Karakteristik Masyarakat Islam
Masyarakat Islam mempunyai kekhasan yang
tidak dimiliki masyarakat lain, di mana pun. Ia dibangun di atas
fondasi yang khas, berbeda dengan masyarakat mana pun. Fondasi itu
adalah pengabdian utuh kepada Allah swt.
Karakteristik yang dimaksud bukan
mengacu pada realitas masyarakat Muslim hari ini--di negara-negara Arab
atau non-Arab. Melainkan mengacu pada realitas yang pernah terjadi dan
berlaku berabad-abad lamanya di masa keemasan Islam.
Bukanlah aib untuk “bernostalgia”
seperti itu. Ini tidak lain untuk menegaskan bahwa cita-cita para agen
perubahan untuk menghadirkan kembali masyarakat Islam dengan segala
karakteristiknya bukan utopia.
Menghadirkan kondisi masa lalu dalam
benak kita hari ini, juga menjadi bukti bahwa akidah Islam—terwujud
dalam pengabdian utuh kepada Allah swt—telah menghadirkan karakteristik
kehidupan dan perilaku yang unik sekaligus indah, yang tidak ditemukan
dalam masyarakat mana pun. Dan, terutama pada masa Rasulullah saw,
segala gambaran tentang masyarakat Islam yang diarahkan dalam Qur'an
secara umum terwujud. Sebagai contoh, firman Allah swt:
“Bahwa tidak kita sembah kecuali
Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak
(pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain
Allah.” (QS Ali ‘Imran [3]: 64)
“Dan orang-orang yang beriman,
lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah
dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka
taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh
Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS At-Taubah [9]: 71)
“Dan orang-orang yang telah
menempati Kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan)
mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka.
Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa
yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan
(orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka
memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka
berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang
telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan
kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Hasyr [59]: 9-10)
Ayat-ayat tersebut merupakan arahan
ideal sekaligus informasi kepada para pembaca Qur'an tentang kaum
Muslimin generasi-generasi awal. Dengan kata lain, apa yang menjadi
idealita itu telah benar-benar mewujud dalam kehidupan. Jejaknya pun
mudah ditemukan dalam sejarah.
Karakteristik utama masyarakat Islam yang digambarkan dalam ayat-ayat di atas, antara lain:
1. Kemerdekaan Hakiki
Landasan hidup individu dan masyarakat
Muslim adalah pengabdian murni kepada Allah swt, maka akidah Islam
menolak penghambaan, pengabdian atau pemujaan kepada sesuatu selain
Allah, baik itu manusia atau makhluk lainnya.
Kata Rib’i bin ‘Amir saat berdialog
dengan Rustum (panglima perang Persia) “Kami diutus Allah untuk
memerdekakan manusia dari penghambaan kepada sesama manusia menuju
pengabdian kepada Allah semata.”
2. Keadilan dan Persamaan Derajat
Dalam masyarakat Islam, semua orang
berada pada derajat yang sama terutama di hadapan hukum. Kemuliaan
seseorang hanya ditakar dengan ketakwaannya. Seseorang dihormati karena
kesalehan dan kontribusi baiknya kepada kehidupan.
Maka tak heran, sejarah peradilan Islam
mencatat seorang Ali bin Abi Thalib duduk di depan hakim sebagai
pesakitan, berdampingan dengan warga biasa yang bahkan beragama Yahudi.
3. Sikap Mental Positif dan Produktif
Sebagai buah dari keyakinan akan
kekuasaan Allah swt, masyarakat Islam adalah masyarakat yang para
anggotanya memiliki sikap mental (ma’nawiyyah) yang unggul dan siap mengusung peradaban yang menyejahterakan, bukan menyengsarakan. Di antara sikap mental itu adalah:
Ini telah diperagakan dengan baik oleh
seorang wanita di zaman tabi’in. Saat suaminya mati syahid, semua orang
yang melawat menyatakan bela sungkawa dan mempertontonkan kesedihan yang
mendalam, apalagi ketika melihat anak-anak yang ditinggalkannya. Namun,
sang istri justru tampak biasa-biasa saja. Ia tidak menunjukkan
kesedihan yang berlebihan. Saat para tamu bertannya tentang hal itu, ia
mengatakan, “Setahu saya suami saya itu adalah konsumen rezeki Allah dan
bukan pemberi rezeki. Jadi, seandainya konsumen rezeki itu tiada maka
pemberi rezeki tidak akan pernah pergi.”
Abdullah bin Mas’ud berkomitmen,
“Seandainya saya tahu bahwa besok terjadi kiamat, sementara di genggaman
tangan saya ada benih untuk saya tanam, maka saya akan tetap
menanamnya.”
Itu bukan hanya sikap seorang Ibnu
Mas’ud. Itu adalah gambaran etos kerja Muslim sejati dan masyarakat
Islam pada umumnya. Ia tidak akan menyiakan-nyiakan peluang untuk
membangun kehidupan baik dunia maupun akhirat. Oleh karena itu,
menganggur(tak ada kerja/aktivitas) merupakan sesuatu yang dibenci Umar
Bin Khattab. ia pernah mengatakan, “Aku tidak suka melihat orang
menganggur tanpa pekerjaan untuk akhirat tidak pula untuk dunia.”
Semangat berusaha seorang Mukmin
didasari kesadaran bahwa dirinya bertanggung jawab atas pemakmuran
negeri, penciptaan lapangan kerja dan pembagian rezeki Allah secara
adil. Maka, akan menjadi cacat dalam keimanan jika seseorang
meninggalkan sikap profesional dan serius dalam berusaha dan bekerja.
Baik itu dalam pekerjaan yang terkait dengan sains, teknologi, ekonomi,
kedokteran, dakwah, maupun usaha lainnya untuk membangun kejayaan umat
dan kesejahteraan bangsa. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah
mencintai seseorang jika melakukan sesuatu dengan itqan (profesional).”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar