Ayah Seorang tokoh Sufi
Beliau adalah Muhammad Bahjah bin Muhammad Baha`uddin al-Baithor,
seorang tokoh ulama, sastrawan, ahli sejarah dan pidato, dilahirkan di
Damaskus dari keluarga penduduk asli kota Damaskus, buyut beliau dari
Aljazair. Ayah beliau seorang tokoh agama di Damaskus, tokoh sufi.
Ath-Thontowi berkata:
“Suatu yang menakjubkan adalah, bahwa ayah Syaikh Bahjah seorang
tokoh Sufi yang berpemahaman wihdahtul wujūd (manunggaling kawulo gusti)
mengikuti madzhab Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in, dan al-Halaj (para tokoh
tasawuf).”[2]
Beliau tumbuh berkembang dalam bimbingan ayahnya, belajar dasar-dasar
ilmu bahasa dan agama juga darinya. Kemudian beliau mendalami agama
kepada para ulama yang hidup pada zamannya, semisal Jamaluddin
al-Qasimi, Muhammad al-Khidr Husain, Muhammad Badran al-husni dan
Muhammad Rasyid Ridha, semoga Allah merahmati mereka semua.
Pengaruh Seorang Guru
Pengaruh Syaikh Jamaluddin al-Qasimi amat besar pada diri beliau.
Putera beliau, Ashim al-Baithor berkata: “Dahulu ayahku belajar pada
Syaikh Jamaluddin, hubungan antara keduanya sangat erat, dan Syaikh
Jamaluddin amat mempengaruhi kepribadian beliau, Syaikh menanamkan dalam
jiwanya kecintaan kepada Salaf dan kebersihan aqidah dari syirik, serta
jauh dari kebohongan, menanamkan bagaimana memanfaatkan waktu dengan
baik, menanamkan keteguhan terhadap aqidah, menanamkan kesabaran atas
rintangan yang dihadapi di jalannya, sering kali aku menjumpai ayahku
menangis ketika terkenang guru beliau Syaikh Jamaluddin al-Qasimi.”
Maha suci Allah Dzat yang mengeluarkan seorang kepada kehidupan setelah kematiannya.
Jabatan dan Kedudukan
Syaikh Bahjah -rahimahulah- mempunyai andil dalam penyebaran akidah
yang benar, beberapa jabatan dan kedudukan ilmiah beliau pegang. Beliau
dipilih dalam lembaga ulama, lalu dipilih dalam lembaga persatuan ulama
di Damaskus, dan menjadi penceramah dan Imam dan pengajaran di Jâmi
al-Qâ’ah di al-Maidan menggantikan ayah beliau. Lalu ia pindah ke Jâmi’
ad-Daqâq di al-Maidân juga, sampai meninggal dunia.
Beliau berpindah-pindah tugas dalam mengajar, di Suria, Hijaz, dan
Lebanon. Beliau juga mengajar tafsir dan akhlak di fakultas Syariah di
Damaskus. Demikian pula beliau mengajar di Dâr al-Mu’allimîn pada
fakultas Sastra di Damaskus. Setelah pensiun beliau kurangi
aktivitasnya, yaitu hanya berceramah dan mengajar agama. Dan beliau
termasuk anggota dalam lembaga al-Majma’ al-‘Ilmi al-‘Arabi, dan sebagai
penasehat majalah lembaga ini.
Syaikh Bahjah -rahimahullah- bepergian ke Hijaz dan menghadiri
Muktamar Islam Internasional di Mekah pada tahun 1345 H, setelah itu
Raja Abdul Aziz meminta beliau menetap di Mekah dan menjadikannya
Direktur Ma’had Ilmi di Mekah Saudi Arabia. Kemudian beliau diangkat
jadi Hakim. Bekerja beberapa lama dalam bidang ini lalu beliau
mengajukan permohonan maaf untuk tidak ditunjuk Hakim, maka beliau
diberi tugas dalam bidang pendidikan, menjadi pengajar di Masjidil Haram
dan anggota departemen pendidikan. Setelah itu syaikh Bahjah di undang
untuk pembangunan Dâr at-Tauhîd di kota Thaif.
Memberi Petunjuk Ali ath-Thontowi -rahimahullah-
Beliau adalah seorang ahli ceramah yang hebat, mempunyai andil bagi
sejumlah penuntut ilmu, para budayawan dan sastrawan untuk mendapat
petunjuk kepada aqidah Islam yang benar. Di antara mereka adalah
sastrawan terkemuka Ali ath-Thontowi, di mana beliau berkata:
“Sungguh saya dapati, bahwa ilmu yang saya dengar dari beliau menghancurkan segala apa yang aku pahami semenjak kecil, dahulu saya berakidah sesuai dengan pemahaman Asy’ariyah dan Maturidiyah, yaitu aqidah yang dasarnya dari falsafah Yunani, dan dulunya saya amat yakin dengan akidah yang diajarkan semenjak kecil itu, dengan keyakinan bahwa pemahaman salaf dalam tauhid asmâ` wa sifât lebih selamat, dan pemahaman kholaf lebih bijaksana. Lalu syaikh Bahjah mengajarkan, Bahwa segala pemahaman yang dipahami salaf adalah lebih selamat dan bijaksana. Dan saya tumbuh dalam ajaran untuk menjauhi ajaran Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- bahkan membencinya, namun Syaikh Bahjah justru sebaliknya, ia mengajarkan untuk menghormati dan mencintai Ibnu Taimiyyah -rahimahullah-, padahal dulu saya bermadzhab Hanafi, fanatik kepada madzhab ini. Syaikh Bahjah menginginkan agar saya tidak fanatik kepada madzhab, dan agar saya beramal berdasar dalil bukan berdasarkan apa katanya, akhirnya saya terpengaruh dengannya dan paham (tentang akidah yang benar) setelah berkali-kali mengadakan pertemuan dan dialog serta diskusi dengan beliau.”[3]
“Sungguh saya dapati, bahwa ilmu yang saya dengar dari beliau menghancurkan segala apa yang aku pahami semenjak kecil, dahulu saya berakidah sesuai dengan pemahaman Asy’ariyah dan Maturidiyah, yaitu aqidah yang dasarnya dari falsafah Yunani, dan dulunya saya amat yakin dengan akidah yang diajarkan semenjak kecil itu, dengan keyakinan bahwa pemahaman salaf dalam tauhid asmâ` wa sifât lebih selamat, dan pemahaman kholaf lebih bijaksana. Lalu syaikh Bahjah mengajarkan, Bahwa segala pemahaman yang dipahami salaf adalah lebih selamat dan bijaksana. Dan saya tumbuh dalam ajaran untuk menjauhi ajaran Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- bahkan membencinya, namun Syaikh Bahjah justru sebaliknya, ia mengajarkan untuk menghormati dan mencintai Ibnu Taimiyyah -rahimahullah-, padahal dulu saya bermadzhab Hanafi, fanatik kepada madzhab ini. Syaikh Bahjah menginginkan agar saya tidak fanatik kepada madzhab, dan agar saya beramal berdasar dalil bukan berdasarkan apa katanya, akhirnya saya terpengaruh dengannya dan paham (tentang akidah yang benar) setelah berkali-kali mengadakan pertemuan dan dialog serta diskusi dengan beliau.”[3]
Syaikh Ali ath-Thontowi t melanjutkan:
“Pertemuanku dengan Syaikh Bahjah membuat hubunganku dengan guru-guruku tidak baik, karena mayoritas Syaikh di Syam cenderung kepada pemahaman sufi dan menjauh dari Wahabiyah, mereka tidak mengenal ajaran Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab dan tidak mengetahui bahwa di dunia ini sebenarnya tidak ada madzhab yang bernama Wahabi. Di negeri kami ada sejumlah Syaikh yang mengatakan, bahwa ada beberapa Syaikh termasuk kelompok Wahabi dan tokohnya adalah Syaikh Bahjah.[4]
“Pertemuanku dengan Syaikh Bahjah membuat hubunganku dengan guru-guruku tidak baik, karena mayoritas Syaikh di Syam cenderung kepada pemahaman sufi dan menjauh dari Wahabiyah, mereka tidak mengenal ajaran Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab dan tidak mengetahui bahwa di dunia ini sebenarnya tidak ada madzhab yang bernama Wahabi. Di negeri kami ada sejumlah Syaikh yang mengatakan, bahwa ada beberapa Syaikh termasuk kelompok Wahabi dan tokohnya adalah Syaikh Bahjah.[4]
Karya
Demikianlah, tentang Syaikh Bahjah dan berikut ini diantara karya-karya yang beliau wariskan:
• Masâ`il al-Imâm Ahmad karya Abu Dawūd, dita’lîq oleh beliau.
• Asrâr al-‘Arabiyyah karya Ibnu al-Anbari, ditahqîq oleh beliau.
• Qawâ`id at-Tahadduts min Funūn Mushthalah al-Hadîts, karya Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, ditahqîq dan dita’lîq oleh beliau.
• Al-Islâm wa ash-Shohâbah al-Kirâm baina as-Sunnah wa asy-Syî’ah.
• Tafsîr sūrah Yusuf.
• Hayâh Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah, Muhâdharah, wa Maqâlât wa Dirâsât, dll.
Wafat
Syaikh Bahjah al-Baithor -rahimahullah- wafat pada bulan Jumadil
akhir 1369 H di Damaskus. Beliau adalah seorang ulama yang membawa
bendera dakwah salafiyah di Syam ketika ajaran sufi menguasainya, dan
ketika fanatik buta pada madzhab mempengaruhi masyarakat umumnya. Semoga
Allah merahmatinya. Âmîn.
———————————————–
1. Biografi singkat ini dari kitab ‘Ulamâ` asy-Syâm fî al-Qarni al-‘Isyrîn, dinukil dan diterjemahkan oleh Abu Hasan Arif.
2. Dalam kitab Rijâl min at-Târîkh, karya Ali ath-Thonthowi hlm. 416-417.
2. Dalam kitab Rijâl min at-Târîkh, karya Ali ath-Thonthowi hlm. 416-417.
3. Ibid. hlm. 414.
4. Ibid
(adz-Dzakhiirah al-Islamiyyah Ed 46, hal. 51-53)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar