Di masa kecilnya, ia dididik oleh ayahnya sendiri dalam mempelajari al-Quran di samping berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Kemudian ia belajar kepada ulama-ulama yang menjadi raksasa ilmu di zamannya. Untuk memperdalam ilmu agama dan kesusastraan Arab ia pindah ke Kairo. Di sana ia menjadi seorang sastrawan dan penyair yang ulung. Kemahirannya dibidang sastra syair ini melebihi para penyair pada zamannya.
Sebagian ahli sejarah menyatakan, bahwa ia mulanya bekerja sebagai penyalin naskah-naskah. Louis Ma’luf juga menyatakan demikian di dalam Kamus Munjidnya. Sajak-sajak pujian untuk Nabi dalam kesusastraan Arab dimasukkan ke dalam genre al-Mada’ih al-Nabawiyah (pujian untuk Nabi), sedangkan dalam kesusastraan-kesusastraan Persia dan Urdu dikenal sebagai kesusastraan na’tiyah (kata jamak dari na’t, yang berarti pujian).
Dengan memaparkan kehidupan Nabi secara puitis, Imam al-Bushiriy bukan saja menanamkan kecintaan umat Islam kepada Nabinya, tetapi juga mengajarkan sastra, sejarah Islam, dan nilai-nilai moral kepada kaum Muslimin. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika Qashidah al-Burdah dan al-Mudhariyyah senantiasa dibacakan di seluruh dunia Islam.
Imam al-Bushiriy hidup pada suatu masa transisi perpindahan kekuasaan Dinasti Ayyubiyah ke tangan Dinasti Mamalik Bahriyah. Pergolakan politik terus berlangsung, akhlak masyarakat merosot, para pejabat pemerintahan mengejar kedudukan dan kemewahan. Maka munculnya Qashidah al-Burdah itu merupakan reaksi terhadap situasi politik pada masa itu, agar mereka senantiasa mencontoh kehidupan Nabi yang bertungsi sebagai uswatun hasanah (suri tauladan yang baik), mengendalikan hawa nafsu, kembali kepada ajaran agama yang murni, al-Qur’an dan Hadis.
Selain Qashidah al-Mudhariyyah, Imam al-Bushiriy juga menulis beberapa Qashidah lain di antaranya adalah: Qashidah al-Burdah, Qashidah at-Taiyyah dan al-Qashidah al-Hamziyyah. Sisi lain dari profil al-Bushiriy ditandai oleh kehidupannya yang sufistik, tercermin dari kezuhudannya, tekun beribadah, tidak menyukai kemewahan dan kemegahan duniawi.
Imam al-Bushiriy menghembuskan nafas terakhir
di kota Iskandariyah, Mesir, pada tahun 696 H atau 1296 M. Beliau dimakamkan di samping sebuah masjid
besar yang bersambung dengan makamnya, tak jauh dari masjid dan makam sang guru, Syaikh Imam Abu
al-Abbas al-Mursiy.
dikutip dari buku:
فَاتِحُ اْلأَسْرَارِ وَمُفَرِّجُ الْهُمُوْمِ وَاْلأَغْيَار
فِي فَضَائِل ِاَحَدَ عَشَرَ صَلَوَاتٍ عَلَى النَّبِيّ الْمُخْتَار
Pembuka Segala Rahasia Penghempas Lara Dan kesulitan
Dalam Menguak Keutamaan 11 Shalawat Para Auliya
kepada Nabi Muhammad
H. Rizki Zulqornain Asmat Cakung
Khodimut Thalabah Yayasan al-Muafah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar