Selamat Datang di Blog Resmi **Majlisarrahman.blogspot.com ** Majelis Dzikir Ratibul Al-Habib Abdullah Bin Alwi Al-Haddad wa Maulidun Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam (Dzikrullah wa Dzikrurrosul SAW) Jakarta - Indonesia. Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Kami**

 photo oji_zpsb336d6d8.gif
Selamat Datang di Blog Resmi **Majlisarrahman.blogspot.com ** TUNJUKKAN KEPERDULIAN DAN BAKTI KITA PADA PEMBENAHAN ISLAM DENGAN TURUT MENYUMBANGKAN HARTA KITA SEBAGAI SAKSI, BANTUAN KITA ADALAH CERMIN KADAR IMAN KITA, RASULULLAH SAW BERSABDA : SETIAP HARI TURUN DUA MALAIKAT MULIA KE BUMI DAN BERDOA, WAHAI ALLAH BERI ORANG YANG BERINFAQ KESEJAHTERAAN, DAN BERI ORANG YANG KIKIR KEHANCURAN ( shahih Bukhari ). Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Kami**

Sabtu, 09 Maret 2013

Membentuk Masyarakat Islam


Karakteristik Masyarakat Islam
Masyarakat Islam mempunyai kekhasan yang tidak dimiliki masyarakat lain, di mana pun. Ia dibangun di atas fondasi yang khas, berbeda dengan masyarakat mana pun. Fondasi itu adalah pengabdian utuh kepada Allah swt.

Karakteristik yang dimaksud bukan mengacu pada realitas masyarakat Muslim hari ini--di negara-negara Arab atau non-Arab. Melainkan mengacu pada realitas yang pernah terjadi dan berlaku berabad-abad lamanya di masa keemasan Islam.

Bukanlah aib untuk “bernostalgia” seperti itu. Ini tidak lain untuk menegaskan bahwa cita-cita para agen perubahan untuk menghadirkan kembali masyarakat Islam dengan segala karakteristiknya bukan utopia.

Menghadirkan kondisi masa lalu dalam benak kita hari ini, juga menjadi  bukti bahwa akidah Islam—terwujud dalam pengabdian utuh kepada Allah swt—telah menghadirkan karakteristik kehidupan dan perilaku yang unik sekaligus indah, yang tidak ditemukan dalam masyarakat mana pun. Dan, terutama pada masa Rasulullah saw, segala gambaran tentang masyarakat Islam yang diarahkan dalam Qur'an secara umum terwujud. Sebagai contoh, firman Allah swt:

“Bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” (QS Ali ‘Imran [3]: 64)

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”  (QS At-Taubah [9]: 71)
 
“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Hasyr [59]: 9-10)

Ayat-ayat tersebut merupakan arahan ideal sekaligus informasi kepada para pembaca Qur'an tentang kaum Muslimin generasi-generasi awal. Dengan kata lain, apa yang menjadi idealita itu telah benar-benar mewujud dalam kehidupan. Jejaknya pun mudah ditemukan dalam sejarah.

Karakteristik utama masyarakat Islam yang digambarkan dalam ayat-ayat di atas, antara lain:

1. Kemerdekaan Hakiki
Landasan hidup individu dan masyarakat Muslim adalah pengabdian murni kepada Allah swt, maka akidah Islam menolak penghambaan, pengabdian atau pemujaan kepada sesuatu selain Allah, baik itu manusia atau makhluk lainnya.
Kata Rib’i bin ‘Amir saat berdialog dengan Rustum (panglima perang Persia) “Kami diutus Allah untuk memerdekakan manusia dari penghambaan kepada sesama manusia menuju pengabdian kepada Allah semata.”

2. Keadilan dan Persamaan Derajat
Dalam masyarakat Islam, semua orang berada pada derajat yang sama terutama di hadapan hukum. Kemuliaan seseorang hanya ditakar dengan ketakwaannya. Seseorang dihormati karena kesalehan dan kontribusi baiknya kepada kehidupan.
Maka tak heran, sejarah peradilan Islam mencatat seorang Ali bin Abi Thalib duduk di depan hakim sebagai pesakitan, berdampingan dengan warga biasa yang bahkan beragama Yahudi.

3. Sikap Mental Positif dan Produktif
Sebagai buah dari keyakinan akan kekuasaan Allah swt, masyarakat Islam adalah masyarakat yang para anggotanya memiliki sikap mental (ma’nawiyyah) yang unggul dan siap mengusung peradaban yang menyejahterakan, bukan menyengsarakan. Di antara sikap mental itu adalah:

Ketenteraman Jiwa
Ini telah diperagakan dengan baik oleh seorang wanita di zaman tabi’in. Saat suaminya mati syahid, semua orang yang melawat menyatakan bela sungkawa dan mempertontonkan kesedihan yang mendalam, apalagi ketika melihat anak-anak yang ditinggalkannya. Namun, sang istri justru tampak biasa-biasa saja. Ia tidak menunjukkan kesedihan yang berlebihan. Saat para tamu bertannya tentang hal itu, ia mengatakan, “Setahu saya suami saya itu adalah konsumen rezeki Allah dan bukan pemberi rezeki. Jadi, seandainya konsumen rezeki itu tiada maka pemberi rezeki tidak akan pernah pergi.”

Semangat Berusaha
Abdullah bin Mas’ud berkomitmen, “Seandainya saya tahu bahwa besok terjadi kiamat, sementara di genggaman tangan saya ada benih untuk saya tanam, maka saya akan tetap menanamnya.”
Itu bukan hanya sikap seorang Ibnu Mas’ud. Itu adalah gambaran etos kerja Muslim sejati dan masyarakat Islam pada umumnya. Ia tidak akan menyiakan-nyiakan peluang untuk membangun kehidupan baik dunia maupun akhirat. Oleh karena itu, menganggur(tak ada kerja/aktivitas) merupakan sesuatu yang dibenci Umar Bin Khattab. ia pernah mengatakan, “Aku tidak suka melihat orang menganggur tanpa pekerjaan untuk akhirat tidak pula untuk dunia.”

Semangat berusaha seorang Mukmin didasari kesadaran bahwa dirinya bertanggung jawab atas pemakmuran negeri, penciptaan lapangan kerja dan pembagian rezeki Allah secara adil. Maka, akan menjadi cacat dalam keimanan jika seseorang meninggalkan sikap profesional dan serius dalam berusaha dan bekerja. Baik itu dalam pekerjaan yang terkait dengan sains, teknologi, ekonomi, kedokteran, dakwah, maupun usaha lainnya untuk membangun kejayaan umat dan kesejahteraan bangsa. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang jika melakukan sesuatu dengan itqan (profesional).”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar