam dalam fanâ' billah.
Mempelajari ilmu tauhid, fiqh dan tasawuf, hanya akan menghasilkan iman biddalîl (ilmul yaqîn), dan jika keimanan ini senantiasa disertai kesadaran hati dan penghayatan amaliah, maka naik ke strata iman biliyyân (‘ainul yaqîn) hingga puncaknya mencapai pada iman bil haqq (haqqul yaqîn).
Doktrin keimanan terhadap Allah, berarti tauhid atau mengEsakan Allah dalam af'âl, shifah dan dzât. Dengan demikian, tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid fi’li, yaitu fana’ dari seluruh perbuatan; tauhid washfi, yaitu fana’ dari segala sifat; dan tauhiddzati, yaitu fana’ dari segala yang maujûd.Fana’ fi’li disebut juga dengan ilmul yaqîn, fana’ washfi disebut juga dengan ‘ainul yaqîn, dan fana’ dzati juga disebut dengan haqqul yaqîn. Level tauhid demikian ini merupakan puncak prestasi dari penghayatan firman Allah:
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
|
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.(QS. Ashshafat: 96)
|
Sebagian ulama 'arif billah menyatakan:
من شهد الخلق لا فعل لهم فقد فاز ومن شهدهم لاحياة لهم فقد جاز ومن شهدهم عين العدم فقد وصل
|
Barang
siapa dapat menyaksikan makhluk tidak memiliki perbuatan, maka ia
telah beruntung, barang siapa menyaksikannya tidak hidup, maka itu
diperbolehkan, dan barang siapa menyaksikannya praktis tiada, maka ia
telah wushul.
|
Konsep tauhid ASWAJA mengenai af'âl
(perbuatan) Allah, berada di tengah antara paham Jabariyah di satu
pihak dan Qadariyah dan Mu'tazilah di pihak lain. Ketika Jabariyah
menyatakan paham peniadaan kebebasan dan kuasa manusia atas segala
kehendak dan perbuatannya secara mutlak, sementara Qadariyah dan
Mu’tazilah menyatakan makhluk memiliki kebebasan dan kuasa mutlak atas
kehendak dan perbuatannya, maka lahirlah ASWAJA sebagai sekte moderat di
antara dua paham ektrim tersebut.ASWAJA meyakini bahwa makhluk memiliki
kebebasan kehendak (ikhtiyar) namun tidak memiliki kuasa (qudrah) perbuatan selain sebatas kasb (upaya).Dalam keyakinan ASWAJA, secara dhahir manusia adalah 'kuasa' (memiliki qudrah), namun secara batin, manusia adalah majbûr (tidak memiliki qudrah apapun).
Dalam
doktrin keimanan ASWAJA, keimanan seseorang tidak dianggap hilang dan
menjadi kafir, dengan melakukan kemaksiatan. Seseorang yang melakukan
maksiat ataupun bid'ah, sementara hatinya masih teguh meyakini dua
kalimat syahadat, maka ASWAJA tidak akan menvonis sebagai kafir,
melainkan sebagai orang yang sesat (dhalâl) dan durhaka.[3]ASWAJA sangat berhati-hati dan tidak gampang dalam sikap takfîr
(mengkafirkan). Karena memvonis kafir seseorang yang sejatinya mukmin
akan menjadi bumerang bagi diri sendiri. Rasulullah saw. bersabda:
إِذَاقَالَالرَّجُلُلأَخِيهِيَاكَافِرُفَقَدْبَاءَبِهِأَحَدُهُمَا
|
Ketika seseorang berkata kepada saudaranya: ”wahai seorang yang kafir”, maka salah satunya benar-benar telah kafir. (HR. Bukhari)
|
Keimanan
seseorang akan hilang dan menjadi kafir (murtad) apabila menafikan
wujud Allah, mengandung unsur syirik yang tidak dapat dita’wil,
mengingkari kenabian, mengingkari hal-hal yang lumrah diketahui dalam
agama (ma'lûm bi adldlarûri), dan mengingkari hal-hal mutawâtir atau mujma’ ‘alaih
yang telah lumrah diketahui. Tindakan yang menyebabkan seseorang
dikategorikan kafir bisa meliputi ucapan, perbuatan atau keyakinan, yang
mengandung unsur-unsur di atas ketika telah terbukti (tahaqquq) dan tidak bisa dita’wil.
b. Doktrin Keislaman
Doktrin keislaman, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang fiqh yang meliputi hukum-hukum legal-formal (ubudiyah, mu'amalah, munakahah, jinayah, siyasah dan lain-lain), ASWAJA berpedoman pada salah satu dari empat madzhab fiqh: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah.
Ada
alasan mendasar mengenai pembatasan ASWAJA hanya kepada empat madzhab
ini.Di samping alasan otentisitas madzhab yang terpercaya melalui
konsep-konsep madzhab yang terkodifikasi secara rapi dan sistematis,
metodologi pola pikir dari empat madzhab ini relatif tawâzun (berimbang) dalam mensinergikan antara dalil aql (rasio-logis) dan dalil naql
(teks-teks keagamaan).Empat madzhab ini yang dinilai paling moderat
dibanding madzhab Dawud Adhdhahiri yang cenderung tekstualis dan Madzhab
Mu'tazilah yang cenderung rasionalis.
Jalan tengah (tawâsuth)
yang ditempuh ASWAJA di antara dua kutub ekstrim, yaitu antara
rasioalis dengan tekstualis ini, karena jalan tengah atau moderat
diyakini sebagai jalan paling selamat di antara yang selamat, jalan
terbaik diantara yang baik, sebagaimana yang ditegaskan Nabi saw. dalam
sabdanya:
خَيْرُالأُمُورِأَوْسَاطُهَا
|
Sebaik-baiknya perkara adalah tengahnya.
|
Dengan
prinsip inilah ASWAJA mengakui bahwa empat madzhab yang memadukan dalil
Alqur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas (analogi), diakuinya mengandung
kemungkinan lebih besar berada di jalur kebenaran dan keselamatan.Hal
ini juga dapat berarti bahwa kebenaran yang diikuti dan diyakini oleh
ASWAJA hanya bersifat kemungkinan dan bukan kemutlakan.Dalam arti,
mungkin benar dan bukan mutlak benar. Empat dalil (Alqur'an, Hadits,
Ijma' dan Qiyas) ini dirumuskan dari ayat:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى
اللهِ وَالرَّسُولِ.
|
Hai
orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan
Rasul (sunnahnya) (QS. Annisa': 59)
|
Dalam ayat ini secara implisit ditegaskan, bahwa ada empat dalil yang bisa dijadikan tendensi penggalian (istinbâth)
hukum, yaitu Alqur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas. Perintah taat kepada
Allah dan utusanNya, berarti perintah berpegang pada Alqur'an dan
Hadits, perintah taat kepada ulil amri berarti perintah berpegang pada Ijma' (konsensus) umat (mujtahidîn), dan perintah mengembalikan perselisihan kepada Allah dan RasulNya berarti perintah berpegang pada Qiyas sepanjang tidak ada nash dan ijma'. Sebab, Qiyas hakikatnya mengembalikan sesuatu yang berbeda pada hukum Allah dan utusanNya.
Disamping
itu, ASWAJA juga melegalkan taqlid, bahkan mewajibkannya bagi umat yang
tidak memiliki kapasitas dan kualifikasi keilmuan yang memungkinkan
melakukan ijtihad.Taqlid hanya haram bagi umat yang benar-benar memiliki
kapasitas dan piranti ijtihad sebagaimana yang dikaji dalam kitab Ushul
Fiqh.Dengan demikian, ASWAJA tidak pernah menyatakan pintu ijtihad
tertutup.Pintu ijtihad selamanya terbuka, hanya saja umat Islam yang
agaknya dewasa ini 'enggan' memasukinya. Mewajibkan ijtihad kepada umat
yang tidak memiliki kapasitas ijtihad, sama saja memaksakan susuatu di
luar batas kemampuannya. Maka kepada umat seperti inilah taqlid dipahami
sebagai kewajiban oleh ASWAJA berdasarkan firman Allah:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
|
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS. Annahl: 43)
|
c. Doktrin Keihsanan
Tasawuf
adalah sebuah manhaj spiritual yang bisa dilewati bukan melalui
teori-teori ilmiah semata melainkan dengan mengintegrasikan antara ilmu
dan amal, dengan jalan melepaskan (takhallî) baju kenistaan (akhlaq madzmûmah) dan mengenakan (tahallî) jubah keagungan (akhlaq mahmûdah), sehingga Allah hadir (tajallî) dalam setiap gerak-gerik dan perilakunya, dan inilah manifestasi konkret dari ihsan dalam sabda Rasulullah saw.:
الْإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
|
Ihsan adalah engkau menyembah Allah seolah engkau melihatNya, dan jika engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.
|
Doktrin
keihsanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang tasawuf atau
akhlaq ini, ASWAJA berpedoman pada konsep tasawuf akhlaqi atau amali,
yang dirumuskan oleh Imam Aljunaid Albaghdadi dan Alghazali. Limitasi
(pembatasan) hanya kepada kedua tokoh ini, tidak berarti manafikan
tokoh-tokoh tasawuf falsafi dari kelompok ASWAJA, seperti Ibn Al'arabi,
Alhallaj dan tokoh-tokoh sufi 'kontroversial' lainnya.
Dari
uraian di atas, dapat dimengerti bahwa kelompok yang masuk kategori
ASWAJA meliputi ahli tauhid (kalam), ahli fiqh (syariat), ahli tasawuf
(akhlak) dan bahkan ahli hadits (muhadditsîn).Dari
kelompok-kelompok ini masing-masing memiliki konsep metodologis dan tema
kajian sendiri-sendiri yang tidak bisa diuraikan di makalah ringkas
ini.
III. METODOLOGI PEMIKIRAN (MANHAJ ALFIKR) ASWAJA
Jika
kita mencermati doktrin-doktrin paham ASWAJA, baik dalam akidah (iman),
syariat (islam) ataupun akhlak (ihsan), maka bisa kita dapati sebuah
metodologi pemikiran (manhaj alfkr) yang tengah dan moderat (tawassuth), berimbang atau harmoni (tawâzun), netral atau adil (ta'âdul), dan toleran (tasâmuh). Metodologi pemikiran ASWAJA senantiasa menghidari sikap-sikap tatharruf (ekstrim), baik ekstrim kanan atau ekstrim kiri.
Inilah
yang menjadi esensi identitas untuk mencirikan paham ASWAJA dengan
sekte-sekte Islam lainnya.Dan dari prinsip metodologi pemikiran seperti
inilah ASWAJA membangun keimanan, pemikiran, sikap, perilaku dan
gerakan.
a. Tawasuth (Moderat)
Tawassuth
ialah sebuah sikap tengah atau moderat yang tidak cenderung ke kanan
atau ke kiri.Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pemikiran moderat
ini sangat urgen menjadi semangat dalam mengakomodir beragam kepentingan
dan perselisihan, lalu berikhtiar mencari solusi yang paling ashlah (terbaik). Sikap ini didasarkan pada firman Allah:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
|
Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang
adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan
agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Albaqarah: 143)
|
b. Tawâzun (Berimbang)
Tawâzun
ialah sikap berimbang dan harmonis dalam mengintegrasikan dan
mensinergikan dalil-dalil (pijakan hukum) atau pertimbangan-pertimbangan
untuk mencetuskan sebuah keputusan dan kebijakan.Dalam konteks
pemikiran dan amaliah keagamaan, prinsip tawâzun menghindari sikap ekstrim (tatharruf)
yang serba kanan sehingga melahirkan fundamentalisme, dan menghindari
sikap ekstrim yang serba kiri yang melahirkan liberalisme dalam
pengamalan ajaran agama. Sikap tawâzun ini didasarkan pada firman Allah:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
|
Sesungguhnya
Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang
nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca
(keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS. Alhadid: 25)
|
c. Ta'âdul (Netral dan Adil)
Ta'âdul
ialah sikap adil dan netral dalam melihat, menimbang, menyikapi dan
menyelesaikan segala permasalahan. Adil tidak selamanya berarti sama
atau setara (tamâtsul). Adil adalah sikap proporsional
berdasarkan hak dan kewajiban masing-masing. Kalaupun keadilan menuntut
adanya kesamaan atau kesetaraan, hal itu hanya berlaku ketika realitas
individu benar-benar sama dan setara secara persis dalam segala
sifat-sifatnya. Apabila dalam realitasnya terjadi tafâdlul (keunggulan), maka keadilan menuntut perbedaan dan pengutamaan (tafdlîl).Penyetaraan antara dua hal yang jelas tafâdlul, adalah tindakan aniaya yangbertentangan dengan asas keadilan itu sendiri. Sikap ta'âdul ini berdasrkan firman Allah:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا
هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
|
Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa.(QS. Alma'idah: 9)
|
d. tasâmuh (toleran)
Tasâmuh
ialah sikap toleran yang bersedia menghargai terhadap segala kenyataan
perbedaan dan keanekaragaman, baik dalam pemikiran, keyakinan, sosial
kemasyarakatan, suku, bangsa, agama, tradisi-budaya dan lain
sebagainya.Toleransi dalam konteks agama dan keyakinan bukan berarti
kompromi akidah. Bukan berarti mengakui kebenaran keyakinan dan
kepercayaan orang lain. Toleransi agama juga bukan berarti mengakui
kesesatan dan kebatilan sebagai sesuatu yang haq dan benar.Yang salah
dan sesat tetap harus diyakini sebagai kesalahan dan kesesatan.Dan yang
haq dan benar harus tetap diyakini sebagai kebenaran yang haq.Dalam
kaitannya dengan toleransi agama, Allah swt.berfirman:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
|
Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS. Alkafirun: 6)
|
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
|
Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85)
|
Toleransi
dalam konteks tradisi-budaya bangsa, ialah sikap permisif yang bersedia
menghargai tradisi dan budaya yang telah menjadi nilai normatif
masyarakat. Dalam pandangan ASWAJA, tradisi-budaya yang secara
substansial tidak bertentangan dengan syariat, maka Islam akan
menerimanya bahkan mengakulturasikannya dengan nilai-nilai keislaman.
Dengan demikian, tasâmuh
(toleransi), berati sebuah sikap untuk menciptakan keharmonisan
kehidupan sebagai sesama umat manusia.Sebuah sikap untuk membangun
kerukunan antar sesama makhluk Allah di muka bumi, dan untuk menciptakan
peradaban manusia yang madani.Dari sikap tasâmuh inilah selanjutnya ASWAJA merumuskan konsep persaudaraan (ukhuwwah) universal.Meliputi ukhuwwah islamiyyah (persaudaan keislaman), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaaan) dan ukhuwwah basyariyyah atau insâniyyah
(persaudaraan kemanusiaan). Persaudaraan universal untuk menciptakan
keharmonisan kehidupan di muka bumi ini, merupakan implementasi dari
firman Allah swt.:
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ
أَتْقَاكُمْ
|
Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu. (QS. Alhujurat; 13)
|
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
|
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi“. (QS. Albaqarah: 30)
|
IV. ESENSI KHILAFAH DALAM PANDANGAN ASWAJA
Dalam
pandangan ASWAJA, esensi dan hakikat dari sebuah pemerintahan atau
negara (khilafah), adalah sebagai salah satu diantara instrumen (wasâ'il) untuk usaha terwujudnya aplikasi syariat secara totalitas (kâffah) dalam kehidupan umat melalui kewajiban menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, yang menjadi cita-cita dan tujuan akhirnya (maqâshid). Karena kedudukannya yang dipandang sebagai wasîlah untuk maqâshid berupa tugas amar ma'ruf nahi munkar,
maka pemerintahan atau negara tidak harus terikat dengan bentuk, sistem
ataupun dasar idiologi negara tertentu. Apapun sistem, bentuk ataupun
dasar idiologi yang diberlakukan, sepanjang tidak bertentangan dengan
ajaran Islam, dan tidak menjadi rintangan dalam tugas dakwah islamiyah,
serta tidak menghalangi umat Islam dalam menjalankan praktek
keagamaannya, maka tidak ada kewajiban untuk melakukan kudeta atau
merubahnya. Merubah bentuk, sistem atau dasar idiologi negara, hanya
wajib dilakukan —sesuai batas kemampuan— jika nyata-nyata bertentangan
dengan syariat.
Pendirian
Khilafah Islamiyah bagi ASWAJA (baca: Nahdlatul Ulama) dalam konteks
keIndonesiaan, bukanlah cita-cita urgen, sebab eksistensinya hanyalah
sebagai wasîlah. Ada cita-cita (maqâshid) yang jauh lebih penting dan esensial dari sekedar membentuk instrumen perjuangan, yaitu menegakkan amar ma'ruf nahi munkar di tengah kehidupan masyarakat, dan tugas maqâshid ini bisa dilangsungkan tidak harus melalui pendirian Khilafah Islamiyah.
Pandangan
seperti inilah yang mendasari sikap ASWAJA (baca: NU) yang tidak ambisi
dan bercita-cita mendirikan Khilafah Islamiyah di Indonesia. Karena
khilafah bukanlah satu-satunya instrumen yang bisa ditempuh untuk
menegakkan syariat dalam kehidupan umat.Bahkan selama ini, setiap usaha
merubah bentuk dan dasar hukum negara, nyata-nyata lebih banyak
memunculkan ekses negatif yang justru merugikan kaum Muslimin
sendiri.Gerak perjuangan ASWAJA (NU) dalam konteks Indonesia, bukan
semangat perjuangan mendirikan Khilafah Islamiyah, melainkan semangat
perjuangan menegakkan syariat dalam perilaku keseharian umat. Dengan
kata lain, perjuangan ASWAJA (NU) tidak dikonsentrasikan pada
pembentukan sebuah wadah syariat secara formal, berupa bentuk khilafah
atau sistem negara Islam, melainkan lebih dikonsentrasikan pada
perjuangan aplikasi syariat dalam perilaku umat sehingga menjadi ruh dan
substansi perilaku kehidupan masyarakat. Perilaku umat yang
berlandaskan syariat jauh lebih penting dan lebih baik dibanding sekedar
formalitas bentuk dan sistem negara islami.
Hal
ini logis, sebab jika kita jujur membaca fakta sejarah khilafah dalam
Islam, sebenarnya yang layak dilabeli dengan 'islamiyah' (baca:
demokratis), hanyalah khilafah era Khulafa' Arrasyidin saja. Khilafah pasca Khulafa' Arrasyidin,
secara umum telah kehilangan label ke-islamiyah-annya, bahkan identik
dengan sistem kekaisaran Romawi dan Persi.Dari sejarah ini pula bisa
kita tegaskan bahwa sistem pemerintahan demokrasi sebenarnya tidak bisa
diklaim sebagai produk kafir, sebab khilafah era Khulafa' Arrasyidin adalah pemerintahan paling demokratis dari sistem demokrasi manapun.
Disamping
itu, misi pendirian kembali Khilafah Islamiyah yang diusung oleh
sebagian sekte dan gerakan Islam dalam konteks Indonesia dewasa ini,
faktanya tidak murni hanya mengusung misi mendirikan negara Islam saja,
melainkan juga mengusung paham dan idiologi aliran mereka, seperti
idiologi Wahabi, Syi'ah atau lainnya. Mereka tidak akan mendirikan
Khilafah Islamiyah kecuali paham dan idiologi mereka juga menjadi paham
dan idiologi resmi pemerintah. Artinya, ketika khilafah berhasil
didirikan, bukan mustahil mereka memberhangus kelompok ASWAJA yang
bertentangan dengan paham mereka, seperti sejarah kekejaman Pemerintahan
Arab Saudi dengan paham Wahhabinya.
Inilah
yang menjadi alasan fundamental kenapa ASWAJA (NU) menentang setiap
gerakan dan sekte yang mengusung Khilafah Islamiyah di Indonesia dan
merongrong NKRI yang beridiolgi Pancasila. Dengan kenyakinan bahwa sila
pertama yang mencerminkan tauhid Islam telah menjiwai sila-sila lain
dalam Pancasila, dan mempertimbangkan kenyataan rakyat bangsa Indonesia
yang plural dalam ras, suku dan agama, serta mempertimbangkan resiko
ancaman integritas bangsa, maka ASWAJA (NU) menyatakan: bahwa NKRI dan
Pancasila sebagai idiologinya, adalah final dari segala upaya membentuk
negara di Indonesia. Sikap seperti ini bukan berarti ASWAJA (NU) anti
khilafah, melainkan lebih demi mempertahankan eksistensi idiologi ASWAJA
dan menghindarkan kekacauan umum (chaos) yang harus diprioritaskan dari sekedar mencapai kemaslahatan (mendirikan khilafah), sesuai kaidah fiqh:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
|
Menghindari kekacauan lebih diprioritaskan dari mengupayakan kemaslahatan
|
Apabila
sejauh ini dikenal tiga model hubungan agama-negara, yaitu hubungan
intergasi (agama dan negara adalah satu kesatuan); hubungan sekuler
(pemisahan peran agama dalam pemerintahan); dan hubungan simbiosis
(agama-negara terpisah namun saling membutuhkan dan mengisi secara
timbal-balik), maka model ketiga inilah yang menjadi pilihan ASWAJA
dalam memandang hubungan agama dan negara.Agama tidak harus diformalkan
sebagai sebuah sistem dan bentuk suatu negara, namun agama juga tidak
boleh diceraikan dari intervensi peran politik.
Pandangan
politik ASWAJA seperti ini, tidak bisa dipertentangkan dengan muatan
surat Alma'idah ayat 44, 45 dan 47, yang memvonis kafir, dhalim dan
fasiq bagi orang yang tidak memberlakukan hukum-hukum yang diturunkan
Allah. Vonis kafir, dhalim dan fasiq dalam tiga ayat tersebut meski
berlaku bagi umat Islam atau ahli alkitab (non Muslam), namun bila dilakukan orang mukmin, menurut Thawus: “kekafiran itu tidak mengeluarkannya dari agama“.Dan menurut Atha'; “kekafiran di bawah kekafiran, kedhaliman di bawah kedhaliman, dan kefasikan di bawah kefasikan".
Sedangkan dalam riwayat lain menurut Ibn Abbas, penguasa Muslim yang
tidak memberlakukan hukum sesuai apa yang diturunkan Allah dipilah
menjadi dua. Ibn Abbas mengatakan: “Orang yang mengingkari apa yang
diturunkan Allah, maka dia adalah kafir, dan orang yang membenarkannya
namun tidak menerapkannya, maka dia dhalim atau fasiq”.
Dari
sini bisa dipahami bahwa, apabila tidak memberlakukan hukum-hukum yang
diturunkan Allah lantaran ketidaksanggupan, atau karena justeru akan
menimbulkan bahaya dan kerusakan (mafâsid), seperti ancaman
disintegrasi bangsa, tekanan internasional dll., maka vonis kafir,
dhalim dan fasiq tidak bisa dijatuhkan kepada umat Islam.
CATATAN
[1]Syaikh Abi Al-Fadlal, Syarh Alkawâkib Allamâ’ah hlm. 24-25
[2] Alfiqh Alwâdlih min Alkitab wa Assunnah, hlm. 2
[3] Yusuf bin Ismail Annabhani, Syawahid Alhaqq, hlm. 19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar