"Sesungguhnya
orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri
sendiri (kepada mereka) malaikat bertanya: 'Dalam keadaan bagaimana kamu
ini?' Mereka menjawab: 'Adalah kami orang-orang yang tertindas di
negeri (Mekah).' Para malaikat berkata: 'Bukankah bumi Allah itu luas
sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?' Orang-orang itu tempatnya
neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali
mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang
tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)," (QS An-Nisaa' [4]: 97–98).
Hijrah adalah sarana strategis untuk
membangun peradaban umat manusia, menjanjikan bagi pelakunya kelapangan
rizki, pengampunan dosa, derajat tinggi di sisi Allah dan surga,
sebagaimana firman-Nya dalam surat At-Taubah [9]: 20-22.
Namun, hijrah yang menjanjikan
kebahagiaan di dunia dan akhirat ini ternyata tak menggiurkan semua
orang. Ayat An-Nisaa' di atas menerangkan ancaman yang dahsyat bagi
mereka yang menolak hijrah.
Hijrah, Bukti Kejujuran Iman
Sesungguhnya keimanan itu tidak cukup
dengan pengakuan, melainkan memerlukan pembuktian dan pengorbanan. Maka,
hijrah yang mencakup dua makna: hijrah hissiyyah (hijrah
secara fisik, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, seperti
hijrahnya Rasulullah saw dari Mekah menuju Madinah) dan hijrah ma'nawiyyah
(hijrah secara maknawi/nonfisik, yaitu meninggalkan apa-apa yang
dilarang Allah menuju apa-apa yang diridhai-Nya) adalah bukti kejujuran
iman seseorang.
Karena itu, hampir semua ayat tentang
hijrah selalu disebut dengan iman. Misalnya, QS Al-Baqarah [2]: 218,
Al-Anfaal [8]: 72 dan 75, Al-Ahzaab [33]: 6, Al-Mumtahanah [60]: 10, dan
lain-lain.
Bahkan, Allah swt menegaskan di QS Al
Anfaal [8]: 74, orang-orang yang berhijrahlah yang pantas mendapatkan
julukan Mukmin sejati. Dengan demikian, orang yang menolak hijrah
berarti diragukan keimanannya bahkan bisa dianggap tidak beriman
sehingga pantas mendapat siksaan amat pedih.
Menolak Hijrah, Jahannam Balasannya
Ayat 97-98 surat An-Nisaa' menerangkan,
tidak boleh bagi seorang Muslim tinggal di negeri orang kafir jika masih
ada negeri-negeri Islam, terlebih jika keberadaannya di negeri kafir
tersebut mengancam agamanya.
Allah swt pun tidak menerima alasan
orang-orang yang tidak mau berhijrah karena mereka lemah, tertindas
sehingga tidak bisa pergi berhijrah. Bahkan, Allah menyebut mereka
sebagai orang-orang yang menganiaya (menzalimi) diri sendiri.
Tentang maksud zhulm (menzalimi diri sendiri) ini terdapat dua pendapat yang berkembang di kalangan ulama tafsir:
1. Bagi orang-orang yang telah masuk
Islam di Mekah dan tetap tinggal di sana, dan tidak mau berhijrah ke
Madinah, Allah menjelaskan melalui ayat ini bahwa mereka telah
menganiaya diri sendiri dengan kemunafikan mereka, kekufuran mereka dan
meninggalkan hijrah (lihat At Tafsir Al Kabir, Ar Raazi, XI/12).
2. Mereka menganiaya diri sendiri karena meninggalkan melaksanakan kebenaran (Al Haq) disebabkan mereka takut disakiti/disiksa di kalangan kerabat mereka, para pengikut kebatilan (lihat Tafsir Al Maraaghi V/131).
Teks Al-Qur'an menyebut mereka "menganiaya diri sendiri" karena mereka
telah mengharamkan diri mereka untuk hidup di negeri Islam, sebuah
kehidupan yang agung, bersih, mulia dan penuh kemerdekaan. Dan,
mewajibkan dan memenjarakan diri mereka untuk hidup di negeri kufur,
sebuah kehidupan yang hina dina, lemah dan penuh intimidasi. Karena
itulah "mereka diancam dengan neraka Jahannam dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali". Ini menunjukkan bahwa maksud ayat
tersebut adalah orang-orang yang benar-benar terancam agama mereka di
sana—negeri kufur (lihat: Fii Zhilal Al Qur'an II/743-744).
Hal ini memberi kita pemahaman bahwa
ketika seseorang, keluarga, masyarakat dan bangsa merasa nyaman dengan
kezaliman, kemaksiatan dan segala bentuk kemungkaran, dan tidak mau
berhijrah, meninggalkan hal-hal negatif tadi, mereka harus siap
menghadapi ancaman azab dunia (bisa dalam bentuk bencana, musibah dan
krisis multidimensional) dan azab di akhirat, yaitu neraka Jahannam.
Maka, inilah saatnya kita, keluarga dan bangsa berhijrah guna meraih kejayaan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kelompok Mukmin di Zaman Nabi saw
Dalam surat Al-Anfaal, Allah membagi orang-orang mukmin di zaman Nabi saw ke dalam empat kelompok:
Pertama, kaum Muhajirin awal (Al Muhaajiruun Al Awwaluun), yaitu orang-orang yang berhijrah pertama kali. Mereka disifati Allah swt sebagaimana firman-Nya, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah...," (QS Al-Anfaal [8]: 72).
Kedua, kaum Anshar,
yang memberi tempat kediaman, pertolongan dan mengerahkan jiwa raga dan
hartanya untuk melayani Rasulullah saw dan para sahabatnya (kaum
Muhajirin). Tanpa mereka, setelah karunia dari Allah, tentu tidak
sempurna tujuan hijrah. Mereka disinggung Allah swt dalam firman-Nya, "...
dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada
orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi [maksudnya, terjalin persaudaraan yang amat teguh untuk membentuk masyarakat yang baik]...," (QS Al-Anfaal [8]: 72).
Ketiga, mukmin yang tidak berhijrah ke Madinah dan tetap tinggal di Mekah. Mereka inilah yang disinggung Allah swt dengan firman-Nya, "... dan orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah...," (QS Al-Anfaal [8]: 72). Maka, Allah swt menjelaskan hukum mereka dari dua sisi:
1. Allah berfirman, "... Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah...," (QS Al-Anfaal [8]: 72). Makna wilayah (perlindungan) yang dinafikan di sini adalah pertolongan dan waris (ihat Tafsir Ath Thabari XIV/81).
2. Allah berfirman, "... (akan
tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan
pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan...," (QS
Al-Anfaal [8]: 72). Dengan demikian, pemutusan wilayah tadi tidaklah
seperti pemutusan terhadap orang-orang kafir. Sebab, mereka masih
termasuk Mukmin, hanya mereka tidak berhijrah. Maka jika mereka meminta
bantuan melawan orang-orang kafir, Rasulullah saw dan para sahabat wajib
memberikan pertolongan karena mereka masih termasuk saudara dalam
agama. Namun, mereka tidak memiliki hak atas harta rampasan perang
sebagaimana hadits riwayat Imam Ahmad (lihat Tafsir Ibnu Katsir, II/432).
Keempat, orang-orang
yang tidak berhijrah bersama Nabi saw ke Madinah, namun sesudah itu
mereka berhijrah. Merekalah yang dimaksud dalam firman Allah swt, "Dan
orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad
bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga)," (QS Al-Anfaal [8]: 75).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar