Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah
Jawa pada abad ke-17. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai
utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur,
Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya
Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol
penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh
lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam
mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para
Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Daftar isi:
1. Arti Walisongo
2. Nama-nama Walisongo
3. Tokoh pendahulu Walisongo
4. Teori Keturunan Hadramaut
5. Teori Keturunan Cina
6. Sumber tertulis tentang Walisongo
7. Lihat pula
8. Pranala luar
9. Referensi
1. Arti Walisongo
Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang
sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau 'sanga'
dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga
berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat
lainnya lagi menyebut kata 'sana' berasal dari bahasa Jawa, yang berarti
tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo ini adalah sebuah dewan
yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) pada tahun 1474 M. Saat
itu dewan Walisongo beranggotakan Raden Hasan (Pangeran Bintara);
Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang, putra pertama dari Sunan Ampel); Qasim
(Sunan Drajad, putra kedua dari Sunan Ampel); Usman Haji (Pangeran
Ngudung, ayah dari Sunan Kudus); Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri, putra
dari Maulana Ishaq); Syekh Suta Maharaja; Raden Hamzah (Pangeran
Tumapel) dan Raden Mahmud.
Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada
masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi
peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam,
perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke
pemerintahan.
2. Nama-nama Walisongo
Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa saja yang termasuk
sebagai Walisongo, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal
sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:
1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat
3. Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
4. Sunan Drajat atau Raden Qasim
5. Sunan Kudus atau Jaffar Shadiq
6. Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
7. Sunan Kalijaga atau Raden Said
8. Sunan Muria atau Raden Umar Said
9. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu
sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga
karena pernikahan atau dalam hubungan guru-murid.
Sunan Gresik, Maulana Malik Ibrahim ( Gresik, Jawa Timur)
Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-11 dari Husain bin Ali bin Abi
Thalib. Ia disebut juga Sunan Gresik, Syekh Maghribi, atau terkadang
Makhdum Ibrahim as-Samarqandy. Ia diperkirakan lahir di Samarkand di
Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma
menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap
as-Samarqandy. Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.
Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan
Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak
merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang
tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik
hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun
1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan,
Gresik, Jawa Timur.
Sunan Ampel, Rahmatullah (Surabaya, Jawa Timur)
Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-12 dari Husain bin
Ali bin Abi Thalib, menurut riwayat adalah putra Maulana Malik Ibrahim
dan seorang putri Champa. Ia disebutkan masih berkerabat dengan salah
seorang istri atau selir dari Brawijaya raja Majapahit. Sunan Ampel
umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya
bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat
penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Nyai Ageng
Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang dan Sunan
Kudus adalah anak-anaknya, sedangkan Sunan Drajat adalah cucunya. Makam
Sunan Ampel teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya.
Sunan Bonang
Bonang adalah sederetan gong kecil yang diletakkan secara horisontal.
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-13
dari Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan
Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang
banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar
memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan
tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya
pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering
dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya
sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut
G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja
mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525.
Sunan Drajat
Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-13
dari Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan
Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat
banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan
kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat,
sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan
secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat,
Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai
ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium
Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat
pada 1522.
Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan
Syarifah adik dari Sunan Bonang. Sunan Kudus adalah keturunan ke-14 dari
Husain bin Ali bin Abi Thalib. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus
memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu
sebagai panglima perang dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah
di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah
menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya
Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang
terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran
Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550
Sunan Giri
Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-12
dari Husain bin Ali bin Abi Thalib, merupakan murid dari Sunan Ampel
dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan pemerintahan
mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang selanjutnya berperan sebagai pusat
dakwah Islam di wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke
kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri
Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah Lombok dan Bima.
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung
Wilatikta atau Raden Sahur. Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga
menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah,
antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk
Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil
karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan
Dewi Saroh binti Maulana Ishaq.
Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah
putra Nurul Alam putra Syekh Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih
keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari
Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai
pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi
Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga
berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten,
sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.
3. Tokoh Pendahulu Walisongo
1. Syekh Jumadil Qubro
Syekh Jumadil Qubro adalah tokoh yang sering disebutkan dalam berbagai
babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam
di tanah Jawa. Ia umumnya dianggap bukan keturunan Jawa, melainkan
berasal dari Asia Tengah. Terdapat beberapa versi babad yang meyakini
bahwa ia adalah keturunan ke-10 dari Husain bin Ali bin Abi Thalib,
yaitu cucu Nabi Muhammad saw. Sedangkan Martin van Bruinessen (1994)
menyatakan bahwa ia adalah tokoh yang sama dengan Jamaluddin Akbar
(lihat keterangan Syekh Maulana Akbar di bawah).
Sebagian babad berpendapat bahwa Syekh Jumadil Qubro memiliki dua anak,
yaitu Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) dan Maulana Ishaq, yang
bersama-sama dengannya datang ke pulau Jawa. Syekh Jumadil Qubro
kemudian tetap di Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, dan adiknya
Maulana Ishaq mengislamkan Samudera Pasai. Dengan demikian, beberapa
Walisongo yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan Sunan Giri (Raden Paku)
adalah cucunya; sedangkan Sunan Bonang, Sunan Drajad dan Sunan Kudus
adalah cicitnya. Hal tersebut menyebabkan adanya pendapat yang
mengatakan bahwa para Walisongo merupakan keturunan etnis Uzbek yang
dominan di Asia Tengah, selain kemungkinan lainnya yaitu etnis Persia,
Gujarat, ataupun Hadramaut.
Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau
di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana
yang betul-betul merupakan kuburnya.
2. Syekh Maulana Akbar
Syekh Maulana Akbar adalah adalah seorang tokoh di abad 14-15 yang
dianggap merupakan pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Nama lainnya
ialah Syekh Jamaluddin Akbar dari Gujarat, dan ia kemungkinan besar
adalah juga tokoh yang dipanggil dengan nama Syekh Jumadil Kubro,
sebagaimana tersebut di atas. Hal ini adalah menurut penelitian Martin
van Bruinessen (1994), yang menyatakan bahwa nama Jumadil Kubro (atau
Jumadil Qubro) sesungguhnya adalah hasil perubahan hyper-correct atas
nama Jamaluddin Akbar oleh masyarakat Jawa.
Silsilah Syekh Maulana Akbar (Jamaluddin Akbar) dari Nabi Muhammad saw.
umumnya dinyatakan sebagai berikut: Sayyidina Husain, Ali Zainal Abidin,
Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad
an-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal,
Muhammad Sahibus Shaum'ah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad
Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah
(al-Azhamat) Khan, Ahmad Jalal Syah, dan Jamaluddin Akbar al-Husaini
(Maulana Akbar).
Menurut cerita rakyat, sebagian besar Walisongo memiliki hubungan atau
berasal dari keturunan Syekh Maulana Akbar ini. Tiga putranya yang
disebutkan meneruskan dakwah di Asia Tenggara; adalah Ibrahim Akbar
(atau Ibrahim as-Samarqandy) ayah Sunan Ampel yang berdakwah di Champa
dan Gresik, Ali Nuralam Akbar kakek Sunan Gunung Jati yang berdakwah di
Pasai, dan Zainal Alam Barakat.
Penulis asal Bandung Muhammad al-Baqir dalam Tarjamah Risalatul
Mu'awanah (Thariqah Menuju Kebahagiaan) memasukkan beragam catatan kaki
dari riwayat-riwayat lama tentang kedatangan para mubaligh Arab ke Asia
Tenggara. Ia berkesimpulan bahwa cerita rakyat tentang Syekh Maulana
Akbar yang sempat mengunjungi Nusantara dan wafat di Wajo, Makasar
(dinamakan masyarakat setempat makam Kramat Mekkah), belum dapat
dikonfirmasikan dengan sumber sejarah lain. Selain itu juga terdapat
riwayat turun-temurun tarekat Sufi di Jawa Barat, yang menyebutkan bahwa
Syekh Maulana Akbar wafat dan dimakamkan di Cirebon, meskipun juga
belum dapat diperkuat sumber sejarah lainnya.
3. Syekh Quro
Syekh Quro adalah pendiri pesantren pertama di Jawa Barat, yaitu pesantren Quro di Tanjungpura, Karawang pada tahun 1428.[4]
Nama aslinya Syekh Quro ialah Hasanuddin. Beberapa babad menyebutkan
bahwa ia adalah muballigh (penyebar agama} asal Mekkah, yang berdakwah
di daerah Karawang. Ia diperkirakan datang dari Champa atau kini Vietnam
selatan. Sebagian cerita menyatakan bahwa ia turut dalam pelayaran
armada Cheng Ho, saat armada tersebut tiba di daerah Tanjung Pura,
Karawang.
Syekh Quro sebagai guru dari Nyai Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa
penguasa Cirebon. Nyai Subang Larang yang cantik dan halus budinya,
kemudian dinikahi oleh Raden Manahrasa dari wangsa Siliwangi, yang
setelah menjadi raja Kerajaan Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja.
Dari pernikahan tersebut, lahirlah Pangeran Kian Santang yang
selanjutnya menjadi penyebar agama Islam di Jawa Barat.
Makam Syekh Quro terdapat di desa Pulo Kalapa, Lemahabang, Karawang.
4. Syekh Datuk Kahfi
Syekh Datuk Kahfi adalah muballigh asal Baghdad memilih markas di
pelabuhan Muara Jati, yaitu kota Cirebon sekarang. Ia bernama asli
Idhafi Mahdi.
Majelis pengajiannya menjadi terkenal karena didatangi oleh Nyai Rara
Santang dan Kian Santang (Pangeran Cakrabuwana), yang merupakan
putra-putri Nyai Subang Larang dari pernikahannya dengan raja Pajajaran
dari wangsa Siliwangi. Di tempat pengajian inilah tampaknya Nyai Rara
Santang bertemu atau dipertemukan dengan Syarif Abdullah, cucu Syekh
Maulana Akbar Gujarat. Setelah mereka menikah, lahirlah Raden Syarif
Hidayatullah kemudian hari dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.
Makam Syekh Datuk Kahfi ada di Gunung Jati, satu komplek dengan makam Sunan Gunung Jati.
5. Syekh Khaliqul Idrus
Syekh Khaliqul Idrus adalah seorang muballigh Parsi yang berdakwah di
Jepara. Menurut suatu penelitian, ia diperkirakan adalah Syekh Abdul
Khaliq, dengan laqob Al-Idrus, anak dari Syekh Muhammad Al-Alsiy yang
wafat di Isfahan, Parsi.
Syekh Khaliqul Idrus di Jepara menikahi salah seorang cucu Syekh Maulana
Akbar yang kemudian melahirkan Raden Muhammad Yunus. Raden Muhammad
Yunus kemudian menikahi salah seorang putri Majapahit hingga mendapat
gelar Wong Agung Jepara. Pernikahan Raden Muhammad Yunus dengan putri
Majapahit di Jepara ini kemudian melahirkan Raden Abdul Qadir yang
menjadi menantu Raden Patah, bergelar Adipati Bin Yunus atau Pati Unus.
Setelah gugur di Malaka 1521, Pati Unus dipanggil dengan sebutan
Pangeran Sabrang Lor. [5]
4. Teori Keturunan Hadramaut
Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan
Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya
tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh
daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum
Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al
Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa
Walisongo adalah keturunan Hadramaut:
* L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan
riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes
dans l'archipel Indien (1886)[6] mengatakan:
”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah
dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam
tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari
mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan
golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh
sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah
keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
Van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):
”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau
keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu.
Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka
mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mere...ka terikat dengan pergaulan dan
kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di
kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh
karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad
SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang
Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab,
mengikuti jejak nenek moyangnya."
Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan
abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di
pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang
merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut
yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri,
Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
* Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab
Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat
(Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat
Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India
pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
* Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan
mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba &
Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan
lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka,
Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul
Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari
Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun
kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut,
karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang
menggabungkan fiqh Syafi'i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan
Ahlul Bait.
* Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti
Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar
tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar
Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar
Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak
dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga
besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga
pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang
banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali
Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.
5. Teori Keturunan Cina
Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya
Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah
keturunan Tionghoa Indonesia.[rujukan?] Pendapat tersebut mengundang
reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah
keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya
buku tersebut.
Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari
atau keturunan Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang
kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji melalui sumber
akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk kepada tulisan
Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang
yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang
belum bisa diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai
sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C.
van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah
Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah
sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat
detail dan banyak dijadikan referensi.
Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C.
Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries
adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan pula
tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan
bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat
ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan [7].
6. Sumber tertulis tentang Walisongo
1. Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Walisongo,
antara lain Serat Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab
Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak dari
Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar