Selamat Datang di Blog Resmi **Majlisarrahman.blogspot.com ** Majelis Dzikir Ratibul Al-Habib Abdullah Bin Alwi Al-Haddad wa Maulidun Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam (Dzikrullah wa Dzikrurrosul SAW) Jakarta - Indonesia. Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Kami**

 photo oji_zpsb336d6d8.gif
Selamat Datang di Blog Resmi **Majlisarrahman.blogspot.com ** TUNJUKKAN KEPERDULIAN DAN BAKTI KITA PADA PEMBENAHAN ISLAM DENGAN TURUT MENYUMBANGKAN HARTA KITA SEBAGAI SAKSI, BANTUAN KITA ADALAH CERMIN KADAR IMAN KITA, RASULULLAH SAW BERSABDA : SETIAP HARI TURUN DUA MALAIKAT MULIA KE BUMI DAN BERDOA, WAHAI ALLAH BERI ORANG YANG BERINFAQ KESEJAHTERAAN, DAN BERI ORANG YANG KIKIR KEHANCURAN ( shahih Bukhari ). Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Kami**

Sabtu, 09 Maret 2013

Ancaman Bagi Penolak Hijrah

"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri (kepada mereka) malaikat bertanya: 'Dalam keadaan bagaimana kamu ini?' Mereka menjawab: 'Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).' Para malaikat berkata: 'Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?' Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)," (QS An-Nisaa' [4]: 97–98).

Hijrah adalah sarana strategis untuk membangun peradaban umat manusia, menjanjikan bagi pelakunya kelapangan rizki, pengampunan dosa, derajat tinggi di sisi Allah dan surga, sebagaimana firman-Nya dalam surat At-Taubah [9]: 20-22.

Namun, hijrah yang menjanjikan kebahagiaan di dunia dan akhirat ini ternyata tak menggiurkan semua orang. Ayat An-Nisaa' di atas menerangkan ancaman yang dahsyat bagi mereka yang menolak hijrah.

Hijrah, Bukti Kejujuran Iman
Sesungguhnya keimanan itu tidak cukup dengan pengakuan, melainkan memerlukan pembuktian dan pengorbanan. Maka, hijrah yang mencakup dua makna: hijrah hissiyyah (hijrah secara fisik, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, seperti hijrahnya Rasulullah saw dari Mekah menuju Madinah) dan hijrah ma'nawiyyah (hijrah secara maknawi/nonfisik, yaitu meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah menuju apa-apa yang diridhai-Nya) adalah bukti kejujuran iman seseorang.

Karena itu, hampir semua ayat tentang hijrah selalu disebut dengan iman. Misalnya, QS Al-Baqarah [2]: 218, Al-Anfaal [8]: 72 dan 75, Al-Ahzaab [33]: 6, Al-Mumtahanah [60]: 10, dan lain-lain.
Bahkan, Allah swt menegaskan di QS Al Anfaal [8]: 74, orang-orang yang berhijrahlah yang pantas mendapatkan julukan Mukmin sejati. Dengan demikian, orang yang menolak hijrah berarti diragukan keimanannya bahkan bisa dianggap tidak beriman sehingga pantas mendapat siksaan amat pedih.

Menolak Hijrah, Jahannam Balasannya
Ayat 97-98 surat An-Nisaa' menerangkan, tidak boleh bagi seorang Muslim tinggal di negeri orang kafir jika masih ada negeri-negeri Islam, terlebih jika keberadaannya di negeri kafir tersebut mengancam agamanya.
Allah swt pun tidak menerima alasan orang-orang yang tidak mau berhijrah karena mereka lemah, tertindas sehingga tidak bisa pergi berhijrah. Bahkan, Allah menyebut mereka sebagai orang-orang yang menganiaya (menzalimi) diri sendiri.

Tentang maksud zhulm (menzalimi diri sendiri) ini terdapat dua pendapat yang berkembang di kalangan ulama tafsir:

1. Bagi orang-orang yang telah masuk Islam di Mekah dan tetap tinggal di sana, dan tidak mau berhijrah ke Madinah, Allah menjelaskan melalui ayat ini bahwa mereka telah menganiaya diri sendiri dengan kemunafikan mereka, kekufuran mereka dan meninggalkan hijrah (lihat At Tafsir Al Kabir, Ar Raazi, XI/12).

2. Mereka menganiaya diri sendiri karena meninggalkan melaksanakan kebenaran (Al Haq) disebabkan mereka takut disakiti/disiksa di kalangan kerabat mereka, para pengikut kebatilan (lihat Tafsir Al Maraaghi V/131). Teks Al-Qur'an menyebut mereka "menganiaya diri sendiri" karena mereka telah mengharamkan diri mereka untuk hidup di negeri Islam, sebuah kehidupan yang agung, bersih, mulia dan penuh kemerdekaan. Dan, mewajibkan dan memenjarakan diri mereka untuk hidup di negeri kufur, sebuah kehidupan yang hina dina, lemah dan penuh intimidasi. Karena itulah "mereka diancam dengan neraka Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali". Ini menunjukkan bahwa maksud ayat tersebut adalah orang-orang yang benar-benar terancam agama mereka di sana—negeri kufur (lihat: Fii Zhilal Al Qur'an II/743-744).

Hal ini memberi kita pemahaman bahwa ketika seseorang, keluarga, masyarakat dan bangsa merasa nyaman dengan kezaliman, kemaksiatan dan segala bentuk kemungkaran, dan tidak mau berhijrah, meninggalkan hal-hal negatif tadi, mereka harus siap menghadapi ancaman azab dunia (bisa dalam bentuk bencana, musibah dan krisis multidimensional) dan azab di akhirat, yaitu neraka Jahannam.

Maka, inilah saatnya kita, keluarga dan bangsa berhijrah guna meraih kejayaan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Kelompok Mukmin di Zaman Nabi saw
Dalam surat Al-Anfaal, Allah membagi orang-orang mukmin di zaman Nabi saw ke dalam empat kelompok:
Pertama, kaum Muhajirin awal (Al Muhaajiruun Al Awwaluun), yaitu orang-orang yang berhijrah pertama kali. Mereka disifati Allah swt sebagaimana firman-Nya, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah...," (QS Al-Anfaal [8]: 72).

Kedua, kaum Anshar, yang memberi tempat kediaman, pertolongan dan mengerahkan jiwa raga dan hartanya untuk melayani Rasulullah saw dan para sahabatnya (kaum Muhajirin). Tanpa mereka, setelah karunia dari Allah, tentu tidak sempurna tujuan hijrah. Mereka disinggung Allah swt dalam firman-Nya, "... dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi [maksudnya, terjalin persaudaraan yang amat teguh untuk membentuk masyarakat yang baik]...," (QS Al-Anfaal [8]: 72).

Ketiga, mukmin yang tidak berhijrah ke Madinah dan tetap tinggal di Mekah. Mereka inilah yang disinggung Allah swt dengan firman-Nya, "... dan orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah...," (QS Al-Anfaal [8]: 72). Maka, Allah swt menjelaskan hukum mereka dari dua sisi:

1. Allah berfirman, "... Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah...," (QS Al-Anfaal [8]: 72). Makna wilayah (perlindungan) yang dinafikan di sini adalah pertolongan dan waris (ihat Tafsir Ath Thabari XIV/81).

2. Allah berfirman, "... (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan...," (QS Al-Anfaal [8]: 72). Dengan demikian, pemutusan wilayah tadi tidaklah seperti pemutusan terhadap orang-orang kafir. Sebab, mereka masih termasuk Mukmin, hanya mereka tidak berhijrah. Maka jika mereka meminta bantuan melawan orang-orang kafir, Rasulullah saw dan para sahabat wajib memberikan pertolongan karena mereka masih termasuk saudara dalam agama. Namun, mereka tidak memiliki hak atas harta rampasan perang sebagaimana hadits riwayat Imam Ahmad (lihat Tafsir Ibnu Katsir, II/432).

Keempat, orang-orang yang tidak berhijrah bersama Nabi saw ke Madinah, namun sesudah itu mereka berhijrah. Merekalah yang dimaksud dalam firman Allah swt, "Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga)," (QS Al-Anfaal [8]: 75).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar