Selamat Datang di Blog Resmi **Majlisarrahman.blogspot.com ** Majelis Dzikir Ratibul Al-Habib Abdullah Bin Alwi Al-Haddad wa Maulidun Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam (Dzikrullah wa Dzikrurrosul SAW) Jakarta - Indonesia. Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Kami**

 photo oji_zpsb336d6d8.gif
Selamat Datang di Blog Resmi **Majlisarrahman.blogspot.com ** TUNJUKKAN KEPERDULIAN DAN BAKTI KITA PADA PEMBENAHAN ISLAM DENGAN TURUT MENYUMBANGKAN HARTA KITA SEBAGAI SAKSI, BANTUAN KITA ADALAH CERMIN KADAR IMAN KITA, RASULULLAH SAW BERSABDA : SETIAP HARI TURUN DUA MALAIKAT MULIA KE BUMI DAN BERDOA, WAHAI ALLAH BERI ORANG YANG BERINFAQ KESEJAHTERAAN, DAN BERI ORANG YANG KIKIR KEHANCURAN ( shahih Bukhari ). Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Kami**

Jumat, 08 Maret 2013

Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani

oleh: Retno Wuri Hastuti
           Sejak lama Aceh telah dikenal sebagai satu-satunya daerah yang aksentuasi keislamannya paling menonjol. Selain menonjolnya warna keislaman dalam kehidupan sosio-kultur di sana, ternyata di Serambi Mekah ini pernah tersimpan pula sejumlah Sufi ternama semisal Syamsuddin Sumatrani.
             Syamsuddin Sumatrani adalah salah satu tokoh sufi terkemuka yang telah turut mengguratkan corak esoteris pada wajah Islam di Aceh. Sayangnya perjalanan hidup sang sufi ini sulit sekali untuk dirangkai secara utuh. Hal ini selain karena tidak ditemukannya catatan otobiografisnya, juga karena langkanya sumber-sumber akurat yang dapat dirujuk.
             Bahkan tidak kurang peneliti seperti Prof. Dr. Azis Dahlan yang pernah mengadakan penelitian untuk disertasinya, merasa kesulitan dengan langkanya sumber-sumber mengenai tokoh sufi yang satu ini. Diantara sumber tua yang dapat dijumpai mengenai potret Syamsuddin Sumatrani adalah Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan kitab Bustanu al-Salathin. Itupun tidak memotret perjalanan hidupnya secara terinci. Meski demikian, dari serpihan-serpihan data historis yang terbatas itu kiranya cukuplah bagi kita untuk sekedar memperoleh gambaran akan kiprahnya berikut spektrum pemikirannya.
             Mengenai asal-usulnya, tidak diketahui secara pasti kapan dan di mana ia lahir. Perihal sebutan Sumatrani yang selalu diiringkan di belakang namanya, itu merupakan penisbahan dirinya kepada "negeri Sumatra" alias Samudra Pasai. Sebab memang di kepulauan Sumatra ini tempo dulu pernah berdiri sebuah kerajaan yang cukup ternama, yakni Samudra Pasai. Itulah sebabnya ia juga adakalanya disebut Syamsuddin Pasai.
            Menurut para sejarawan, penisbahan namanya dengan sebutan Sumatrani ataupun Pasai mengisyaratkan adanya dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang tuanya adalah orang Pasai (Sumatra). Dengan demikian maka bisa diduga bahwa ia sendiri dilahirkan dan dibesarkan di Pasai. Jika pun ia tidak lahir di Pasai, maka kemungkinan kedua bahwa sang ulama terkemuka pada zamannya ini telah lama bermukim di Pasai bahkan ia meninggal dan dikuburkan di sana.
             Berbicara tentang peranan Sumatra sebagai pusat pengajaran dan pengembangan Islam, Negeri Pasai itu memang lebih dahulu terkemuka daripada Banda Aceh. Paling tidak Samudera Pasai lebih dulu terkemuka pada kisaran abad ke-14 dan 15 M, yakni sebelum akhirnya Pasai dikuasai oleh Portugis pada tahun 1514. Sementara beralihnya tampuk kekuasaan Negeri Pasai kepada Kerajaan Aceh Darussalam baru berlangsung pada tahun 1524.
Peranan dan Pengaruhnya
             Pada masa pemerintahan Sayyid Mukammil (1589-1604), Syamsuddin Sumatrani sudah menjadi orang kepercayaan sultan Aceh. Sayang dalam kitab Bustan al-Salathin sendiri tidak disingkapkan bagaimana perjalanan Syamsuddin Sumatrani sehingga ia menjadi ulama yang paling dipercaya dalam lingkungan istana kerajaan Aceh selama tiga atau empat dasawarsa.
            Syamsuddin Sumatrani wafat pada tahun 1039 H/1630 M, dan selama beberapa dasawarsa terakhir dari masa hidupnya ia merupakan tokoh agama terkemuka yang dihormati dan disegani. Ia berada dalam lindungan dan bahkan berhubungan erat dengan penguasa Kerajaan Aceh Darussalam.
            Syamsuddin Sumatrani adalah satu dari empat ulama yang paling terkemuka. Ia berpengaruh serta berperan besar dalam sejarah pembentukan dan pengembangan intelektualitas keislaman di Aceh pada kisaran abad ke-l7 dan beberapa dasawarsa sebelumnya. Keempat ulama tersebut adalah Hamzah Fansuri (?-?), Syamsuddin Sumatrani (?-1630), Nuruddin Raniri (?-1658), dan Abdur Rauf Singkel (1615/20-1693). Mengenai ada tidaknya hubungan antara Syamsuddin Sumatrani dengan ketiga ulama lainnya, ada baiknya disinggung seperlunya.
            Mengenai hubungan Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Sumatrani, sejarawan A. Hasjmy cenderung memandang Syamsuddin Sumatrani sebagai murid dari Hamzah Fansuri. Pandangannya ini diperkuat dengan ditemukannya dua karya tulis Syamsuddin Sumatrani yang merupakan ulasan (syarah) terhadap pengajaran Hamzah Fansuri. Kedua karya tulis Syamsuddin Sumatrani itu adalah Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol.
            Adapun hubungannya dengan Nuruddin ar-Raniri, hal ini tidak diketahui secara pasti. Yang jelas adalah bahwa tujuh tahun setelah Syamsuddin Sumatrani wafat, Raniri memperoleh kedudukan seperti sebelumnya diperoleh Syamsuddin Sumatrani. Ia diangkat menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1637 oleh Sultan Iskandar Tsani. Karena fatwanya yang men-zindiq-kan (mengkafirkan) paham wahdatul wujud Syamsuddin Sumatrani, maka para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dihukum oleh pihak penguasa dengan hukuman bunuh. Bahkan literatur-literatur yang mereka miliki dibakar habis. Namun demikian, para pengikut paham Sumatrani itu ternyata tidak punah semuanya.
            Pada kisaran tahun 1644 Raniri disingkirkan dari kedudukannya selaku mufti kerajaan Aceh Darussalam. Ia pun terpaksa pulang ke Ranir, Gujarat. Sebagai penggantinya, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675) kemudian mempercayakan jabatan mufti kerajaan kepada Saifur Rijal. Saifur Rijal adalah seorang Minang yang juga penganut paham wahdatul wujud. Pada waktu itu ia baru pulang kembali ke Aceh dari pendalaman kajian agama di India. Dengan demikian, paham tasawuf Syamsuddin Sumatrani itu kembali mewarnai corak keislaman di Kerajaan Aceh Darussalam.
Karya-karyanya
                  Dari hasil penelitian Prof. Dr. Azis Dahlan diketahui adanya sejumlah karya tulis yang dinyatakan sebagai bagian, atau berasal dari karangan-karangan Syekh Syamsuddin Sumatrani, atau disebutkan bahwa Syamsuddin Sumatrani yang mengatakan pengajaran itu. Karya-karya tulis itu sebagian berbahasa Arab, sebagian lagi berbahasa Melayu (Jawi). Sebelum ini karya beliau telah disenaraikan orang, termasuk penulis sendiri, setelah dimuat dalam majalah Dian lalu dimuat pula dalam buku Tokoh-Tokoh Sastera Melayu Klasik. Dua karyanya masing-masing dengan judul Tanbihut Thullab dan Anwarud Daqaiq data-datanya telah penulis muatkan dalam buku Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara, jilid 1. Data lengkap keseluruhan karya Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i akan dimuat dalam buku judul yang tersebut jilid 3.
1. Jawhar al-Haqa'iq (30 halaman; berbahasa Arab), merupakan karyanya yang paling lengkap yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze. Kitab ini menyajikan pengajaran tentang martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
2. Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah (8 balaman; berbahasa Arab). Karya yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze ini, kendati relatif singkat, cukup penting karena mengandung penjelasan tentang perbedaan pandangan antara kaum yang mulhid dengan yang bukan mulhid.
3. Mir'at al-Mu'minin (70 halaman; berbahasa Melayu). Karyanya ini menjelaskan ajaran tentang keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, para malaikat-Nya, hari akhirat, dan kadar-Nya. Jadi pengajarannya dalam karya ini membicarakan butir-butir akidah, sejalan dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama'ah (tepatnya Asy'ariah-Sanusiah).
4. Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri (24 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri. Isinya antara lain menjelaskan pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud).
5. Syarah Sya'ir Ikan Tongkol (20 balaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan (syarh) terbadap 48 baris sya'ir Hamzah Fansuri yang mengupas soal Nur Muhammad dan cara untuk mencapai fana' di dalam Allah.
6. Nur al-Daqa'iq (9 halaman berbahasa Arab; 19 halaman berbahasa Me1ayu). Karya tulis yang sudah ditranskripsi oleh AH. Johns ini (1953) mengandung pembicaraan tentang rahasia ilmu makrifah (martabat tujuh).
7. Thariq al-Salikin (18 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini mengandung penjelasan tentang sejumlah istilah, seperti wujud, ‘adam, haqq, bathil, wajib, mumkin, mumtani' dan sebagainya.
8. Mir'at al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur (12 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma'rifah, martabat tujuh dan tentang ruh.
9. Kitab al-Harakah (4 halaman; ada yang berbahasa Arab dan ada pula yang berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma'rifah atau martabat tujuh.
             Oleh sebab penulis baru menemui koleksi ke-13 karya Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i di Patani maka di bawah disenaraikan karya-karya beliau berdasarkan penemuan terkini. Kesemua 12 judul karya beliau sebelum ini dijadikan koleksi Pusat Manuskrip Melayu Perpustakaan Negara Malaysia.

Tanbihut Thullab fi Ma'rifati Mulkil Wahhab
               Kitab ini adalah karya Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i. Kandungannya ditulis dalam bahasa Arab. Dalam simpanan penulis adalah merupakan manuskrip salinan al-Haji Muhammad Mustahyi yang disalinnya ketika berada di Pontianak tahun 1254 H. Beliau ini adalah keturunan Syeikh Yusuf Tajul Khalwati i (Makasar).
            Dapat dicatatkan penyalin sebelumnya membuat beberapa salinan judul-judul yang lain ketika berada di Mekah sebagai nazir rumah wakaf Haji Abu Bakar Wajo, salah seorang keturunan Syeikh Yusuf Makasar (Bugis) yang terkenal itu.
- Jawahirul Haqaiq
- Risalatul Baiyin Mulahazatil Muwahhidin ‘alal Muhtadi fi Zikrillah
- Kitabul Khirqah
- Nurud Daqaiq
- Mir-atul Iman
- Mir-atul Mu'minin
- Syarah Mir-atil Qulub
- Mir-atul Haqiqah
- Mir-atul Muhqqiqin
- Risalah Jawami'il ‘Amal
- Anwarud Daqaiq fi Kasyfi Asrarir Raqaiq
- Da-iratul Wujud
- Risalah Kasyfi Asraril Wujud
- Bayanul Qulub
- Risalah Pada Menyatakan A‘yan Tsabitah
- Risalah Mitsalil Wujud
- Risalah Pada Menyatakan Kelebihan Insan Daripada Sekalian Alam Yang Lain.
- Kasyfu Sirrir Rububiyah fi Kamalil ‘Ubudiyah
- Risalah Masa-il ‘llmil Haqiqah
- Haqiqah as-Shufi
- Haqqul Yaqin fi ‘Aqidatil Muhaqqiqin fi Zikri As-raris Shufiyinal Muhaqqiqin
- Syarah Ruba'i Syeikh Hamzah al-Fansuri
- Taukidul ‘Uqud
              Semua karya Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani yang baru dikenal dan menjadi koleksi Pusat Manuskrip Melayu Perpustakaan Negara Malaysia pada nombor 11 sampai nombor 22. Koleksi penulis nombor 24 dalam senarai adalah merupakan risalah-risalah yang nipis-nipis saja. Yang yang agak tebal adalah nombor 22 (Haqqul Yaqin ...) dengan 48 halaman, dan hanya naskhah ini saja yang tercatat tahun selesai penulisannya iaitu 1020H/1611M.
            Menurut keterangan pengarangnya yang terdapat dalam naskhah nombor 22 itu, bahawa beliau menterjemahkan dari bahasa Parsi ke bahasa Melayu.
          Dengan maklumat ini dapat diketahui bahawa Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i adalah seorang ulama yang menguasai bahasa Parsi.
Ajaran Tasawufnya
            Syamsuddin Sumatrani dikenal sebagai seorang sufi yang mengajarkan faham wahdatul wujud (keesaan wujud) dengan mengikuti faham wahdatul wujud Ibnu Arabi. Istilah wahdatul wujud itu sendiri sebenarnya bukan diberikan oleh Ibnu Arabi sendiri. Artinya, Ibnu Arabi tidak pernah menyatakan bahwa sistem pemikiran tasawufnya itu merupakan paham wahdatul wujud.
             Dari hasil penelitian WC. Chittick, Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274) adalah orang pertama yang menggunakan istilah wahdatul wujud, hanya saja al-Qunawi tidak menggunakannya sebagai suatu istilah teknis yang independen. Selain al-Qunawi, masih banyak lagi yang menggunakan istilah wahdatul wujud. Namun tokoh yang paling besar peranannya dalam mempopulerkan istilah wahdatul wujud adalah Taqi al-Din Ibn Taymiyyah (w. 728/1328). Ia adalah pengecam keras ajaran Ibnu Arabi dan para pengikutnya.
             Di antara kaum sufi yang mengikuti jejak pemikiran Ibnu Arabi tersebut adalah Syamsuddin Sumatrani. Pengajaran Syamsuddin Sumatrani tentang Tuhan dengan corak paham wahdatul wujud dapat dikenal dari pembicaraannya tentang maksud kalimat tauhid la ilaha illallah, yang secara harfiah berarti tiada Tuhan selain Allah. Ia menjelaskan bahwa kalimat tauhid tersebut bagi salik (penempuh jalan tasawuf) tingkat pemula (al-mubtadi) dipahami dengan pengertian bahwa tiada ada ma'bud (yang disembah) kecuali Allah.
                 Sementara bagi salik yang sudah berada pada tingkat menengah (al-mutawassith), kalimat tauhid tersebut dipahami dengan pengertian bahwa tidak ada maksud (yang dikehendaki) kecuali Allah. Adapun bagi salik yang sudah berada pada tingkat penghabisan (al-muntaha), kalimat tauhid tersebut difahami dengan pengertian bahwa tidak ada wujud kecuali Allah.
              Namun ia mengingatkan bahwa terdapat perbedaan prinsipil antara pemahaman wahdatul wujud dari para penganut tauhid yang benar (al-muwahhidin al-shiddiqin), dengan paham wahdatul wujud dari kaum zindiq penganut panteisme. Di lihat dari satu sisi, kedua pihak itu memang nampak sependapat dalam menetapkan makna kalimat tauhid la ilaha illallah, yakni tiada wujud selain Allah, sedang wujud segenap alam adalah bersifat bayang-bayang atau majazi. Tetapi sebenarnya kedua belah pihak memiliki perbedaan pemahaman yang sangat prinsipil. Bagi kaum panteisme yang zindiq alias sesat, mereka memahaminya bahwa wujud Tuhan itu tidak ada, kecuali dalam kandungan wujud alam. Jadi bagi kalangan panteis ini, segenap wujud alam adalah wujud Tuhan dan wujud Tuhan adalah wujud alam (baik dari segi wujud maupun dari segi penampakannya).
             Jadi para penganut paham panteisme itu mengidentikkan Tuhan dengan alam. Mereka menetapkan adanya kesatuan hakikat dalam kejamakan alam tanpa membedakan antara martabat Tuhan dengan martabat alam. Paham demikian menurut Syamsuddin Sumatrani adalah paham yang batil dan ditolak oleh para penganut tauhid yang benar.
              Bagi Syamsuddin Sumatrani, sebagaimana faham Ibnu Arabi, asdalah Keesaan Wujud berarti tidak ada sesuatu pun yang memiliki wujud hakiki kecuali Tuhan. Sementara alam atau segala sesuatu selain Tuhan keberadaannya adalah karena diwujudkan (maujud) oleh Tuhan. Karena itu dilihat dari segi keberadaannya dengan dirinya sendiri, alam itu tidak ada (ma'dum); tetapi jika dilihat dari segi "keberadaannya karena wujud Tuhan" maka jelaslah bahwa alam itu ada (maujud).
            Dengan demikian martabat Tuhan sangat berbeda dengan martabat alam. Hal ini diuraikan dalam ajarannya mengenai martabat tujuh, yakni satu wujud dengan tujuh martabatnya. Tulisnya:
             I'lam, ketahui olehmu bahwa (se)sungguhnya martabat wujud Allah itu tujuh martabat; pertama martabat ahadiyyah, kedua martabat wahdah, ketiga martabat wahidiyyah, keempat martabat alam arwah, kelima martabat alam mitsal, keenam martabt alam ajsam dan ketujuh martabat alam insan.
           Maka ahadiyyah bernama hakikat Allah Ta'ala, martabat Dzat Allah Ta'ala dan wahdah itu bernama hakikat Muhammad, ia itu bernama sifat Allah, dan wahidiyyah bernama (hakikat) insan dan Adam ‘alaihi al-Salam dan kita sekalian, ia itu bernama asma Allah Ta'ala, maka alam arwah martabat (hakikat) segala nyawa, maka alam mitsal martabat (hakikat) segala rupa, maka alam ajsam itu martabat (hakikat) segala tubuh, maka alam insan itu martabat (hakikat) segala manusia. Adapun martabat ahadiyyah, wahdah dan wahidiyyah itu anniyyat Allah Ta'ala, maka alam arwah, alam mitsal alam ajsam dan alam insan itu martabat anniyyat al-makhluk.
            Atas uraian Syamsuddin Sumatrani tersebut Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan memberikan ulasan: terhadap tiga martabat pertama yang disebutnya dengan ‘anniyyat Allah, maksudnya adalah martabat wujud aktual Tuhan; Sedang terhadap empat martabat berikutnya yang disebut martabat anniyyat al-makhluk, maka yang dimaksudkannya adalah wujud aktual makhluk.
           Dengan demikian, tiga martabat pertama adalah qadim (dahulu tanpa permulaan) dan baqa (kekal tanpa kesudahan); Sedang empat martabat berikutnya disebut muhdats (yang dijadikan/diciptakan). Karena itu pula istilah ‘alam tidak digunakan untuk tiga martabat pertama, tapi jelas dipergunakan untuk empat martabat berikutnya. Dari semua itu dapatlah dipahami bahwa martabat ketuhanan itu tidak lain dari tiga martabat pertama, sedang martabat alam atau makhluk mengacu pada empat martabat berikutnya.
            Ulama sufi yang akan dibicarakan ini adalah murid kepada Syeikh Hamzah al-Fansuri yang sempat menjadi pembesar di kerajaan Aceh. Jika kita bandingkan dengan zaman sekarang kedudukannya adalah sebagai seorang Perdana Menteri.
             Di hujung namanya tertulis ‘as-Sumatra-i'. Pada semua manuskrip karyanya adalah tertulis demikian, namun semua penulis, bahkan penulis yang pertama memulakannya diubah menjadi ‘as-Sumatrani'.
             Sebenarnya tambahan huruf ‘n' antara huruf ‘a' dan ‘i' yang telah dirumi/dilatinkan itu hanyalah salah penyemakan saja dari huruf hamzah yang ditulis sebelum huruf ya. Huruf ya yang diletakkan di belakang perkataan Sumatra itu menurut kaedah bahasa Arab ialah ya nisbah ertinya dibangsakan. Jadi maksudnya dibangsakan atau berasal dari Sumatra seperti perkataan:
- Al-Banjari, dibangsakan atau berasal dari Banjar
- Al-Falimbani, dibangsakan atau berasal dari Palembang.
- Al-Fathani, dibangsakan atau berasal dari Fathani.
             Oleh itu, Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i bermakna Syeikh Syamsuddin yang berasal dari Sumatera. Jika ditambah atau ditukar dengan ‘ni', bermaksud nama tempat asal Syeikh Syamsuddin yang dibicarakan ini berasal dari Sumatran. Di manakah tempat yang bernama Sumatran itu?
          Nama Sumatran memang ada disebut dalam Hikayat Ahmad Bustamam yang merupakan hikayat bercorak dongeng semata-mata. Oleh hal-hal yang tersebut, untuk tulisan di hujung nama ulama sufi ini, penulis kembali kepada manuskrip asalnya, iaitu dengan tulisan ‘Sumatra-i' bukan ‘Sumatrani'.
         Tulisan ini juga adalah sebagai pelengkap risalah ini, seperti Syeikh Hamzah al-Fansuri, kerana mengenai ulama ini juga telah banyak dibicarakan dalam kajian sastera.
          Sebelum ini pernah penulis tulis dalam majalah Dian, kemudian dimuatkan pula dalam Tokoh-tokoh Sastera Melayu Klasik (terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka, 1987).
Penyambung aktivitas Syeikh Hamzah Al-Fansuri
             Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i selain terkenal dengan tambahan di hujung nama oleh para penulis barat dan tempatan dengan ‘Sumatrani', juga dikatakan beliau berasal dari Pasai. Tarikh dan tempat kelahirannya belum diketahui dengan pasti.
           Tarikh wafatnya ada dicatatkan oleh musuh pegangannya, Syeikh Nuruddin ar-Raniri, iaitu pada malam Isnin, 12 Rejab 1039 H/1630 M.
             Awal pendidikannya secara terperinci juga belum diketahui, hanya diperkatakan bahawa beliau adalah murid Syeikh Hamzah al-Fansuri. Ada juga pendapat menyebut bahawa beliau pernah belajar daripada Sunan Bonang, yaitu seorang Wali Allah di tanah Jawa.
             Walau pun Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah musuh paling ketat bagi Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i, namun dia tetap mengakui keulamaan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i itu, sebagaimana beliau tulis, "Syahdan pada masa itulah wafat Syeikh Syamsuddin ibnu Abdullah as-Sumatra-i pada malam Isnin 12 Rejab pada tahun 1039 tahun (Hijrah). Adalah Syeikh itu alim pada segala ilmu, dan ialah yang termasyhur pengetahuannya pada tasawuf dan beberapa kitab yang ditaklifkannya."
            Aktivitas penulisan pengetahuan keislaman di Aceh memang dimulai oleh Syeikh Hamzah al-Fansuri, yang dilanjutkan oleh Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i sebagai muridnya, memang diakui oleh semua penulis.
            Apa saja yang ditulis oleh Syeikh Hamzah al-Fansuri adalah senada dan seirama dengan tulisan-tulisan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i terutama dalam pembahasan mengenai Martabat Tujuh.
              Perbahasan pengetahuan sufi yang mendalam oleh kedua-duanya itu sebenarnya tidak pernah ditentang oleh Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Bagaimanapun, kebanyakan penulis yang datang kemudian memutarbelitkan kenyataan sejarah dan kenyataan ilmiah, bahawa mereka mengatakan Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri adalah memihak kepada Syeikh Nuruddin ar-Raniri menghentam Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i.
             Dari maklumat ini, khas perbicaraan Martabat Tujuh dimulai dari Syeikh Hamzah al-Fansuri, turun kepada Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i, turun kepada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri, turun kepada Syeikh Faqih Jalaluddin bin Kamaluddin al-Asyi, dan lain-lain. Kemudian kebelakangan disokong oleh beberapa orang ulama Asia Tenggara lainnya.
             Antaranya, Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani di beberapa halaman Siyarus Salikinnya, bahkan beliau mengiktiraf karya-karya Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i, yang beliau kategorikan ke dalam ajaran tasauf peringkat Muntahi (peringkat tinggi).
               Ada dua karya Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i yang disebut oleh Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani dalam karya besarnya itu, kedua-dua kitab itu ialah Jawahirul Haqa-iq dan Tanbihut Thullab fi Ma‘rifatil Malikil Wahhab.
              Tulisan yang ada persamaan dengan karya Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i mengenai Martabat Tujuh juga dilakukan oleh Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari sangat jelas dalam dua buah karyanya, iaitu Ad-Durrun Nafis dan Majmu'ul Asrar.
            Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani juga tidak membantah tetapi beliau menjelaskan rumus-rumus perkataan sufi yang bercorak syathahiyat itu di dalam karyanya Manhalus Shafi fi Bayani Ramzi Ahlis Shufi dan sebuah lagi karya beliau mengenai tasauf yang tidak sempat beliau beri nama judul.
             Tasauf yang tidak berjudul itu sampai sekarang hanya ditemui dua salinan saja, sebuah tersimpan di Pusat Manuskrip Melayu Perpustakaan Negara Malaysia dan sebuah lagi koleksi peribadi penulis.
            Walau pun demikian hebatnya, Syeikh Nuruddin ar-Raniri dalam beberapa buah karangannya memandang sesat, zindiq dan lain-lain terhadap Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i. Namun tidak semua ulama dunia Melayu sepakat dengan pandangan Syeikh Nuruddin ar-Raniri itu.
             Selain ulama-ulama yang tersebut di atas dengan karakternya yang tersendiri, ada lagi ulama yang berasal dari Aceh yang bersifat berdiri sama tengah dalam memberikan penilaian dan pandangan.
              Beliau ialah Syeikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin Aceh, seperti beliau jelaskan dalam karyanya Bidayatul Hidayah.
             Katanya, "adapun pada berlajar Martabat Tujuh itu tiada wajib menuntut dia. Lagi pula tiada ada ahlinya pada masa ini. Maka sayugianya ditinggalkan kerana tiada kita ketahui akan ertinya, dan terkadang menyalahi akan syarak, maka jadi membawa membinasakan. Kerana beberapa kitab orang yang dahulu-dahulu ditinggalkan kerana tiada ada ahlinya pada mengajarkan dia dan menguraikan maknanya di dalam tanah Arab, seperti Mekah dan Madinah, dan lain daripada kedua-duanya. Sebab ilmu itu sudah mati."
               Perkataan Syeikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin itu dijelaskan oleh Syeikh Ahmad al-Fathani pada taqrir di bahagian kitab Bidayatul Hidayah itu, kata Syeikh Ahmad al-Fathani, "Martabat Tujuh, yakni dibicara akan dia itu haram, kerana tiada ada guru yang boleh menghuraikan maksudnya. Maka setengah orang Jawi mendakwa akan dirinya sampai kepada Allah s.w.t dan mengajar ia akan Martabat Tujuh. Serta menyeru ia kepada manusia suruh mengaji Martabat Tujuh, maka iaitu dhaalun mudhillun. Dan pada hal anak murid itu tiada mengetahui akan barang yang wajib atasnya daripada furudhul ain."
              Sebagai bukti yang cukup kuat bahawa Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i adalah sebagai penyambung aktiviti dan bertanggung jawab menyebarkan ajaran gurunya Syeikh Hamzah al-Fansuri sangat nyata pada karya yang bercorak syarah. Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i telah mengulas atau menjelaskan karya Syeikh Hamzah al-Fansuri berjudul Ruba'i Syeikh Hamzah al-Fansuri. Kita telah mengenali karya penting itu melalui transliterasi yang dilakukan oleh A. Hasymi, lengkap dengan manuskrip Melayu/Jawinya, yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka tahun 1976.
Sebagaimana Syeikh Hamzah al-Fansuri berpengaruh kepada Sultan Iskandar Muda demikian juga halnya dengan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i. Sebarang urusan istana Sultan Iskandar Muda sentiasa menyuruh orang memanggil Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i itu.
             Demikian besar pengaruh Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i terlukis dalam Hikayat Aceh, "Hatta maka tatkala sampailah umur Sultan Husein Syah itu kepada 10 tahun, maka sabda Raja Iskandar Muda kepada Mahkota Dailamcai, "Panggil olehmu akan daku Syeikh Syamsuddin, dan kadi, dan Malikul Adil, dan Perdana Menteri, dan segala hulubalang!".
              Maka Makota Dailamcai khidmatnya serta menyembah, maka ia pun pergi, hingga sampailah ia, lalu dijunjungkannya sabda yang maha mulia itu. Maka sekalian mereka pun datanglah mengadap. Maka sabda Raja Iskandar Muda kepada Syeikh Syamsuddin dan kepada sekelian mereka itu, "Ketahuilah oleh kamu sekalian bahawa anakku Sultan Husein Syah ini, ku namai Sultan Maghal, jikalau datang masya-Allah akan daku bahawa anakku Sultan Maghallah akan gantiku kerajaan."
            Penulis berkesimpulan bahawa dengan ditemui manuskrip-manuskrip yang telah disenaraikan di atas, bererti penyelidikan kita terhadap Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i bertambah luas.
            Penyelidikan secara terus menerus berkemungkinan akan menghasilkan bahan-bahan penemuan baru.
            Penjelasan karya-karya Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i secara lengkap dapat diikuti dalam buku yang dikarang oleh penulis sendiri iaitu Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara jilid 3.
Ia yang alim pada segala ilmu - kalimat ini merupakan representasi dari Syekh Syamsu'ddin sebagai ulama yang "complete". Dia yang menentukan segala sesuatunya di balik layar kemegahan kerajaan Aceh Darussalam pada zaman Raja Iskandar Muda. Selaku ulama-negarawan, sumbangsih terbesarnya adalah mengukuhkan fondasi hukum syari'at sebagai ruh utama atas segala kebijakan, baik itu qanun, sistem politik, ekonomi dan sosial budaya di Aceh. Peninggalan pengaruhnya terbukti sangat dominan, bahkan hingga saat ini. Sebagai mufti, penasihat agung dan al-malikul Qadli yang aktif pada dua masa kerajaan, Syekh Syamsu'ddin, yang dalam hikayat aceh disebut Syaikhul Islam ini, adalah sosok yang dapat menembus lintas batas keilmuan. Bijaksana pada urusan politik, dalam dan luar negeri, handal sebagai seorang negosiator, piawai memberikan pertimbangan ekonomis dalam situasi perdagangan, teguh ber-jihad fi sabilillah dalam memerangi para agresor (penjajah), professor dalam ilmu keagamaan, dan terakhir - yang juga mengesankan - bahwa walaupun ia berada dalam lingkaran istana, tetapi tetap bersahaja dalam menjalani kehidupan tarekat dan sufistiknya. Sungguh tepat apa yang dimaksudkan oleh Syekh Nuru'ddin, bahwa Syekh Syamsu'ddin as-Sumatrani merupakan tokoh yang alim pada segala ilmu. Ia merupakan ulama yang "complete", bukan hanya pada bidang keagamaan saja, tetapi juga keluwesan dan pemahamannya pada bidang-bidang yang lain. Ia memahami betul fiduniya hasanah wa fil akhirati hasanah itu!
             Hingga saat ini, makamnya yang terletak di Desa Ketek, Negara Bagian Malaka, Malaysia, masih diziarahi orang. Tetapi hampir tidak ada masyarakat kita (baca: orang Aceh) - yang notabene adalah tanah airnya sendiri - sudi untuk mampir, meski hanya mengucapkan "salam" kepadanya (disayangkan masih kalah dengan animo ‘shopping' tas dan sepatu yang melanda generasi penerus kita). Fenomena tersebut seharusnya menyadarkan kita untuk segera melakukan "penghormatan secara paripurna" terhadapnya. Diperlukan peresmian dan pemugaran atas makam ini, sebagai salah satu simbol "duta besar Aceh" yang termahsyur. Hal ini juga sepatutnya dimasukkan sebagai salah satu usaha pelestarian situs cagar budaya bagi Aceh pada khususnya, serta peradaban Melayu itu sendiri, di dalam pengertian yang lebih luas.
Tulisan ini memaparkan dan mempertanyakan, mengapa ulama besar kelahiran Pasai ini masih menjadi misteri dalam lintasan sejarah kita? Apakah "lenyapnya" sejarah Syekh Syamsu'ddin memang sudah dari "sejak awalnya", yang koheren dengan kondisi politik pada saat itu? atau memang ia sengaja diasingkan oleh sebuah konspirasi status quo yang tidak menginginkan pemikirannya, atau oleh musuh yang apriori akan terulangnya kembali kejayaan Islam dan Aceh? Atau memang hanya dikarenakan kurangnya saja minat akan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli kita saat ini? Tentunya diharapkan "kegelisahan" ini menjadi sebuah latihan intelektual bagi kita semua dalam menemukan kembali sosok Syekh Syamsu'ddin as-Sumatrani. Bukankah banyak permata berharga yang melimpah terkandung di dalam sosok dan pemikirannya? Hal ini merupakan kewajiban bagi kita untuk menemukan dan membongkar misteri tersebut dan mengubahnya menjadi sesuatu yang berguna bagi Aceh kini. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang mengerti dan fasih serta dapat menarik pelajaran dari sejarah peradabannya sendiri.
                  Mohammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad menyatakan bahwa Syekh syamsu'ddin dalam kedudukannya yang terkemuka, bertanggung jawab dalam mengarang (setiap bentuk) surat-surat kerajaan, antara lain surat Iskandar Muda kepada Raja James I, Raja Inggeris. Kepiawaian Syekh Syamsu'ddin dapat dilihat melalui analisis Deny's Lombard dalam bukunya, Kerajaan Aceh. Ketika Sir James Lancaster tiba di Aceh, ia terlibat diskusi -terutama dengan Syekh Syamsu'din. Ini dilakukannya agar mendapatkan dasar perniagaan yang langgeng. Naskah Melayu nomor [Douce MSS. Or.e.5] dalam Bodleilan Library menerangkan momen tersebut. Jika diperhatikan maksudnya, dapat dilihat bahwa isinya lebih kepada teks "legislatif" (sepihak/internal) daripada teks diplomatik. Ditambah lagi dengan tidak adanya tanda tangan, kalimat persetujuan/konvensi maupun klausula perdagangan antara dua pihak sebagaimana lazimnya sebuah traktat perjanjian. Dan ini yang menyebabkan Iskandar Muda tidak merasa dirinya terikat oleh yang dinamakan "perjanjian" tersebut ketika Best datang pada tahun 1613 dan meminta "perjanjian" tersebut dilaksanakan. Kedua, surat kepada Raja James I yang tertanggal 1024 H (1613) tidak ada nama Iskandar Muda di dalamnya, hanya disebut "Sri Sultan Perkasa Alam Juhan Berdaulat yang bergelar Makuta Alam". Dan gelar Makuta Alam itu rupanya hanya terdapat dalam kata persembahan sebuah karya Syamsu'ddin as-Sumatrani (Kerajaan Aceh, 2006). Lombard meneruskan bahwa "ia memegang peranan yang sangat utama di istana Aceh, dan dengan ialah (juga) kebanyakan penjelajah Eropa berurusan antara tahun 1600 dan 1630".
                 Syekh Syamsu'ddin juga sangat welas asih ketika berdialog dengan seorang tawanan yang bernama Frederick de Houtman. Padahal dengan kekuasaannya saat itu, dapat saja ia meng"Guantanamo"kan tawanan tersebut. Tetapi beruntung sang tawanan, ia berhadapan dengan seseorang yang tidak "kering" dan "kaku" dalam pergaulan, dan bahkan memperlakukan seorang tawanan secara manusiawi. Frederick de Houtman kemudian dibebaskan dan kembali ke negeri asalnya. Walaupun kemudian dia menambahkan "bunga-bunga" dalam kisahnya di Eropa, tetapi hikmahnya, kita kembali mendapatkan sekelumit informasi tentang sisi kemanusiaan seorang Syekh Syamsu'ddin yang dihadapkan dengan keadaan seseorang yang tidak memiliki daya upaya.
              Syekh Syamsu'ddin, menurut pandangan kami, adalah juga seorang ulama, sufi besar dan sarjana hukum terkemuka, yang secara produktif telah menghasilkan 12 karya berbahasa melayu dan arab, serta pengaruhnya pada kodifikasi perundang-undangan dan tata pemerintahan Iskandar Muda, yang secara filosofis, yuridis, dan sosiologis berasal dari unsur Islam, syari'at dan adat istiadat. Van Nieuwenhuijze menyimpulkan, bahwa ia adalah seorang diantara pemikir bangsa Indonesia yang terbesar pada zamannya.
              Semestinya, orang baik dan mereka yang mencari keridhaan Allah akan menikmati penghormatan dan posisi. Dan seorang yang "besar" pasti akan diingat oleh laki-laki dan perempuan yang "besar" juga. Namun, kenyataan yang terjadi, Syekh Syamsu'ddin justru mengalami keterpencilan dalam lintas sejarah Aceh dan peradaban Melayu Nusantara. Tidakkah kita melihat keserasian dan keselarasan dari sebuah "pemahaman tingkat tinggi" yang dilakukan oleh Syekh Syamsu'ddin, antara ulama, umara dan rakyat? Dan mengambil esensi dari sikap dan pemikirannya? Yaitu, kemenangan. Kemenangan pada dua laga pertempuran candradimuka, yaitu kemenangan Dunia dan akhirat, yang bermakna kemenangan dan kemakmuran serta kesejahteraan bagi Aceh dengan kemenangan surga, yang dibangun di atas landasan ketakwaan kepada Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar